Masukan nama pengguna
*****
Pernahkah Liora berkata jika Aksa terlalu sempurna?
Dia memang bukan tipikal orang yang akan mengungkapkan rasa melalui berbait-bait syair puisi. Bukan pula menuangkan dalam lagu seperti yang dilakukan untuk Starla. Bukan pula novelis yang menulis kisahnya sendiri sebagai karya fiksi yang lebih dramatis dan sempurna. Karena jika dia disuruh menulis dalam lembaran kosong, bahkan samudera tinta pun tak cukup untuk mengungkapkan segalanya.
Tapi, tidak. Liora tak pernah seheboh itu.
Dia hanya menyalurkan lewat tatapan. Mata yang bergerak turun perlahan pada suatu yang disebut rasa. Lalu, diam-diam melebur itu dalam sunyi dan hanya dia yang tahu sendiri.
Silence is everything for her, yes for that.. expressing the feeling.
Tak semua yang diungkapkan itu berujung indah seperti dalam scenario, tapi terkadang diam malah menjadi jawaban yang mutlak. Memberi celah yang luas bagi hati mengungkapkan yang sesungguhnya.
Karena orang... selalu beda menerjemahkan. Perhatian seringkali menyimpan harap, sedang maksud hati seringkali tak dianggap.
Bagaimana jika kamu anggap cinta sebagai canda? Bagaimana jika aku mengira itu sebuah ketertarikan, namun nyatanya hanya perhatian yang membuatku nyaman? Bagaimana jika kamu mengajakku tenggelam dalam kebersamaan, tapi rasa itu hanya berakhir menjadi angan-angan?
Aksa...
Bagi Liora, dia hanya berusaha menyelami hati itu. Dia tidak cukup mahir untuk mengungkapkannya, itulah sebabnya Liora memilih mencintai dalam diam. Di hanya resah... takut... jika Aksa pergi dari sisinya saat pria itu tahu segala rasa Liora. Atau menjauh begitu kenyamanan hilang diantara mereka.
Liora akan menjadi pendengar terbaik bagi Aksa. Dia betah menunggu pria itu bercerita sampai berjam-jam atau sekedar menatapi wajah teduh miliknya. Liora akan menjadi sandaran setiap kali Aksa membutuhkannya. Memberikan kenyamanan melalui sepatah dua patah kata penyemangat yang menurutnya tak berarti apa-apa. Liora akan menjadi mata yang indah bagi dunia Aksa, yang menyampaikan jika di dunia ini tak hanya sekedar apa yang dia tangkap melalui mata, tapi ber triliun ciptaan Tuhan adalah dominan realita.
Terlepas dari itu, mungkin semua orang tahu jika love league seorang Aksa itu.. langsung sat set sat set. Jika Liora diam, maka pria itu yang paling blak-blakan menunjukkan perhatian.
"Tuh kan, dibilangin nggak usah mau dijadiin panitia kalau akhirnya kamu loyo begini." Gumam Aksa entah yang ke berapa kali. Dia meletakkan sepiring nasi goreng plus telur ceplok hasil karyanya yang ke tujuh. Ya, enam diantaranya tidak berbentuk. Beberapa ada yang gosong, pecah sebelum masuk penggorengan, cangkang telurnya ikut kegoreng, dan yang ini, dia lupa memberi garam.
Rasanya jadi hambar.
Pria itu bersedekap diatas meja, dia menunggu Liora berkomentar pada masakannya. "Enak nggak? Kalau nggak suka nggak usah dimakan. Kita pesen makanan aja gimana?"
"Nggak kok, aku sering makan telur rebus. Rasanya sama-sama hambar. Udah biasa." Jawab Liora, meski lidahnya terasa pahit efek tak enak badan, tapi dia mungkin bisa menghabiskan satu piring nasi itu.
Sedangkan Aksa hanya terdiam. Perlahan menyandarkan punggungnya. Dia menatap wajah pucat Liora.
Lama. Hening beberapa saat.
"Li... "
"Hm?"
"Aku tadi... dateng sekitar jam empat, kamunya ternyata masih istirahat. Jadi, aku nungguin di ruang tengah pas Mama kamu kebetulan bilang mau pergi."
"Oh, ya, nggak papa."
Aksa mengangguk. "Okey. Tadi paper bag kamu berantakan disana. Ada beberapa perkakas buat festival, aku khawatir itu barang penting jadi langsung ku rapiin aja. Nggak bilang dulu."
Liora mendongak, gerakan mengunyah melambat saat menatap mata Aksa. Dia teringat satu hal.
Jangan bilang...
"Terus, aku lihat laptop kamu masih nyala. Ada beberapa tulisan yang nggak sengaja kebaca... sorry ya."
Jadi...
"Sadis banget sih ceritanya, aku nggak bisa bayangin gimana perasaan tokoh ceweknya itu."
Liora mengerjap. Hampir tersedak sebenarnya. Aksa tidak sebodoh itu, dia pasti mengerti maksud tulisan Liora. Apalagi cerita itu plek ketiplek dengan realita kehidupannya.
Hidden love.. Ya Tuhan, semoga Aksa tidak menyadari kalau maksud cerita itu dia
"Ohh... " gadis itu manggut-manggut. Berusaha tenang dan mengalihkan. "... itu cuma tulisan iseng. Nggak bakal aku lanjutin kayaknya."
"Lha kenapa?" sahut Aksa. "Bagus kok. Aku malah punya saran alur buat kamu."
Liora meletakkan sendoknya, dia memilih menyudahi makan sembari menunggu ucapan Aksa yang mungkin bisa membuatnya menyemburkan makanan dari mulut jika dia terkejut.
"Makasih ya."
Liora meringis. "Kok makasih?"
"Kamu masih bisa pertahanin kemauan kamu. Nyalurin hobi nulis ditengah kesibukan kamu." Aksa tersenyum, tangannya terangkat untuk menyapu helai poni Liora. Membuat sang empu reflek menjatuhkan pandangan. "Kamu tau nggak, aku tuh.. liat kamu yang semangat kayak gini tuh seneng banget. Harusnya.. kamu sering-sering share tulisan kamu biar aku ikut respect."
Liora mengangguk. Dia tersenyum canggung. Situasi macam apa ini? Kenapa tiba-tiba jantungnya bersemangat?
Tuhan, perasaan yang tumbuh seringkali tidak bisa dikendalikan. Jika Tuhan tidak mengizinkan mereka utuh, maka biarlah Liora lari sebelum dia menjadi rapuh.
"Tapi sayangnya, kamu malah jatuh sakit kayak gini. Stop bikin aku khawatir deh, Li." ada kekeh kecil bersama tangan Aksa mengusuk kepala Liora. Anak rambutnya menjadi agak berantakan. "Jangan sakit lagi, ya."
Liora terdiam. Dia hanya berani menatap manik kembar itu dengan kerjapan kecil.
Kemudian.. berbicara lewat matanya.
Dia menemukan sosok yang selalu menghargai apapun yang dia kerjakan, sekecil apapun itu.
"Dulu, aku pernah bilang kalau nggak salah... kamu bakal jadi orang pertama yang aku kasih tau siapa orang yang aku suka." ujar Aksa. "Tapi kayaknya batal deh. Aku keduluan soalnya."
Hening sesaat.
"Makasih ya, Li... karena udah jatuh cinta sama aku."
Liora terperanjat. Dia mengernyit dan menatap Aksa selama beberapa saat. "Maksud kamu—kamu udah baca itu?"
Aksa mengangguk.
"Semua?"
Dia mengangguk lagi. "Udah."
Liora mengerjap. Dia kembali mengingat bagaimana rangkaian kalimat dan alur yang dia ciptakan dalam tulisannya. Berawal dari pertemuan mereka, sampai diam-diam merhatiin. Ada juga waktu dimana Liora nekat ikut anggota BEM padahal aslinya dia introvert banget.
Dan Aksa tertawa lirih. "Lucu banget sih saltingnya."
Liora berdecak. "Tuh kan, kamu jadi besar kepala gini."
Pria itu tersenyum. "Kamu tau gak sih, kalau sebenernya... duluan aku lho yang jatuh cinta sama kamu. Persis kayak tokoh di cerita kamu. Nyebelin banget, kan?"
"Iya. Nyebelin." Sahut Liora, dia hampir tersedak saat tangan Aksa tiba-tiba mengusuk kepalanya brutal.
"Tapi udah lama?"
"Apanya?"
"Kamu suka sama aku."
Uhuk, tuh kan. Liora benar tersedak.
"Sejak kapan?"
"Udah... lama. Nggak tau kapan. Lupa." Liora terkekeh kecil. "Kenapa kamu mendadak kepo banget sih?"
Aksa ikut tertawa.
"Aku harus mastiin kalau aku nggak keduluan." Aksa meraih satu tangan Liora untuk digenggam. "Aku nggak mau jadi pengecut kayak yang tokoh cowok lakuin di tulisan kamu. Nggak gentle banget, dia ngebiarin si cewek berjuang dalam diam. Merangkai kata rapuh setiap hari. Brengsek banget sih."
Akhirnya, air mata akan memihak siapa saat ini. Senang atau sedih. Sekarang, tidak ada apapun yang mengganggu Liora. Hanya ada wajah dan suara lembut Aksa di hadapannya. Dia merasa tidak perlu takut lagi mengarang cerita, karena kini Aksa ada. Suaranya, tawanya, candanya, anggukan-anggukan kecilnya saat mendengar cerita... segalanya.
Setiap hari Liora dapat melihatnya, tapi pria itu sama sekali tak mudah dijangkau.
Kini, dia hadir bahkan tanpa Liora bersusah payah.
"Sa... " gumamnya, air mata itu meluncur tepat di jemari Aksa. Tangan yang menangkup pipinya terlebih dahulu.
"Makasih karena udah berjuang sejauh ini, Li." Bisik Aksa kemudian. "Aku harap setelah ini, akan ada cerita-cerita baru yang nggak perlu banyak kata rapuh, okey."
Liora mengangguk. Dia hampir terisak.
Pria itu mengusap-usap punggung tangan Liora. Lantas memulai kata dengan bersemangat,
"Gimana kalau narasinya gini aja,
Barangkali saat ini berpura-pura mencintai adalah cara terindah. Untuk mengungkapkan tanpa takut ditinggalkan, mengagumi tanpa resah dijauhi, mencintai tanpa perlu merasa perih..
"Sama aja dong."
"Oh, sama ya?" kata Aksa dengan polosnya. "Maaf."
Liora spontan mendongak, menatap kedua pupil kembar ciptaan Tuhan yang indah itu.
"Kenapa kamu minta maaf?"
"Harusnya sejak dulu aku genggam tangan kamu dan kita nulis cerita bareng."
Liora menggeleng. "Nggak dong, aku nggak perlu liat belakang buat kembali dan cari kamu lagi. Karena sekarang.. liat depan... ada kamu disana."
Senyum merekah di bibir Aksa.
*****
Brilian Anastasya, Agustus 2023