Masukan nama pengguna
*****
Teruntuk kamu yang suka memendam rindu.
Apa sih yang kamu harapkan dari rasa rindu itu? Letupan excited yang entah dimana itu seperti menggelitik hati? Atau adanya rasa senang tak terukur yang tiba-tiba hadir? Mungkin juga perasaan sesak saat memikirkan objek yang kita sedang terperangkap dalam rasa rindu itu?
Pertama, tanya dulu pada hatimu yang sebenarnya. Mungkin ada suatu hal yang kamu pendam untuk disampaikan. Dan akhirnya rasa itu seperti beban yang menghimpit minta dijelaskan. Pada si pemilik rindu, rindumu keinginanmu. Sampaikan segala kemauan itu agar nyaman hatimu. Termasuk dengan diam. Orang bilang, lebih baik kita merindu dalam diam. Karena jika suatu saat kita malah bertemu, itu pasti menambah sesak dada, yah, rasa rindu itu semakin membuncah menjadi ego.
Rasa ingin memiliki menjadi brutal.
Kemudian merubah beningnya rindu jadi nafsu.
Rindu yang sebenarnya itu bukan kemauan ingin bertemu, melainkan saling mendoakan dalam jauh.
Berangan-angan itu boleh, yang dilarang itu memaksa. Seperti memaksa cinta contohnya. Cinta Nadia untuk Evan. Dua manusia itu, mereka sudah bersama sejak kecil. Evan sebenarnya sahabat kecil sekaligus majikannya. Lebih tepatnya, majikan ibunya. Dulu ibu Nadia pernah bekerja sebagai asisten rumah tangga di rumah Evan saat dua anak itu berusia sepuluh tahun. Dan kini masih menjalin hubungan sebagai sahabat.
Walau faktanya, kini mereka terhalang jarak yang begitu jauh. Sama-sama berada dalam negeri orang, bedanya hanya, jika Evan di luar negri untuk melanjutkan pendidikan. Sedang Nadia, berjuang menyambung hidup sebagai pegawai pabrik yang seringkali kedinginan saat musim salju sebab tidak punya mantel tebal untuk bepergian ke luar.
Seperti sekarang, dia memeluk lengannya sendiri sambil meneguk secangkir kopi panas didepan sebuah toserba dekat kosannya. Hoodie tebal berbalut mantel itu ternyata tidak cukup menghangatkan tubuh dari cuaca badai salju hari pertama. Sesekali Nadia merinding, hembusan angin dingin itu membuat rambut panjangnya melambai lambai. Dia mulai menggigil sebenarnya. Tapi jika bukan karena uang, dia pasti tidak akan sudi menunggu di luar sedang salju sedang mengamuk seperti ini.
Beberapa saat yang lalu, memang ada tawaran masuk perusahaan dari rekan kenalannya yang berstatus manager kepala di perusahaan itu. Awalnya Nadia tidak percaya, mana mungkin lulusan SMA sepertinya direkrut oleh perusahaan besar seperti itu? Pasti temannya bercanda.
Tapi begitu bukti percakapan dengan direktur itu dikirim padanya, gadis berambut hitam itu langsung membulatkan mata. Antara percaya dan tidak. Antara mau dan takut. Dia kan tidak mengerti bekerja dengan komputer, nanti bagaimana?
"Gue nggak bisa main komputer, Reum. Ngetik aja pake dua jari, kapan kelarnya kerjaan gue nanti?" sanggahnya dalam telpon beberapa saat yang lalu. Tapi temannya Areum, gadis Korea yang sejak pertama kali menemaninya itu, malah terus berkata jika itu bukan masalah.
"Nggak usah khawatir, Nad. Kan udah gue bilang, lo cukup ikuti mau pak direktur. Ketemu sama dia, turuti maunya, udah. Cukup." Kata Areum diselingi kekehan kecil. "Lagian nih, bapak direktur—eh, maksudnya mas direktur ini baru masuk kantor Minggu lalu. Dia masih muda. Ganteng kek Junkyu Treasure, dan yang paling penting belum nikah. Pindahan dari Canada."
"Hm."
"Pokoknya nanti kalo ada telpon langsung jawab aja, yah. Lo bakal kaget soalnya suaranya aja dah ganteng banget."
Nadia menghela napas jengah. Kenapa malah kemana-mana? Pake jelasin karakter pak direktur lagi. Padahal yang Nadia butuhkan hanya jawaban kenapa dia yang tidak bisa apa-apa direkrut tanpa daftar. Langsung diminta interview langsung juga. Atau jangan-jangan si direktur itu mengenalnya? Tapi siapa? Kayak orang penting aja.
Tapi bicara tentang Canada, kenapa sangat pas dengan perasaan Nadia yang sedang memikirkan Evan disana? Yang dia ingat, terakhir kali mereka bertemu dua tahun yang lalu saat sama-sama pulang ke Indonesia. Tidak panjang memang waktunya, tapi jika boleh jujur, tiga puluh menit itu adalah saat terindah bagi Nadia. Dan masih diingat sampai saat ini.
Saat itu, sore dengan langit cerah yang diperciki jingga. Dirgantara yang bergembira sangat pas dengan kondisinya yang terletak dalam demarkasi paling gembira, padahal Nadia sendiri juga tidak mengerti kenapa sebahagia ini mau bertemu dengan Evan.
"Nad, sini... " Pemilik suara hangat dan senyum manis menepuk-nepuk tempat duduk di depannya. Tangan itu melambai ringan kala menangkap atensinya.
"Ngapain?"
"Mau ngomong sesuatu... "
Nadia mengernyit bingung, matanya menatap lekat lensa kelabu milik Evan.
"Lo tau kan gue udah mau siap-siap terbang ke Korea lagi? Ada banyak barang yang belum gue kemasi, jadi kalau mau ngomong cepetan yah."
Evan mengangguk, tangannya terangkat untuk menyisir helaian poni Nadia ke samping. "Maka dari itu gue mau kasih dikit ceramah buat lo."
"Ceramah? Kayak pak Haji aja."
"Do'ain lah."
"Amiin. Jadi, apa lagi?"
Sepasang netra milik Evan menatap lekat manik disana kala wajah mereka berdekatan. Senyum manis itu terulas lagi. Kini lebih lebar. Tapi anehnya, Nadia malah merasa ada sesuatu yang mungkin membuatnya akan bersedih dalam waktu yang lama. Tatapan itu... Ya Tuhan.. sangat memabukkan. Bergegas Nadia mengalihkan pandangannya, saat itu juga Evan berkata lirih,
"Wait me... "
Mendengar itu Nadia menoleh perlahan. Jantungnya tiba-tiba bersemangat. Tapi dia segera menyadarkan diri, Evan... Nadia takut berharap padanya. Takut jatuh dari harapan itu jika akhirnya kisah mereka tidak tertulis seperti yang dia mau.
"... for first snow. Gue penasaran banget sama salju pertama Korea."
Nadia menelan ludah. Raut wajahnya memerah karena menahan malu dan juga menahan kecewa. Lagi-lagi, dia terlalu serius menanggapi omongan lembut Evan yang selalu berhasil mengobrak-abrik dinding pertahanan perasaannya. Ngilu itu, seperti ditusuk-tusuk belati yang rasa sakitnya amat terasa menyakitkan. Matanya tidak berkedip sama sekali.
"O-Oh, Ah, ya." Tanpa sadar kalimat Nadia sempat linglung. Demi Tuhan, pikirannya sedang berteriak macam-macam sekarang.
"Udah. Itu aja yang pingin gue bilang."
Nadia mengangguk.
"Jaga kesehatan disana ya, Nad. Gue nggak mau lo sakit."
Nadia mengangguk.
"Okey, dah ya. Gue duluan."
Nadia mengangguk lagi.
Pria itu mulai melangkahkan kaki melewati tubuh Nadia yang masih mematung di tempatnya. Tepat sebelum tungkainya mencapai tangga batu taman, dia berbalik badan.
"And waiting for me."
Nadia tidak bisa mengartikannya. Terakhir yang dia lihat adalah senyum penuh teka-teki dari Evan, yang sama sekali tidak mudah dimengerti.
Satu kalimat itulah yang masih Nadia tunggu sampai kini. Entah sampai kapan, menunggu kepastian yang tidak pasti ini. Dan menunggu takdir akan bergerak seperti apa padanya.
Layar ponsel yang tiba-tiba menyala langsung menyadarkan Nadia dari lamunan. Nama dari kontak tak dikenal, mungkinkah ini nomor pak direktur itu?
Jemari lentik Nadia segera meraih benda mahal itu dan berdehem sebentar untuk menjernihkan suara. Menyusun kalimat bagus agar mudah urusannya. Jika nanti hanya bekerja di bagian bersih-bersih, tak apa lah asal gajinya menjanjikan. Toh Nadia sebenarnya sudah lelah bekerja di pabrik.
"Yeoboseo?" Gadis itu memulai lebih dulu lalu mengernyit saat tidak ada sahutan dari seberang. "Dengan siapa?"
"Udah musim salju belum sih? Di Canada belum mulai tapi dah ada tanda-tanda."
Nadia sempat blank. Bukannya ini... suara Evan? Apa dia ganti nomor? Ah, yang jelas Nadia sudah dugun-dugun parah. Dia kira itu panggilan penting yang sedari tadi di tunggunya. Eh, malah sahabat nggak jelas itu.
Jadi, setelah dua tahun tanpa kabar, pertanyaan seperti ini yang pertama kali diajukan?
"Evan?"
"Iya, ini gue."
"Seriusan?"
"Emang gue pernah ngomong nggak serius sama lo?"
Nadia terdiam sejenak, mulai berharap kalimat dua tahun yang lalu juga serius.
"Emang lagi nungguin apa sih, kok lo sampe kaget gitu denger suara gue."
"Bangsat emang ya lo. Dua tahun nggak ngasih kabar, pesan gak dijawab juga. Dan sekarang tiba-tiba telpon nggak jelas pake nomor baru. Lo pikir gue nggak ngira kalo ini nomor iseng gitu?"
"Oh, gue kira lo lagi nunggu nomor orang penting."
"Maksud—"
Wajah Nadia langsung terangkat dan menoleh kanan kiri. Perkataan Evan bukannya seperti tahu apa yang sedang dia lakukan? Mendadak pikiran Nadia mengira jika sahabatnya itu ada disekitar sini. Apa mungkin pria itu melihatnya didepan toserba? Ah, tapi Nadia kembali sadar, tadi Evan bilang jika di Canada belum turun salju. Bodohnya Nadia, mungkin sebab pikirannya terlalu penuh pada pria itu jadi selalu berharap neko-neko.
"Van... "
"Hoodie maroon kebesaran itu ternyata cocok juga buat lo, ya?"
Dahi Nadia mengernyit. Evan ini cenayang atau apa?
"Nad, you still remember what you promise me, right?"
"Yang... mana?"
"For waiting me."
Dada Nadia terasa sesak. Entah sedih atau bahagia sekarang, rasanya seperti campur aduk. Tolong, jangan buat dia jatuh lagi. Jika untuk memendam rindu, Nadia rasa masih bisa menahannya. Tapi untuk suatu harapan, bukankah jalannya hanya menghampiri harapan itu? Cinta Nadia untuk Evan. Itu harapannya.
"... And I'm coming now." Evan tersenyum, dibawah salju dengan perlindungan dari payung biru. Tepat didepan toserba. Dia bisa melihat, wanita yang dicintainya tampak ragu disana. "... buat lo."
Satu tetes air mata meluncur dari pupil cantik Nadia. Dia bergegas bangkit dan mengedarkan pandangan. Firasatnya tidak pernah meleset. Pria itu tahu pakaian yang dia pakai, pastilah ada di sekitar sini.
Dan...
Dia disana.
Diantara kepingan salju yang bertebaran.
Tatapan mereka bertemu. Dalam rindu yang sama-sama membuncah. Perasaan yang sama-sama terpendam.
"Evan... "
"Sini, nggak mau peluk gue?" Pria itu menyengir lebar. "... sayang?"
*****
Brilian Anastasya, Juni 2023