Masukan nama pengguna
SALAHKAH RINDUKU
Oleh: Munkhayati
Dari seberang jalan kulihat bus yang dinaiki Laras mulai bergerak pelan menjauh dari sekolah menuju tempat studiwisata, Bandung. Setelah berada di jalan beraspal dekat dengan tempat aku berdiri, dari jendela kaca anak-anak sangat bergembira, kulambaikan tangan sambil tersenyum melihat tingkah mereka. Laras sulungku baru kali ini studiwisata lintas propinsi tanpa pendampingan orangtua, maklum sudah Sekolah Lanjutan Pertama. Berbeda dengan Riris adiknya meski baru duduk di bangku TK sudah dua kali studiwisata dari sekolah didampingi Mas Banu karena aku tidak ada ada waktu, tapi tepatnya sih males. “Drer….drer….drer.” Cepat-cepat kurogoh kantong saku baju karena getar notif dari ponselku.
“Besok ditemeni yah nyelesain laporan proyek….”
“Nyampe jam berapa?” aku ngechat balas.
“Nyampe selesailah.”
Aku hanya balas dengan emoji senyum.
Pesan whatshap singkat dari Pak Dodi rekan kantor yang selalu menjadi penyemangat kerjaku.
Yeah….asyik aku punya waktu lebih untuk berlama-lama dengan Pak Dodi di kantor, lebih tenang. lebih senang dan memang ini kesempatan yang sering aku tunggu-tunggu. Di kantor kalaupun tidak ada kesempatan, kami selalu menciptakannya.
Aku sudah hampir sepuluh tahun kerja di kantor yang sekarang. Selang tiga bulan setelah aku menjadi bagian dari kantor ini, Pak Dodi masuk. Sebenarnya Pak Dodi orang yang rajin bekerja hanya males pada urusan administrasi atau pembukuan, padahal urusan ini yang diminta atasan ebagai bentuk pertanggungjawaban kerjanya. Kemudian Pak Dodi sering meminta bantuanku mengerjakannya. Berawal dari hal ini, kami sering mengerjakannya bareng di sela-sela jam kantor, kadang mengorbankan waktu istirahat bahkan akhir-akhir ini di luar jam kantor. Sambil menyelesaikan pekerjaan, sering kami selingi dengan candaan, cerita yang ringan dan curhat tentang rumah tangga masing-masing. Gayung bersambut, entah mengapa aku merasa senang sekali bisa membantunya, nyaman di dekatnya, cerita serta curhatanku mendapat perhatian dari Pak Dodi yang luar biasa. Sepertinya perhatian Pak Dodi sudah melebihi perhatian seorang teman. Setiap hari dirinya tidak pernah absen selalu muncul di layar ponselku, entah sekedar menanyakan sampai di rumah jam berapa, mengingatkan jangan telat makan, tanya kesehatan keluarga, jadi kondangan apa tidak, hari ini masak apa…de el el ada saja yang ditanyakan. Riwayat chat dengan Pak Dodi biasanya terus aku clear, Mas Banu sih jarang buka-buka ponselku kalaupun buka mesti ijin dulu baru diambil katanya mbok mengganggu pekerjaan kantorku.
“Drer….drer….drer.” Owh….ada pesan whatsshap dari Laras yang menyampaikan kalau dirinya sehat dan tidak mabok perjalanan, aku pikir dari Pak Dodi. Jam kantor lagi ngapain dia ya? “Drer….drer….drer.” Hemm, bener pesan dari dia, tanya kesehatanku gimana. Hari ini aku nda ngantor rasanya kurang enak badan, tadi pagi sudah telpon pamit ke Pak Rahmat pimpinan kantor.
Selama bertahun-tahun aku menjalankan biduk rumah tangga bersama Mas Banu rasanya perhatian yang diberikannya biasa-biasa saja, hambar. Saat aku sakitpun tidak ada perhatian istimewa yang kuterima, rutinitas sehari-hari hanya mencuci baju yang diinvalnya. Mas Banu masih saja seperti dulu sama seperti pertama aku kenal, tidak ada perhatian istimewa, tidak ada romantis-romantisnya, penampilannya aduh….kelewat jadul, kebapakan…! Dulu waktu tahu dijodohkan dengannya oleh oranguaku, sempat aku protes berat, seminggu nangis. Ga kebayang deh… harus menikah dengan Mas Banu. Karena tidak mau dianggap sebagai anak yang tidak patuh dengan orangtua akhirnya kuterima pernikahan itu, swear…aku ngga suka dia ngga cinta! Di sisi lain ibu selalu memotivasiku dan mengatakan pada saatnya cinta akan tumbuh dengan sendirinya karena terbiasa. Setelah menikah aku kira Mas Banu bisa sedikit berubah, ya minimal perhatiannya atau penampilannyalah yang agak trendy gitu kayak pasangan-pasangan muda yang lain, saling curhat, coupelan apa hiling kek, ga mikiri kerja dan kerja terus nyampe jidatnya berkerut-kerut, cepet tua.
“Dah makan belom. jangan lupa obatnya ya.”
Aku tersenyum membaca pesan ini, sedikit ringan rasa pusing di kepala. Ku bangunkan tubuh dan duduk di tepi ranjang, ingin rasanya ketemu Pak Dodi, kemudian jalan-jalan berdua saja, ngobrol ringan sambil menyeruput segarnya es kelapa muda seperti kemarin. Selasa yang lalu kami makan siang bersama di rumah makan langganan di tempat yang lumayan sejuk untuk ngadem.
Ahh…aneh aku sering chating dengan Pak Dodi ketimbang suamiku. Mengapa Mas Banu ngga bisa seromantis Pak Dodi, selalu care meskipun dalam hal yang sepele, selalu ada saat aku membutuhkan. Aku tidak pernah mendapat kado moment spesial saat ulang tahun dari Mas Banu selama aku menikah, hanya ucapan dan kue yang berikutnya kami makan bersama sekeluarga, tak lebih. Mengapa selalu Pak Dodi yang memberikan moment kejutan-kejutan manis untukku? Aku selalu mengharapkan Pak Dodi ada di dekatku, bahkan kadang aku merajuk pada Pak Dodi untuk berdua sekedar menikmati kopi atau es buah, dan hatiku berbunga bahagia. Aku belum pernah sebahagia ini meskipun dengan suamiku sendiri. Pak Dodi seolah menjadi candu bagi hidupku selama delapan bulan ini. Mia teman yang paling dekat meja kantornya dengan mejaku, sering meledek,
“Nin…, itu namanya kamu tuh sedang jatuh cinta dengan Pak Dodi.”
“Masa sih…kok bisa kan aku sudah bersuami?”
“ Ya bisa saja, kan dari dulu belum pernah ngalamin. Sayangnya jatuh cintanya tidak pada pasanganmu tapi pada laki-laki lain.”
Mia masih menambahi celotehannya.
“Ini nih…akibat dari kurang perhatian dari pasangan sendiri, kemudian curhat-curhatan ke laki-laki lain terus merasa nyaman, ketergantungan, nda mau dipisahkan, selingkuhan dong!”
“Hih…kok begitu sih,”
”Hati-hati Nin kalau bermain api. Mas Banu dan kedua anakmu bisa tahu lo, apinya merembet membesar jadi kebakaran.”
“Huhh…..sok ceramah!” Aku tinggalin Mia sambil ngeloyor pergi meninggalkannya.
Mia sering memergoki kami sedang berduaan di kantor, tapi aku ngga ambil pusing, cuek sajalah. Seperti juga aku tak begitu mempedulikan Mas Banu mau di rumah ataukah tidak, Mas Banu juga jarang nanya-nanya kalau aku pulang telat, sementara anak-anak kadang sudah dititipkan pada nenek untuk ikut mengawasi.
Hari Kamis ini aku pamit tidak bisa ngantor karena Riris terus merengek, semalaman badannya panas ngga turun-turun dan mengigau, badannya lemas, kemarin siang hingga sore ngga mau makan, padahal sudah berulang kali Laras membujuknya. Kemarin aku pulang dari kantor agak malam menyiapkan proposal untuk untuk survey lokasi target barru pemasaran barang, ini proyeknya Pak Dodi sih. Melihat kondisi Riris yang terus mengkhawatirkan akhirnya Mas Banu membawa Riris ke IGD rumah sakit terdekat. Sukurlah pagi tadi Riris sudah bisa dipindahkan ke bangsal perawatan. Kondisinya lumayan membaik, sudah kusuapi makan kemudian minum obat dan sekarang tidur. Mas Banu sudah berangkat ngantor agak awal dari biasanya, ada pertemuan dengan klien penting yang harus disiapkan, katanya. Seperti biasanya begitu berangkat kerja nyambung komunikasi lagi denganku nanti kalau sudah di rumah.
Drer….drer…drer…drer…getar notif ponselku dari tadi berkali-kali tapi belum sempat kubuka, pasti dari Pak Dodi. Agak siang sekitar jam 9.00 WIB baru bisa kubuka, ya ampun di layar ponsel chat dari Pak Dodi berkali-kali dan ada satu kali vicall. Aku mulai membalas pesan whatshapnya satu persatu dan selanjutnya larut dalam kontak maya cukup lama hampir satu setengah jam. Di saat anaku sakit, Pak Dodi muncul untuk menghiburku tapi Mas Banu ayah dari anaku sama sekali tidak menghubungi, hanya kemarin sempat mengantar ke IGD. Aku terus membandingkannya, mengapa yang menjadi ayah anaku bukan Pak Dodi saja yang jelas perhatian dan menyayangi. Aku sangatlah rapuh, terus merindukannya selalu ada di dekatku, meleburkan kesedihan dan kecewa dalam lautan embun kasih yang terpancar dari sikap dan kata. Kuraih kertas tisu dari tas, kuceritakan semuanya di sana dalam butiran air yang mengalir yang membuatku makin terisak.
Ambal, Mei 2024