Cerpen
Disukai
3
Dilihat
10,760
World From Your Memories
Romantis

*****

"Aku kesepian, Ji."

"Siapa?"

"Aku."

"Nggak, kamu cuma lagi nikmatin waktu sama diri kamu sendiri."

"Tanpa kamu. Kalau gitu sama aja."

"Dalam sepi, kamu bisa kok nemuin aku."

"Aku beneran nggak ngerti."

"Kamu lupa gimana caranya belajar dengan sepi. Bertanya padanya, lalu melihat hal yang sesungguhnya. Pada dasarnya.. kamu cuma takut. Kamu takut berbicara dengan dirimu sendiri. Menemukan kamu dalam sepi. Setelah itu baru mencari aku sebagai kamu yang lain."

Bulu mata Syea mengerjap kala bisikan-bisikan dari suara tak asing itu membangunkannya dari lelap. Dia masih setia memeluk bantal sofa saat tertidur disana. Lengkap dengan pakaian yang dia kenakan seharian. Blus maroon sudah begitu lusuh, dan roknya mungkin memiliki puluhan lipatan kecil akibat tertindih.

Kepalanya masih bersandar di lengan sofa meski mata Syea sudah sepenuhnya terbuka. Ruangan itu dibiarkan gelap, hanya ada sorot dari layar televisi yang menyala—tidak ia simak sama sekali.

Gerimis diluar sana seolah simfoni yang mengiring Syea dalam sepi. Suara gemericik air yang monoton itu entah mengapa sangat Syea kagumi. Ada beberapa kenangan disana, kadang suka, ada juga duka. Seperti luka yang terukir bersama sosok yang kini hanya bisa dia lihat dalam album foto dalam lemarinya. Tertumpuk belasan album lain atau buku-buku favoritnya.

Dengan sengaja.

Syea bersyukur Tuhan menciptakan sifat lupa. Karena dengan begitu, dia bisa terbiasa lupa akan hal yang kadang sulit hilang dalam pikirannya. Mencintai, mengagumi, menyayangi itu mudah. Sangat. Bahkan seseorang dapat menemukan itu hanya dari sorot mata.

Tapi melupakan... kenapa rasanya sesulit ini?

Sepanjang waktu sejak Syea sudah sepenuhnya terbangun. Puluhan detik berlalu dalam diam. Dia tidak berniat melakukan apa-apa. Hanya diam dan menghela napas berkali-kali, sesekali juga akan melihat ke arah ponselnya.

Beberapa notifikasi tertera dari satu kontak nomor yang sama.

Tapi itupun tak seketika membangkitkan semangat Syea. Dia harus berjuang lagi. Berjuang melupakan untuk memahami hatinya sendiri. Lalu menyingkir dari masa lalu yang tak bisa kembali lagi.

Terdengar suara digit-digit sandi apartemen itu ditekan dengan rapi. Orang dibalik sana pasti hapal betul susunannya. Syea terkesiap. Dia agak terlonjak, menoleh, dan buru-buru bangkit untuk merapikan diri. Namun sosok pria dengan jas tersampir di lengan kanannya itu berhasil mendahului langkah tungkai Syea.

"Aku kira kamu udah tidur." Ujar Haksa, melirik jam tangannya yang menunjukkan pukul setengah dua belas malam.

"Udah. Sebentar tadi." Jawab Syea. Dia menggandeng tangan pria itu agar ikut duduk di sofa yang sama. "Tapi tiba-tiba bangun lagi. Kenapa, ya?"

"Nungguin aku?"

"Nggak ih."

Ada kekeh kecil yang keluar dari bibir Haksa. Dia melihat Syea menyandarkan punggungnya ke sofa. Dengan jemari yang perlahan melepaskan tautan mereka. Pria itu melihat bagaimana gerak lambat tangan Syea seolah ragu. Tapi dia sama sekali tidak meraihnya lagi.

Karena keraguan itu, Haksa merasa harus menepi. Dia harus belajar memahami perasaannya sendiri juga perasaan yang sebenarnya dari Syea. Dia harus mengerti, apa maksud cinta yang sesungguhnya. Apakah itu sebuah tempat nyaman, atau hanya balas budi, atau tempat pelarian.

Lama Haksa terdiam sembari memandangi jemari itu.

Dia tersenyum. Lega. Sebab si permata darinya masih bertahta cantik di jemari Syea.

"Eh, ini kenapa?" dahi Haksa berkerut saat mendapati sebuah plester kecil di jemari Syea. Rautnya tiba-tiba cemas. "Siapa yang berani nyakitin kamu? Kena pisau? Mana pisau itu."

Syea mengerjap. Dia menarik kembali lengan Haksa yang akan beranjak dari duduknya. "Emang kenapa cari pisau?"

Pria itu menghela napas kasar. "Mau ku hancurin. Salahnya dia berani nyakitin kamu."

Syea terkekeh. "Lebay banget, ada ya, yang kayak gitu."

"Ada, lah." Haksa berdecak. "Dilan. Dan sekarang, nih aku."

Syea tersenyum. Sesaat, jemarinya menyelip diantara sela jemari pria itu. Bergerak memainkan buku-buku jemarinya lalu berhenti pada sebuah cincin disana.

"Mata kamu udah kayak pingpong gitu. Beneran nggak ngantuk?"

Syea menggeleng. Sambil terkekeh dia memiringkan kepalanya ke pundak Haksa. "Nggak. Ada kamu, aku bahkan bisa begadang sekarang."

Sesaat, Haksa bisa merasakan pergerakan kepala wanita itu di pundaknya. Dia menguap disana. Jika ditanya hal apa yang bisa membuat nyaman, tentu saja Syea akan menjawab bahu Haksa. Bahu seluas samudera yang siap menjadi tempat bersandarnya, mendengar segala keluh kesah Syea, dan pelindung kala wanita itu hampir terjatuh dalam hampa.

Haksa datang saat Syea terpuruk setelah kehilangan Aji satu tahun yang lalu. Dan saat ini pun, posisi pria itu masih sama... sebagai sandarannya.

Lalu, apakah berarti cinta itu tempat pelarian?

Syea mengangkat kepalanya. Dan saat Haksa menoleh, dia sudah menatapnya. "Aku merasa... bersalah sama Aji. Kalau aku pergi.."

"Segalanya menjadi tanggung jawab aku." Ujar Haksa.

"Apa yang bakal kamu bilang ke mendiang Aji disana?" tanya Syea, wajahnya terlihat sedikit gusar. Tapi juga menyimpan sedikit gurau.

Haksa menghembuskan napas kecil. Lalu mengalihkan tatapan sesaat untuk berpikir. "Ng... karena aku nggak bisa bahagiain kamu kayak yang dia mau? Iya, kan?"

Jika Syea pergi, itu berarti dia tidak bahagia hidup bersama Haksa. Karena untuk alasan apapun, jika dia bahagia, pastilah Syea lebih memilih bersama pria itu.

Inilah alasan kenapa Haksa sangat takut waktu seperti ini datang. Dimana saat dia benar-benar melawan ego. Bukankah selama ini Haksa sudah sangat sabar? Dia tidak melarang Syea untuk menyimpan memori dan barang-barang milik Aji. Dia tidak pernah mengekang Syea dengan pertanyaan yang bisa membuat wanita itu tertekan. Dia juga tidak pernah tersinggung saat Syea menyangkutkan Aji di setiap percakapan mereka.

Haksa selalu berpura-pura baik-baik saja. Berpura-pura tidak tahu perasaan wanita itu yang sebenarnya. Karena terkadang, dia butuh.. sebuah sandiwara. Haksa mendapatkan perhatian dari Syea, rasa nyaman, dan perlakuan-perlakuan kecil yang diinginkannya. Jikalau itu hanya sandiwara, siapa yang peduli?

Syea menatap Haksa lama. Menghabiskan beberapa detik hanya untuk mengitarkan netranya ke wajah pria itu. Kemudian Syea mengerjap, dan menyatakan satu hal. "Aku bahagia. Sama kamu."

Lalu... kenapa pergi jika bahagia?

Haksa bertanya tanpa suara.

Pria itu mengangguk dengan senyum tipis. Dia meraih tangan Syea. Menggenggamnya. "Ada hal lain yang pingin kamu tanyain?"

Syea menghela napas. Lalu menunduk. Perlahan dia melepaskan genggaman Haksa. "Ada sih, tapi kalau aku tanya sekarang, kamu pasti bakal lama jawabnya."

"Serius banget, ya?"

Wanita itu menggangguk. "Hm, kamu mandi dulu, yah. Nanti kita cerita sambil minum teh. Kangen nggak sih, ngehabisin malem sambil ngeteh? Terus cerita horor gitu."

Haksa terkekeh kecil. "Nanti kamu nggak berani ke kamar mandi lagi." ejeknya.

"Lha, kan, ada kamu?" wanita itu menjawab dengan jenaka. "Ke mars pun, aku gak bakal takut. Asalkan itu... sama kamu."

Ada hening sejenak, sebelum akhirnya samar-samar senyum Haksa terangkat. Ditatapnya langkah-langkah menyenangkan dari kaki Syea, yang dapat dipastikan jika wanita itu akan tebar senyuman begitu sampai ke langkah lima. Dia berbalik badan sejenak, tersenyum, lalu melangkah lagi.

Berulang kali.

Lelahnya hari ini terasa hilang seketika. Jika beberapa hari ini, Haksa lebih sering mendapati Syea sudah terlelap lebih dulu saat menunggunya pulang. Atau tiba-tiba Syea terbangun, merasakan pria itu memeluknya dengan raut lelah namun tetap terasa teduh. Tapi malam ini Syea seakan berusaha menahan kantuk. Dia sengaja tidak ingin tidur dulu untuk berbicara panjang dengan pria itu. Melewati malam bersama lullaby cerita mereka seperti yang sering terjadi satu tahun yang lalu.

Walau saat itu masih ada Aji. Dan tentunya genggaman Syea bukan milik Haksa.

Entah waktu yang memaksa Syea untuk sadar, atau bisikan-bisikan Aji yang selalu berkata untuk melupakan sosok pria itu, akhir-akhir ini, Syea merasa selalu merindukan Haksa. Cara bicaranya, perhatian, tatapan, pelukannya, sapaannya, segalanya.

Mungkin ini saat bagi Syea untuk benar-benar melupakan Aji, kan?

Dari tadi Syea bolak-balik ke pantry untuk menyiapkan teh, melepas maskernya, atau sekedar membaca ulang pesan-pesan sederhana yang dikirimkan Haksa. Ah, Syea. Kenapa dia baru belajar perasaan pria itu sekarang?

"Oh, udah?" tanyanya saat melihat Haksa sudah duduk di bangku meja bar.

Pria itu mengangguk, lalu menyesap teh yang masih agak mengepulkan asap.

"Aku sebenernya... pingin bilang ini udah lama." Mulai Syea sambil memainkan sendok di cangkirnya.

Sorot mata lelah milik Haksa langsung tertuju pada raut gusar disana. Membawanya ikut gusar. Tapi Haksa memang sudah menyiapkan mental. Selama ini konsep dari sikap biasanya agar Haksa tidak terlalu sakit akan ungkapan Syea.

Pria itu bersikap seolah tidak tahu apa-apa.

Syea mengangkat wajah. Ditatapnya manik Haksa lalu berujar dengan lirih, "Aku pingin hidup sama kamu..."

Dan...

"... tanpa Aji."

Haksa tertegun. Susah payah liur ia telan untuk mencerna kalimat sederhana yang keluar dari bibir Syea. Tiba-tiba dia merasa menang tapi juga kalah. Dia menang atas egonya untuk memiliki Syea seutuhnya. Tapi dia kalah dari janji pada Aji, jika dia akan membahagiakan Syea untuk Aji.

"Aji selalu datang ke mimpiku." Syea melanjutkan. "Dia berkata jika aku nggak boleh kesepian lagi. Aku ternyata.. nggak menemukan diriku dalam sepi itu. Aku hampa, saat Aji nggak ada."

Wanita itu meraih satu tangan Haksa. Mengusap punggung tangannya lembut dan berakhir memainkan cincin yang melingkar di jari manis pria itu, seperti hari-hari yang sudah berlalu diantara mereka.

Walau kini rasanya berbeda. Syea merasa sudah seutuhnya jatuh cinta pada Haksa.

"Tapi juga hampa, saat kamu jauh dari aku, Sa." Bisiknya lagi dengan suara lirih. "Dia bilang.. kalau aku harus bisa nemuin dia yang lain. Dan aku rasa... itu kamu."

"Syea..."

Wanita itu tersenyum. Sangat berbeda dari senyum biasanya. Jika biasanya Syea tersenyum untuk sekedar mengusir canggung. Kini.. Haksa dapat melihat, senyum itu penuh kelegaan dan bahagia.

Pun ketulusan yang belum pernah Haksa rasakan selama ini.

"Sekarang, aku boleh... singkirin semua kenangan tentang Aji? Kita bisa kenang dia—dalam arti mendoakan yang terbaik disana. Tapi di kehidupan ini... aku boleh? Minta... cuma ada aku... dan kamu?"

Mereka bersitatap lama. Berkata dalam mata yang sama-sama gusar namun diliputi kebahagiaan yang tak dapat diungkapkan.

Perlahan senyum di sudut bibir Haksa terangkat. Satu tangan yang terbebas dari genggaman itu terangkat untuk menakup wajah Syea. Menyeka air mata yang merembes dari sana.

"Iya." Haksa mengangguk. "Makasih karena kamu udah berjuang sejauh ini, Syea. Aji pasti bangga sama kamu."

Syea tersenyum.

Haksa tersenyum.

Aji disana pasti juga tersenyum.

Sisa waktu, mereka habiskan untuk merangkai lullaby bagi Aji.

Tentang indahnya kisah mereka.

*****

Brilian Anastasya, Agustus 2023

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi