Masukan nama pengguna
*****
Maaf karena Mama tidak bisa mempertahankan Ayah untuk Ara...
Kalimat itu selalu hadir setiap kali Ara mengulas kenangan masa lalu. Bayang-bayang Mama yang mengusap surainya lembut di hari ulang tahunnya. Saat Ara, si gadis kecil berusia delapan tahun mulai meniup lilinnya tanpa sang Ayah lagi, yang memilih pergi meninggalkan Ara dan Mama demi wanita yang lebih cantik diluar sana. Wanita jala—stt, ralat. Ara sudah berjanji pada Mama untuk tidak berkata kotor lagi. Wanita yang ia temui di usia sepuluh tahun. Wanita yang memaksa kebencian Ara membuncah saat harus memanggilnya "Mami" didepan umum. Dengan satu ancaman yang selalu berhasil membuatnya takut saat itu juga.
Wanita itu berkata, "Menurut saja jika Ara masih ingin melihat Ayah, hm?"
Setelah itu, dengan jelas Ara dapat menyusup kedalam manik kelam wanita itu yang sebenarnya. Perkataan lembut beberapa saat yang lalu ternyata... hanya sandiwara? Hah, bahkan Ara yang berusia sepuluh tahun bisa merasakan itu. Kebenciannya semakin dalam tiap harinya. Apalagi kala itu. Dipertengahan musim hujan, saat Ara menangis sendirian dalam selimutnya. Dia ketakutan. Rumahnya gelap. Badai diluar sana mengamuk. Dan... tidak ada seorangpun yang menemani.
Hingga suara Ayah memanggil lirih dari arah pintu. Betapa bahagianya Ara karena do'anya telah dikabulkan Tuhan yakni mendatangkan Ayah yang saat itu bilang ingin menjemput seseorang sebentar.
Tapi siapa yang tahu jika Tuhan punya rencana lain?
Senyum di bibir pucat Ara perlahan melengkung kebawah. Saat melihat... siapa mereka? Ara kira kehadiran Tante Mega adalah mimpi terburuknya. Ternyata masih ada mimpi yang lebih dari itu, seakan membuat Ara takut bermimpi yang sesungguhnya.
Dia, si gadis berambut sebahu dengan senyum gummy manis, melambai padanya. Ditambah perkataan Ayah jika gadis itu adalah saudaranya.
Bahu Ara merosot saat itu juga. Ah, Ara mengerti. Otak kecilnya sudah bisa menyimpulkan jika selama ini Ayah bersama Tante Mega sejak Mama masih hidup. Dan kini membawa seorang gadis seusianya.
Ara selalu mengerti. Pada dirinya sendiri.
Ara si baik.
Ara si penurut.
Ara si pendiam.
Bukankah seharusnya dia bertanya kenapa Ayah mengambil keputusan itu? Apakah Ayah tidak memikirkan perasaan Mama? Atau mungkin, Ayah sengaja melakukan ini tanpa sepengetahuan Mama?
Ara hanya bisa menangis sendiri lagi. Dalam ranjang dinginnya. Dia berbisik dalam sunyi, agar kantuk mau segera menjemput. Membawa Ara pergi dari dunia yang menyakitkan ini. Walau hanya sekejap, setidaknya Ara punya ruang untuk bebas dari mereka.
Lalu, membaur dalam sakitnya.
Sakit yang menemaninya hingga tumbuh menjadi gadis yang lebih kuat.
Sampai disinilah dia bersedih dalam sunyi. Bersama hembusan angin pemakaman yang menyapu helai rambutnya, dan kulit pucat dari tubuh kurus itu. Sesekali Ara lebih memilih tersenyum. Mengusap gundukan tanah itu dengan air mata tertahan. Tidak, lebih tepatnya, Ara bersikap sok kuat. Satu yang ia mau,
Mama walau disana, tidak boleh melihat Ara menangis.
Jadi, isakannya hanya erangan kecil didalam selimut. Sambil memeluk tubuhnya sendiri, diatas kasur dingin tanpa kasih sayang. Toh Mama tidak mungkin bisa membuka selimutnya kan?
Selama ini, orang-orang disekitarnya selalu menyampaikan pesan-pesan sederhana. Yang selalu sama. Mereka berbisik, "Ara... jadi anak baik, ya. Masih ada Ayah yang mau menemani Ara. Jadi, Ara harus menjadi anak penurut, ya?"
Pesan-pesan itu, akhirnya seperti mantra sihir yang sukses membuatnya tumbuh seperti yang mereka inginkan. Menjadi gadis baik, penurut pada Ayah.
Sesekali egonya berteriak jika hidupnya terlalu sulit. Ara muak. Dia terlihat sangat menyedihkan. Menurut itu mudah, tapi justru itu yang membuatnya tidak bisa melawan. Seperti menuruti semua kemauan Ayah. Ara bisa kok, selalu dapat ranking satu di sekolah. Ara bisa belajar keras soal bisnis seperti yang Ayah mau. Semua itu mudah. Yang sulit hanya... mengatakan betapa Ara sangat lelah.
Bukan lelah sebab berpikir. Hanya... tidak bisakah Ayah memberinya waktu untuk tersenyum. Ara pikir semua prestasinya yang akan mewujudkan senyum itu, tapi lagi-lagi, semua itu salah. Yang Ara maksud adalah senyum Ayah, saat menatap maniknya.
Raut berbinar Ayah, begitu mengerti betapa besar perjuangannya selama ini. Dalam kesedihan dan sunyi. Memendam sakit hati dihadapan wanita yang Ayah cintai.
Ara hanya ingin... Ayah memandangnya sebagai putri yang kuat. Bukan sekedar investasi masa depan demi mewujudkan kemauan Ayah sendiri.
Tapi bagaimana dia akan mengatakannya?
"Sebentar lagi Ara mau lulus S1 lho, Ma." Bisiknya seraya mengusap pusaran sang Mama. "Ternyata waktu berjalan cepat, ya. Ara rasa baru kemarin Mama menyuapi Ara makan bubur saat demam. Nggak kerasa udah lama banget, ya?"
Dia tersenyum tipis. Menahan hatinya yang memberontak ingin menangis.
"Maaf karena Ara jarang kunjungin Mama. Ada beberapa hal yang sulit Ara selesaiin sendiri, tapi Mama jangan khawatir, ada Reza yang selalu ada buat aku kok. Dan Ayah... akhir-akhir ini selalu tanya tentang perkembangan belajar perusahaan aku. Walau aku agak tertekan, tapi bukannya itu lebih baik kan? Daripada Ayah nggak pernah bicara sama aku?"
Ara menekan sudut-sudut matanya dengan jemari. Dia hampir saja kalah dengan air mata. Sulit rasanya menyusun kata-kata yang tepat untuk Ayah. Kalimat terbaik untuk mempresentasikan sikap Ayah. Walau pada kenyataannya, semua itu tidak sebagus yang ia katakan.
Gadis itu sering tertekan. Entah pada tugasnya atau kebaktian. Sialnya, Ara tidak bisa membantah. Ibarat titah Raja, itulah perkataan Ayah. Kemauannya harus terlaksana. Karena itu juga alasan gadis dua puluh tahun itu untuk bertahan.
Mempertahankan Ayahnya kembali.
Setelah hening beberapa saat. Ponsel dalam saku jas hitamnya bergetar. Tangan ranting itu segera menyusup untuk mencari benda pipih itu dan langsung membulatkan mata begitu membaca nama kontak yang tertera dilayar.
Ayah.
Padahal Ara sudah bilang ingin berkunjung ke makam Mama agak lama. Tapi melihat panggilan itu masuk, mungkin sang Ayah ingin bicara sesuatu. Bergegas ikon hijau digeser. Ara mendekatkan handphone ke telinganya sambil menggigit bibir bawahnya gugup. Seperti sesuatu tidak baik akan datang.
"Bisa pulang sekarang?"
"Tapi, Ara sudah bilang jika—"
"Ada yang ingin Ayah bicarakan." Suara berat di seberang agak menekankan kalimatnya. Acuh dan dingin. "Pak Hadi akan jemput kamu."
Bulu mata Ara bergerak kala matanya mengerjap. Sambungan telpon sudah diputus seberang. Dan itu... entah mengapa membuat Ara merasa sakit. Tidak bisakah Ayah berbicara dengan nada lembut sekali saja? Tidak bisakah Ayah mengerti kondisi Ara setiap kali mendengar suara ketus itu?
Kini Ara benar-benar menangis. Wajahnya tertunduk di pusaran sang Mama sambil mengadu lelah. Berharap Mama disana mau menepuk lembut kepalanya dan berbisik,
"Tak apa-apa. Semuanya akan baik-baik saja,"
Walau Ara tidak bisa mendengarnya.
*****
Suasana mencekam sudah ada sejak Ara mulai menginjakkan kaki di pintu masuk rumah. Lampu ruangan tengah hanya temaram. Meninggalkan remang-remang seperti dalam rumah tanpa penghuni. Dan disana Ara dapat melihat, Ayah yang berdiri didepan meja kerjanya. Punggung tegap yang selalu Ara takuti masih membelakangi pintu sambil memegang selembar kertas yang Ara juga tidak tahu apa isinya.
Disana juga ada Mami, oh, maksudnya Tante Mega, yang duduk di sofa dengan raut gelisah. Dia menatap secangkir teh di meja tanpa menyentuhnya sama sekali.
Jika biasanya wanita itu akan bersikap sok baik padanya dan berlagak jadi tameng saat Ara dimarahi Ayah, akankah hari ini dia bersikap sama? Bahkan aktingnya sangat mulus dengan wajah menekuk seperti itu.
Berkali-kali Ara menghela napas dan menyusun kalimat yang bagus. Merapalkan beberapa do'a agar hal yang akan dilalui tidak sulit.
"Ada apa... Ayah?" dia akhirnya berbisik, menatap wajah yang kini membalikkan badan padanya.
Dan...
"Kamu dapat nilai B lagi?"
Seketika ekspresi Ara berubah. Maniknya mulai berkaca-kaca. Hatinya tercubit. Sakit. Sesak. Entah, Ara juga tidak mengerti keadaannya saat ini.
"Kemarin sudah sangat buruk dapat B+ tapi sekarang malah turun?" intonasi sang Ayah mulai meninggi. Kertas itu juga dilempar ke meja dengan kasar, mengalihkan atensi Mami yang langsung bangkit dari duduknya. "Apa kamu tidak bisa belajar sungguh-sungguh? Percuma Ayah mengeluarkan uang banyak untuk membiayai guru privat kamu jika akhirnya selalu seperti ini. Coba kamu lihat Sandra, dia—"
"Apa aku seburuk itu?"
Ara menyahut omongan sang Ayah. Tangis yang mati-matian ia tahan selama ini, sekarang malah seperti sungai yang memberontak untuk mengalir. Maniknya bergerak acak kala sang Ayah selalu membandingkan dia dengan Sandra.
"Apa Ayah tahu? Seberapa keras aku sudah berusaha?" Satu tetes air mata mengalir begitu saja. Wajah sembabnya makin sembab. Dadanya terasa terhimpit beban berat. Harusnya dia tidak menangis sekarang, karena akibatnya pasti akan sangat fatal. "Aku sangat ketakutan. Tahukah Ayah betapa menyedihkannya perasaanku? Tahukah Ayah bagaimana rasanya jadi aku yang selalu dibanding bandingkan dengan Sandra? Apa pernah, sekali saja Ayah menganggap aku sebagai anak?"
"Ara." Tante Mega mendekat, berusaha menenangkan Ara tapi langsung dicekat. Dia... bukankah terlalu menjijikkan?
"Ayah tidak pernah tahu jika aku menangis setiap saat. Aku memang terlihat baik-baik saja, tapi apa Ayah tahu jika aku sengsara?!"
"Kamu benar-benar bodoh!!"
Bentakan Ayah terdengar menggema dalam ruangan luas itu. Suara isakan Ara bersahutan dengan leraian Mami. Dalam sekejap, suasana mencekam. Dunia Ara terasa berhenti. Alih-alih merenung, Ayah malah mengatakan hal yang tidak pernah Ara bayangkan selama ini.
Kalimat itu, terdengar sangat menyakitkan.
"Bagaimana bisa kamu berkata seperti itu?" Pria itu melanjutkan, kini mendekat pada Ara yang menghunus manik getir dalam mata berair. "Bagaimana bisa seorang anak berbohong pada orang tuanya? Jangan mendramatisir keadaan, Ra. Ayah melakukan semua ini demi masa depan kamu."
"Ayah tidak puas dengan jati diriku yang sebenarnya!! Kenapa aku harus terus memaksakan diri untuk menjadi orang lain? Ayah pikir selama ini aku berbohong dan mencari alasan untuk menghindar?!"
Air mata Ara benar-benar tumpah. Rasa sesak itu sudah sepenuhnya mengepung.
"Aku bahkan tidak butuh masa depan jika terus menerus menghadapi orang seperti Ayah! Perjuanganku selama ini, Ayah tidak pernah menghargainya. Aku lelah. Lelah sekali berhadapan dengan Ayah. Tuntutan nilai bagus itu selalu menghantuiku. Tidak bisakah Ayah membiarkanku bernapas lega sejenak saja?"
Ayah terdiam.
"Apa aku harus mendapatkan nilai bagus untuk dianggap sebagai putrimu?!"
Plakkk!!!
Wajah merah milik Ara sampai terteleng begitu tamparan panas itu melesat ke pipinya. Sakit sekali. Rasa kebas yang menjalar dari pipinya perlahan menyesakkan dada. Tangisnya pecah. Rasa marah dan benci kini bercampur disana. Mendesak meminta dikeluarkan.
Bahkan Ayah sendiri, dengan teganya... menampar Ara yang berusaha membela diri.
Apakah semua yang dikatakan Ara salah?
Berkata jika semua yang dilalui sangat melelahkan apakah salah?
"A-Ayah bahkan tega melakukan itu?" kalimat Ara terbata. "Mudah sekali Ayah menyakiti Ara? Kenapa Ayah tidak membunuh Ara sekalian? Bunuh Ara, Yah!!"
"Pergi ke kamarmu sekarang!!"
"Bunuh Ara, Yah! Sekarang!!"
"Ara!" Rahang sang Ayah mengatup marah. Sangat menakutkan. Tapi disana tersirat rasa bersalah yang mendalam juga. "Ayah tidak pernah memiliki putri pembantah sepertimu!"
Bagaikan dihantam beban beribu ton. Kedua tungkai Ara bergetar. Hampir saja tersungkur jika saja tidak menguatkan dirinya sendiri. Sejak kapan Ayahnya menjadi tempramen seperti ini? Pandangan Ara tertoleh pada wanita disebelah sang Ayah. Yang memegangi lengan suaminya agar tidak tambah emosi.
Melihat itu... Ara makin benci. Benci berkali-kali lipat.
"Akan Ara wujudkan kata Ayah." Kata Ara tegas. Kini menatap netra Ayahnya dengan bergetar. "Ayah tidak memiliki putri pembantah sepertiku. Jadi... Ara akan pergi."
"Apa?"
"Ara akan pergi dari kehidupan menjijikkan ini. Karena Ara juga tidak memiliki Ayah kejam sepertimu!!"
Gadis itu bergegas membalikkan badan dan berlari ke kamarnya sambil menangis tersedu-sedu. Dia mengabaikan panggilan Ayah dan Mami di belakang. Walau tidak tahu keputusan yang dia buat tepat atau tidak. Ara tidak tahu. Dia hanya ingin pergi. Entah kemana.
Ara merasa...
Dunia ini memiliki banyak rumah, tapi kenapa, hanya dia yang tidak punya?
Ara dan kebahagiaannya. Entah dimana rumah itu berada?
*****
Brilian Anastasya, Juni 2023