Masukan nama pengguna
*****
Sejak awal, hubungannya dengan Rangga memang tidak pernah neko-neko. Pria itu selalu memberikan perhatian dan kenyamanan yang tulus tanpa perlu diminta. Berusaha sebaik mungkin memenuhi keinginannya dengan penuh pengertian. Shara mendapatkan kasih sayang yang ia butuhkan selama ini, yang tidak pernah ia dapatkan dari keluarganya sejak kecil.
Sampai akhirnya, hari berganti hari dan waktu tidak pernah berhenti. Shara merasa Rangga mulai jauh. Statusnya sebagai mahasiswa pasca sarjana yang mendapat beban perusahaan warisan orang tuanya, membuat Rangga kehabisan waktu untuk dirinya sendiri. Shara mengerti. Dia selalu mengerti yang dialami kekasihnya. Tapi dia sadar tidak bisa membantu banyak, jadi meminta perhatian dari sekedar balasan chat saja, Shara merasa itu tidak penting.
Dia juga tidak perlu curiga ketika Rangga beberapa kali mengubah rencana pertemuan mereka. Pertama, pria itu berkata mendadak ditugaskan untuk mewakili meeting perusahaan dan akan menghubungi Shara lewat pesan. Tapi nyatanya, rentetan pesan Shara malah tak dibaca satupun. Lalu, Rangga berkata di ambang telepon bahwa akan datang bersama boneka Chilli dan Romy ke apartemennya. Shara sangat antusias, dia juga menyiapkan beberapa pasta dan ramyeon untuk menyambut kedatangan Rangga setelah sekian lama tidak bertemu. Tapi malam itu, malah bodyguard suruhan Rangga yang datang dan berkata jika tuannya tiba-tiba dipanggil sang Ayah.
Shara selalu memahaminya.
Dan akhirnya, pilihan terakhir dari semua pilihan hanyalah mengirimkan Jean padanya. Sebagai Rangga yang lain. Memang terdengar bodoh, sepercaya itu Rangga dengan sahabatnya sampai-sampai tidak takut jika pacarnya malah bersama pria lain. Hanya berdua. Dalam satu apartemen.
Dan Shara selalu memahaminya lagi.
Dia akan menunggu, lalu diakhiri kantuk yang menjemputnya pergi dari perasaan tak senang itu.
Dalam lelap bersama bayangkan sosok yang ia cintai.
Hingga lampu remang-remang cukup mudah membangunkan Shara dari tidurnya. Perlahan sipit itu terbuka dengan satu tangan meraba ke samping badan dan mencari handphone yang terselip diantara lipatan sofa. Pukul dua dini hari, berarti sudah tiga jam Shara tidur sejak terakhir kali menonton drama ditemani Jean sambil menunggu Rangga datang. Tapi pada akhirnya, penantian itu sia-sia. Pacarnya memang terlalu sibuk, Shara saja yang memaksa.
Setelah menyibakkan selimut yang menutupi setengah badannya, tungkai mini itu bersiap turun ke lantai marmer dingin menuju kamar mandi. Shara mengitari pandangan, temaram lampu yang identik gelap membuatnya agak merinding. Apalagi gerimis masih belum bosan turun.
Dan maniknya langsung tertuju pada seorang pria yang tidur terduduk di karpet, hanya bersandar sofa. Wajah lelah dan rambut acak-acakan itu sangat familiar bagi Shara. Dengkuran halusnya terdengar berirama, mengiringi rasa lelah yang tidak bisa dideskripsikan secara rinci. Tanpa diperintah pun, tumit Shara mendekat. Menarik ujung selimut hingga batang leher pria itu sepenuhnya. Jemarinya juga terangkat membelai helaian rambut hitam itu.
"Ga, kamu pasti capek banget." Shara bergumam sendiri. Ingin sekali memindahkan tubuh besar itu agar tidurnya nyaman. Tapi dia tidak bisa. Nanti malah Rangga jomplang sebab Shara tidak kuat. Tapi membangunkannya... hah, tidak tega. Biarlah saja Rangga dalam posisi seperti ini untuk sementara waktu.
Setelah berjalan hingga ambang batas ruang tengah, Shara baru menyalakan lampu ke lorong menuju ruang belakang agar tidak mengganggu tidur pria itu. Kamar mandi apartemen Shara terletak tepat di samping dapur. Maka dari itu, lampu di area ini tidak pernah dimatikan untuk jaga-jaga jika Shara terbangun tengah malam seperti ini. Apalagi dia tinggal sendiri, kadang pikiran random dan halu itu sering berseliweran dan membuatnya parno.
Sayup-sayup terdengar suara kelontangan perkakas dapur beradu lirih. Shara yang menghentikan langkahnya sejenak pun menelan ludah susah payah. Benar kan, dia mudah takut. Harusnya dia berpikir jika itu mungkin hanya perasaannya, atau ada percikan air wastafel, atau tersenggol angin lewat, atau...
Tungkainya menjadi ragu, tapi rasa penasaran itu lebih besar. Jadi setelah mengumpulkan keberanian, Shara berjalan cepat dan langsung menoleh.
"Astaga!! lo ngapain sih?!!" Serunya begitu melihat punggung pria yang sedang menggeledah lemari bumbu dapur.
"Kok lo bangun?"
Shara menghela napas lega. Akhirnya. Hampir saja ia ancang-ancang membogem dengan tongkat bisbol jika itu maling.
"Gue laper, Ra. Lo nggak punya ramyeon atau apa gitu?" tanya Jean lagi.
"Udah laper lagi? Padahal baru aja makan tadi." Nada yang lebih mungil mengejek. Mau tidak mau Shara menahan keinginannya ke kamar kecil dan mendekati konter dapur dulu. Mengambil satu bungkus ramyeon dari kabinet dekat kulkas. "Lagian kenapa lo nggak balik sih? Kan Rangga udah disini?"
"Terlanjur mager gue." Tandas Jean datar. Yah, seperti biasa. Anaknya pak DPR kalau mau apapun mah terserah. Toh tidak akan ada yang mencari apalagi menghawatirkan anak tunggal itu jika tidak pulang. Paling si Uwoo dan Wawan yang bakal cerewet besok.
Dua bocah itu sepupu Jean, datang dari Bandung. Mereka di Jakarta tinggal di apartemen pribadi Jean untuk sekolah.
"Rangga dateng jam berapa?" Shara bertanya setelah keluar dari kamar mandi dan kini duduk di kursi meja bar. Ingin melanjutkan tidur tapi kantuknya ternyata sudah hilang. "Kok lo nggak bangunin gue pas Rangga dateng tadi? Kan udah gue pesenin."
"Lo juga lihat kan Rangga dimana? Kenapa nggak lo bangunin suruh pindah kamar?" Jean malah balik bertanya.
"Kasihan dia capek. Biarin aja yang penting nyaman."
Jean terkekeh lirih. "Ya udah sama."
Aroma bumbu mi instan yang sudah matang itu menyeruak seluruh ruangan. Membangkitkan rasa lapar Shara lagi dan dia baru ingat jika tadi memang makan sedikit karena tidak mood. Tatapannya celingukan di panci yang masih bertengger diatas kompor itu. Haruskah Shara minta dibuatkan satu? Tapi dia malu.
"Ramyeon meokgo gallae?" Jean bertanya tanpa menoleh dari mangkuk mie-nya. Tapi semburat senyum itu terlihat di bibir ranumnya.
"Heh! Mulut!! Gue udah punya pacar!" Sungut Shara.
"Tau juga." Kekehan pria itu jadi agak kencang. Definisi gagal ngelawak yang sesungguhnya. "Maksudnya lo mau ramyeon atau nggak? Kalau mau gue buatin sekalian. Lagian kenapa sih, sus banget pikiran lo."
Dengan anggukan ringan dari Shara, tanpa pikir panjang Jean langsung menyalakan kompor untuk membuat satu mangkuk ramyeon lagi. Biarlah kuah miliknya menyusut selagi membuatkan pacar sahabatnya itu mi yang baru.
Mendadak Jean merasa terhormat seperti ini. Only ourselves can understand the intentions of our hearts, katanya dalam batin. Hanya dirinya yang tau kenapa tersenyum sendiri setiap kali berbuat suatu hal yang bersangkutan dengan Shara.
"Ramyeon special dari chef Jean dah jadiii." Pria itu menyodorkan semangkuk mi yang masih mengepulkan asap ke depan Shara. Sambil memamerkan senyum sumringah. "Mau pake kimchi?"
Shara menggeleng. Pada dasarnya memang tidak terlalu lapar.Dan Jean lagi-lagi menyengir senang karena mendapat bagian banyak.
Momen kebersamaan mereka memang sering terjadi dan Rangga pun tak apa. Bahkan pewaris perusahaan itu bersyukur adanya Jean diantara dia dan Shara. Yang selalu ada disaat Rangga nggak bisa diandelin, yang selalu sigap disaat Rangga lengah, dan yang selalu Shara butuhkan juga sebagai teman. Sejauh ini hubungan mereka baik-baik saja, hanya... Jean yang mulai goyah.
Dia juga punya perasaan. Kepada Shara contohnya. Manusia tetap manusia. Suatu saat rasa ingin lebih itu akan datang juga.
Kata pepatah, cinta itu datang karena terbiasa. Jean terbiasa dengan kehadiran Shara dan dia... mulai sadar jika itu bukan sekedar balas budi, tapi dia juga tidak berani mengungkapkan jika itu cinta.
Jean tidak akan pernah punya kesempatan.
"Kenapa Je, lidah lo kegigit ya, sampe diem lama gitu?" sela Shara saat menyadari pria berambut hitam itu malah terdiam dengan sumpit mengambang diatas mangkuknya.
"Eh, nggak kok. Ya kali udah bujang makan masih kegigit." Candanya mengalihkan. Netranya sengaja dilabuhkan pada Shara. Sebentar saja, Jean ingin waktu berhenti sebentar agar dia dapat mengungkapkan rasa ini dalam diam.
"Terus kenapa?"
"Nggak ada." jawabnya dengan senyum kebohongan. "Tapi... si Rangga bangun nggak sih? Atau ada nyamuk gitu?"
Shara menoleh ke ruang tengah-langsung tertuju pada Rangga yang masih tertidur pulas disana. Hanya saja selimut tadi sudah agak turun. Mungkin pria itu pegal tidur dalam posisi seperti itu.
"Gue pindahin aja dia ke kamar lo, yah?" Jean mau bangkit tapi langsung ditahan Shara.
"Nanti aja nggak papa. Habisin dulu makanan lo, udah lembek tuh. Daripada nanti nggak kemakan mubazir. Tadi juga udah gue kasih bantalan disamping Rangga kok."
Jean mengangguk.
"Lo sendiri gimana? Uwoo sama Wawan nggak nyariin?"
"Mereka mah tau gue masih hidup aja udah cukup. Kalau masalah dimana sih aman. Soalnya kalau gue ngilang, bocah-bocah itu yang kasihan. Nggak ada yang jagain di kota ini."
Terdengar sederhana tapi justru malah menyimpan makna dalam. Setidaknya efek dari sikap bar-bar pria itu, ada satu hal yang menjadi poin dari kehadirannya. Diam-diam Shara melirik si pemilik suara manis itu dengan menelan senyum.
Itu. Cukup. Dari Jean. Dan ternyata Shara baru sadar jika Rangga telah semaksimal mungkin memberikan perlindungan yang terbaik untuknya. Bagaimana bisa selama ini Shara malah berpikir yang bukan-bukan?
"Makasih lho, bay the way."
"Buat?"
"Gue nggak pernah ngobrol santai kayak gini selain sama lo dan Rangga." Kata Jean disela-sela mengunyah. "Sama seorang yang gue suka diem-diem juga, baru sekali ngomong berdua sih."
"Seriusan nih?" Shara melotot. Hampir tidak percaya sebenarnya. "Kenalin lah, Je. Kapan-kapan main bareng yuk. Double date gitu."
Pria didepannya malah tertawa lirih.
"Lo juga harus bahagia. Ini udah saatnya buat lo ketemu sama orang yang serius ngerti lo. Buat lo nyaman dan ngga minta ada apanya. Melainkan apa adanya dari lo. Gue ikut seneng dengernya." pemilik tubuh mungil itu berkata panjang lebar. Maniknya berbinar seolah ikut lega saat mendengar Jean sudah agak waras dari tingkah suka gonta-ganti pacar itu. "Maksud gue-gue kira selama ini lo cuma jadiin mereka serep doang. Pacar udah kayak se-asrama gitu nggak ada yang beneran buat lo mantep?"
Mendengar itu Jean terdiam sesaat, melabuhkan pandangannya pada si dia... yang Jean suka diam-diam. Pria itu hanya bisa mendengarkan dengan baik. Semuanya. Cara bicara, senyum, perhatian, dan tingkah tak terduga dari Shara yang kadang membuatnya hampir lost control.
Senyum lurus di bibirnya terukir, bersama tatapannya pada Shara yang tidak mengerti apa-apa.
"Sekian banyak yang pernah kecantol sama gue, nggak ada yang ngganggep gue benar-benar manusia. Punya perasaan. Yang mereka tahu, gue itu... duitnya banyak?" Jean terkekeh atas candaannya sendiri. "Orang bilang gue itu sampah tanpa duit. Tanpa duit, gue cuma sampah. Relate banget sih kenyataannya."
Perkataan pria itu terdengar sangat miris. Shara mulai menggigit bibir bawahnya merasa jika dia salah membuka topik. Jelas saja Jean sedang tidak baik-baik saja.
"You don't."
Shara menyela, yang langsung bersitatap dengan manik kelam disana.
"Bagi orang yang diam-diam lo suka. Haruskah gue ikut andil? Bantuin do'a buat lo?" dia tertawa kecil berusaha mencairkan suasana lagi. "Sekarang yang lo butuhin cuma prepare, lo masih punya waktu buat ngelola hati supaya nanti kalau saatnya tiba, lo bisa bicara langsung sama dia. Apapun, Je. Kasih tahu apapun ke dia yang lo rasain. Biar Lo nggak terus terusan kayak gini."
Anggukan Jean terlihat bersama senyum yang kian mengembang. Dilihatnya manik legam yang mungkin tidak bisa direngkuh, rasanya semakin sakit untuk menahan. Bukankah seharusnya Jean bersyukur? Sahabatnya memiliki pendamping seperti Shara ini, bukankah seharusnya Jean ikut senang?
Tapi kenapa semakin hari rasanya berat? Seolah dalam hatinya ada bom yang suatu saat akan meledak sendirinya.
"Sure." Jawab Jean yang ditanggapi senyum oleh Shara sebelum pergi membereskan mangkuk mereka.
"... and I will forget you, even though I may not be able to."
Dia hanya berani melanjutkan itu dalam hati... seperti yang sudah berlalu.
*****
Brilian Anastasya, Juni 2023