Masukan nama pengguna
*****
Hujan lagi.
Anna hanya terdiam seraya memandangi bagaimana titik-titik air hujan perlahan menyatu menjadi formula lebih besar saat mereka saling bertubrukan. Seperti ilustrasi kimia saat bagan-bagan sel bergerak statis dalam arus pertumbuhannya. Cukup itu. Pandangannya tidak akan lebih jauh hingga menembus jendela kaca dan melihat bagaimana dunia metropolitan itu sibuk dengan penduduknya yang berlarian melindungi diri dari hujan. Bagi Anna, ada kalanya hujan sebagai pengantar bahagia. Tapi disisi lain juga mengundang hujan di hatinya.
Jarum infus masih menancap di punggung tangannya yang kini menekuk dalam sedekap, tapi Anna tidak sedikitpun merasa nyeri jika jarum itu menekan lebih dalam. Dia sudah tidak bisa merasakan sakit di tubuhnya sebab sekian banyak sakit di hatinya menyita ruang untuk rasa sakit itu. Sakit-sakit itu, entah dimana Anna akan menemukan obatnya.
Mental.
Itu penyakitnya.
Jangan pikir Anna gila! Hei, dia anak pintar dengan sederet prestasi yang berjajar di barisan kehidupannya sejak kecil. Lahir dari keluarga mapan yang cukup memenuhi pendidikan, kasih sayang, dan dukungan materil yang kuat, membuat Anna bergerak bebas dalam mewujudkan impiannya. Tapi justru itu yang diam-diam mengambil separuh kesadaran jiwanya. Anna tidak pernah tahu sejak kapan kesehatan mentalnya mulai terganggu. Yang dia tahu hanya, menjalani hidup seperti biasa.
Menjawab "ya" pada semua kemauan orang tua.
Anna bangga bisa melakukan itu, Anna juga tersenyum setelahnya. Tapi entah mengapa, hatinya menangis. Seakan ada rasa tak senang disana. Seperti itu bukan dunianya. Terkadang, kemauan Papa dan Mama bertolak belakang dari kepribadian Anna. Tapi kenapa Anna selalu berkata "ya"?
Sulit untuk menjelaskan bagaimana kondisi hati Anna saat harus profesional menghadapi hubungan sosial dimana dia tidak bisa menjauh darinya. Introvert, pendiam, penakut. Itulah Anna. Manusia tidak menggigit, mereka tidak menerkam seperti singa kelaparan. Tapi bagaimana mendefinisikan hati Anna yang selalu takut berhadapan dengan mereka?
Anna selalu ingin sendiri, hanya bersama tokoh fiksinya. Mengarang cerita cantik yang mana fakta tidak akan seakurat itu.
Tapi...
Lagi-lagi...
Anna berkata "ya" saat Papa, dengan raut bahagia di wajahnya begitu menyampaikan seutas keinginan lagi,
"Jadi guru di jenjang pendidikan dasar aja, Papa ada koneksi orang dalam disana. Jadi gak usah khawatir walau kuliahmu baru semester tiga, yang penting siapin aja berkas lamaran sama lembar nilai, prestasi. Nanti Papa ajukan ke Pak Haris."
Pria berkacamata itu dengan tenangnya meneguk kembali kopi di cangkirnya. Tuturan yang halus dan tidak terdengar mengintimidasi apalagi memaksa itu, malah membuat Anna takut. Takut jika dia tidak bisa mewujudkan ekspektasi sang Papa.
Konon, senyum yang hadir dalam rasa sakit itu lebih mengerikan. Dan itulah yang sedang dirasakan Anna, dia tersenyum walau hatinya menolak dalam jerit tak terdengar. Papa tidak tahu kenapa Anna sampai mengalami kram perut akibat stress, Papa tidak tahu jika Anna... tertekan. Sangat.
Yang Papa tahu, Anna pasti bisa.
"Sejak kecil kan Papa nggak pernah mendidik kamu buat jadi anak cemen. Anak penakut. Papa selalu tanamkan mindset kalau kamu harus jadi pemberani. Bisa ini, bisa itu, berani maju tanpa disuruh, dan yang paling penting... jangan minder."
Anna mengangguk kecil, dia masih setia menatap rintikan hujan tanpa menoleh pada sang Papa sama sekali.
"Kan keren jika nanti kamu ngajar di sekolah dasar besar itu. Itu unggulan lho, Na. Harusnya kamu bangga."
Anna mengangguk lagi, dia tersenyum tipis. "Ya."
Dan seperti itu akhirnya. Setiap malam pikiran Anna selalu penuh dengan bisikan-bisikan keraguan. Yang berbisik agar Anna tidak terus memaksakan diri menjadi penurut. Terkadang, ego itu boleh diungkapkan. Jika tidak mau, ya bilang tidak. Jangan malah menyesal di akhirnya. Harusnya Anna mengerti mana yang lebih baik baginya.
Bagi kesehatan mentalnya.
If she insisted, wouldn't that hurt herself?
Berkali-kali Anna memutar otak untuk menyusun kalimat penolakan itu, tapi pada akhirnya, dia ragu. Lagi. Pikiran Anna penuh dengan pertanyaan bagaimana. Bagaimana jika Papa tidak senang? Bagaimana jika Papa tetap mau itu? Bagaimana jika pilihan Anna untuk menekuni dunia literasi salah? Bagaimana jika langkah yang dia ambil tidak berbuah bagus di masa depan? Bagaimana?
Bagaimana-bagaimana yang selalu berputar di otaknya. Anna memendamnya sendiri tanpa mau bercerita pada orang lain jika dia lelah. Lelah pura-pura bisa. Lelah menangisi nasib hidup yang ia pilih sendiri. Hingga suara raungan tangis itu hanya malam yang mendengar dan detik panah jam yang melihat. Menjadi penurut ternyata tidak terlalu baik juga.
Menurut itu mudah, tapi alasan itu juga yang membuat kita tidak berani melawan.
Anna membuka mata. Menghapus jejak air yang menggenang disana lalu melepas jarum infus dengan sekali gerakan sampai beberapa tetes darah mengalir darinya. Tungkainya berjalan ragu menuruni anak tangga yang langsung tersambung ke ruang tengah. Dimana Papa dan Mama masih asik dengan masing-masing laptop mereka.
Gadis itu duduk di hadapan orang tuanya. Sisa-sisa isakannya berhasil mengalihkan atensi dua orang mulia disana.
"Anna mau ngomong, Ma, Pa. Ada waktu?"
"Oh, ya. Ngomong aja ada apa, sayang?" sahut Mama, begitu jemarinya terhenti dari tombol keyboard.
"Papa, Mama... seneng ya, kalau misalkan Anna jadi guru?"
Sang Papa mengangkat wajah. "Ya jelas dong. Bangga."
"Kalau misal Anna nggak jadi guru... gimana?"
"Lha mau jadi apa?" Papa menghela napas panjang. Kini manik dibalik kacamata itu menatap Anna serius. Ini, raut yang Anna takuti. Papa kecewa? "Guru aja udah. Lagipula udah ada peluang masuk di sekolah besar, lho."
Anna terdiam sesaat. Mengulum bibir bawahnya sembari merasakan bagaimana liur itu terasa sulit ditelan. Gugup dan panik sekali.
"Tapi Anna lebih suka nulis—"
"Kan nulis bisa diimbangi, Na. Pagi ngajar nanti malemnya nulis. Gitu. Toh tulisanmu udah ada hasilnya?"
"Pa, nulis itu hobby Anna. Tujuan utamanya bukan buat cari penghasilan."
"Ya tetep aja harus ada imbalan buat pikiran kamu, kan?"
Pupil Anna mulai berkaca-kaca. Dia tidak menyangka seperti ini rasanya mengutarakan ego. Kenapa sulit sekali? Dia merasa dipojokkan. Haruskah Anna berkata gamblang jika dia menolak tawaran guru itu.
"Besok tak mintain surat keterangan dari kampusmu buat ngelamar guru itu." Papa melanjutkan. "Dua Minggu lagi masuk tahun ajaran baru 'kan? Masih banyak waktumu buat belajar, Na."
"Biar Anna pikir dulu, Pa."
Gadis itu langsung bangkit dan melangkah ke kamarnya lagi. Meringkuk ditengah kasur dan bersembunyi dibalik selimut. Bersembunyi dari tangisnya, malunya, dan fakta yang dihadapinya.
Ternyata dia tidak sepintar itu untuk membantah, faktanya dia kalah kan?
Otak Anna mulai berpikir lagi.
Bagaimana melawan ego.
Dalam fakta yang tak bisa di nego.
*****
Brilian Anastasya, Juni 2023