Cerpen
Disukai
0
Dilihat
8,836
Just Fell For You 2
Romantis

*****

Shara pikir, selama ini rasa percaya pada janji Rangga sudah cukup membuatnya yakin.

Shara pikir, rasa sabar dari penantiannya adalah wujud tirakat cinta yang suatu saat akan mendapat balasan yang besar.

Shara pikir, sakit dari mencintai itu tidak pernah ada.

Tapi siapa yang tahu jika pikiran-pikiran itu yang malah membuatnya jatuh pada jurang yang teramat dalam dan rasa sakitnya tak tertahankan. Rangga yang dia cintai, ternyata tidak sebaik itu. Faktanya dia tidak peduli dengan perasaan Shara yang kini sedang tercabik dalam sakit. Jika sudah tidak cinta, kenapa harus menyakitinya sebelum pergi?

Shara masih terus bertanya-tanya, bagimana bisa? bagaimana bisa Rangga menyakiti sebegini hebat? Dia yang paling tahu saat Shara putus asa. Dan sekarang dengan melihatnya seperti ini membuatnya bahagia?

Bajingan.

Dalam keadaan apapun, dia selalu berhasil menyakiti Shara.

"Jelasin dulu, why?" intonasi suara Shara melemah bersama pupilnya yang mulai gusar menahan air mata. Bukan ini yang dia harapkan dari pertemuan mereka setelah lama tidak punya waktu bersama. "Enlighten me!"

Rangga menundukkan kepala dan hanya beberapa kali mendongak pada wajah wanita yang dia tidak tega melihat raut sedih disana. Rangga melakukan kesalahan besar. Ya, benar. Fatal. Jadi, apa masih pantas mulutnya mengungkapkan sebuah penjelasan?

"Jadi selama ini kamu nggak beneran sayang sama aku? Kamu emang diem-diem sama dia buat nyakitin aku? Apa aku cuma kamu anggap pelampiasan?"

Pria itu hanya menggeleng. Bibirnya tidak sanggup membalas perkataan Shara... kalimat-kalimat kecewa itu, Rangga tidak punya hak mengelak.

"Jawab brengsek!!"

"Ra," dia akhirnya menyahut sembari menahan pergelangan tangan Shara yang memukul dadanya brutal. Lalu menggenggam tangan lembut itu penuh kasih seperti biasanya. "Im sorry. Im so..." Rangga mengacak rambutnya sendiri. Rautnya teramat merasa bersalah. Frustasi. Dan mungkin merutuki kebodohannya sendiri. "Aku minta... lupain aku, dan temui kebahagiaan kamu yang lain. Aku.. sama sekali nggak pantes buat kamu—"

"Aku benci kamu!!"

Satu kalimat Shara menjadi penutup obrolan sengit mereka yang mungkin tak akan reda dalam waktu dekat. Air matanya merembes deras mengaliri pipi yang sempat ia poles dengan cantik beberapa saat yang lalu.

Kecewa.

Hancur.

Shara merasa sangat sakit.

Dia mencoba melangkah walau lemah, menjejaki trotoar dengan tubuh gemetar ketakutan. Melewati lampu-lampu jalan komplek yang memberi semburat oranye, melewati suasana sunyi yang sepi dan kembali membawanya pada diri sendiri. Ternyata hal yang selama ini Shara anggap tidak mungkin, malah menjadi ketakutan terbesarnya.

Semua rasa yang tadi tidak berhasil menggangunya karena kebas, kini datang kembali untuk menghujam dari segala arah. Sampai akhirnya dia tidak lagi menahan lelahnya. Dia perlu waktu untuk beristirahat. Beristirahat dari kepura-puraan, beristirahat dari kebohongan, beristirahat dari rasa sakit... saat beberapa kali mendapati jemari Rangga menggenggam erat tangan wanita yang menjadi pilihannya.

Shara berjongkok. Lalu terisak dalam sesak. Meraung sendirian sambil memeluk dirinya yang mengenaskan.

Dan Jean masih memandangi Shara, yang berjongkok sendirian dibawah lampu jalan. Beberapa saat dia hanya menunggu dan tidak berani mendekati. Karena dia tahu, wanita itu akan bergerak pergi, atau lebih menjauh jika dia berusaha memahami sakitnya.

Tapi sekarang Jean bertekad untuk melanggar itu. Terkadang dia harus agak keras kepala untuk melakukan suatu hal untuk Shara. Dia sudah menahannya selama ini sebab mempertahankan eksistensi Rangga dan hubungan diantara mereka. Kini Jean tidak bisa tinggal diam. Dia menyalakan ponsel yang menekan caller ID Shara dan membuka kaca mobilnya. Menunggu bagaimana suara letih itu akan menyapanya nanti.

Selama beberapa saat, panggilannya diabaikan. Sampai akhirnya Shara bergerak seperti baru menyadari ponselnya bergetar. Tangan itu merogoh saku tas, lalu meraih ponsel dan menatap layarnya yang menyala selama beberapa saat.

Shara mengusap sudut-sudut matanya, lalu sambungan terbuka. "Halo, Je?"

Suara itu terdengar baik-baik saja. Padalah Jean dapat melihat yang terjadi sebenarnya.

"Je?"

"Everything okay?"

"Maybe... no?"

Terdengar ada helaan napas berat diseberang sana. Shara tidak ingin menduga-duga, apalagi merasa ada yang memperhatikan dirinya yang kini sedang nelangsa. Tapi jika boleh jujur, Shara ingin segera pergi ke pelukan seseorang yang mungkin dapat membantunya melepaskan sakit, dan melepaskan tangis sampai tak tersisa lagi.

Bolehkan Shara berharap, jika pelukan Jean ada untuknya?

"Gue tau lo dimana sekarang."

Shara terdiam. Dia terlalu lelah untuk sekedar menoleh pada pria yang dia yakini sekarang ada di dekatnya dan melihat dia seperti ini. Toh Jean bukan cenayang, kan? Pria itu, pasti melihat Shara yang mengenaskan sekarang. Meringkuk sendirian ditepi jalan, disaksikan lalu lalang kendaraan yang mungkin mengiranya orang tidak waras.

"Will you let me to meet you?"

"Gak usah."

"Kenapa?"

"I've just cried. This is too embarrassing to look at."

Jean menghela napas panjang. "My ex told me that I have a wide shoulder."

Kekehan Shara terdengar. Kali ini ia merasa sedikit terhibur walau sakit itu masih menjadi dominan. "Okey, hug me and let me cry on your shoulder later."

Jean tidak bisa bersabar. Lagi-lagi, dia melawan arus pada komitmen. Tungkainya perlahan turun untuk mendekati Shara dengan panggilan yang masih terhubung. Sampai dia berdiri tepat didepan wanita itu. Tanpa kata apalagi uluran tangan. Jean bersedia menunggu apapun kemauan Shara termasuk mendapat umpatan jika wanita itu kesal.

"Let me take you home." Kata Jean saat Shara muali bangkit dan menatapnya, dalam tatapan kosong. "Terserah lo mau bilang ini kayak gimana. Gue juga nggak ngerti kenapa tiba-tiba nggak bisa nge-handle perasaan gue sendiri. Yang jelas ini bukan tentang siapa-siapa ataupun merasa bersalah atas perlakuan sahabat gue yang gila itu. Ini juga bukan tentang penyampaian maaf."

Suara Jean mulai pelan sambil melirik wajah sedih di depannya. "Just... please, gue beneran nggak mau lo terus kayak gini. Maksud gue—ya, itu.. lo capek. Pulang kerja. Gak usah buang-buang tenaga buat nangis disini, kan?"

Kalimat Jean diakhiri dengan kekeh kecil, dia melirik wajah Shara, tapi tidak merubah segalanya. Well, kayaknya jokes Jean waktunya salah gak sih?

Shara masih belum bersuara. Perhatiannya kembali beralih pada ponsel yang kini menyampaikan satu pesan. Dari Rangga. Satu pesan yang cukup dibaca lewat pop-up.

Tangannya bergetar, berkeringat, sampai rasanya ponsel hampir merosot dari genggaman.

Rangga

... you okay?

Pria brengsek itu, bahkan masih berani menyimpan harapan pada pesan yang mungkin akan dibaca Shara. Dia mampu membuat Shara merasa sesak melalui hal-hal sederhana.

Samar suara Jean kembali terdengar. "Tapi kalau lo merasa nggak nyaman sama kehadiran gue, lo bisa ngomong sesuka lo. Termasuk usir gue nggak papa. tapi sekarang izinin gue buat mastiin lo beneran baik-baik aja. Gue berharap semua cepet membaik. Apapun yang mau lo lakuin sekarang. Kemanapun, yuk, gue anter."

Shara mendongak, walau matanya mulai terasa perih, dia memberanikan menatap Jean lekat-lekat, menatap mata itu untuk berujar jelas, "Marry me then."

Lalu memanjangkan tangan untuk memeluk tubuh pria itu dan menangis lagi disana. Menjadikan bahunya sebagai tempat bersandar. Sebagai tempat jatuh yang terakhir.

*****

Brilian Anastasya, Juni 2023

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi