Masukan nama pengguna
*****
"Ayah!"
Felix yang sedang mengikat penyangga pada pohon tomat agar tidak merunduk pun, menoleh saat mendengar teriakan gadis kecil rambut kepang dua—berjalan mendekat sambil menyeret satu keranjang berisi sayuran hasil panen mereka di kebun.
"Kenapa? Rhea lelah, hm?" tanya Felix lembut, suara khas seperti biasanya hanya sedikit berat karena usia.
"Sayuran kita besar-besar, Ayah! Lihat! Wortelnya gemuk sekali. Rhea hampir tidak kuat membawa keranjangnya tadi." Gadis itu ikut berjongkok, memamerkan satu persatu sayur berewarna oranye itu. "Mama pasti senang sekali saat melihatnya nanti."
Felix tersenyum. Gemas sekali pada gadis kecil dengan pipi gembul ini. Tapi tangan yang terkena tanah dan mengandung kuman, membuatnya urung untuk mencubit pipi mungilnya.
"Mama dimana?" Felix melepas sarung tangan, beralih mengangkat keranjang wortel.
"Mama? Tidak tahu." Rhea memiringkan kepalanya. "Tapi Daddy disana sedang memanen kavang tanah."
Telunjuk Rhea tertuju pada punggung seorang pria yang sedang berjongkok mencabuti kacang tanah di sudut kebun. Felix agak mengernyit, siapa pria yang berkebun dengan berpakaian kemeja putih seperti itu? Dia juga terlihat asing, tapi kenapa terasa sangat familiar dengan rambut hitam legamnya? Selama ini keluarganya juga tidak pernah memerlukan jasa tukang kebun. Aneh sekali, bahkan Felix—si pemilik rumah—tidak tahu?
Saat hendak menyusul untuk memastikan siapa sosok itu, Rhea menahan langkahnya dengan menggenggam kelingking Felix. Ekspresi bocah itu tiba-tiba menjadi takut.
"Ayah jangan tinggalkan Rhea sendirian." Mohonnya lirih. Berbisik kepada sang Ayah dengan gelengan kecil yang tak bisa dimengerti.
"Hei, Ayah hanya mau melihat siapa orang yang Rhea panggil Daddy itu. Ayah akan menghampirinya sebentar, ya?" Felix mengusap rambut gadis kecilnya.
"Kalau Ayah menghampiri Daddy, itu berarti Ayah meninggalkan Rhea disini sendirian. Rhea tidak mau sendirian. Rhea tidak mau berpisah dengan Ayah." Mulut gadis itu melengkung kebawah, hampir saja menangis. "Ayah jangan mendekati Daddy, yah!?"
Felix menghela napas. Air mukanya jadi ikut tidak tenang melihat putrinya merengek dengan ocehan aneh seperti ini. Walau dia tahu bocah mungkin berimajinasi neko-neko, tapi melihat bagaimana manik kembar itu hampir merembes-Felix merasa janggal.
Dia juga baru sadar, jika... wajah gadis kecilnya hampir terlihat tidak nyata. Berapa kali Felix melihatnya, dia tidak akan ingat dengan pasti bagaimana rupanya.
"Daddy... ingin Rhea mati!" Nada si kecil makin berani. Tatapannya juga menajam pada sang Ayah. "Rhea takut dengan Daddy!!"
"Hus, bicara apa?" Felix berlutut didepan putrinya, sebelum sipitnya terbelalak mendapati darah yang terus mengalir keluar dari dada Rhea-merembas, mengotori gaun putih brokatnya. "Rhea?!!"
"Daddy ingin Rhea mati!!" Kata gadis itu dengan wajah marah. "Rhea membenci Daddy!"
Kepala Felix terkulai berat dan itu membangunkan mimpi buruknya, dia mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan-masih hangat dan temaram. Dia tidur terduduk disamping sofa ruang tengah, dimana Airi masih memeluk jaketnya erat-erat dalam tidur. Juga jarum jam menunjukkan pukul dua belas malam tepat, mimpi itu terasa seperti sebuah isyarat.
Felix mengusap wajah dan pelipisnya yang berkeringat, mimpi aneh itu sangat ambigu. Dia bahkan tidak bisa mengingat wajah anak yang terus memanggilnya Ayah.
Tapi potongan dari panggilan Daddy, Ayah, Mama, dan... Rhea? Terasa menempel di ingatan.
Felix membalikkan badannya pada Airi. Menatap wajah damainya dalam diam, yang terlihat cantik meskipun sembab dialiri air mata. Dia menarik ujung selimut wanita itu sampai batang leher lalu menepuk-nepuk lengannya pelan. Perlahan, senyuman tipis terukir di bibir Felix. Melihat Airi begini, yang sedang hamil dan terus berkata merindukannya kemarin, membuat perasaanya berkecamuk parah.
Benarkah jika Felix akan menjadi Ayah secepat ini?
Felix ada diantyara airi dan Jean, tapi benar jika dia memang tidak mau mengalah juga.
Jelas sekali Felix tidak pernah absen untuk memperhatikan Airi dari jauh. Dia tidak bisa untuk tidak khawatir, tidak bisa untuk tidak peduli saat wanita itu sedang terpuruk. Dia juga tidak bisa untuk tidak peduli tentang bagaimana kebencian Airi terhadapnya.
Kesalahan yang terjadi atas kemauan mereka itu, akhirnya diungkit juga. Jika saja saat itu Felix mengendalikan hatinya. Felix tidak mau terjadi, Felix tidak ingin berbuat yang ujungnya wanita itu akan membencinya.
Tapi entah mengapa saat itu Felix mau. Felix ingin. Dan keinginan itu akhirnya turut membawa benci, kan?
"Rhea..." Gumam Felix, mengusuk di mabang-ambang perut Airi yang tertutup selimut. "Kamu dateng cepet banget, sayang. Nggak ada yang harapin kamu, dan kamu ada juga bukan karena kemauan. But, don't hate me, hm?"
Dia berbisik, bertanya lirih pada janin empat minggu itu. Yang tanpa sadar membawanya ikut menangis.
Ya, Felix, si kuat itu menangis. Di hadapan bayi belum berbentuk yang entah akan seperti apa nasibnya nanti.
Airi memberi pilihan yang sulit. Saat wanita itu menatapnya tajam dengan tangis tersedu-sedu. DNA janin yang ternyata terhubung dengannya itu memilukan suasana. Dalam dimensi antara bahagia yang tak tahu harus berbuat apa. Siang tadi, saat Airi si gadis berwajah sembab dengan manik berair penuh, datang kepadanya dengan senyum tipis.
Dan terlalu sulit diartikan.
"Let's talk together." Katanya yang langsung menggandeng Felix menuju balkon luar apartemen lantai lima belas.
Dan waktu berjalan, dalam ketenangan selama lebih dari sepuluh menit. Hingga akhirnya Airi mengusap wajah basahnya dan menghembuskan napas berat ke langit. Dia menatap Felix, lekat. Dan penuh harap.
"Will you marry me?" bisiknya, sementara Felix langsung membulatkan mata. Tungkainya mulai mendekat, memastikan wanita di hadapannya ini sedang baik-baik saja atau kesurupan apa?
"Nggak lucu candaan lo, Ri." Felix mencoba mencairkan suasana. Dia menanggapinya serius karena Airi menangis. Andai wanita itu berkata renyah seperti biasanya, Felix tidak akan baper juga. "Why? Apa yang terjadi sama lo? Berantem sama Jean lagi?"
Airi menggeleng.
Felix menepikan helai rambut wanita itu ke samping. Menghapus jejak air mata yang tak kunjung kering itu. Felix mencoba berpikir apa yang sedang terjadi pada Airi. Tapi semakin dipikirkan, semakin harapan Felix membuncah. Egonya menyeruak. Keinginan memiliki itu hadir dengan sangat angkuh.
"Cerita sama gue, hm?" dia menggenggam tangan Airi. Menenangkannya. "Setiap pertanyaan pasti ada jawaban. Setiap masalah juga bakal Nemu titik terang. Setiap tangisan pasti ada penyebabnya. Don't hurt yourself. Semua itu timbal balik. Give and take. Lo bisa bilang apa yang lo mau. And I will give you a word, sebisa gue."
"Nggak ada yang gue tutupin kok." Jawab Airi, agak melesat dari pertanyaan Felix sebenarnya. "Yang gue ucapin bener-bener apa yang pingin gue ucapin. Sekarang yang gue tunggu cuma jawaban lo, Fel. Yes or no."
Dahi Felix mengernyit tidak paham.
"Jean—"
"Jean pergi." Airi tertawa miris. Netranya mulai dibanjiri air lagi. Bersiap tumpah ke pipinya. "Setelah tau keadaan gue.." lalu Airi menatap Felix lekat. "... keadaan kita."
Felix masih terdiam, memandang wanita yang kini mengangkat wajah, menatapnya ragu-ragu.
"How should I say this?" lirihnya. Suara Airi bergetar, dan dia kembali menunduk untuk menekan sudut-sudut matanya dengan jemari.
"You... still remember?" pertanyaan yang selama ini paling Felix hindari. Sama-sama mereka hindari. Seperti saat ini, Felix perlu menghela napas berkali-kali karena tenggorokannya seperti tersekat sesuatu saat menunggu respon wanita itu.
Dan...
Airi bergumam. "Ya."
"Enligthen me then." Bisik Felix, mulai mengusuk kepada si pemilik suara lembut itu.
Tapi bukannya langsung menjawab, Airi malah meraih tubuh Felix untuk dipeluk erat. Jemarinya bertaut di belakang tubuh si pria seolah meluapkan isi dadanya. Tangisnya benar-benar tumpah. Untuk mengatak satu kalimat saja dia kesusahan, apalagi harus menanggung setelahnya.
Hati Felix ikut ngilu. Baru kali ini dia melihat wanita yang dicintainya—dalam diam—menyimpan hal berat seperti ini.
Pria itu mengusap punggung Airi. Membiarkan wanita itu meluapkan semuanya. Sampai tak tersisa.
"It's okay. Im here, don't be scared..."
Dan akhirnya Airi mengangkat wajah lagi, maniknya bergerak gusar kala menatap Felix lalu berbisik amat lirih,
"You... " dia menjeda agak lama. Lalu berujar dengan suara berat. "Im pregnant."
Setelah itu tidak ada yang bisa dilakukan Felix selain menjawab satu satunya jawaban yang tersisa. Pada akhirnya... apakah cinta datang disaat yang salah? Apakah cinta sebuah penyesalan? Felix tidak bisa memahami bagaimana air mata itu ikut jatuh bersama jawabannya.
Dan kini, Airi menerimanya. Berharap kehidupan padanya. Felix senang, dan sakit disaat bersamaan.
Rhea...
Bisiknya lagi diatas perut Airi. Menangis disana seperti anak kecil yang mengadu pada ibunya. Sementara Airi melihat dalam lirikan, dia sudah terbangun saat merasakan getaran di sofa. Dan kini lihat pria itu menangis dan bercerita dalam remang malam. Seperti lullaby pengantar tidur.
Dia akan membiarkan si Ayah bercerita dengan bayinya. Tentang masa depan mereka.
*****
Senja mulai nampak dari ufuk barat. Warna emas kemerahan dengan coretan jingga yang apik bertengger tentram di cakrawala. Langit mungkin menangis dalam diam saat si senja dengan sialannya membuat kanvas itu berdarah-darah. Dengan jingga, yang selalu dapat tanpa mendapat izin. Mereka melukis disana, pada langit yang dipuji atas lukanya.
Indah.
Satu kata untuk mendeskripsikan pertemuan mereka. Langit, senja, jingga. Padahal kebanyakan orang tidak mengerti, jika mereka saling melengkapi.
"Yakinin gue kalau dia boleh ada yang memang layak. Dia juga punya kehidupan yang udah nunggu didepan sana. Jadi..."
Airi meraih tangan Felix untuk diletakkan diatas perutnya. Sambil menikmati hembusan angin di hamparan rumput luas, mereka saling bertukar pikiran. Keluarga dan segala tetek bengeknya kemudian.
"Kita bisa kan, jadi orang tua buat dia." Lanjutnya, manik Airi memohon. "Ada alasan kenapa banyak anak yang mesti bela anaknya walau mereka nggak mau. Naluri manusia itu ada, Fel. Lo ngerti kan maksud gue?"
Felix mengerjap. Maniknya seakan ikut terseret dalam kekelaman manik basah milik Airi.
"Gue nggak minta banyak. Akuin dia. Itu. Cukup."
"How about you?"
"Im okay." Jawab Airi singkat. Rautnya penuh ketegasan. "Lo nggak pernah tau gimana rasanya jadi anak yang nggak diharapkan kehadirannya? Gue, Fel. Gue pernah kayak gitu. Dan itu, sakit. Banget."
Airi menggenggam tangan Felix lebih erat.
"Gue nggak mau dia jadi anak yang kayak gitu. "So, can I believe you?"
Tatapan mereka beradu. Dengan pelupuk yang sama-sama berair. Kenapa bagi Felix sangat berat untuk mengambil keputusan? Apakah mengatakan ya sangat sulit? Bukankah ini yang selalu Felix mau? Hidup menua bersama Airi.
Tapi bagaimana juga, Felix tetap tidak bisa memaafkan dirinya saat tahu Airi datang bersama satu malaikat kecil.
Dengan helaan napas panjang, bibir bergetar milik Felix mulai terbuka. Mengucapkan sepatah kata lirih,
"Sorry..."
Seketika genggaman tangan Airi mengendur. Dunianya terasa rontok. Napasnya tercekat bersama rasa ngilu yang tak bisa diungkapkan. Air matanya berjatuhan tidak sabar. Mengalir seperti sungai di kedua pipi merona Airi.
Airi mengangguk tanda mengerti. Ditatapnya sekali lagi manik kelam itu sebelum membalikkan badan—meninggalkan Ayah dari bayinya. Dengan perasaan campur aduk tak karuan.
Dia berusaha memahami yang terjadi. Memahami dirinya dan Felix. Mencari cara agak terus kuat melangkah bersama malaikatnya.
Hingga langkah itu terhenti saat dua lengan kokoh itu memeluk tubuhnya dari belakang.
"Rhea... dia dateng semalem buat jumput gue, Ayahnya." Suara Felix bergetar. Direndam pada bahu wanita itu yang semakin deras menangis. "Im sorry for hurting you. Gue janji bakal terus gandeng lo, gandeng tangan kita, Ri.. maafin gue, ya?"
Airi mengangguk.
Dalam tangis bahagianya.
*****
Brilian Anastasya, Juni 2023