Masukan nama pengguna
*****
Kevin masih dalam posisi awalnya sejak pertama kali menyandarkan punggung ke sandaran kecil sebuah kursi bar. Waktu mulai merambat pada titik puncaknya, tapi pengunjung cafe bernuansa dark elegan itu masih terbilang ramai. Arloji di pergelangan tangan Kevin menunjukkan pukul setengah sebelas malam saat pria itu menaikkan lengan kemeja sampai siku. Tapi pria itu tidak berniat pergi sama sekali. Sesekali dia akan mengacak rambut lalu menghela napas panjang, berharap rasa sesak di dadanya dapat berkurang walau pada kenyataannya, semakin rasa itu dihempas, semakin dalam juga dia menghujam perasaannya.
Sakit sekali.
Saat kebenaran terkadang sulit diungkapkan.
Dan kebohongan berlagak menjadi protagonis yang berkuasa.
Hingga sampai waktunya habis dan berakhir di penghujung jalan, dimana kebenaran itu memberontak pada keadilan. Barulah rasa ragu itu menghilangkan kesempatan untuk menyatakan hal sebenarnya. Namun, meski Kevin mendapatkan keberanian untuk menyatakan kebenaran, terlanjurlah kebohongan itu lebih nyaman ada.
Aku hanya ingin menemani bagaimana dia menjalani pengalaman hidupnya seperti orang lain.
Faktanya, kalimat itu malah bertolak belakang dengan apa yang terjadi diantara dia dan Rhea siang tadi. Itu.. terasa lebih berat dari masalah yang mengharuskannya mencari jalan keluar. Lebih berat dari masalah yang membuatnya harus memecahkan teka-teki. Karena masalah itu adalah dia sedang takut kehilangan.
Malam-malam biasanya tidak terasa lambat seperti sekarang. Seolah detik, menit, hingga jam sedang mengejeknya dalam waktu gusar begitu terlepas dari Rhea.
Ya, karena dia sudah kehilangan.
"Menurut kamu, tolol nggak sih kalau misalkan... aku punya harapan buat kamu?" tanyanya, Kevin berkata sambil tersenyum, tapi terasa sesak di dada.
Rhea melepaskan napas bersama kekeh singkat. Satu kalimat saja, Rhea sudah bisa mengerti kemana arah perkataan Kevin. Entah mengapa dia merasa kesal. Pada dirinya sendiri yang masih meragukan langkah yang dia ambil bersama Kevin.
Rhea menunduk dalam setelah meletakkan botol mineralnya ke meja. Dia masih berusaha menyembunyikan wajahnya, tapi tangan Kevin terulur, menjadi wadah pertama saat air mata Rhea tiba-tiba jatuh.
"Rhe... hei?"
Kevin seperti mengerti bahwa dia harus menunggu. Jadi pria itu hanya terdiam sambil menatap Rhea.
"Vin... "
Hening. Lama.
"It's enough."
Kevin mengerjap pelan. Dia menghembuskan napas berat, yang mungkin dilakukannya untuk menyembunyikan rasa gusar. Namun, wajahnya yang kini terlihat tegang tidak mampu menutupi segalanya. "Why?" gumamnya. "Ada yang berusaha—"
"Nggak ada kok, sama sekali." Jelas Rhea, sebelum rasa khawatir Kevin semakin parah.
"Lalu?"
Rhea sempat terdiam, lalu bergumam lirih. "Vin, kamu masih ingat, kan? Janji kamu buat Chia?
Ada helaan napas yang lebih berat dari sebelumnya. Kevin mencoba sebisa mungkin menyembunyikan gusar itu, tapi dalam posisi yang siap menyimak perkataan Rhea itu, dia sadar jika raut khawatirnya lebih mendominasi.
"Vin... " Jempol kanan Rhea mengusap punggung tangan Kevin, memainkan cincin yang melingkar di jari manis pria itu sejenak. "... dia butuh kamu."
Hening lagi. Beberapa saat, mereka saling diam seakan kehabisan kata-kata.
"Kamu pernah bilang kalau rasa sayang kamu cukup dengan melihat aku merasa nyaman kan? Dan sekarang... aku boleh... minta kamu lindungi dia?" suara Rhea bergetar. "Sekarang keputusan ada di tangan kamu. Pilihan kamu yang menentukan segalanya, kamu berhak buat pastiin siapa orang yang bener-bener pingin kamu sayangi. Dan kita... kamu juga punya pilihan buat berhenti. Kamu bisa pikirkan itu."
Kevin mengangguk, matanya kini hanya fokus pada satu tangan Rhea yang berada dalam genggamannya. Lama dia menunduk sambil menyusun kalimat, lalu mulai berkata, "Aku boleh cerita sesuatu?"
"Apa?"
Senyum tipis terukir di bibir Kevin. "Akhir-akhir ini... setiap pulang ke rumah, aku selalu khawatir, takut ketika aku pulang... kamu udah nggak ada disini. Kamu udah nggak di rumah ini." Dia mengucapkan pengakuan sambil tersenyum, tapi nada bicaranya tidak bisa membodohi Rhea jika pria itu sedang kesulitan dengan ucapannya sendiri. "Aku takut kayak gini dan kamu beneran ninggalin aku."
Kevin terkekeh singkat. Jemarinya mengusap kedua sudut matanya sekaligus. Mengambil napas. Mengangkat wajah, dan mulai menampakkan ekspresi gusar yang sejak tadi disembunyikan olehnya.
"Kamu nggak tau... gimana leganya aku saat tau kamu masih ada disini? Atau ngelihat kamu ketiduran di ruang tamu saat nungguin aku pulang... " Kevin tersenyum simpul lagi, bersama hembusan napas singkatnya. "Gimana ini? aku... kayaknya takut kehilangan kamu?"
Potongan dialog itu, terasa kuat menempel di otaknya.
Pria itu melirik arlojinya kembali, meneguk cola yang sedari tadi belum disentuhnya. Menikmati sakitnya bersama nuansa temaram kafe yang entah mengapa malam ini, orang-orang sedang bisa membaca pikirannya atau bagaimana? Sejak tadi musik yang diusung dalam cafe itu terdengar mellow dan mendayu-dayu. Petikan ringan gitar lebih mendominasi daripada piano yang berjejer tepat di sampingnya. Irama musik yang sangat mendukung suasana hati Kevin yang memang sedang tidak baik hari ini.
Sejurus kemudian, personil dari pengiring musik mulai turun dari panggung dan digantikan oleh seorang wanita, lengkap dengan gitarnya sendiri.
Satu, dua, tiga kali jemarinya mulai memetik senar gitar. Tapi rasa sakit seolah sudah dihantarkan perlahan. Melodi sendu menyeruak seluruh ruangan kafe, beberapa orang disana sempat terpana, mereka seakan berpikir jika wanita itu mungkin sedang patah hati sehingga nyanyiannya teramat dalam seperti itu?
Suara lembutnya mulai memasuki verse pertama lagu. Kevin menoleh sekilas, memfokuskan maniknya pada si dia.. yang sedang dipikirkan sejak tadi. Yang mengungkapkan sakitnya dalam sebuah lagu. Lalu mengajarkan bagaimana perpisahan itu perlu ditangisi. Ya, benar. Perpisahan perlu ditangisi, tapi yang namanya hidup akan tetap berjalan bukan?
Jadi, selayaknya bagaimana kita bertemu, setelah perpisahan haruslah ada rasa bahagia yang mengganti.
Mereka sempat bersitatap. Kevin langsung bisa mengerti jika Rhea juga tidak sekuat yang ia duga. Dia menangis... dalam lagunya. Karena air mata sudah tak ada guna baginya.
저 하늘에게 난 물어보고 싶어
사랑한단 말은 어떤 의미였어
Jeo haneurege nan mureobogo shipeo yeah
Saranghandan mareun eotteon uimiyeosseo
Aku ingin bertanya pada langit
Apa artinya "aku mencintaimu?"
내 세상에서 없는 건 너뿐인데
다 잃은 것처럼 느껴져
이런 나에게, 도대체
Nae sesangeseo eomneun geon neoppuninde
Da ireun geotcheoreom neukkyeojyeo
Ireon naege, dodaeche
Hanya kamu yang pergi dari duniaku
Tapi aku merasa kehilangan semuanya
Ada apa denganku?
왜요 왜요 왜요
너 없인 왜 나는 안되나요
도대체 왜요 왜요 왜요
Just tell me 너 아님 안되나요
Waeyo waeyo waeyo
Neo eopshin wae naneun andwenayo
Dodaeche waeyo waeyo waeyo
Just tell me neo anim andwenayo
Kenapa?
Kenapa aku tak bisa tanpamu?
Kenapa denganku?
Katakan padaku, kenapa harus kamu?
Disana, Kevin dapat melihat senyum Rhea. Ketulusan yang mengantarnya pada satu persinggahan rasa.
Dia menemukan ruang hidupnya kosong dalam beberapa detik saat sadar bahwa.. Rhea benar-benar meninggalkannya. Atau dia benar-benar meninggalkan Rhea.
Tidak ada hal yang dia lakukan selain menatap wajah sendu yang kini memainkan gitarnya seolah tanpa beban.
Dan ketika semuanya sudah jelas.. Kevin ingin kembali pada waktunya yang dipenuhi rasa gusar itu, waktu saat ia diliputi kalut dan risau.
Setidaknya, kemarin dia masih bisa melihat Rhea dalam dekat. Mendekapnya tanpa penolakan. Melindungi wanita itu dalam jangkauannya.
Kini... segalanya hilang.
왜 우린 안되나요
Wae urin andwenayo
Kenapa kita tak bisa bersama?
*****
Brilian Anastasya, Juli 2023