Masukan nama pengguna
Ini kisah persahabatan antara tiga gadis yang masih lajang hingga masing-masing mengakhiri masa kesendiriannya. Tiga gadis ini panggil saja namanya Ratih, Sinta dan Runi. Sebenarnya yang sangat akrab di antara mereka adalah Sinta dan Runi, sementara kedekatan Ratih dengan Runi karena dia bersahabat dengan Sinta. Jadi bisa dibilang Ratih berteman dengan Runi hanya kebetulan saja.
Suatu saat di rumah Ratih akan mengadakan acara keluarga, sebagai sahabat wajar kan dia minta bantuan pada Sinta. Untuk beberapa hari Sinta mengajak Runi membantu di rumah sahabatnya ini. Dari sinilah akhirnya Ratih mengenal Runi sebagai seorang gadis yang anggun dan rapi
Karena kesibukan masing-masing, Ratih jarang sekali bahkan bisa dibilang tidak pernah bertemu dengan Runi, sementara Sinta dan Runi setiap hari mereka bareng karena satu kampus dan satu jurusan. Jika menjelang hari libur mereka sudah biasa saling menginap di rumah. Pernah suatu saat karena sudah kemalaman Runi tidak berani ke rumah Sinta sendiri, dia minta diantarkan saudaranya yang laki-laki untuk menginap. Jarak rumah kedua sahabat itu lumayan jauh sih, ada kurang lebih 50 kilometer.
Seiring dengan berjalannya waktu mereka bertiga mulai mengakhiri masa melajangnya. Pertama Ratih yang harus menerima pinangan laki-laki karena sudah berkali-kali didesak orangtuanya. Sebenarnya Ratih masih enggan untuk berumah tangga karena masih ingin menikmati masa muda. Namun orangtuanya terus meminta dengan banyak alasan, usianya yang makin menua, perempuan tak baik menikah ditunda-tunda atau ingin segera memiliki cucu dari dirinya. Alasan klasik yang pada akhirnya membuat Si Anak mati kutu dan mau segera menikah.
Kurang lebih berselang satu tahun, Sinta juga menyusul untuk menikah dengan laki-laki yang sudah membuatnya seperti dipelet. Bayangkan saja, dalam posisi dirinya patah hati karena ditinggalkan lelaki yang diharapkan bisa membawanya ke jenjang nikah, Sinta berkenalan dengan laki-laki lain dari medsos. Luar biasa berani dia, Sinta sudah totalitas mengejar laki-laki ini. Dari alamatnya sewaktu berkenalan, dia cek sendiri, padahal di pinggiran kota dan jauh, dia cari sendiri dengan bersepeda motor dari pagi buta hingga malam. Jika saudara laki-lakinya tahu, kadang Sinta sampai rumah dicecar pertanyaan dan berakhir dengan perang mulut hingga pernah terjadi pemukulan tapi ya tetap saja Sinta tidak ada kapok-kapoknya. Acara kencan pun, Sinta justru yang sering merogoh kantong, pernah terjadi gelang emas miliknya terpaksa dijual untuk itu. Pokoknya sudah benar-benar cinta berat pada Sang Pujaan, dan untungnya Sinta memang diperistri pilihannya ini.
Lain cerita dengan Runi, dia menikah paling belakangan dari Ratih dan Sinta. Sepertinya aman-aman saja tidak banyak menemui kendala atau mungkin ada juga sih tetapi karena jarak, sehingga masalah yang dia hadapi tidak sampai terendus sampai ke teman-teman.
Suatu hari Ratih mendapat kabar kalau Sinta akan melahirkan buah hati pertamanya di klinik dekat dengan tempatnya bekerja.
“Kring … kring …” Nada panggilan dari ponsel, cepat-cepat Ratih meraih benda pintar itu dari atas meja.
“Assalamualaikum Non, gimana kabarnya,” Ratih menyapa di telpon.
“Waalaikumsalam, baik Alhamdulillah, gimana kamu Rat, sehat ya?”
“Ya lumayan belum begitu sehat sih. Berangkat kerja masih antar jemput dengan Abang Gojek. Wah … lama kita ngga ketemu ya.”
“Rat, ke sebelah dong, tengokin aku. Pengin curhat,” pinta Sinta.
“Lo, kamu di mana, kenapa? Ratih penasaran karena sebelah tempatnya bekerja adalah sebuah klinik kesehatan.
“Ya di klinik, aku tuh mau lahiran. Udah dari kemarin tapi kayaknya agak bermasalah.”
“Deg …!” Ratih kaget dengan mendengar kondisi sahabatnya, terakhir yang dia tahu memang Sinta sedang mengandung, tapi tidak begitu paham kapan HPL-nya. Dia sendiri saat ini sedang masa pemulihan setelah sakit agak lama. Malu sama Bos lama tidak ngantor, ya tetap dipaksakan berangkat meski belum sepenuhnya bisa bekerja, minimal dirinya sudah setor muka.
“Emangnya bermasalah gimana?” selidik Ratih.
“Pembukaannya lama, pendarahan terus, aku dah lemes banget,” jelas Sinta.
“Ya ampun, kenapa baru ngabari?” sergah Ratih panik bercampur prihatin.
“Ngga sempat, panjang ceritanya.”
Selepas menerima panggilan dari sahabatnya, Ratih di kantor terlihat bingung. Bagaimana tidak, saat ini sahabatnya sedang butuh teman. Dirinya barusaja beberapa hari ngantor, belum banyak yang bisa dia kerjakan, tubuhnya masih kurang fit, lemas, kepala juga agak pusing. Kemarin hampir tiga minggu cuti kerja karena kondisi kesehatan tidak memungkinkan. Ah mumpung sedang tidak banyak kerjaan Ratih berniat menengok Sinta di klinik.
Demi sahabatnya dengan bersusah payah Ratih ke klinik. Benar saja, setelah sampai di klinik didapatinya Sinta sedang tergolek di brankar, dengan wajah pucat, lemas tak ada daya. Barusaja dilakukan pengecekan oleh dokter, karena proses pembukaan lama sementara mengalami pendarahan terus, Sinta hari ini juga dirujuk penanganannya ke Rumah Sakit Daerah di kota kabupaten. Saat Ratih datang, sahabatnya ini sendirian di kamar inap karena saudara yang menungguinya kebetulan pulang ke rumah untuk mengemasi barang-barang dan tepatnya menyiapkan dana untuk rujukan ke Rumah Sakit. Sementara suami Sinta sedang ke ruang lain mengurus administrasinya. Ratih ingin sekali menunggui sahabatnya ini hingga berangkat menuju Rumah Sakit Daerah. Karena tinggal setengah jam lagi diputuskan dirinya nekad ikut menunggu karena nanggung waktunya. Meskipun kepalanya dirasa sakit dan tubuh lemas, Ratih tetap bersabar. Kalau sampai dirinya pingsan di tempat ini, mesti ada orang yang menolong, karena posisinya sekarang berada di klinik kesehatan, pikir Ratih.
Setengah jam berikutnya, mobil ambulans yang akan membawa Sinta pindah ke Rumah sakit Daerah sudah siap di halaman klinik. Kakak Sinta dan suaminya menyiapkan kelengkapan yang kemudian dimasukkan ke mobil. Menit berikutnya tampak Sinta dibopong suami dibawa masuk ke dalam mobil. Sebelum mereka berangkat, Ratih menggenggam tangan Sinta dan memberikan motivasi untuk tetap bertahan. Tak lupa bantuan alakadarnya diberikan untuk Sinta, karena memang tadi ke kantor tidak membawa uang cukup.
“Rat, makasih bantuannya ya. Doakan juga persalinanku lancar, sehat untuk semuanya,” pinta Sinta saat bersalaman. Tampak Sinta yang berwajah pasi memaksakan senyum untuk Ratih.
“Iya sama-sama Sin, sebagai sahabat kita wajib saling menolong kan. Semoga lancar, selamat bayi dan ibunya,” Ratih menjawab dengan iba. Kemudian menambahkan lagi.
“Pokoknya doa terus Non, ngga usah mikir yang aneh-aneh, oke …” Sinta mengangguk dan menit berikutnya mereka sudah berangkat.
Selama Sinta masih di Rumah Sakit, Ratih terus memantau kondisi sahabatnya ini. Karena Ratih masih dalam masa pemulihan kesehatan, kalau menatap layar ponsel lama-lama pusing, akhirnya Sang Suami yang menggantikan tugas pemantauan ini. Aneh juga ya, suami Ratih (Mas Arif) yang sama sekali tidak kenal dengan Mba Ida (kakak perempuannya Sinta), sering kontak sekedar menyampaikan kondisi adiknya atau minta dibantu untuk mencarikan sesuatu barang yang diperlukan. Syukurlah, bisa membantu meskipun jarak jauh, pikir Ratih. Suatu saat Mba Ida mengabarkan kalau Sinta banyak mengalami pendarahan dan harus mendapat transfusi darah, Mas Arif mengatakan siap jadi salah satu donornya. Namun, setelah sampai di Rumah Sakit, tidak jadi donor karena darah sudah tercukupi dari pihak Rumah Sakit. Suatu pagi, Ratih sangat berbahagia karena mendapatkan kabar Sinta sudah melahirkan dengan selamat baik bayi maupun ibunya. Bayinya laki-laki beratnya 2,6 kg, syukurlah. Sementara itu untuk ibunya sendiri butuh waktu untuk pemulihan kondisi tubuhnya pasca mengalami pendarahan.
Setelah kabar persalinan Sinta dapat terlaksana dengan selamat, beberapa kali Ratih mencoba menghubunginya lewat ponsel, kondisi Sinta masih dalam masa pemulihan, sementara masih di Rumah Sakit. Kabar tentang Sinta tidak terdengar setelah itu, kapan mereka diijinkan pulang, karena Ratih sibuk dengan urusan pribadi. Ya, dia selama beberapa bulan harus menjalani pemeriksaan dokter karena kondisi kesehatannya.
Kurang lebih sebulan setelah persalinan Sinta, suatu hari secara tidak sengaja Ratih bertemu dengan Runi di perjalanan pulang dari kantor. Kedua sahabat itu saling bertegur sapa dan menanyakan kesehatan.
“Rat, gimana kondisi Sinta sekarang?” tanya Runi.
“Kondisi yang mana?” Ratih sedikit kaget dengan pertanyaan ini.
“Kemarin aku sih dikabari waktu mau persalinan, tapi belum sempat nengokin sih.”
“Deeg!” Ratih sama sekali tidak menyangka, ternyata Runi belum pernah menjenguk Sinta. Sungguh tega, begitu sibuk seorang Runi sampai-sampai sahabatnya sendiri yang mau bersalin tidak tahu kabarnya, dan baru menanyakannya sebulan berikutnya. Ratih hanya diam, menata emosinya yang menggejolak memenuhi rongga dada.
“Gimana Rat, kondisi Sinta, aku belum sempat ke sana?” desak Runi. Ratih menjawab dengan datar.
“Gimana ya, ke sana sendiri sajalah biar tahu,” jawab Ratih singkat. Dirinya mau menjawab juga bingung jawab yang mana karena banyak sekali lika-liku yang harus dialami Sinta menjelang proses bersalinnya.
“Mbok dikasih tahu, jangan pelit info begitu Ratih.” Ucapan Runi barusan sangat menampar perasaan Ratih. Dalam hati kecil Ratih, ingin marah dan mengumpat Runi, sahabat macam apa dia. Saat sama-sama masih lajang tiap hari bareng, tidur pun begitu. Kenapa di saat sahabatnya butuh penguatan, berjuang antara hidup dan mati, tetapi dia menghilang! Hanya dijawab “Maaf belum sempat”. Kalau hanya sibuk dengan masalah keluarga masing-masing, ya sama, setiap orang yang sudah berkeluarga juga begitu, karena kewajiban. Di jaman serba canggih, masih ada ya jawaban, tidak sempat komunikasi jadi tidak tahu informasinya. Kenapa Runi baru menanyakan berita tentang Sinta sebulan setelahnya, itu saja karena tidak sengaja bertemu dengan Ratih. Seandainya takdir berkata lain, saat itu Sinta tidak mampu bertahan, apakah sebulan setelahnya, Runi juga baru tahu? Ratih di sela-sela aktifitas pemulihan kesehatannya di rumah, terkadang meneteskan air mata, Harapannya ingin agar persahabatannya tetap langgeng, meskipun jarak dan kondisi berbeda tetapi minimal komunikasi tetap berlanjut.
Semenjak peristiwa itu, sikap Ratih pada Runi berbeda demikian juga sebaliknya. Ternyata perubahan sikap ini telah membuka perasaan Runi yang selama ini sudah terlalu fokus dengan kesibukannya, sampai-sampai tenggang rasa dan empati pada sahabat berkurang. Ya Runi begitu sibuk dengan setumpuk aktifitas yang cukup menyita waktu dan tenaganya, banyak bisnis yang dikembangkannya sekarang.
Ratih ingin agar Runi punya waktu barang sedikit saja untuk mengunjungi Sinta. Sahabat akrabnya ini memendam kecewa yang teramat, karena buah hatinya hinga kini berusia 3 tahun belum pernah bertemu dengan sahabat ibunya. Runi sahabat dekat Sinta hanya menjadi bagian dari masa lalunya saja, keinginannya untuk bertemu dan sekedar bernostalgia sudah dipupus bersama bergulirnya waktu. Kini perempuan ini sedang menyiapkan persalinan untuk buah hatinya yang kedua. Semoga lancar tidak pendarahan lagi seperti sulungnya. Di kamar klinik ini, Sinta berusaha merasa tenang, matanya terpejam, berkonsentrasi, bibirnya terus melafalkan doa memohon keselamatan proses bersalinnya. Pada saat suasana hening, tiba-tiba ada suara salam.
“Assalamualaikum …”
Sinta membuka mata dan menatap seseorang yang mengucapkan salam padanya.
“Waalaikumsalam.” Dia tersenyum bahagia, karena Runi sahabatnya datang di saat menjelang proses persalinannya yang kedua. Dua sahabat ini saling berpelukan bahagia, sementara di luar sana matahari bersinar terang namun angin sesekali bertiup sepoi menyejukkan. Kehadiran sahabat pada saat yang tepat mampu menjadi sumber kekuatan untuk tetap bertahan dan berjuang.