Masukan nama pengguna
“HIDUP HIJAU!”
“HIDUP KUNING!”
“HIDUP MERAH!”
Teriakan-teriakan macam itu sudah biasa mendarat di pendengaran Icul beberapa bulan terakhir ini.
Icul.
Ya! Remaja tanggung penjaja asongan dan minuman botol sekitaran perempatan lampu lalu lintas dekat lapangan tengah kota itu memang sudah berjualan selama setahun belakangan.
Sebelumnya, abangnya yang kini sudah menjadi TKI di negeri seberang yang menguasai lapak asongan selama hampir enam tahun. Bagus juga Icul berjualan di sini. Meski belum menginjak usia dewasa, dia adalah satu-satunya pedagang kaki lima yang tak ditagih pungli oleh preman-preman sekitar. Habisnya, preman-preman itu sendiri adalah teman-teman lama abangnya Icul. Memang asyik jika mengais rezeki di lahan yang sudah jelas koneksinya.
“HIDUP HIJAU!”
“HIDUP KUNING!”
“HIDUP MERAH!”
Kembali ke teriakan-terikan yang akhir-akhir ini mendarat di telinga Icul. Remaja berambut lepek karena keringat dan bau matahari ini boleh saja tak memiliki kawan preman seperti abangnya. Para pelanggannya juga kebanyakan adalah warisan dari abangnya pula. Namun, setidaknya, Icul memiliki poin lebih dibanding abangnya.
“HIDUP HIJAU!”
“HIDUP KUNING!”
“HIDUP MERAH!”
Ya! Abangnya Icul belum pernah punya pengalaman mendengarkan teriakan-teriakan yang membakar semangat ribuan orang di lapangan tengah ibukota ini. Boleh saja jika Icul bisa bertanya pada abangnya, kira-kira selama bertahun-tahun berjualan di lapangan tengah ibukota ini, kapan abangnya pernah habis dagangannya kurang lebih dalam satu jam? Beberapa bulan terakhir ini, Icul sudah biasa seperti ini. Padahal, biasanya dia kebanyakan melamun sambil menghitung detik lampu lalu lintas menyalakan warna merah, kuninh, atau hijau.
“Cul! Besok orang-orang partai gua ada rapat di rumah atasan gua di gang sono! Lo dateng gih bawa rokok, kopi, sama minuman-minuman botol ini!”
“Siap, Baaang!” Icul mengacungkan jempol. Rejeki ternyata tak hanya datang di lapangan tengah ibukota, tetapi rupanya ada “proyek lanjutan”.
“HIDUP HIJAU!”
“HIDUP KUNING!”
“HIDUP MERAH!”
Jadi, sebenarnya, apa “hijau”, “kuning’, dan “merah” yang akhir-akhir ini mendatangkan rejeki bagi Icul melebihi abangnya?
Jawabannya adalah kampanye pemilihan umum 1982.
1982?
Ya! Icul adalah seorang yang pada tahun 1982 ini masih menjadi seorang remaja penjaja asongan dan minuman botol.
Cerita ini bergulir memang semasa itu, masa di mana hanya ada tiga partai politik, yaitu partai hijau, partai kuning, dan partai merah. Ketiganya, kebetulan mengadakan pawai-pawai kecil hingga kampanye akbar di lapangan pusat ibukota tempat Icul menjajakan dagangannya. Dari sinilah, pundi-pundi rupiah menghampirinya.
“Ngomong-ngomong, lo pilih apa, Cul?” salah satu dari kader dari ketiga partai suatu sore bertanya pada Icul.
“Hmm,” gumam Icul. Jika dilempar pertanyaan macam begini, jujur dia kebingungan sendiri. Masalahnya, ketiga partai ini sebenarnya adalah pelanggan Icul.
“Ane pan belum cukup umur! Hahaha!” serunya mencoba menghindari konflik.
“Bisa aja lo, Cul!” sebagai orang yang sudah biasa wara-wiri di dunia politik, tentu saja para pelanggan Icul sudah paham modus-modus jawaban ngeles.
“Ngomong-ngomong, rumah lu di mane, Cul? Kalo gua minta lo bawa minuman botol ke Puncak bisa, enggak? Sekalian kalo ada yang minta tolong bikinin mie instan, lu bikinin dah, Cul! Lo enggak jualan mie instan, ya?” di hari lain, kader partai lainnya bertanya pada Icul. Kebetulan, di hari itu, sedang ada konser dangdut sekaligus kampanye di lapangan ibukota.
“Nanti ane bawain mie instan berdus-dus!” seru Icul. Menurutnya, hal ini adalah rejeki. Daripada di hari itu tak ada acara partai dan dagangan Icul biasa-biasa saja terjual di lapangan tengah ibukota ini, lebih baik dia mengais potensi lain.
Kebetulan, warung tempatnya mengambil minuman-minuman botol juga menjual mie instan. Selama tinggal di ibukota, dia tidur di warung milik bosnya. Dia pulang seminggu sekali untuk membawa duit hasil dagangannya kepada orang tuanya di pinggir Ibukota.
“HIDUP HIJAU!”
“HIDUP KUNING!”
“HIDUP MERAH!”
Semenjak partai-partai itu berorasi di lapangan tengah ibukota, perubahan juga terjadi di penampilan Icul. Dia jadi senang mandi karena jadi ingin tampil lebih bersih saja di depan orang yang jauh lebih banyak dia temui setiap harinya. Ya! Biasanya, Icul mandi dua hari sekali di kamar mandi umum. Kini, dia tak mengapa harus mengantri panjang, asalkan sehari dia bisa mandi dua kali.
“HIDUP HIJAU!”
“HIDUP KUNING!”
“HIDUP MERAH!”
“Loh, Bang? Lu ikut kampanye tiga-tiga partainya?” sambil mengunyah permen karet dagangannya, Icul menyapa seorang pelanggan yang baru membeli roko darinya.
“Diem-diem aje lu, Cul!” seru si abang simpatisan tiga partai itu seraya menempeleng kepala Icul.
“Aduh, Bang! Maen noyor-noyor aje lu!” kalau bukan kepentok umur, mungkin Icul juga ingin menempeleng kepala pelanggannya yang satu ini.
“Yang kayak gua enggak gua doang, Cul!” jelas si abang, “Lumayan gua jadi bisa makan ayam nih di rumah. Biasanya, bini gua cuman bisa bikin tahu goreng jadi temennye nasi sama rawit kecap.”
“Lah kalau ikut semuanya, terus nanti milih warna mana, Bang? Merah? Kuning? Ato hijau?” tanya balik si Icul.
“Cap cip cup kuda lari aja, dah! Cap cip cup kuda lari!” ucap si abang seraya menghisap rokok. Lalu, dia buatkan asap bulat dan disemburkan ke Icul.
“Uhuk! Uhuk! Uhuk! Bang! Jangan ditiup ke gua asepnya, dong! Gua kagak bisa sama asep rokok!” Icul menutup mulut keringnya dengan kaosnya.
“Biasa nyedot asep kenalpot Kopaja aja lu lagaknya udah bengek ngisep asep rokok! Taunya bau aibon aja sih lo, Cul!” si abang menempeleng kepala Icul lagi.
“Eh, maap, Bang! Gua juga kagak ngelem!” kini Icul berani menggebok sedikit bahu abang tiga simpatisan partai ini.
“Ehaaak! Kagak percaya gua!"
“Ya udah kalo kagak percaya! Kagak guna juga gua, Bang yakinin elu!”
“Sahelah! Lu udah belajar neh dari orang-orang gede yang orasi di mari!”
“Hahaha!” Icul tertawa terbahak-bahak.
“HIDUP HIJAU!”
“HIDUP KUNING!”
“HIDUP MERAH!”
Sampai-sampai kalau Icul sudah pulang ke warung bosnya dan berbaring di samping kipas angin yang berputar tiap sepuluh detik per lima menit, seolah suara-suara itu masih menempel di pendengarannya.
Memang lokasi warung bosnya masih di sekitaran perempatan lampu lalu lintas dan lapangan tengah ibukota.
“Kalau lima tahun lagi gua udah tujuh belas tahun lebih, berarti gua pilih apa, ya?” sambil memperhatikan lampu lalu lintas di luar warung, Icul mulai berpikir serius. Dia memejamkan mata dan mulai membayangkan suasana beragam ketika si Hijau, si Kuning, atau si Merah yang berorasi. “Tapi, ngapain dibikin? Ujung-ujungnya, kita juga yang menang siapa,” lanjutnya.
Sepertinya benar apa yang dikatakan abang simpatisan tiga partai. Kosakata Icul sudah seperti orang gede yang berbicara di panggung lapangan tengah ibukota.