Cerpen
Disukai
1
Dilihat
4,928
Lelaki Bermata Teduh (Tamat)
Slice of Life

“Drer … drer ….” Kulirik ponsel yang ada di atas meja, ada pesan.

“Dik, apa ngga ada syarat yang lain?” Aku menepuk jidat setelah membaca pesan dari Mas Yoga yang merasa keberatan dengan syarat yang diminta.

“Aku kan bantu Mas Yoga menerima tawaran, tapi Mas Yoga juga harus bisa bantu aku dong. Kayaknya syaratnya ngga susah-susah amat, tinggal cerita saja dah beres,” celotehku pada ponsel.

Syarat yang kuajukan sudah tidak bisa ditawar-tawar lagi. Aku harus segera tahu ada rahasia apa di balik ngototnya Nyonya Subandriyo ingin menjadikanku anak asuhnya. Persyaratan ini cukup membuat Mas Yoga berpikir keras mencari jalan keluar.

Setelah makan malam, Nyonya Subandriyo masih duduk di ruang makan ditemani anak lelakinya yang sedang menyiapkan obat untuk diminum. Ada beberapa macam obat yang masih harus dikonsumsi di samping vitamin           penguat fungsi organ tubuh. 

Kembali ditatanya perasaan dan pikiran lelaki itu, berharap menit-menit berikutnya timbul kekuatan untuk menanyakan tentang rahasia besar yang ada pada keluarganya. Mantan istri pejabat itu sedang menghabiskan sisa jusnya, ketika anak lelakinya mecoba menghilangkan sepi dengan sapaan. “Bu …” sapanya seakan berkumandang memenuhi seluruh ruangan.

“Hem … ya gimana? Nak, tolong dikirim pesan ke Anisah, gimana kabarnya?”

“Ya bu. Ibu ini aneh, yang sakit kan Ibu kenapa malah Ibu yang tanya-tanya kabar dia?” jawab Mas Yoga setengah protes.

“Yoga sebenarnya hanya ingin …,” tanya lelaki itu yang sudah dipotong oleh ibundanya.

“Terus gimana kabar dia dan keluarganya?”

“Alhamdulillah baik-baik saja.”

“Maksud ibu, apa sudah ada jawaban untuk tawaran dari kita?”  Tiba-tiba Mas Yoga merasa memiliki celah untuk mengutarakan isi hatinya, setelah ibunya bertanya seperti itu.

“Nah, ini masalahnya Bu.”

“Apa maksudmu, Nak?”

“Dik Anis mau menerima tawaran dari kita tetapi dengan syarat Bu.”

“Iya ngga papa, ada syaratnya, Ibu siap kok,” jawab Nyonya Subandriyo dengan mata berbinar. Kembali wanita ini bertanya karena tidak ada jawaban dari putranya.

“Nak syaratnya apa?” tanya wanita itu.

“Yakin Ibu siap mendengarkan? Tidak kaget dan tersinggung ?” kembali ditegaskannya pertanyaan ini pada ibunya.

“Iya sudah siap mendengarkan, katakan Ibu akan berusaha memenuhinya.”

“Jadi begini Bu…, Dik Anis hanya ingin tahu ada masalah apa antara keluarga kita dengan keluarganya, seakan ada suatu masalah yang harus dibayarkan. Ibu begitu ingin Anisah kita jadikan anak asuh, ini aneh! Apalagi sikap-sikap awal ibunya Anisah seakan sepertinya kita adalah musuh. Ada apa Bu?

Tangan lelaki itu menggenggam tangan tua yang ada di hadapannya, sementara matanya menatap kedua bola mata yang tak lagi berbinar. Makin lama bola mata itu terlihat kabur karena tenggelam oleh air yang menggenang tiba-tiba. Anak lelaki semata wayangnya kemudian meraih tubuh tua ibunya ke dalam pelukan.

“Maafkan Ibu Nak … maafkan …Ibu telah banyak melakukan salah,” ucap Nyonya Subandriyo di sela-sela tangisnya.

“Bu … di dunia ini nggak ada orang yang ngga pernah salah. Yang penting segera memperbaiki diri dan bertobat,” jawab Mas Yoga menenangkan hati wanita yang sudah melahirkan dirinya.

Hari ini aku berencana mengunjungi Nyonya Subandriyo ke rumahnya, untuk mengetahui sejauh mana kondisi kesehatannya. Aku ke sana sendiri, ibu tidak ikut, hanya titip pesan untuk mantan majikannya itu. Ibu tidak tahu kalau aku ke sana sebenarnya sekaligus untuk menagih syarat yang pernah aku ajukan dulu sebelum jawaban ya untuk tawarannya. Setahu ibuku, aku sudah menjawab sanggup dengan keinginan keluarga Mas Yoga, jadi beliau tidak curiga. Aku juga meminta keluarga Mas Yoga merahasiakan persyaratanku ini karena tidak ingin salah paham terjadi lagi. 

Siang ini kulajukan motor matic menyusuri jalan yang biasanya kulewati kalau berangkat sekolah. Pemandangan sepanjang perjalanan agak berbeda dengan situasi pagi hari. Tak jarang motor bututku menerobos dingin dan berkabutnya pagi, situasi masih agak lengang, karena geliat aktifitas menyambut siang barusaja datang. Ternyata siang lumayan ramai, meski tak seramai jalanan di kota kecamatan dekat sekolahku. Di jalan ini, tepi kampung dekat komplek persawahan yang membelah kampung Opak tak mungkin bisa kutemui mata teduh dan senyum ramah itu. Tidak masalah. cukup menjadi kenangan, sekarang justru aku akan memulai hidup yang lebih indah lagi, karena setiap hari tidak hanya pagi, kudapati teduh matanya yang bertaburkan senyuman. Ups …! Aku tersenyum sendiri dalam perjalanan.

Kurang lebih jam sepuluh lebih sepuluh menit aku sudah sampai di pelataran rumah yang dituju, sepi, suasana khas perkampungan. Detik berikutnya di teras rumah sudah terlihat Mas Yoga, rupanya sudah tahu kedatanganku dari suara motor matic ini. Dia tersenyum ramah, tapi sorot mata itu tidak bisa kulihat karena jauh, tidak apa-apa aku akan segera menyambutnya dengan senyum terindah yang selama ini aku simpan. Senyum terindahku hanya untuk orang-orang khusus dalam situasi yang khusus juga. Kusetandar motor untuk mengakhiri khayalan ini.

“Assalamualaikum …” sapaku mendahului, sebelum dia menyapa. Ini salah satu trikku untuk mengurangi rasa grogi yang tiba-tiba mengepungku. 

“Walaaikumsalam Dik …, ayo silahkan masuk,” jawabnya. Kemudian melangkahkan kaki mendekat dan menyambut kedatanganku.

“Sendirian saja, ibu kok ngga ikut?”

“Ibu sedang ada pesenan mendadak, cuma nitip salam tadi. Ini ada sedikit oleh-oleh untuk Mas Yoga dan keluarga.” Kuulurkan kepadanya, tas kresek putih yang berisi oleh-oleh, tidak lupa ibu tadi juga menyiapkan tiga bungkusan peyek. 

“Yuk masuk dulu,” ajaknya mempersilahkanku. 

“Om … siapa sih mba ini? Kok kesini bawa oleh-olehnya banyak?” tanya si kecil keponakan Mas Yoga yang sedari tadi ternyata memperhatikan.

“Oh … ini namanya Mba Anisah, kenalan dulu ya,” pintanya sambil mengulurkan tangan si kecil untuk berjabatan denganku. Aku tersenyum, kusambut tangan mungil ini dengan suka hati.

“Dedek ganteng, pinter lagi, Mba boleh tahu ya namanya?”

 “Iya … boleh,” jawabnya tanpa menyebutkan nama, kemudian berlari ke dalam sambil berteriak.

“Eyang … eyang … ada Mba cantik Yang …” Kami berdua tersenyum memandang polah lucunya. Kemudian kami masuk ke ruang tamu yang cukup besar dengan perabotan kuno yang masih terawat dengan baik. 

“Assalamualaikum Mba Anis, silahkan duduk, sebentar ya aku panggil ibu,” sapa ramah dari perempuan muda yang menggendong anak kecil tadi, ku pikir ini mamanya atau adik Mas Yoga.

“Waalaikumsalam, ngga usah Mba. Kalau ibu masih ngga enak badan, biar aku nengokin ke kamarnya saja,” jawabku menjelaskan.

“Oya udah kalau begitu, yuk ke dalam. Ibu udah lumayan sehat, tadi pagi juga sempat jalan-jalan ditemani Yoga dan Azka, cuma di sekitar pekarangan rumah sih.” Aku manggut-manggut.

“Eh Nak Anis udah datang ya …” Sapaan ini cukup mengagetkanku, yang ternyata suara dari Nyonya Subandriyo, muncul tiba-tiba dari samping rumah.

“Eh iya …, Assalamualaikum Nyonya.” Kusalami dan kucium tangan nyonya besar ini.

“Waalaikumsalam, yuk duduk di ruang depan,” ajaknya menggandeng tanganku. Aku mengikuti ajakannya untuk menuju ruang tamu.

“Maaf ibu ngga bisa ikut, tadi hanya nitip salam dan semoga Nyonya cepat sembuh.”

“Ya ngga papa, aku sudah sehat sekarang. Panggil saja aku ibu ngga usah Nyonya begitu ya,” pintanya.

“Nggih bu.”

Aku dan Nyonya Subandriyo duduk di ruang tamu, sesekali dedek kecil yang ternyata bernama Azka datang untuk bermanja pada eyangnya. Kami ngobrol ngalor ngidul banyak hal, ditemani juga Mas Yoga dan mamanya Azka. Kulihat wajah Nyonya Subandriyo jauh lebih segar detik ini, sering dirinya terlihat tertawa memperlihatkan barisan gigi palsunya. Mamanya Azka pamit ke belakang karena Azaknya sudah mulai rewel minta ditemani main mobil-mobilan di halaman belakang rumah.

“Nak Anis, kita mulai saja ya, pada masalah pokoknya.” 

“Nggih bu, silahkan.”

“Nak Anis baru mau menerima tawaran dari kami,setelah tahu rahasia masa lalu kami begitu ya? Apakah ngga bisa diganti syarat yang lain?”

“Maaf bu, sepertinya tidak ada.”

“Apa Nak Anis yakin tetap menerima tawaran kami, setelah tahu yang sebenarnya?”

“Insha Allah bu, saya akan menepati janji dan perasaan saya jauh lebih bahagia setelah tahu yang sebenarnya meskipun itu pahit sekalipun.”

“Terimakasih Nak, … sebelumnya ibu minta maaf, mohon dimaafkan sebesar-besarnya dosa-dosa keluarga kami, almarhum bapak, ibu, Yoga dan mamanya Azka. Kami telah melakukan salah yang amat besar. Ijinkan kami untuk menebus kesalahan itu Nak.” Sampai di sini Nyonya Subandriyo, menghela nafas, kemudian duduk mendekat dan memelukku, matanya mulai berkaca-kaca. Mas Yoga membantu ibunya melanjutkan cerita.

Jantungku seolah berhenti berdetak untuk beberapa detik, ada sesuatu yang sangat besar dan panas menghimpit dada, setelah mendengarkan cerita masa lalu yang selama ini menjadi rahasia besar keluargaku dan keluarga Mas Yoga. Nyonya Subandriyo tidak henti-hentinya memelukku dan meminta maaf, sementara Mas Yoga hanya membisu, wajahnya terlihat lebih pucat dari biasanya. 

“Maafkan dosa kami Nak, ijinkan kami menebusnya,” rintih Nyonya Subandriyo. Tangis kami bertiga pecah seiring dengan terbukanya selubung rahasia keluarga yang menjadi teka-teki selama ini.

Ya Tuhan, tak disangka, ternyata aku hanya anak haram dari seorang pembantu yang diperkosa majikannya. Sebagai pejabat karena malu aibnya terbongkar ibuku yang menjadi pembantu diusir oleh nyonya majikannya.

Bagaimanapun, aku tetap menepati janji, kuterima tawaran keluarga ini. Tenyata aku adalah adik tidak sahnya Mas Yoga, si mata teduh yang selalu aku rindu.  Demi kebahagiaan orang-orang terkasih, aku akan berusaha menerima senyum dan mata teduhnya melindungi dan mengayomiku sebagai seorang kakak, bukan seorang kekasih. Aku yakin suatu saat akan kutemukan mata teduh dan senyum ramah dari kekasih yang sejati.


Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)