Masukan nama pengguna
*****
Pertama kali yang menjadi objek pengelihatan Laura adalah punggung tegap Aksa. Punggung tegap yang entah mengapa malah terlihat membawa beban berat. Helaan napas pria itu juga terdengar sangat sesak. Sesekali dia akan menyesap rum yang sedari tadi berada di tangan kanannya lalu tertawa kecil sendiri atau berekspresi sedih tiba-tiba.
Selalu begitu.
Terhitung tiga puluh detik sejak pertama kali Laura memegang handle pintu sampai saat ini, dia masih menimbang-nimbang hal apa yang akan dikatakannya pada pria nelangsa disana. Menanyakan kabar? Atau bertanya apa kamu baik-baik saja? Itu.. terlalu tidak mungkin. Jadi pilihannya hanya ikut terdiam begitu sampai disamping Aksa.
Menunggu pria itu mengucapkan sepatah kata dulu, yang tak tahu akan terucap kapan.
"Don't get drunk." Laura meraih gelas di tangan Aksa dan meletakkannya diatas nakas kecil. Reaksi itu berhasil mengalihkan perhatian sang empu. "Seenggaknya lo butuh kewarasan buat mikir realita."
Pria itu terkekeh. Menyisir rambut hitamnya sekali lalu pada wajah yang mulai memerah dengan bibir pucat. Demi Tuhan, Aksa sudah berdiri di balkon apartemen lantai 23 itu sejak pukul tiga pagi. Hanya memakai celana jeans denim panjang dan kaos polos hitam. Padahal suhu sebelum pukul lima setara dengan dinginnya hawa pegunungan tengah malam. Melihat bagaimana penampilan itu acak-acakan dan ada sedikit luka pukul di sudut bibirnya, Laura sudah bisa menyimpulkan.
Ini bukan pertama kali bagi Laura untuk mengerti masalah Aksa, tapi sebagai sahabat, apa yang bisa dia lakukan? Ikut campur urusan keluarga orang?
Akhirnya Laura hanya bisa menghibur, Ah, tepatnya mengajak pria itu untuk lupa pada hal yang baru saja terjadi. Laura juga tidak bisa memberi nasehat ataupun saran karena dia tahu jika Aksa akan mengalihkan. Bahkan tak pernah sekalipun Laura mendengar keluh kesah yang keluar dari bibir putra kandung pejabat negara itu. Aksa selalu memendamnya dengan senyum dan sikap sok baik-baik saja.
Walau Laura bisa melihat air muka menyedihkan itu.
"Mikir realita?" decihan Aksa terdengar sarkas, mengintimidasi hidupnya sendiri. "Realita mana yang ada di hidup gue sekarang? Mimpi aja nggak punya apalagi realita."
"Realitanya sekarang lo ada disini."
"Oh." Aksa manggut-manggut. Senyum miris terukir di bibirnya.
"Lo ngapain sih?" Laura bersedekap, nada bicaranya agak jengkel. "Kalo ada masalah tuh ngomong, Sa. Bilang sama gue. Lo pikir lo punya hati baja yang bisa nahan semua sakit? Nggak, Sa."
"Terus apa masalah lo?"
"Masalah gue, karena gue peduli sama lo!"
Lagi-lagi Aksa terkekeh miris. Dia sudah kebal terhadap makian Laura seperti ini. Emang dasarnya Aksa keras kepalanya, dia selalu memendam masalahnya dan stress sendiri. Aksa... ingin terlihat seperti orang kuat diluar sana saat menghadapi takdir dalam keluarga toxic. Dia ingin mengabaikan semua itu dan hidup normal seperti orang lain, tapi mengapa rasanya sangat sulit? Pola pikir dari keluarga yang tidak pernah memberikan kasih sayang padanya, berakhir menciptakan luka yang sulit disembuhkan.
Benci. Marah. Dendam.
Luka-luka itu kini memberontak dari hati Aksa. Okey, dia adalah pria yang tidak peduli dengan semua perlakuan keluarga. Tapi, please, bahkan namanya tak diakui di kartu keluarga dan sebagai gantinya hanya selembar kartu hitam berisi uang milyaran.
Jadi, apa kasih sayang itu bisa digantikan dengan uang?
"Just give me some time to myself. Gue butuh waktu buat mikir maksud realita yang lo omongin tadi."
Laura menghela napas jengah. Tanpa mendapat izin, gadis itu langsung menarik pergelangan tangan Aksa untuk duduk. Laura berada di belakang punggung pria itu, menjadikan punggung sempitnya sebagai tempat bersandar bagi Aksa. Sedetik kemudian, Laura memejamkan mata, menutup kedua telinganya dengan telapak tangan lalu berkata lirih,
"Sekarang gue nggak bisa ngelihat lo, nggak bisa dengar ucapan lo. Cukup sandaran aja sama gue, hirup napas sampai lega dan ucapin semua keluhan lo."
Manik Aksa mulai mengerjap. Bibirnya yang tadi sempat menyungging senyum miris, kini berubah sepenuhnya dalam laburan sedih. Meratapi nasibnya sendiri ternyata sesakit ini.
Dia akhirnya menurut. Memejamkan mata sambil bersandar di punggung Laura dengan pikiran mulai penuh. Minta dikeluarkan.
"Sekarang lo sendiri, Sa. Lo bisa ngomong sesuka lo." Bisik Laura lagi.
Aksa mengangguk kecil, mengambil napas panjang dan menghembuskan ke udara dengan penuh kelegaan. Bibirnya mulai terbuka untuk membisikkan beberapa rasa sakitnya,
"Sebenernya, buat apa sih manusia hidup?"
"Gue hidup buat apa?"
"Kalau besok gue masih bangun buat apa?"
"Kenapa nyawa gue nggak dialihin sama orang lain yang bisa manfaatin hidup aja?"
"Gue pikir... duit itu segalanya. Gue bisa beli apapun yang gue mau. Bisa beli temen, beli pacar, tapi ternyata bahagia itu nggak bisa dibeli ya?"
Satu bulir air mata Aksa merembes ke pipi. Untuk pertama kali, dia merasakan bagaimana rasa sakit itu makin terasa sakit begitu Aksa mengingatnya. Potongan-potongan kisah masa lalu yang juga terjadi sampai sekarang berusaha menyeruak. Mengingat itu, sama saja mengulang luka ternyata. Potongan bayangan dirinya sendiri yang tidak pernah makan dalam satu meja bersama keluarga. Potongan bayangan Papa yang memukulnya karena bertengkar dengan saudara tirinya. Potongan bayangan Papa yang mencacinya dengan kalimat kasar. Potongan kisah bagaimana dia ditendang dari kartu keluarga begitu Papa masuk anggota pejabat negara.
Aksa... kenapa kamu sangat menyedihkan. Segalanya.
Laura membuka matanya saat air yang menggenang disana mulai berhamburan jatuh. Hatinya ikut tercubit mendengar isakan tertahan pria itu yang kini tengah memeluk lututnya sendiri dalam isakan kecil. Laura tidak pernah melihat Aksa sesenggukan seperti ini sebelumnya. Yang dia tahu, pria itu adalah orang paling kuat.
Kedua tangan Laura spontan memanjang untuk membawa Aksa ke pelukannya. Menpuk-puk punggung rapuh itu dengan air mata yang sama-sama sulit dibendung. Mengusap kepala Aksa penuh sayang seperti Ibu yang sedang menenangkan anaknya.
"You did your best, it's okay."
*****
"Sa, lo dimana?"
"Kenapa?"
"Ini penting banget. Jadi dengerin gue dan ikuti aja."
Dahi Aksa mengernyit begitu mendengar perkataan tidak ramah dari bodyguard pribadinya. Barusaja Aksa membuka mata setelah ketiduran hanya bersandar di dudukan kursi luar balkon dengan selembar selimut sebagai penutup. Dia terbangun sebab dering ponsel tiada henti masuk.
"Apa sih—"
"Tuan Herman..."
Sontak pria itu bangkit. Agak memegangi kepalanya yang pusing sebab minum. Satu lagi yang tidak bisa Aksa hindari, yakni begitu mendengar nama atau kabar dari Papa walau pada akhirnya dia hanya dipanggil pulang dan dipukul karena membuat masalah. Papanya juga tidak pernah menelpon langsung. Selalu melalui bodyguard Aksa. Itulah sebab mengapa kabar dari Papa menjadi hal paling excited yang selalu Aksa tunggu.
Dia merasa masih dianggap dengan satu kalimat sederhana, "Sa, dipanggil Papa tuh. Lo dipanggil tuan Herman. Sa, lo dicariin pak Herman."
Sederhana namun menyimpan bahagia.
"Gue dipanggil Papa?"
"Nggak, bukan gitu..."
"Jadi?"
Suara di seberang terdengar menghela napas panjang. Ragu.
"Tuan Herman beserta semua keluarga lo sedang diselidik badan pemberantasan korupsi. Mereka semua diinterogasi sekarang."
Genggaman ponsel di tangan Aksa merenggang. Tubuhnya bergetar dan tatapannya linglung untuk sesaat. Ekspektasi berlebih itu terkadang menjatuhkan realita yang sebenarnya.
Bukan ini yang Aksa mau dengar.
"Jadi selama ini alasan tuan Herman nggak nyangkutin lo di keluarga tuh, biar masalah kayak gini nggak kena ke elo. Sa, tuan Herman pingin hidup lo tanpa beban dan jalani semua yang lo mau. Emang caranya salah, tapi cukup lo percaya kalau Ayah lo nggak sekejam itu."
Pupil Aksa mulai memerah kala air mata tak tahu malu itu berdesakan lagi.
"Orang tua selalu tau jalan terbaik buat anaknya kelak. Dan tuan Herman udah tau kalau hal kayak gini akan terjadi. Tapi please gue mohon lo jangan benci beliau, ini cuma tuduhan. Beliau nggak bener-bener ngelakuin itu. Sa, lo denger gue?"
Sedangkan disisi Arka, dia sudah jatuh bersama tangisan yang mulai deras. Ingin sekali meralat kata-kata benci untuk sang Papa begitu tahu rahasia apa yang sebenarnya disembunyikan selama ini. Aksa terlalu sentimen dengan perlakuan Papa yang seolah membencinya padahal dia tidak pernah mengerti bagaimana rasa sayang Papa dialirkan dalam rencana tak terduga yang kini dihadapinya.
Harusnya Aksa dapat melihat bagaimana kasih sayang Papa dalam bentuk uang. Harusnya Aksa dapat melihat bagaimana kasih sayang Papa dalam bentuk makian. Dan harusnya Aksa dapat melihat bagaimana kasih sayang Papa dalam bentuk pukulan. Sayangnya, Aksa terlambat menyadari itu.
Sehingga kini ingin melangkah untuk meminta maaf pun, dia sudah tidak punya waktu.
Laura yang melihat itupun segera mendekap tubuh Aksa lagi. Memberikan pria itu tumpuan untuk meluapkan segala isi hatinya.
Dalam isakannya, Aksa berbisik lirih,
"Gue udah ngerti sama realita itu. Tapi gue sadar kalau gue udah terlanjur sakit disana."
*****
Brilian Anastasya, Juni 2023