Masukan nama pengguna
*****
Rasa sayang itu datang spontan bukan karena diminta ataupun di paksa. Karena sikap peduli itu ada dan tergerak otomatis dari alam bawah sadar, lo nggak bisa nuntut dia buat berkorban waktu hanya karena lo kesepian. Seharusnya, rasa sayang itu tergerak statis tanpa perintah.
Hubungan itu emang timbal balik. You give something, harusnya cukup buat dia ngerti kalau lo butuh take dari dia. Tapi, kalau dia nggak ngasih lo nggak boleh minta.
Itu juga bisa nggak adil banget buat lo.
Jadi pilihan terbaiknya, berkorban buat seorang yang statusnya belum terikat itu lebih baik dihindari. Banyak kok diluar sana pasangan yang bahkan udah nikah aja, berkorban buat mempertahankan hubungan tapi nyatanya apa? Nggak sedikit yang malah berkhianat. Karena cinta itu, bukan hal yang perlu pengorbanan.
Mendingan lo pikir mateng-mateng lagi soal keputusan ini.
Emang dua tahun cukup buat percaya sama dia?
Liora memeluk lututnya kembali. Air matanya tertahan pada rok sepaha yang tidak cukup melindungi kaki jenjang yang kini mulai kedinginan. Sesekali, isakan lemahnya berubah jadi erangan pilu yang terendam. Begitu terus. Entah sampai kapan segalanya akan reda. Karena menghentikan tangis saat ini diluar kuasanya.
Beberapa ocehan khawatir sahabatnya akhir-akhir ini ternyata benar. Cinta itu bukan hal yang perlu pengorbanan.
Pada dasarnya, berkorban itu merelakan suatu hal. Sedang untuk cinta, bahkan perasaan nggak boleh jadi pihak yang terluka. Cinta itu netral. Ada. Tanpa perlu pengorbanan. Yang dibutuhin, hanya ketulusan.
Sialnya, Liora belum berhasil menghapus ekspektasi yang terlanjur memenuhi kepalanya. Sehingga kini ekspektasi itu berubah menjadi kecewa luar biasa. Karena semua cintanya sia-sia.
Entah Liora harus menangis lebih kencang lagi, atau justru bersyukur karena Tuhan menunjukkan ini semua sebelum Liora jatuh lebih dalam. Dua tahun belum cukup? Dia merasa itu benar. Melihat bagaimana pria itu datang dengan kondisi kacau, pakaian lusuh acak-acakan, raut wajah penuh tekanan, hingga helaan napas berat sebelum berkata,
"Let's break up,"
Cukup membuat Liora sadar jika... selama ini perjalanan mereka hanya permainan?
Gadis itu tertawa miris. Untuk dirinya sendiri lalu pada semesta yang berbahagia senja ini. Ya, si jingga yang menari cantik diatas tangisnya. Liora ingin mendekat. Melihat. Dan menghampiri si senja dengan senyum seperti biasanya yang terjadi. Namun dengan keadaan seperti ini, dia bahkan tidak yakin langit mau menemuinya atau tidak.
Jadi akhirnya, Liora menangis. Lagi, sampai semua sesak itu hilang dan dia berani melangkah pada sang senja. Entah membutuhkan waktu berapa menit, berapa jam, dan berapa hari. Atau mungkin, sampai Liora tidak akan menemui senja yang sama seperti hari-harinya kemarin.
Dalam hening dirinya, sebuah suara terdengar.
Suara digit-digit password apartemennya ditekan dengan rapi. Seperti hafal sempurna. Liora sempat menoleh, pada pintu yang perlahan terbuka.
Apa mungkin... dia kembali? Berubah pikiran?
Apa mungkin semesta mendengar keluhannya hingga mengirim seseorang datang?
Atau...
Liora menoleh, melihat sosok yang kini berdiri dua langkah didepan pintu. "Bukit Moko, ada senja cantik sore ini." Dia terlihat gagu, lalu memilih tidak melanjutkan kalimatnya. "Gue tau ini bukan saat yang tepat, tapi... "
"Gue suka senja." Liora menyahut. Nada suaranya terdengar tegar seolah tidak terjadi apa-apa. Terlepas dari wajah sembabnya, gadis itu tidak terlalu peduli. "Apalagi ada lo."
******
Dan disinilah Riki terduduk sekarang. Disamping gadis yang sejak tadi memendam wajah di lututnya. Memeluk dirinya sendiri dalam isakan kecil. Riki kira senja adalah obat manjur, ternyata tidak semudah itu. Sesekali Liora akan mendongak pada langit, menghela napas panjang lalu berakhir menunduk lagi dalam pilu dan... sakit.
Rasanya pasti sakit sekali. Menangis sendirian seperti itu.
Riki belum berkata lagi sejak terakhir kali di mobil hingga kini mereka terduduk di hamparan rerumputan luas bukit Moko. Dengan langit berpercik jingga dan hembusan angin tipis dari sisi Utara, tapi tidak cocok untuk mempresentasikan situasi mereka yang dirundung canggung dan diam.
Terlalu sembrono jika tiba-tiba mengulurkan tangannya untuk menenangkan tubuh lemah itu, jadi pilihannya hanya diam. Mendengar isakan tertahan gadis itu.
Walau Riki tidak tega.
"Maaf, Rik." Liora bersuara, menghapus aliran air matanya tergesa. Senyuman itu mulai terangkat, berusaha menutupi rasa sedihnya. "Harusnya gue nggak perlu nangis ya?"
Liora tertawa miris.
Sedang Riki terdiam. Menatap samping wajah rapuh dengan kenyataan yang tengah menyakitinya. Suaranya masih bergetar, tapi raut bahagia dipaksakan di wajah cantiknya.
"Kenapa lo malah senyum gitu?"
Gadis itu mengangkat wajah, berlabuh tatapan pada pria disampingnya.
"Itu lebih baik daripada nangis kan?"
"Kalo lo mau nangis, nangis aja kali, Li. Nggak usah sok kuat gitu." Kata Riki enteng. "Lo bodoh ya?"
Liora menggeleng. Mungkin air matanya sudah terkuras habis sekarang. Hingga tanggapannya hanya sekedar kekehan kecil.
Kekehan... miris?
"Lo masih waras kan?" suara Riki lembut, tapi dahinya berkerut tak biasa. Melihat Liora yang sok tegar itu. "Konon, depresi yang tersembunyi dalam bentuk senyuman, itu yang paling mengerikan. Tuhan udah adil banget nyiptain kondisi. Kalau senang ketawa, kalau sedih nangis. Jangan dibolak-balik."
Gadis itu mengangguk, akhirnya.
Riki bisa saja mengubungi sahabat-sahabat Liora untuk menemani saat ini. Namun yang dia lihat sekarang, Liora sedang tidak butuh didengar, Liora sedang tidak butuh suasana ramai, Liora sedang tidak butuh tempat mengadu, Liora sedang tidak butuh dukungan.
Gadis itu hanya butuh waktu untuk menikmati sakitnya sendiri.
Bahkan kehadiran Riki juga tidak diperlukan. Tugasnya hanya memastikan gadis itu baik-baik saja. Tapi ajakan untuk melihat senja tidak tertolak, cukup menjawab jika Liora menghargai kehadiran Riki.
Walau dia hanya diam. Sesekali membuka topik random atau memilih bungkam agar Liora lega dalam hening. Mungkin satu jam, dua jam, hingga senja pamit perlahan, atau menunggu malam datang mendekap sedihnya.
"Katanya... senja tau bagaimana cara berpamitan dengan indah." Bisik Liora sambil menatap langit. "Tapi bukannya yang namanya perpisahan itu menyakitkan, ya? Seindah apapun caranya pamit, akhirnya tetep sakit juga."
"Hm."
"Senja ngajak kita sadar kalau hidup ini rasanya campur aduk. Sama kayak langit yang warnanya dicoret jingga, cipratan bercak senja menyesap diantara cerah dirgantara yang membuat si langit berdarah tapi indah katanya. Senja nggak sama setiap harinya. Mereka datang. Dengan kondisi beda-beda. Kadang radar emas mendominasi seakan gembira, kadang si jingga pucat bercorak di kanvas yang nampak sendu bak terluka. Kadang senja juga nggak ada, sebab hujan ambil alihnya."
Manik kembar milik Riki terarah menatap netra si gadis, yang bercerita dalam gusarnya sendiri. Andai semesta bisa bersaksi secara lisan, mereka akan memuji bagaimana ketegaran hati Liora. Senyumnya, caranya bicara, seolah menutupi rasa sakit yang beberapa saat yang lalu sempat mengalihkan dunianya.
Liora dan si senja. Sakit dan bahagianya jarang yang peduli.
"Gue lagi nggak baik-baik aja, Rik." Dia melanjutkan, kini tirta lembut itu kembali hadir. Mengepung lukanya lagi. "Tapi gue juga nggak tau harus ngomong apa atau berbuat apa. Gue udah nggak ngerti lagi sifat orang-orang. Gue... ngerasa kayak ditipu."
Liora menekan sudut-sudut matanya. Dia tidak ingin kalah lagi.
"Gue udah nggak bisa percaya apapun. Hal yang pernah gue lihat. Yang pernah gue percayai." Liora menggeleng, hatinya sakit sekali. Mengulas bayangan masa lalu, sama saja menemui luka-luka lama ternyata. Luka yang belum sembuh. Atau lebih tepatnya, luka yang sulit sembuh.
Dan pada akhirnya, luka itu seperti menjadi baru. Menimbulkan perih yang teramat.
"Gue bisa jadi tempat sandaran lo."
"Beban rasa gue lebih berat, Rik."
"Dan peraduan gue lebih kuat dari beban lo."
"Gue takut."
"Kenapa?"
"Takut jatuh lebih dari ini." Liora menatap manik Riki lekat, lalu tersenyum tipis. "Semesta yang Lo buat ngalahin semesta jingga gue yang sebenernya."
Riki tertawa kecil, menatap langit senja yang mulai pudar.
"Tapi ada satu yang paling indah, Li. Semesta saat jingga itu cantik..." Dia menoleh, bersitatap dengan manik kembar Liora. "...kayak lo."
*****
Brilian Anastasya, Juni 2023