Masukan nama pengguna
NAK, IJINKAN AKU BAHAGIA PART- 4
Pak Rahmat benar-benar membuktikan kata-katanya, untuk memperkenalkan calon pilihannya yang bernama Bu Tika. Hari yang ditunggu itu telah tiba, Selasa Bakda Dhuhur. Dengan penampilannya yang rapi meskipun sudah berusia lanjut tetapi masih tampak gagah, Pak Rahmat meluncur untuk menjemput harapan hatinya. Sementara di rumah, Rina mencoba bersabar mengatasi kemelut hatinya, was-was. Gadis ini masih saja takut bapaknya menikah, kemudian terjadi hal-hal yang tidak baik pada dirinya, sehingga bukan kebahagiaan yang didapatnya tetapi kesengsaraan.
Sepuluh menit selanjutnya, Pak Rahmat sudah datang bersama seorang perempuan. Tinggi badan sebahu bapaknya, memakai jilbab biru senada dengan warna baju gamisnya. Perempuan ini yang lebih dahulu menyapa Rina dengan lembut.
“Assalamualaikum, ini Mba Rina, Bapak sering bercerita tentangmu,” sapa ramah perempuan itu sembari mengulurkan tangan untuk berjabat.
“Waalaikumsalam, iya betul aku Rina bu.” Rina menyambut uluran tangan itu, agak canggung juga pada pertemuan pertamanya ini.
Rina, Pak Rahmat dan perempuan ini duduk bersama untuk berbincang-bincang di ruang tamu. Mereka membincangkan masalah hobi, sekolah, dan hal-hal kecil lain. Rina mulai melihat sisi lain dari Bu Tika. Perbincangan di antara mereka awalnya sedikit kikuk, tetapi lama kelamaan, Rina mulai merasakan ketulusan dari perempuan yang menjadi pilihan bapaknya. Bu Tika tidak hanya ramah, tapi juga pengertian dan memiliki wawasan yang luas.
"Mba Rina, aku tahu ini tidak mudah bagi kamu. Namun, aku hanya ingin membuat bapakmu bahagia. Beliau layak untuk mendapatkannya mba," Bu Tika berkata dengan lembut dan senyuman selalu tersungging di sudut bibirnya.
Tiba-tiba Rina seperti tersadar dari lamunannya. Kata-kata yang barusaja dilontarkan oleh Ibu Tika bagai panah menembus langsung ke hatinya. Detik itu juga perasaannya yang mendalam sangat tersentuh. Selama ini dirinya teramat egois, hanya mementingkan perasaannya saja. Rina tidak pernah mau mengerti perasaan bapaknya yang butuh teman untuk berbagi, diperhatikan dan butuh bahagia.” Kemudian gadis ini berusaha menyampaikan ganjalan hatinya pada calon ibu sambungnya.
"Terus terang Bu, Rina takut. Takut kehilangan bapak." ujarnya dengan suara lirih, takut kalau-kalau Bu Tika tersinggung.
“Mba Rina, ibu menghargai keluarga dan mengerti betapa pentingnya hubungan antara anggota keluarga. Ibu tidak akan mengambil bapakmu, tetapi ingin menjadi teman bagi kalian, Mba Rina, Mba Widi, Mba Nani dan bapak, dalam menjalani hidup ini,” ungkap Bu Tika dengan bijaksana. Perempuan itu mengelus punggung tangan Rina,
“Percayalah, Mba Rina hanya takut dengan pikirannya sendiri.”
Hari demi hari berlalu, Rina sering komunikasi dengan Bu Tika. Dia berusaha beradaptasi dengan kehadiran perempuan itu, seandainya menjadi kenyataan untuk mendampingi bapaknya di ujung usianya. Rina makin memahami wanita itu, ternyata Bu Tika bukanlah sosok perempuan yang menakutkan, seperti yang selama ini ada dalam angan-angannya.
Tibalah pada hari pernikahan yang ditunggu-tunggu, Pak Rahmat dan Bu Tika pun tiba. Rina berdiri di samping bapaknya, merasakan cinta yang mengalir di antara mereka. Mba Widi, Mba Nani dan keluarga juga turut hadir dan mendampingi Pak Rahmat. Mereka tahu bahwa detik ini adalah awal baru untuk membina kebahagiaan.
Malam itu, Rina memutuskan untuk menanyakan sesuatu pada Bu Tika.
"Bu, apa sih yang membuat Ibu mau dinikahi dengan Bapak?" tanyanya dengan hati-hati.
Perempuan itu tersenyum.
"Rina, bapakmu adalah laki-laki yang baik. Dia sangat mencintai keluarga dan berusaha keras untuk mendampingi keluarga meraih bahagia. Ibu ingin menjadi bagian dari kehidupan kalian dan membantu bapak membuatnya bahagia," jawab Bu Tika dengan tulus.
Hari-hari selanjutnya Rina mulai melihat kehadiran Bu Tika di keluarganya bukan sebagai ancaman, melainkan sebagai seseorang yang diharapkan bisa membuat bapaknya bahagia. Dirinya melihat bagaimana Bu Tika memperlakukan bapaknya dengan penuh kasih sayang dan perhatian, gadis ini pun berusaha untuk lebih terbuka dan menerima Bu Tika meskipun tidak bisa instan, tapi butuh waktu.
Rina merasa hatinya semakin lapang. Ia menyadari bahwa meskipun ibu tidak akan pernah tergantikan oleh siapa pun, tetapi cinta dan kebahagiaan bisa datang dari sumber yang berbeda. Akhirnya, gadis ini bisa melihat bahwa kebahagiaan bapaknya juga kebahagiaan bagi dirinya. Ia tidak perlu merasa terancam dengan kehadiran Bu Tika. Sebaliknya, ia bisa menggandeng Bu Tika sebagai teman dalam perjalanan hidupnya.
Suatu hari, Rina dan Bu Tika menghabiskan waktu bersama di dapur. Mereka memasak makanan favorit keluarga. Rina merasa senang bisa berbagi momen itu.
"Ibu, terima kasih sudah membuat Bapak bahagia," kata Rina tulus. Bu Tika tersenyum.
"Mba Rina, terima kasih juga telah menerima ibu menjadi bagian dari keluarga ini. Ibu akan berusaha menjadi teman baik bagi keluarga ini," tandas Bu Tika selanjutnya.
Ternyata moment ibu anak memasak di dapur bersama, diamati Pak Rahmat dari jauh dengan penuh haru. Laki-laki tua ini kini merasa lega melihat Rina putrinya mulai menerima Bu Tika sebagai ibu sambungnya. Masih terbayang dalam ingatannya, bagaimana kemarin dirinya sempat salah paham dengan putrinya ini yang menyebabkan hubungan dalam keluarga renggang sesaat. Sementara Pak Rahmat sendiri waktu itu juga tak mampu memaksa keinginannya meskipun nalurinya sebagai seorang laki-laki hidup sendiri tanpa pendamping tersiksa dalam kesepian. Dalam hati, Pak Rahmat berharap keluarga baru yang dibinanya dapat mendatangkan kebahagiaan bukan saja untuk dirinya tetapi juga putra putri mereka dari pihak Pak Rahmat dan Bu Tika. Tanpa disadarinya laki-laki tua ini menitikkan air mata tanda bahagia.
Suatu pagi yang cerah, keluarga baru Pak Rahmat berencana melepas penat sekaligus menambah kebahagiaaan dengan sekedar jalan-jalan di taman kotanya. Setelah dirasa cukup lelah mereka bertiga duduk santai di kursi taman sembari berbincang-bincang ringan yang sesekali diiringi derai tawa.
Pak Rahmat menatap Rina dan Bu Tika dengan bangga. "Terima kasih, Rina. Terima kasih telah memberi kesempatan pada cinta baru dalam keluarga kita." Rina tersenyum, merasakan kehangatan dalam hatinya. "Terima kasih juga, Pak. Aku belajar bahwa kebahagiaan bisa datang dari tempat yang tak terduga." Dengan itu, mereka melangkah ke masa depan dengan harapan dan cinta yang baru, siap menghadapi segala tantangan bersama sebagai keluarga yang utuh. Tiba-tiba terdengar suara ponsel, sepertinya milik Rina.
[Assalamualaikum …]
[Rina sekarang ada di mana? Aku harus ketemu secepatnya, penting.]
[Ada apa Mas?]
[Aduh nda bisa disampaikan lewat telpon Dik. Terus di rumah kira-kira jam berapa?]
[Jam sebelas Insha Alloh udah ada di rumah.]
Rina segera mendekati orangtuanya dan menceritakan pembicaraannya lewat telpon tadi dengan Toni.
[Mas Toni yang barusan nelpon Pak, sepertinya ada yang penting. Katanya nda bisa lewat telpon. Aku tadi janji ke Mas Toni untuk ke rumah jam sebelas sih.]
Di rumah jam sebelas, Pak Rahmat, Bu Tika dan Rina menunggu kedatangan Toni dengan diselimuti rasa penasaran dan was-was. Dari kejauhan Rina sudah mulai melihat sosok Toni mengendarai motor kesayangannya menuju arah rumahnya. Gadis ini dengan wajah cemas menyambut kedatangan Toni di teras rumah dan mempersilahkan masuk.
Setelah berbasa-basi sebentar dan berkenalan dengan Bu Tika, Toni menyampaikan maksudnya pada keluarga itu.
“Mohon maaf Pak Rahmat, Ibu dan Rina, saya telah mengganggu dan membuat cemas keluarga ini dengan datang ke rumah,” ucap Toni dengan sopan.
“Iya nda papa Nak Toni. Cuma kami terus terang penasaran dan sedikit khawatir mbok berita yang kurang menyenangkan,” jawab Pak Rahmat berwibawa.
“Maaf Pak dan Ibu, saya hanya ingin mengingatkan janji Dik Rina waktu itu, yang akan memberikan jawaban pada saya setelah masalah dengan Bapak selesai,” ungkap Toni.
“Oh ada janji to, masalah apa ya, kok Rina nda cerita ke Bapak,” selidik Pak Rahmat.
“Nganu Pak, Dik Rina janji akan menerima lamaran saya untuk dijadikan istri dan segera menentukan harinya. Kalau nda cepet-cepet takutnya Dik Rina keburu diambil orang begitu,” terang Toni dengan malu-malu.
“Oowalah … lamaran to …,” tukas Pak Rahmat sembari menepuk jidat. Semua yang ada di ruang tamu tersenyum, sementara Toni hanya tersipu.
*****Tamat*****