Masukan nama pengguna
Di sekolah kami, siapa sih yang tidak kenal dengan Pak Fendi, guru Matematika yang selalu saja ingin tahu urusan murid, nyinyir banget, padahal dia tuh, bukan Kesiswaan ataupun Guru Bimbingan Konseling. Informasi yang kami dapatkan, Guru Bimbingan Konseling sih merasa sangat terbantu dengan keaktifan Pak Fendi yang tiap hari kasak kusuk cari informasi tentang masalah murid.
Penampilan bapak guru yang satu ini, sederhana, wajah biasa yah standarlah nilai kalau pakai angka tujuh puluh lima. Badannya yang tinggi agak ceking, kulit coklat dengan rambut belahan samping yang selalu rapi, seneng banget mengingatkan murid tentang aturan sekolah, sehingga ada sebagian teman yang menyimpulkan Pak Fendi cita-citanya dulu ingin menjadi Guru Bimbingan Konseling, tetapi gagal. Sisi lain yang baik dari Pak Fendi yaitu sangat perhatian pada muridnya. Murid yang tidak masuk sekolah dicari tahu alasannya, yang sakit disarankan ke UKS atau diberikan obat, yang tidak mengerjakan tugas diminta menyelesaikannya di perpustakaan, yang lupa dengan aturan sekolah diingatkan. Di kalangan murid cowok beliau dikenal sebagai “Barber of the school” karena sering dimintai tolong untuk merapikan rambut murid cowok yang awut-awutan baik panjang maupun modelnya. Kebanyakan murid cowok yang belum dirapikan rambutnya beralasan karena lupa atau belum punya uang. Alasan yang selalu turun temurun dari generasi ke generasi. Kadang ada juga yang atas inisiatif sendiri minta rambutnya dipotong Pak Fendi.
Biasanya awal masuk sekolah seusai libur semesteran, Pak Fendy kebanjiran konsumen. Bagaimana tidak, pada masa liburan banyak murid yang berpenampilan aneh dengan alasan mengekspresikan potensi. Terutama cowok lupa atau sengaja membiarkan rambutnya panjang bahkan dicat dengan warna yang sedang viral. Nah, kalau sudah begini dan diingatkan lagi ternyata murid masih saja belum bergeming, baru Pak Fendi dimintai tolong Kesiswaan untuk merapikannya.
“Selamat pagi pak…,” sapaku pada Pak Fendi ketika lewat di rumah jalan dekat kelas.
“Selamat pagi juga mba Yanti, lo itu di presensi Reno sakit sudah dua hari sakit apa ya?“ jawab beliau menjawab sapaan salamku sekaligus bertanya.
“Wah ngga tahu pak,” jawabku.
“Tolong besok yang rumahnya berdekatan dengan Reno untuk menengok ya, gimana kondisinya,” pesan beliau sambil berlalu dan menuju kelas IXA.
Hari ini jam ke-6 dan 7 kelas IXF adalah pembelajaran Matematika yang diampu Pak Fendi. Seperti biasa setelah diskusi pemahaman konsep materi, Pak Fendi melakukan penguatan dengan memberikan soal-soal studi kasus dan murid diminta berkelompok mendiskusikannya. Sembari berkeliling memantau jalannya diskusi beliau memperhatikan penampilan tiap murid.
“Nah ini dia, kok rambutnya belum juga dirapikan ya?” tanya Pak Fendi sambil menunjuk ke rambut milik Edi yang sudah beberapa kali diingatkan, tapi masih saja mbalelo.
“Ya Pak, mau cukur sih tapi belum ada uang,” jawab Edi sambil duduk beringsut agak menjauh, tahu diri soalnya Pak Fendi sudah mendekatinya.
“Kayaknya sudah lama lo dan sudah beberapa kali diingatkan. Kalau tidak ada uang apa nanti sepulang sekolah ketemu Kak Guru dulu dirapikan, gimana?” saran beliau.
“Ngga … ngga usah Pak, ngga enak dengan Pak Guru.”
“Elwin tolong nanti sepulang sekolah, Edi ditemani ketemu dengan Pak Guru untuk dirapikan rambutnya ya?” pinta Pak Fendi pada Elwin.
“Siap pak!” jawab Elwin.
Sepulang sekolah Edi benar-benar ditemani Elwin menemui Pak Fendi, yang ternyata tidak berada di ruangannya. Menurut Bu Upik yang kebetulan hari itu piket, Pak Fendi sedang berada di perpustakaan. Akhirnya mereka ke Perpustakaan. Benar juga, Pak Fendi ada di sana sedang menunggu kedatangan Edi. Berikutnya kurang lebih limabelas menit rambut Edi sudah selesai di-makeover, dan sekarang sudah pendek, rapi, modelnya juga bagus.
“Ngaca dulu nih, lebih ganteng kan sekarang,” puji Pak Fendi sambil menyodorkan cermin yang sudah disiapkan sedari tadi.
“Oke deh…makasih bantuannya Pak Guru. Saya terus pulang saja ya?” jawab Edi sembari bersalaman dan mencium tangan gurunya untuk berpamitan.
Tidak seperti biasanya, siang hari ini Meta sang ketua kelas IXA terlihat sibuk, mondar-mandir sebentar-sebentar memanggil beberapa teman untuk membicarakan sesuatu, ada Bobby, Rio, Pras, Nina, Silvi dan trio manis. Bel masuk sekolah dan tanda dimulainya jam pembelajaran yang terakhir, sudah berlalu lebih dari sepuluh menit, tetapi kelas IXA masih saja belum dimasuki guru. Sebenarnya jam terakhir ini jadwal untuk pelajaran dari Pak Fendi, tapi belum ada tanda-tanda kedatangan beliau. Sejak pagi memang belum kelihatan, murid-murid berharap siang sudah datang, eh malah sampai jam terakhir belum juga terlihat.
“Sil…yuk ke ruang guru nyari Pak Fendi kok belum datang juga ya?” ajak Meta pada Silvi.
“Ayuk…jangan-jangan Pak Fendi kenapa gitu, bisa gagal deh rencana kita,” jawab Silvi.
Keduanya bergegas menuju ruang guru yang letaknya agak jauh ke depan dari kelas IXA dengan melewati ruang laboratorium IPA dan lapangan upacara.
Sesampainya di ruang guru, Meta dan Silvi hanya bertemu dengan Bu Prita yang piket hari itu dan menyampaikan tugas untuk murid. Dari keterangan Bu Prita hari ini Pak Fendi tidak bisa masuk kerja karena ada kepentingan. Meta dan Silvi kaget mendengar berita ini, karena kemarin Pak Fendi berjanji akan masuk kantor seperti biasa. Dengan perasaan penasaran campur dongkol akhirnya kedua murid ini kembali ke kelas. Sesampainya di kelas mereka memberikan pengumuman ke warga sekelasnya dengan lantang.
“Man teman, acara kita gagal deh, karena hari ini Pak Fendi ijin tidak masuk kantor katanya ada kepentingan gitu …,” seru Meta sambil ngos-ngosan nafasnya karena tadi dari kantor guru lari ingin cepat-cepat mengabarkan pada teman-temannya.
“Huuuhh …” suara koor seperti dikomando.
“Waduh gimana dong acaranya sudah mateng malah ijin, kadonya udah siap nih mau diapain?” tanya yang lain.
“Kuenya dimakan rame-rame aja, kita kan laper,” sambung Tion.
“Setuju ..!” Kompak suara cowok kelas IXA menjawab. Dasar cowok, giliran makan-makan yang dipikirkan terus.
Setelah beberapa saat rapat singkat akhirnya dihasilkan kesepakatan, sepulang sekolah ke rumah Pak Fendi. Perwakilan kelas saja, cowok tiga ada Pras, Jali, Feri dan ceweknya Meta, Nita, dan Ria. Berikutnya suasana kelas hening karena masing-masing murid sibuk mengerjakan tugas pelajaran Matematika. Sesekali ada juga satu dua anak masih membahas alasan ijinya Pak Fendi, maklum mereka kecewa sudah menyiapkan uborampe untuk kejutan ulang tahunnya malah ambyar.
Suara bel sekolah tanda pembelajaran usai berdering cukup keras, terdengar sorak sorai murid-murid bersiap untuk pulang, tidak terkecuali kelas IXA. Setelah menyelesaikan tugas Matematika, murid-murid IXA pulang kecuali yang akan mengemban tugas khusus. Dengan bersepeda kayuh mereka ke rumah Pak Fendi yang jaraknya dari sekolah kurang lebih 5 kilometer. Untuk sampai ke sana keenam anak melewati jalur alternatif yaitu area kebun palawija dengan harapan secepatnya sampai tujuan. Meskipun area kebun palawija tapi jalannya lumayan ramai, ukurannya lebar biasa dilewati mobil bak terbuka pengangkut palawija yang barusaja dipanen. Hanya kondisi jalan sangat berdebu saat musim kemarau seperti sekarang dan agak becek jika musim hujan. Sebenarnya ada jalan lain yang lewat pemukiman penduduk suasanya juga cukup teduh karena kiri kanan ditanami pepohonan tapi jaraknya lebih jauh, kondisi jalannya beraspal dan sangat rusak.
Meskipun bermandi peluh akhirnya keenam murid sampai juga di rumah Pak Fendi. Rumahnya cukup asri, halamannya luas dengan dua pohon rambutan yang rindang, di teras rumah ada pot-pot tanaman bunga tertata rapi, ada Myana, Caladium, Anthurium, mawar, ada juga jenis anggrek Catleya dan Dendrobium yang tergantung dengan bunganya yang cantik.
Setelah menyetandar sepeda, mereka menuju pintu dan mengetuknya sambil mengucapkan salam.
“Assalamualaikum …,” ucap Meta. Tidak ada jawaban, suasana rumah juga sepi,
“Assalamualaikuum …, Assalamualaikum Pak Fendi.” Meta dan Ria mengulang salamnya sementara ketiga murid cowok memeriksa sekeliling rumah barangkali ada orang yang bisa dimintai keterangan.
“Kemana sih ya dari tadi pagi HP nya juga off? Kita sudah menyusun acara untuk kejutan ultah di sekolah gagal, disamperin di rumah juga gagal… apes… apes…!” gerutu Nita mulai tidak sabar.
Tiba-tiba Pras muncul dari arah sebelah barat bersama dengan seorang nenek kira-kira berumur 70-an, namanya Mbok Sayem rumahnya di samping kanan rumah Pak Fendi. Sambil mengunyah tembakau dan pinang untuk susur, nenek ini menyampaikan tidak tahu Pak Fendi kemana malah dikiranya ke sekolah ada rapat penting, makanya berangkat lebih awal dari biasanya.
“Enjing gasik banget mas tindake, kulo nggeh mboten ngertos mas guru Fendi teng pundi …,” jawab Mbok Sayem.
“Nopo teng nggene morosepahe njujugaken mbak Palupi, mbok kangen kalih ibune?” Mbok Sayem mulai berasumsi.
Mereka kemudian berembug, Mbok Sayem menawarkan bantuan jika ada titipan atau pesan untuk disampaikan ke Pak Fendi. Mereka memutuskan untuk menitipkan ke Mbok Sayem, apa yang sudah dibawanya dari sekolah, semuanya ada di dalam dus yang dibungkus kertas kado berlapis-lapis. Tidak ada tulisan apapun di bungkus terluar, hanya ada tulisan di bungkus kedua. ”Untuk Pak Fendi yang selalu perhatian, dari kami kelas IXA.” Setelah pamitan, mereka berenam pulang dengan lelah bercampur rasa kecewa.
Menjelang Isya terdengar suara motor Pak Fendi memasuki pekarangan rumah. Sepuluh menit berikutnya Mbok Sayem datang untuk menyampaikan kabar kedatangan murid-murid dengan membawa bingkisan kado. Pak Fendi menerima serta mengucapkan terimakasih pada Mbok Sayem yang terus berlalu pulang. Sesampainya di dalam rumah dibukanya bingkisan kado yang di dalamnya berisi 4 kado dengan ukuran yang tidak sama. Kado pertama berisi kue ulang tahun, kemudian kado kedua berisi sikat dan semir sepatu, kado ketiga agak besar berisi tisu dan yang terakhir berisi…
“Sisir, gunting dan cermin,” gumam Pak Fendi.
Meskipun Pak Fendi sosok laki-laki yang tegar, tapi detik ini sedang rapuh hatinya. Kado dari murid ditatapnya, tiba-tiba ribuan jarum entah darimana datangnya makin mendekat, dan mendekat. Kemudian menembus badannya dan menusuk-nusuk hingga ke dasar hati, sakit sekali. Badannya yang ceking cenderung kurus tak berdaya, sangat lelah, dan lebih lelah lagi perasaannya. Pagi tadi sepulang sholat subuh berjamaah di mushola kampungnya, Palupi pergi dari rumah hanya meninggalkan secarik kertas dengan selarik kalimat “Aku mencari kebahagiaan yang hilang, Mas Fendi sudah paham yang kumaksudkan.” Dari sepulang sholat subuh hingga menjelang Isya dirinya terus mencari Palupi istrinya tapi tidak ketemu, sementara nomer HP-nya tidak dapat dihubungi. Tempat pertama yang dituju adalah rumah orangtua Palupi, di sana bukannya bertemu dengan yang dicari, malah dirinya dituduh sebagai laki-laki tidak bertanggung jawab, tidak becus mengatur istri. Semua saudara dan teman-temannya sudah ia hubungi tapi hasilnya tidak ada yang tahu.
Palupi menikah dengan Pak Fendi atas kemauan orangtua kedua belah pihak yang lama bersahabat dekat. Akhir-akhir ini rumah tangga Pak Fendi agak goyah, hampir lima tahun belum diberikan buah hati yang dapat menjadi penghibur dan tumpuan masa depan berdua. Terlebih sejak kemunculan mantan kekasih Palupi sebelum menikah dengan dirinya. Kekasih lama Palupi barusaja pulang dari Malaysia karena sempat patah hati ditinggal menikah dan hingga saat ini masih melajang. Ternyata komunikasi diantara mereka berdua terjalin kembali, dua minggu yang lalu Palupi terang-terangan menceritakan semua dan minta agar Pak Fendi menceraikan dirinya.
Kembali ditatapnya kado ulang tahun dari murid-murid, yang ternyata sangat mendalam artinya, Sisir, gunting dan cermin mengandung makna agar dirinya merapikan rambut kemudian bercermin karena seharian mencari istrinya tanpa sempat membersihkan diri. Sikat dan semir sepatu jelas menyiratkan pesan, untuk membersihkan sepatunya yang kusam berdebu karena biasanya bersih dan mengkilap. Kado tisu ternyata juga terkandung arti siap untuk membersihkan peluh dan airmata kesedihan. Dan kue ulang tahun itu, akan diberikan saja ke Mbok Sayem karena dirinya sama sekali tidak ada selera makan. Ahh….apa yang sedang dialami Pak Fendi murid-murid merasakannya juga, begitu dekat ikatan batin diantara mereka. Dan kado ulang tahun dari istrinya hanya secarik kertas dengan selarik kalimat, “Aku mencari kebahagiaan yang hilang, Mas Fendi sudah paham yang kumaksudkan.” Istrinya memilih minggat bersama laki-laki masa lalunya!