Masukan nama pengguna
*****
"Seberapa besar kau membencinya, tetap saja Aito anakmu, Ji."
Mirae mengusap helai rambut Aito yang sudah terlelap diatas ranjang besar, sipit sembabnya sudah tidak mengeluarkan tirta, namun melihat wajah putranya yang tertidur pulas malah membuatnya ingin menangis lagi dan lagi. Wajah tenang yang tak tahu bagaimana dunia berbicara tentangnya, yang tidak mendengar bisikan luka bahkan dari Ayahnya sendiri.
Aito si malang... si pemilik senyum manis yang tak tahu apa-apa.
Sementara Jisang berdiri dengan satu tangan berada di saku. Matanya menatap hamparan rumput diluar jendela. Ekspresinya masih seperti biasa. Datar dan acuh setiap mendengar ucapan Mirae mengenai putranya.
"Aito hanya ingin kau mengakuinya sebagai anak dan dia akan memanggilmu Ayah. Hanya itu. Apakah itu terlalu sulit?" Mirae melanjutkan. "Selama kau masih menginginkanku disini, maka aku juga berhak menuntut hal yang seharusnya ku dapatkan darimu-termasuk kasih sayangmu untuk Aito."
Pria berkemeja hitam yang lengannya dilipat sampai siku itu menunduk dalam. Ada gelengan kecil yang dapat ditangkap Mirae dari tempatnya meski jarak mereka agak berjauhan. Jisang masih belum menoleh, tapi Mirae tahu jika pria itu mulai lunak dan... agak merasa bersalah.
"Aku tidak ingin memiliki anak meski itu dari orang yang aku cintai." Katanya tegas, seolah menciptakan dinding yang tak bisa dirobohkan dengan mudah. "Aku tidak ingin terikat dengan siapapun termasuk anak, ... apalagi cacat."
Satu bulir air mata Mirae meluncur. Hatinya terasa remuk. Dia menatap punggung lebar itu dengan putus asa. Bagaimana bisa Jisang mengatakan itu disaat Aito bahkan sudah benar-benar ada? Tidak mengakuinya saja cukup menyakitkan, bagaimana bisa pria brengsek itu membuat luka yang lebih dalam?
"Kau yang membuatnya cacat." Mirae menyela. "Jika saja waktu itu kau tidak menyuruh anak buahmu mencekokiku obat keras, Aito pasti terlahir sempurna."
Rahang Jisang mengatup, kepalan tangannya menguat menahan emosi.
"Ini bahkan bukan film ataupun novel mafia." Mirae berdecih, senyum miris terukir di sudut bibirnya. "Tapi kau dengan tega melakukan hal sekeji itu—"
"Dia cacat karena kau yang memaksakan diri untuk melahirkannya!!" Pria itu menyentak marah. "Sampai kapanpun aku tidak akan pernah memberikan margaku padanya."
"Hanya akui dia anakmu, Ji."
"Aku bilang tidak bisa!" Jisang membentak Mirae yang langsung menutup telinga putranya dengan telapak tangan. Penasaran terluka itu cukup dia yang mendengar, Aito tidak pantas mendapatkannya. "Aku membencinya."
Mirae tersenyum miris. "Apakah kau masih mencintaiku?"
Jisang terdiam. Dia tidak bisa menjawab pertanyaan yang satu ini. Hanya dengusan kasar setelahnya.
"Bunuh saja aku dan Aito." Kata Mirae. "Kami tidak perlu melihatmu lagi di dunia ini, itu lebih baik. Dan kau juga tidak perlu repot-repot memendam rasa bencimu itu."
"Kenapa—" Jisang tercekat. "—kenapa kau selalu mengancamku dengan kematian? Apa tidak cukup segala yang ku berikan selama ini?!"
"Karena kau tidak punya hati!" Mirae bangkit, mendekati pemilik wajah tegas yang kini menatapnya penuh amarah. "Semua orang pasti juga akan memilih itu daripada hidup dibawah tekanan tangan kasar sepertimu. Kenapa? Kau masih belum bisa menemukan jawaban sendiri?"
Telunjuk Mirae menekan dada Jisang dengan perasaan marah dan benci. "Sudah tidak ada cinta yang tersisa sejak apa yang kau perbuat pada janin Aito saat itu. Disini... hanya dipenuhi kebencian, Park Jisang!"
Keduanya sempat bersitatap dalam waktu yang lama. Melewati beberapa detik seolah menyusun kalimat-kalimat yang mulai habis diantara keduanya. Masing-masing netra mereka mulai berair dengan perasaan yang berkebalikan. Jisang sangat takut kehilangan Mirae, sedang Mirae sangat takut jika pria itu tidak akan pernah menerima Aito.
Kehidupan yang sangat rumit, mereka yang menciptakan sendiri. Ada jalan yang mudah dilalui, tapi jika hati tidak memilih, apalah arti semua itu.
Tangis Mirae akhirnya runtuh saat pria itu berlalu dari hadapannya tanpa kata lagi. Pun tanpa menoleh putranya. Mirae mendekati sang putra yang masih terlelap, membisikkan kata maaf yang tak pernah dia ungkapkan selama ini.
*****
Pernah sekali, Aito, si bocah berusia tiga tahun itu mendengar anak seusianya memanggil seorang pria dengan sebutan 'Ayah'. Dia penasaran, tapi rasa takutnya lebih besar dan berakhir menelan rasa penasaran itu sendiri. Terlahir cacat tanpa tangan kanan ternyata bukan keistimewaan. Bohong jika selama ini bundanya selalu berkata jika Aito anak istimewa. Faktanya.. dia tidak bisa mengendarai sepeda dengan dua tangan seperti anak lain kan?
Aito selalu ingin seperti mereka diluar sana. Bermain dengan kedua orang tua saat sore, lalu bergandengan tangan sambil mencari jajanan malam. Aito lebih suka melihat mereka yang menggendong anaknya dengan pakaian lusuh dari kebun, daripada melihat sang Ayah yang selalu berpakaian suit hitam mahal, tapi tak pernah menggendongnya sama sekali.
Hah, Ayah... seingat bocah itu, dia belum pernah berkata langsung pada Jisang. Miris sekali. Jangankan mendekat, Jisang bahkan tak pernah sudi melihatnya.
Aito menutup buku catatan hariannya setelah menulis beberapa kalimat. Bocah itu menyandarkan punggungnya ke dudukan kursi taman sambil melihat kerumunan anak-anak bermain bola di depan sana.
Perkataan orang tuanya semalam.. dia mendengar semuanya. Hati kecilnya ternyata cukup mengerti apa yang terjadi.
Benci.
Satu kata sederhana, tapi Aito rasa, dia sudah belajar kata itu sejak lama. Sejak ada teman yang mengatainya cacat, Aito belajar rasa dari sana. Tapi dia tidak pernah tahu, jika rasa itu ternyata sesakit ini.
Dibenci ternyata sesakit ini.
"Ayah... " gumamnya, dengan cepat jemari Aito menyeka sudut mata. Sipitnya melebar dengan dahi berkerut untuk memastikan siapa pria yang datang dengan dua cup es krim itu?
Ayah? Benarkah Ayah datang?
Postur tinggi berkemeja putih itu terjadi bukan Ayah. Hah, kenapa Aito sangat berharap? Padahal dia sudah tahu jika sang Ayah tidak mungkin datang kepadanya, kan?
"Aito ternyata disini." Pria yang berstatus sekretaris sang Ayah itu ikut duduk disampingnya. "Lihatlah, Ayah mengirimkan es krim untuk Aito."
Aito sempat tertegun, air matanya tiba-tiba merembes. Dia mendongak, menatap cup es krim yang mulai agak mencair itu. Dia berharap ini bukan mimpi atau ilusi dari imajinasinya. Walau bukan Ayah secara langsung, tapi ini pertama kalinya dia mendapatkan sesuatu dari Ayah. Bukankah berarti Ayah datang padanya saat ini, sungguh Aito sangat senang. Bibir Aito bergetar, lalu bertanya,
"Ini sungguh dari Ayah?"
Sekretaris itu mengangguk. "Tentu saja ini dari Ayah."
Pria itu menyodorkan satu cup es krim berperisa strawberry, lengkap dengan potongan buah kecil di atasnya.
"Walau bukan Ayah langsung yang memberikannya, Aito tak apa. Karena ini dari Ayah, maka Aito akan memakannya dengan senang hati."
Aito mengangguk kegirangan. Tanpa ragu, dia menerima es krim itu dan memakannya dengan senang sampai air matanya mengalir karena bahagia, dan... menahan sakit.
Alergi strawberry itu coba Aito abaikan. Dia tidak ingin momen bahagia seperti ini terhalang lagi. Jadi, bocah itu hanya mencoba meredam sakit melalui bahagianya saat ini. Jika harapannya adalah memanggil Ayah seperti sekarang, maka matipun dia tidak akan menyesal.
Es krim ini dari Ayah.. bagaimana bisa dia menolaknya? Aito tidak ingin menyalahkan sang Ayah yang tidak tahu alergi anaknya, mereka tidak pernah sedekat ini sebelumnya, jadi... es krim ini bukankah suatu kemajuan yang pesat?
Senyum Aito perlahan terangkat bersama tangis yang mulai deras. Keringatnya bercucuran dalam sakit yang mulai menjalar ke seluruh tubuh.
Semenit kemudian, dia tumbang.
Panggilan pilu sang sekretaris masih terdengar di telinganya. Aito menoleh, ternyata ada sosok pria yang juga berlari ke arahnya. Wajah familiar yang sangat Aito kenal.
Pria itu menjerit pilu. Dan raut khawatirnya menjadi objek terakhir sebagai kenangan terindah sebelum bocah itu menutup mata selamanya..
Ayah pasti berbohong kan jika berkata membenciku?
Walau Ayah bukan orang pertama yang mengajariku bagaimana caranya berjalan di bumi ini, walau Ayah bukan orang yang selalu ada untuk membacakanku dongeng malam, walau Ayah bukan orang yang pertama kali memanggil namaku sejak lahir,
Tapi hari ini aku sangat bahagia.. tahukah kenapa? Karena Ayah akhirnya memelukku. Ayah meneteskan air mata untukku.
Ayah...
Aku pergi...
Semoga dengan ini, Ayah tidak merasa terbebani lagi.
Maaf karena Aito membuat Ayah marah selama ini. Membuat bunda menangis lama dan selalu sedih..
Ayah jangan bertengkar dengan bunda lagi, hm... nanti Aito sedih disini...
Jisang masih tertunduk disamping pusaran sang putra. Bahu kokoh itu ternyata lebih rapuh dari Mirae. Dia menangis dalam penyesalan yang amat dalam. Cukup dengan kebencian, kenapa dia harus membunuh putranya dengan hal sepele?
Alergi strawberry. Bagaimana bisa seorang Ayah tidak mengerti keadaan anaknya sendiri?
"Maaf... Aito... maafkan Ayah." Bisiknya ditengah isakan.
Perlahan, kepalan tangan Mirae merenggang saat melihat pengakuan rapuh Jisang. Dia meraih tubuh pria itu ke pelukannya. Memberikan usapan lembut dan terus berkata lirih jika itu juga bukan sepenuhnya salah Jisang.
Tuhan telah sangat baik mengatur kehidupan manusia. Tuhan ingin, Jisang merasakan bagaimana luka dengan mengambil Aito atas tindakannya. Tuhan ingin melihat bagaimana Jisang memperbaiki hati, lalu menyadari maksud dari kehidupan yang sesungguhnya.
Aito. Si kehidupan mungil, senang dan sedihnya jarang yang peduli.
*****
Brilian Anastasya, Agustus 2023