Masukan nama pengguna
LELAKI BERMATA TEDUH
PART-4
By: Munkhayati
“Huhh…siapa sih ketok-ketok pintu? Ngga sabaran amat, yang punya rumah lagi di dapur nih…ribet…!” gerutuku. Ibu tadi memintaku membukakan pintu sebelum masuk kamar mandi.
“Waalaikumsalam, ya sebentar,” jawabku dengan volume lebih tinggi dari biasanya. Agar peyek ngga gosong kuangkat saja penggorengan dari tungku. Kalau banyak yang gosong warung ngga mau menerima barang kami karena hanya akan dikomplin pembeli. Kami memang menggunakan tungku berbahan bakar kayu untuk membuat peyek dengan berbagai alasan. Rasa peyek lebih enak, aromanya lain dari yang lain. Penggemar cemilan yang satu ini tentu bisa membedakan mana yang digoreng berbahan bakar kayu dan mana yang bukan. Bau dari kayu yang terbakar oleh api akan bersenyawa dengan bau yang dikeluarkan adonan kacang tanah, tepung beras, bumbu rempah dan minyak goreng membentuk cita rasa sangat khas. Alasan lain yang super penting ialah lebih hemat biaya produksi. Bahan bakar kayu lebih murah dan mudah mencarinya daripada gas. Waktu sedang banyak pesanan peyek misalnya Lebaran atau Tahun Baru sering gas langka, menguap mungkin bocor sekalian bersama tabungnya. Biasalah ulah para penimbun, setelah di masyarakat kalang kabut mencari barulah penimbun mulai mengeluarkan barang ini, tentu dengan harga yang sudah berlipat-lipat. Bisa dihitung kan keuntungan yang diraup penimbun, sementara masyarakat bawah yang tidak bisa menjangkau gas harus putar otak mencari alternatif lain untuk menggantikannya.
Kuangkat peyek dari genangan minyak. Kutiriskan di pinggiran wajan penggorengan agar minyak menetes dan peyek kisat, sehingga renyah dan tahan lama tidak mudah tengik. Kemudian cepat-cepat menuju pintu depan dan kubuka pintu.
Seakan jantung berhenti detaknya untuk beberapa detik. Berikutnya jantung normal kembali namun detaknya tak karuan, tangan dingin, tak percaya dengan penglihatanku.
“Ma…mas Yoga… kok bisa nyampe sini,” desisku lirih diantara gelagapan.
“Assalamualaikum dik…ternyata disini to rumahnya. Maaf kedatanganku sudah mengagetkanmu.” Aku tidak langsung menjawab, blank. Berulang kuatur nafas agar lebih rileks. Tapi ketika mata beradu pandang dengan seseorang yang berada di samping mas Yoga, jantungku berdetak makin cepat. Dug…dug…dug…dug… Kulirik nyonya Subandriyo, beliau tersenyum. Akhirnya mulut kupaksa menjawab salam.
“Waaa…aa..…laikumsalam.”
Dengan perasaan bercampur aduk kupersilahkan mereka masuk dan duduk di kursi mebel rotan tua yang ada. Tempat duduk ini sangat ketinggalan jaman, di beberapa bagian sudah rusak, kayu kerangkanya banyak yang keropos tapi ibu belum ada uang untuk memperbaikinya. Untuk sementara waktu masih bisa digunakan, makanya harus benar-benar dirawat agar awet, kata ibu waktu itu. Mas Yoga menebarkan pandangan ke seluruh ruang depan yang kami jadikan ruang tamu.
“Kok sepi, kamu sendirian …Nis?”
“Nda, ada ibu kok di belakang.” Kubalikkan punggung untuk berjalan menuju belakang memanggilnya, tapi dari arah pintu masuk ke dalam sudah berdiri ibu di sana.
“Assalamualaikum.”
“Waalaikumsalam….”
Mas Yoga dan nyonya Subandriyo bersamaan menjawab, kemudian berdiri. Ibu melangkah maju mendekati mereka. Kulihat nyonya Subandriyo dan ibu saling menatap, agak lama. Nyonya Subandriyo masih ingat betul setiap lekuk wajah dan perawakan seseorang yang sangat membekas di hatinya. Telah sekian tahun lamanya sejak kejadian itu tapi masih sangat jelas di pelupuk mata. Terdengar suara ibu bergetar,
“Si…si…apa kamu?”
“Aku... nyonya Subandriyo Sul. masih ingat kan.”
Nyonya Subandriyo mengulurkan tangan untuk menjabat tangan ibu. Aneh, ibu tidak bergeming sama sekali. Kemudian nyonya Subandriyo menempelkan tangannya ke telapak tangan ibu dan menjabatnya, merengkuh tubuhnya ke dalam pelukan, erat. Hening, hanya terdengar isak lirih nyonya Subandriyo minta maaf pada ibu. Meskipun dipeluk nyonya Subandriyo, ibu masih saja diam, bahkan wajahnya memerah seperti menahan sesuatu yang hampir meledak,…amarah. Aku dan mas Yoga melongo, sama sekali tidak mengerti dengan apa yang sedang terjadi. Menyadari tidak ada respon dari ibu, nyonya Subandriyo melepas pelukannya, mereka berdua masih berdiri mematung. Suasana kaku penuh tanda tanya. Aku mencoba mengalihkan suasana.
“Mau minum apa mas?” tanyaku pada mas Yoga sambil melirik mengawasi ibu dan nyonya Subandriyo.
“Ngga usah repot-repot, minum putih saja udah cukup.”
Aku cepat-cepat ke dapur untuk mengambil minum air putih. Tidak lupa kubawa setoples peyek kacang untuk teman minum, tidak peduli mereka suka apa tidak. Tiba kembali di ruang depan kulihat mereka bertiga sudah duduk berhadapan. Nyonya Subandriyo meminta aku dan mas Yoga keluar ruangan sebentar, tampaknya ada sesuatu yang akan disampaikan empat mata saja. Aku dan mas Yoga menurut saja, berjalan keluar menuju halaman rumah beriringan. Mas Yoga terus berjalan mengamati tanaman bunga yang ada di pinggir halaman rumah.
“Bunganya kamu yang nanam semua dik?” suara mas Yoga memecah sepi.
“Iya, kenapa?”
“Subur,…pertanda dirawat dengan baik.”
“Terimakasih.” Aku tersenyum basa basi karena pikiran tertuju pada pembicaraan empat mata di ruang depan. Selama ini mesti ada sesuatu yang telah terjadi di luar sepengetahuanku. Ibu telah menyembunyikan rahasia. Mungkin saja mas Yoga sudah tahu atau malah dia sendiri yang membuat skenarionya, aku harus mengorek keterangan darinya.
“Mba Anisah kesini nak …berdua.” Nyonya Subandriyo memanggil kami yang di luar untuk masuk. Sepertinya pertemuan empat mata sudah berakhir.
Kulihat wajah nyonya Subandriyo dan ibu sudah agak tenang dibandingkan tadi sebelum kami keluar. Ibu lebih banyak diam, sementara nyonya Subandriyo lebih mendominasi pembicaraan berikutnya. Beliau menceritakan kalau ibuku adalah rewang di rumahnya dulu, sewaktu putranya masih kecil-kecil, mas Yoga juga baru SD. Kemudian mba Suli alias ibuku pindah kerja. Iya aku masih ingat ibu pernah cerita seperti ini, tapi sama sekali tidak kusangka kalau nyonya Subandriyo dan mas Yoga ternyata dulu yang menjadi majikannya ibu.
Nyonya Subandriyo masih melanjutkan bicaranya, jika tadi pertama bertemu dengan ibu, beliau menangis bahagia dan minta maaf karena lama sekali baru bisa bertemu sekarang. Menurutnya kerja ibu sewaktu ikut bersama tinggal di Semarang sangat bagus, rajin, sulit mencari ganti yang kerjanya seperti ini. Merasa belum bisa membalas kebaikan ibu, sebagai rasa terima kasih nyonya Subandriyo bersedia menanggung biaya hidupku yaitu melanjutkan pendidikan di perguruan tinggi. Apa-apaan sih, aku makin tidak mengerti jalan pikiran tamu satu ini. Aku menengok ke ibu, hanya diam, menoleh ke mas Yoga, dia tersenyum dan mengangguk. Sialan…! Mesti mas Yoga yang mengatur semua ini, dia telah menyembunyikannya dariku. Dalam waktu dua hingga tiga hari jawaban dariku ditunggu, sukur-sukur lebih cepat.
Sepulangnya tamu tak diundang hari ini, ibu sangat marah padaku. Beliau menginterogasi habis-habisan, sedangkan aku layaknya seorang mata-mata yang tertangkap pihak musuh. Duduk di kursi pesakitan untuk mempertanggungjawabkan perbuatan, harus berhadapan dengan interogator berwajah garang mengacungkan senapan. Kadang ibu bertanya dengan nada meninggi kalau jawabanku dianggapnya kurang jelas. Belum pernah aku dimarahi seperti sekarang ini, sungguh menakutkan. Setelah ibu puas menanyai sekaligus memarahiku, beliau meminta maaf sambil memelukku. Tangis kami pun pecah. Berdua kami bertangisan. Cara inilah sebagai salah satu solusi pertama kami atas masalah yang tengah dihadapi. Kami melepaskan semua beban, mengendorkan ikatan masalah yang melilit-lilit tak berkesudahan selama ini, datang berganti-ganti. Semuanya tumpah dalam deraian airmata.
Dua hari setelah kedatangan tamu tak diundang, aku mendapat pesan whatshapp dari mas Yoga. Isi pesannya permintaan maaf atas kedatangannya yang tiba-tiba. Pesan lainnya yaitu menanyakan jawabanku dari tawaran nyonya Subandriyo. Aku malah hampir lupa dengan ini, justru yang teringat adalah sikap yang ditunjukkan oleh ibu dan nyonya Subandriyo, mencurigakan. Aku sangat resah dan belum punya nyali membicarakannya pada ibu, sementara mengikuti waktu saja dulu hingga muncul keberanianku.
Ambal, akhir Juni 2024