Cerpen
Disukai
1
Dilihat
4,500
Hope
Slice of Life

*****

Saat kecil banyak yang menanyai kita,

Apa impianmu?

Apa cita-citamu?

Apa harapanmu di masa depan?

Dan sebagainya.

Tapi makin kita tumbuh dewasa, makin sedikit pula yang menanyakannya seolah terkikis dengan kepribadian kita yang bisa berpikir sendiri tanpa perlu ditanya. Padahal, impian itu ada. Dan harus selalu diingatkan. Pun orang dewasa.

Walau fakta berbicara jika dunia ini terkadang mempersulit orang dewasa untuk mempertahankan impiannya. Dan kenyataan hidup, semakin menciptakan jarak antara kita dan impian. Sampai dimana titik seolah impian terasa tidak penting lagi, dan berakhir kita melepaskannya begitu saja.

Rezeki itu memang Tuhan yang atur dan tentukan. Kita hidup hanya mengikuti scenario dari-Nya, tapi untuk perjuangan, itu kita yang miliki. Tuhan selalu memberi pilihan. Dan kita berhak memilih sesuka hati. Tapi satu yang harus diingat, apa yang kamu lakukan detik ini, saat ini, itulah yang membangun masa depan.

Jika kamu belajar sungguh-sungguh, bekerja keras, tentulah masa depan adalah buah dari perjuanganmu. Namun jika sebaliknya, semuanya sudah jelas, bukan?

Terkadang, pilihan juga sulit dipilih. Ah, lebih tepatnya, bagi orang dengan keluarga sederhana seperti Kinan. Remaja berusia delapan belas tahun itu sering menghadapi masa sulit yang dipendam sendiri. Melihat Bapak dan Ibu yang bekerja keras di kebun orang, ternyata membuat Kinan jadi anak berkepribadian ewuh tinggi. Seringkali celengan miliknya dipecah diam-diam untuk membayar iuran kelas karena dia tidak mau meminta uang dengan orang tuanya. Padahal jika dia mau bilang, Bapak dan Ibu pasti ada rezekinya. Tapi karena memang sejak dulu, sejak Kinan masih kecil, dia sudah terbiasa melihat orang tuanya dengan wajah lelah dan keringat bercucuran sehabis dari kebun yang itu perlahan menumbuhkan rasa iba. Seperti berpikir, “Bapak dan Ibu bahkan hanya memiliki waktu sebentar untuk istirahat dan semua itu dilakukan untuk masa depan Kinan dan adiknya, Zahra. Jadi, bagaimana bisa dia mudah mengulurkan tangan untuk meminta?”

Uang saku yang tidak seberapa juga, seringkali Kinan simpan dalam celengan. Dia rela tidak jajan seperti teman-teman dan memilih membawa bekal dari rumah walau hanya lauk tempe. Les untuk ujian? Jika tidak benar-benar di wajibkan pihak sekolah, gadis itu tidak akan ikut dan sebagainya gantinya adalah belajar semalam suntuk atau disela-sela waktu selepas membantu Ibu mengurus pekerjaan rumah. Entah mengapa, dia selalu merasa eman-eman. Padahal Bapak Ibu sering memaksa dan bilang, “Gak usah khawatir soal uang, Nan. Tugasmu itu belajar.”

Tetap saja Kinan tidak mau.

Seperti sekarang, Kinan harus berkali-kali berpikir dan menghela napas panjang. Menyusun kalimat yang pantas dan tepat untuk disampaikan pada Bapak dan Ibu yang kini sedang menikmati santapan malam mereka dengan sambal terong. Wajah itu... Gusti... raut bahagia mereka kala bersama dan saling tukar cerita tentang hal yang terjadi seharian. Obrolan sederhana. Pekerjaan lancar tidak? Ada kesulitan apa? Membahas candaan rekan kerja kebun dan kisah hidup mereka, atau menanyai Zahra ada PR yang sulit dikerjakan? Atau apalah yang penting komunikasi keluarga selalu berjalan baik.

Kinan tersenyum tipis, sejak tadi membolak-balik tahu goreng yang baru habis separuh. Pikirannya hampir buntu, apa satu satunya cara memang harus bilang Bapak Ibu?

“Nan, kamu kok nggak semangat makan gitu?” sela Bapak begitu mendapati putrinya malah termenung dengan raut gelisah.

“Apa lauknya nggak selera kamu, ya?” Ibu ikut bertanya. “Kamu pingin makan apa, tak bikinin sekarang ya? Sebentar, kayaknya tadi Ibu masih ada telur kok.”

Melihat Ibu bangkit dari kursinya, Kinan segera menyahut.

“Eh, nggak kok buk. Ini enak. Masakan Ibu kan emang selalu enak.”

“Lha terus kenapa? Ada masalah di sekolah?”

Kinan terdiam. Lalu menggeleng kecil sambil tersenyum. Dia meraih sendoknya lagi dan bergegas memasukkan satu suapan ke mulut. Bapak mungkin masih bisa melanjutkan makan, tapi Ibu, selalu tahu apa yang anaknya pikirkan. Termasuk bagaimana wajah putrinya itu menyimpan suatu hal. Yah, bagaimana mau mengatakannya sekarang? Bapak Ibu bekerja di kebun Pak Darim dan ini baru masuk fase penanaman. Sedangkan Kinan butuh uang untuk wisudanya sekitar dua Minggu lagi.

Kinan tidak mau menjadi beban, tapi bagaimana dia bisa mendapat uang sendiri?

“Wisudamu kapan, Nan?”

Tuh kan, Ibu akhirnya angkat suara lagi. Langsung ke topik wisuda juga.

“Kamu belum bilang ke Bapak Ibu lho tentang wisuda itu, tadi juga Ibu tahu dari Buk Rani yang cerita.” Ibu melanjutkan. “Tania teman sekelas kamu kan? Katanya dua Minggu lagi.”

“Iya, Nan. Cerita dulu gimana. Terus ada iuran berapa, nanti biar Bapak sama Ibu bisa siapin.” Bapak ikut menyela setelah meneguk air.

Kinan menggigit bibir bawahnya merasa bingung. Selama ini memang dia pernah beberapa kali meminta uang untuk keperluan sekolah yang nilainya diatas seratus ribuan, dan selebihnya tidak pernah. Kalau dibawah angka itu, Kinan akan bekerja sama dengan adiknya agar mau menyumbangkan celengan miliknya.

Setelah berpikir panjang, akhirnya Kinan memutuskan untuk bilang secara pelan. Berharap orang tuanya tidak terlalu kaget.

“Jadi... gini, Pak, Buk.” Mulainya sembari meletakkan sendok perlahan. Jemarinya bertaut diatas meja dengan gugup. Kinan gugup sekali. Apa seperti ini rasa dag dig dug meminta haknya? “Wisuda nanti temen-temen pingin bikin majalah kelas.”

Bapak, Ibu, dan Zahra menyimak.

“Total semua biaya sampai wisudanya sekitar... satu... koma... lima, gimana?”

“Oh, ya. Nanti ada.” Kata Bapak langsung, jemarinya masih bergelut dengan nasi dan lauk. Tidak ada rasa gugup dari air mukanya sama sekali. Terlihat tenang. Seolah uang sebanyak itu memang akan ada dalam waktu dekat. “Apa lagi? Lha untuk seragam wisuda gimana? Pakai batik atau apa?”

“Pakai kebaya.” Kinan berkata ragu. “Tapi batik juga nggak papa kok.”

“Nanti biar Ibu pinjemin ke Tantemu.” Sahut Ibu sembari membereskan bekas piring sebelum membawanya ke dapur. “Pokoknya kamu nggak usah khawatir, Nan. Nanti Ibu pilihin warna yang bagus. Udah, cepetan habisin makannya. Terus belajar sebentar baru tidur. Jangan begadang kayak kemarin lho?”

Kinan tersenyum. “Iya, Buk.”

*****

Sejak kecil, sejak Kinan melihat senyum di wajah Ibu yang selalu berbinar kala melihatnya dan Zahra asik makan es krim. Sejak mendengar sapaan Bapak yang bersemangat begitu anak-anaknya datang membawa satu rantang makan siang ke kebun. Sejak saat kedua orang mulia itu menitihkan air mata bangga bagi Kinan yang mendapat peringkat satu. Sejak saat-saat itu, pola pikir Kinan terbentuk secara otomatis untuk sebuah harapan pasti di masa depan,

Bapak dan Ibu harus menuai hasil dari kerja keras mereka.

Mendidik anak. Menyekolahkan. Memberi uang saku, do’a, dan segala upaya yang tak terhitung jumlahnya.

Kinan mulai berjanji pada dirinya sendiri untuk membahagiakan Bapak Ibu dengan prestasinya, dan memberikan kehidupan yang lebih baik dari sekarang.

Hingga di sinilah Kinan berdiri, di hadapan kedua orang tuanya yang berpakaian rapi di hari wisuda kelulusan. Pakaian terbaik untuk menjemput putri mereka. Dan wajah terbaik untuk mengungkapkan perasaan bangga dari dada. Dia berjalan mendekati kedua orang yang sudah menyiapkan senyum itu. Pada mereka yang tidak pernah lupa menanyakan tentang masa depannya. Yang memberinya semangat walau dia hanya putri dari pekerja kebun.

Mereka...

Orang mulia yang selalu berkata agar tidak takut menghadapi hidup. Menerima apapun keputusan Tuhan dan takdir yang akan ditemui. Karena Sang Rahman telah menyampaikan Kalam indah dalam Al-Qur’an,

“Inna ma’al ‘usri yusroo, sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan.”

Dan Kinan percaya itu. Suatu saat, dia akan mewujudkan kemudahan bagi kesulitan yang selama ini ditempuh orang tuanya.

“Buk, Kinan lulus. Kinan udah besar.”

Satu tetes air mata Ibu mulai merembes kala Kinan meraih tubuh itu untuk dipeluk erat. Sambil mengusap kepala Kinan lembut, tiada henti Ibu berbisik bangga. Bangga sekali pada putrinya.

“Makasih ya, Buk. Udah mau jagain Kinan sampai sekarang. Udah mau lahirin Kinan dan kasih pembelajaran hidup yang banyak.” Katanya disela air mata yang mengalir.

Jemari kasar Ibu terangkat untuk mengusap pipinya. Menghapus air mata itu dan mengangkat kedua sudut bibir Kinan agar tersenyum. Sementara Bapak, seorang yang Kinan tidak pernah melihatnya menangis, kini malah tiada henti mengusapi wajahnya. Dalam senyum itu, dapat terbaca jika Bapak merapalkan doa-doa untuk masa depan Kinan.

“Jangan nangis ah, cantiknya hilang nanti.”

Kinan tertawa kecil, meraih tubuh Ibunya untuk dipeluk lagi. Dan menangis lebih deras disana.

“Tunggu Kinan ya, Buk. Sedikit lagi, bertahan sedikit lagi dan nanti Kinan akan bawa Bapak Ibu ke kehidupan yang lebih baik.”

Ibu

mengangguk.

Pun Bapak yang ikut memeluknya.

*****

Brilian Anastasya, Juni 2023

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (1)
Rekomendasi