Cerpen
Disukai
0
Dilihat
4,507
Lelaki Bermata Teduh Part-6
Slice of Life

Kegelisahan akan jawaban yang belum bisa kami berikan, telah mengungkungku. Sejak diterimanya pesan itu, ada rasa bersalah di sana. Namun berbeda dengan ibu, sepertinya tidak ada rasa seperti itu, karena beliau tidak pernah mengharapkan ada pertanyaan atau permintaan dari Keluarga Subandriyo. Jangankan menjawab pertanyaan seperti yang mereka mau, ibu bahkan tidak pernah mengharapkan pertemuan itu terjadi. 

Tak ada tanda-tanda, Mas Yoga memaksa jawaban dariku minimal untuk satu hari ini. Buktinya ponselku aman, tidak ada pesan atau panggilan darinya. Ternyata kalimat di pesanku yang terakhir cukup ampuh untuk menghindar darinya. Sebenarnya bukan menghindar, tapi untuk diberikan waktu yang lebih lama lagi sehingga bisa memikirkannya dengan jernih dan tentunya memberikan keputusan yang tepat. Semenjak Nyonya Subandriyo memberikan sebuah penawaran, di rumah ibu belum pernah menyinggung masalah itu. Mungkin ibu lupa, mungkin tidak ingin mengingat mereka karena suatu sebab, mungkin juga aku tidak diijinkannya sekolah atas biaya mereka. Ah, hingga hari ketiga yang dijanjikannya menjemput malam, semuanya masih teka-teki.     

Selepas melaksanakan Sholat Isya aku membantu ibu, mengemasi pesanan peyek dari warung yang sudah kehabisan barang itu cukup lama. Lumayan pesanannya, membuat kami harus kerja sampai malam. Peyek yang kami bungkus sekarang adalah hasil gorengan kemarin dan subuh tadi. Pada bulan-bulan tertentu di daerah kami banyak orang yang hajatan, sehingga banyak juga yang membeli peyek untuk pelengkap hidangan. Sebagian orang masih menganggap bulan-bulan tertentu sebagai bulan yang baik, sehingga dipilihnya untuk melaksanakan acara-acara yang penting seperti pernikahan, sunatan, mendirikan rumah atau memperbaikinya. Begitulah adat yang masih dipegang oleh masyarakat di desa. Bahkan karena terlalu padatnya acara hajatan, kadang satu hari, bisa lebih dari satu bisa dua atau lebih dari itu. Sekitar jam sebelas malam kami barusaja selesai mengerjakan pesanan para konsumen. Di dapur, kecuali membungkusi, ibu juga menggoreng peyek lagi sampai jumlah barang yang dipesan oleh warung sudah cukup. Apabila jumlah pesanan lumayan banyak, biasanya pihak warung sendiri yang akan datang mengambil ke rumah.

Pagi-pagi sekali warung langganan peyek kami juga ada yang pesan barang lagi, untuk hari ini. Beruntung hari ini adalah hari libur nasinal, aku bisa membantu ibu sepenuhnya di rumah. Hanya pagi hingga jam setengah sembilan atau sembilan mesti ke rumah Pak Iskandar untuk membersihkan rumahnya. Ibu mendikte bahan-bahan yang sudah habis di rumah dan aku menuliskannya di selembar kertas, kemudian ke pasar untuk belanja. Hampir semua bahan habis, tepung beras, tepung kanji, kacang tanah. Kemudian kami berdua berangkat dengan tujuan yang berbeda, tetapi pulang kembali ke rumah yang sama.

Sesampai di rumah jelas lebih dahulu aku ketimbang ibu. Bahan-bahan kusiapkan di dapur sementara menunggu ibu pulang dari rumah Pak Iskandar, aku beres-beres rumah dan mencuci pakaian. Jam sepuluhan kami baru bisa melanjutkan kembali aktifitas yang selama ini sudah menopang hidup di samping upahnya ibu menjadi rewang di rumah Pak Iskandar. Kesibukanku di rumah membantu ibu seperti ini, telah sedikit melupakan kegelisahan yang sedang melanda. Ah, lumayan, pikiranku agak tenang, perasaanku pun nyaman.

“Tok … tok … tok … tok ….” Pintu depan seperti ada yang mengetuknya. Paling tetangga sebelah yang datang untuk minta daun kemangi di halaman depan, tadi pagi ijin minta tanaman itu sewaktu aku dan dia bertemu di pasar.

“Ambil aja Mba, perlunya berapa? Aku di dapur,” kujawab lantang ketukan pintu di depan dengan yakin, kalau itu ketukan pintu dari tetanggaku.

Penasaran dengan tetanggaku yang mengetuk pintu, akhirnya kusambangi suara itu.

“Assalamualaikum Nak Anisah, maaf boleh kami masuk ya?” Nyonya Subandriyo sudah berdiri di depanku, bicara dengan sopannya. Kegusaranku kembali menggelayut, begitu tahu siapa yang ada di depan pintu. Aku pikir sudah selesai, ternyata belum masih ada babak lanjutannya.

“Emh … iya … ya, silahkan masuk. Duduk dulu, aku panggil ibu di dapur, sebentar.” Tanpa menunggu jawaban mereka, aku langsung cepat-cepat melangkah untuk ke dapur menemui ibu. Melalui ekor mata kulihat wajah ibu, biasa saja tanpa ekspresi, kemudian beranjak ke ruang tamu. 

“Assalamualaikum Mba Suli,” Nyonya Subandriyo berdiri dari duduknya. 

“Waalaikumsalam,” jawab ibu datar. 

“Mba Suli dan Nak Anis, selamat ya, sudah lulus sekolahnya. Terimalah ini ya Nak, sebagai hadiah kelulusanmu.” Nyonya Subandriyo kemudian menyalamiku, sambil memberikan tas yang sedari tadi ditenteng. Kulirik isinya, buket kecil dan sebuah bungkusan berbentuk kotak bersampul kertas kado. Kami terdiam. Kulirik ibu karena aku tidak akan menerima hadiah ini tanpa persetujuannya.

“Terimalah Nak, ini hadiah dari kami untuk mengurangi rasa bersalah kami,” Nyonya Subandriyo mulai menghiba. 

“Kok rasa bersalah? Emangnya mereka salah apa, ketemu aja baru sekali kok,” pikirku. Mungkin saja nyonya ini salah ngomong karena grogi bertemu kami, aku agak menyombongkan diri sedikit. Ibu mengangguk tanda mengijinkan, setelah aku menoleh ke arahnya. Kumelangkah mendekati Nyonya Subandriyo untuk menerima barang itu.

“Terimakasih Nak.” Disalami dan dirangkulnya aku seperti seorang ibu dengan anak. 

“Selamat ya Dik, atas kelulusannya,” Mas Yoga ikut menyalamiku tanpa meninggalkan senyum khasnya, menambah indah sebaris kumis tipis yang melintang di bawah tegaknya hidung yang mancung mempesona. Duh, ada desiran halus di hati yang akhir-akhir ini tak sempat kurasa. Aku menunduk malu, takut ketahuan gejolak perasaan ini. Tangan yang mendingin ini kuulurkan menyambut ajakan jabat tangannya. 

“Terimakasih,” jawabku tersipu. Kucoba mengangkat kepala menatapnya, kembali dia melempar senyum. Aku terhenyak saat netra terhenti di lautan indah nan teduh yang menenggelamkan hayalku.

“Mba Sul, aku ingin bicara sebentar,” pinta Nyonya Subandriyo, mengagetkan. Suaranya cukup pelan tapi nyaring di telinga saat itu yang telah mengembalikanku ke dunia nyata. 

“Ya silahkan, duduk dulu,” ibu menjawab dengan wajah dingin. Kami duduk berempat saling berhadapan, aku di samping ibu dan Mas Yoga di sisi Nyonya Subandriyo.

“Kedatangan kami ke sini kecuali untuk memberikan ucapan bahagia karena Dik Anisah sudah lulus, juga untuk menanyakan jawaban permintaan kami yang dulu.” Aku melirik ke arah ibu, hanya diam.

“Mba Sul, ijinkan permintaanku untuk merawat Anisah. Em … maksudku membantu agar cita-citanya tercapai, jangan biarkan masa depannya tidak ada kejelasan. Aku mengerti, sangat berat bagimu untuk memaafkanku. Sampai di sini Nyonya Subandriyo mulai tidak bisa menahan emosi.

“Ijinkan … Mba, … ang … anggap saja ini, se … sebagai salah satu jalan aku menebus salahku.” Nyonya Subandriyo berbicara dengan terbata sembari tangannya mengelap air bening yang mulai meleleh dari matanya. Ada apa ini, aku semakin bingung dengan kata-kata yang dikeluarkan ibu Mas Yoga ini.

“Ya aku maafkan. Jawabannya tanya ke Anis sendiri,” akhirnya ibu menjawab meski dengan ketus.

Wanita yang pernah menjadi istri pejabat dan sekarang di depanku ini kemudian mengalihkan pandangannya ke arahku. 

“Gimana Nak Anis, bersedia ya? Nak Anis bisa tetap tinggal bareng ibu di sini, atau milih kuliah di luar kota juga boleh.” Wanita itu menatap dengan lembut tapi sangat mengharap jawabanku. Pandangannya lembut tapi memaksa, pikirku. Ku menoleh ke wajah ibu, dingin tanpa senyum kehangatan. Padahal yang kutahu ibu adalah orang yang ramah, lembut meskipun kadang keras. Yah keras, kalau aku kurang disiplin atau bermalas-malasan. Kalau wajah ibu sudah dipasang dingin seperti ini aku tidak berani menolak perintahnya, termasuk kali ini. Sepertinya ada yang kurang berkenan di hatinya jika aku menerima tawaran Nyonya Subandriyo. Dalam hati kecil aku meronta, inilah kesempatan baik untuk bisa melanjutkan sekolah, tidak boleh ditolak. Tapi … ibu mungkin tidak setuju.

“Nak Anis, sudah bisa memberi jawabannya sekarang?” Aku makin tersudut dengan pertanyaan dan tatapannya yang memelas itu, tapi aku juga tidak berani menentang ibu satu-satunya orang yang mengasihiku hingga detik ini.

“A … aku … tidak tahu,” jawabku asal -asalan.

“Coba dipikirkan sekali lagi, ini untuk masa depanmu Nak. Mau ya menerima tawaranku?”

“Aku tidak tahu.” Tiba-tiba ibu menyambung jawabanku, dengan sinis

“Kalau anak sudah ngga mau ya tidak usah dipaksa.” Kemudian kami berempat tenggelam dalam diam menyelami pikiran masing-masing. Tiba-tiba kulihat,

“Ya Alloh … !” aku menjerit saat kulihat wanita mantan istri pejabat itu, duduk lemah di kursi, nafasnya tersengal-sengal dan dadanya selalu dipegang.

“Ibu … kenapa bu …? Tolong …Ibu …” Mas Yoga meraih tubuh wanita itu dan menepuk-nepuk pipinya untuk menyadarkan

“Yo … ga … dadaku sakit,” rintihnya lemah. 


Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)