Masukan nama pengguna
Maaf malam minggu kali ini, tertanggal 2 Oktober 1965, aku tak bisa mengunjungi rumahmu dan berbincang banyak. Ada tugas yang harus kulaksanakan. Jika kau berkenan dan agar aku tidak lupa, aku akan menuliskannya ke dalam surat cinta yang kutujukan untukmu.
Sayangku yang terkasih.
Semoga sehabis tugas ini, aku dapat melihat senyumanmu lagi.
Tunggu aku.
Di malam minggu lainnya, Sayang.
***
Sayangku, pada suatu malam minggu tertanggal 2 Oktober 1965 tersebut, aku memandang langit dan kembali memikirkanmu.
Aku merindukanmu.
Namun kutahu, tugasku sedang menghadangku untuk menemuimu.
Begitu lamunanku tentangmu sedikit mengabur, Sayangku, aku merasakan roda mobil jeep yang kunaiki agak sedikit berat. Apa mungkin mulai kempes? Ingin sekali kutanyakan kepada sang pengemudi yang duduk di sebelahku. Akan tetapi, aku tak ingin menggangu konsentrasinya mengendarakan mobil jeep.
Sayangku, mobil jeep yang dinaiki oleh beberapa pasukan berseragam dan bersenjata ini melewati jalan setapak yang membelah perkebunan karet. Pepohonan menjulang tinggi hampir menutupi wajah langit. Sorot lampu pada mobil jeep hanyalah satu-satunya sumber cahaya yang membuatku tersadar dengan sekelilingku.
“Uhuk!” jantungku berdetak kencang hanya lantaran mendengar suara batuk salah satu rekan bersenjata. Saking heningnya suasana, suara-suara apa pun yang menyapa kedua telingaku pasti akan kuanggap mengagetkan. Kalau sudah begitu, aku berusaha menetralkan perasaan dengan menelan ludah.
“Mas Wartawan foto ini, siapa namanya?” tanya seorang rekan bersenjata yang tadi batuk. Dia mencoba berbasa-basi denganku yang duduk di depannya dan baru ditemuinya di hari ini. Di mobil jeep ini, hanya ada tiga orang, yaitu sopir, aku, dan seorang yang barusan batuk itu. Mereka berdua adalah anggota bersenjata tanah air, sedangkan aku, tentu saja kau sudah tahu, bukan, Sayangku? Aku adalah seorang wartawan foto.
“Nama saya Gito,” jawabku seraya menganggukan kepala. Aku mencoba menoleh sedikit. Pengendara jeep masih fokus menghadap ke depan dengan kedua tangan tergenggam di setir. Sejak tadi, dia mengajakku bicara hanya sudi menggerakan bola mata.
“Bekerja untuk koran atau kesatuan kami?” tanya si pengemudi.
Aku memilih untuk menghela napas dan menghadap ke depan. Aku teringat dengan pesan dari atasanku di redaksi. Katanya, jangan banyak bicara dengan siapa pun. Salah-salah dapat membuahkan informasi yang merugikan. Tugasku hanyalah memotret.
Akan tetapi, Sayangku, jika aku diperbolehkan untuk menjawab pertanyaan yang tadi diselayangkan oleh si pengemudi jeep, aku akan menjawab bahwa diriku sendiri diminta oleh atasanku dari redaksi media massa angkatan darat. Namun, karena semuanya masih simpang siur, atasanku mengatakan bahwa di pertengahan jalan, belum tentu pula pada akhirnya kami bekerja sama dengan pihak tertentu. Intinya, foto-foto yang nanti kuhasilkan, pada akhirnya akan kusimpan terlebih dahulu.
Sayangku, tentunya kau masih ingat asal-muasalku dapat bergabung dalam perjalanan membelah hutan karet di tengah malam minggu ini. Aku pernah bercerita padamu di telepon, bukan?
Ya betul! Karena adanya suatu peristiwa mengenaskan di penghujung September kemarin, malam minggu ini, aku belum bisa menemuimu.
Tentunya kamu tahu, Sayang, Beberapa perwira angkatan bersenjata dikabarkan hilang dan konon dibawa ke suatu tempat di pertengahan kebun karet ini. Profesiku memang bukan sebagai tim pencari orang hilang, tetapi keberadaanku di sini sebagai tukang potret alias jurnalis foto. Aku bekerja individu. Aku bekerja hanya untuk atasanku seorang, Sayang.
Aku menoleh ke belakang. Selain ada mobil jeep yang kunaiki, masih tiga mobil jeep lagi. Aku sendiri tak mengenal siapa saja yang menaikinya. Semuanya berseragam. Semuanya bersenjata. Hanya aku yang menggenggam kamera.
Sampai akhirnya, Sayang, mobil jeep berhenti di suatu area. Ada beberapa deretan rumah berdinding kayu dan anyaman bambu tak berlampu yang berderet di hadapanku. Karena rekan-rekan berseragam itu turun dari jeep, aku pun demikian. Aku sempat menoleh ke kiri dan ke kanan. Lagi-lagi, sumber pencahayaan hanya berasal dari lampu sorot mobil jeep.
“Di mana anda melihat orang-orang itu?” terdengar salah seorang berseragam mengajak bicara seseorang yang juga mengenakan seragam. Hanya saja, warna seragam dan motifnya agak berbeda.
“Coba saya ingat-ingat dulu,” ucap orang berseragam berbeda itu.
Karena menurutku interogasi itu bukan merupakan tugasku, aku meninggalkan sekumpulan orang-orang itu. Kulangkahkan kakiku menuju tiga buah rumah berdinding anyaman bambu yang letaknya kurang lebih lima meter dari titikku berada. Sepertinya, ketiga rumah itu memiliki ciri yang berbeda. Aku ingin menyelidikinya, sehingga aku harus berjalan ke arahnya.
“Mas, butuh senter?” begitu aku hendak mengayunkan kaki menuju rumah-rumah itu, salah seorang berseragam dan bersenjata itu memberikan sebuah alat penerangan kecil kepadaku.
“Terima kasih,” agar banyak hal yang dapat aku potret, tentu saja aku membutuhkan penerangan. Kuterima saja benda kecil itu. Lalu, setelah itu, aku berniat untuk memulai pekerjaanku sebagai wartawan foto.
Untuk menjangkau ketiga rumah itu, aku dikawal oleh dua orang lainnya. Dari ketiga rumah itu, aku merasa masing-masing di antaranya memiliki bentuk dan fungsi yang berbeda. Sepertinya bukan rumah biasa.
Pada bangunan rumah yang pertama, Sayang, sepertinya adalah sebuah ruang belajar atau sekolah dadakan. Selain ada papan tulis hitam, terdapat pula deretan meja dan kursi yang tak beraturan. Akan tetapi, salah satu hal yang menarik perhatianku adalah goresan-goresan kapur putih di papan tulis. Kelihatannya baru digoreskan beberapa hari yang lalu. Aku sendiri tak yakin jika kapur-kapur itu digunakan dalam kegiatan belajar-mengajar. Aura ruangan ini rasanya tak pantas jika berkombinasi dengan energi siswa-siswi yang haus akan ilmu. Firasat jurnalisku mengatakan bahwa topik yang terakhir dibicarakan di ruangan ini bukanlah suatu kegiatan positif.
Setelah mengambil beberapa potret, aku berbalik keluar ruangan dan memasuki rumah yang kedua. Alas dari ruangan ini terbuat dari tanah. Tak ada suatu hal yang menarik selain tempat tidur yang tadinya sepertinya berkelambu. Akan tetapi, satu hal yang menyita pandanganku adalah sebuah kuali besar yang masih menyisakan kuah makanan yang tak seberapa. Apakah ada kegiatan konsumsi beberapa hari lalu di sini? Jika ada, kemanakah orang-orang yang mengisi perut mereka dengan makanan-makanan ini?
Rumah yang ketiga sepertinya lebih layak jika disebut sebagai tempat tinggal. Selain masih ada tempat tidur dan lemari jati bercermin usang, ada pula meja bundar dan kursi yang entah mengapa menurutku masih bisa terdengar bunyi bisikan orang yang berdiskusi di sana. Tentu saja, aku hanya berhalusinasi.
“Jadi? Anda yakin bangunan-bangunan rumah yang anda lihat pada waktu itu, adalah bangunan-bangunan ini?” terdengar suara interogasi lagi di telingaku. Aku sendiri tak sempat menoleh dan kembali melanjutkan pekerjaanku. Aku memotret ketiga rumah itu dari luar. Aku menelan ludah dan entah mengapa bulu kudukku bergidik.
Sejenak, aku jadi rindu dengan keluarga dan tentu saja kekasihku di luar ibukota. Dalam khayalku, aku berpikir menuliskan surat untuknya. Selain untuk permohonan maaf karena malam minggu kali ini aku tak dapat mengunjunginya, aku juga ingin menceritakan apa yang kurasakan dan kusaksikan saat ini. Mungkin kedengarannya bukan cerita romantis dan puitis mendayu-dayu yang biasa kugoreskan di suratku kepadanya. Namun, semoga dia tak marah jika sekali-sekali aku menceritakan hal yang menegangkan kepadanya. Apalagi bagiku, dia adalah kekasihku, maka, dia harus mengetahuinya.
Rumah-rumah reot itu … Papan tulis dengan kapur yang masih menempel … Kursi-kursi yang tak jelas barisannya … Kuali di dapur dengan sisa kuah masakan … Kaca-kaca kusam di lemari jati … Pohon-pohon karet dengan wadah yang sudah meluber …Bunyi-bunyi jangkrik dan gagak yang terkadang bercampur dengan sugestiku dengan suara tangisan bayi … Sorot tajam mata rekan-rekan bersenjata yang saat ini terlampau serius … Jeep berkecepatan sedang yang tadi kutumpangi … Sungguh, Sayang, aku tak percaya siapa pun dan apa pun saat ini, kecuali kamera yang kugenggam dan senyummu yang akan menyambutku lagi selepas dinas ini. Semoga saja aku bisa pulang dan membalas senyuman itu kembali.
Dedaunan-dedunan kering yang menyambut langkah kakiku rasanya ingin kuajak bicara. Sebenarnya apa yang terjadi di tempat ini beberapa hari lalu?
Sampai akhirnya, Sayang, kami semua menemukan pohon pisang mencurigakan yang sepertinya sengaja ditancapkan di suatu area.
“Coba diangkat!” Begitu beberapa orang berseragam dan bersenjata itu mengangkatnya, aku dan kuyakin semua orang yang ada di sini begitu terkejut. Rupanya benar, pohon pisang itu tak betul-betul tertanam di sana.
“Sumur! Ada sumur! Tapi kok?”
Bau anyir dan busuk menguasai penciuman.
Kami semua terkejut setengah mati.
Sayang, sungguh, kau tahu apa yang kusaksikan?
Sepertinya untuk kali ini, aku kehilangan kata-kata untuk menjelaskan apa pun. Lebih tepatnya, aku tak tahu kata apa yang pantas mendeskripsikannya.
Nanti saja jika aku bertemu denganmu di malam minggu selanjutnya, akan aku ceritakan. Satu hal yang pasti, apa yang mereka lakukan sungguh …
Biadab.