Masukan nama pengguna
Hari ini sangatlah istimewa, ada momen spesial dalam perjalanan hidupku, pengumuman kelulusan yang dilanjutkan dengan perpisahan siswa kelas XII. Pagi-pagi sekali aku sudah nyamper Nala untuk ke rumah tantenya yang punya jasa rias, takut kesiangan. Tantenya Nala memiliki nama yang cukup unik, Ningnong. Nala juga tidak tahu latar belakangnya apa kok nama tantenya Ningnong. Teman-teman banyak yang menggunakan jasa tante Ningnong, hasilnya make up bagus, halus, tidak ketebalan, sering membuat pangling orang lain. Tujuan bermake up tentunya untuk menutupi kekurangan fisik terutama wajahnya dan menonjolkan kelebihannya sehingga menarik. Beda lagi kalau make up yang digunakan dalam pentas drama atau sandiwara. Aku sering sih menemukan seseorang bermake-up tapi lebih bagus wajah aslinya, kenapa? Jadi bukannya tambah bagus, cantik atau ganteng, tapi malah aneh dilihat. Padahal sudah menggunakan jasa tukang rias lo. Tebal, belepotan, mudah luntur, warna mencolok kontras dengan warna kulitnya, seperti badut. Aneh...tapi lebih aneh lagi, kok ya dianya pede saja dengan make up seperti itu malah kadang over pede. Selfi terus, belum puas masih foto-foto bareng teman-temannya, jeprat jepret. Atau mungkin saja mereka sengaja supaya viral, terkenal bak selebriti.
Sesampai di rumah Tante Ningnong, sudah cukup banyak yang mengantri. Teman yang sekelas ada Nia, Fero, Uci, Ningsih, masih ditambah aku dan Nala, masih ada juga teman beda kelas. UntungTante Ningnong masih dibantu satu orang asisten yaitu Mba Wuri, jadi lebih cepat selesainya, nda akan ketinggalan acara. Kini tiba giliranku dimake-up, Tante Ningnong sendiri yang mengerjakannya. Betapa cekatan dan trampil tantenya Nala yang satu ini, membersihkan muka, bedak dasar, bedak tabur, poles sana sini, tarik garis lengkung, nda tau namanya yang penting udah jadi cantik. Tidak henti-hentinya Tante Ningnong memberikan saran-saran untuk aku dan teman-teman, seputar tips menjaga kesehatan kulit dan perawatan tubuh. Penting juga menjaga agar tubuh tetap ideal, makanya rajin ikut senam. Sekali mendayung tiga pulau terlampaui, begitu pepatahnya. Jadi sambil merias muka konsumen, Tante Ningnong yang ramah sekalian promosi fasilitas-fasilitas yang ada di salonnya.
“Mba Anis ini mau pakai bulu mata nda? Sudah cukup tebal dan lentik sih, dirapikan saja ya, alisnya juga nih.”
“Nda usah Tan, nanti bersih-bersih wajahnya repot...he..he..,” jawabku sambil tertawa. Bagiku membersihkan wajah karena make up itu, rempong. Maklum meski sudah remaja aku jarang kenal yang namanya perawatan, sabun wajah itu sudah pol. Agar bisa membeli suatu barang yang agak lumayan harganya, aku harus menabung agak lama dengan menyisihkan sebagian uang saku. Oh ya. di acara pengumuman kelulusan hari ini aku memakai kebaya brokat warna biru dipadu dengan bawahan lurik warna senada, sandal selop hitam berpayet biru juga berhak sedang.
Acara pengumuman kelulusan dan perpisahan di sekolah belum dimulai ketika rombongan yang make up di Tante Ningnong tiba. Kami serombongan diantar ke sekolah oleh Tante Ningnong menggunakan mobilnya. dari halaman aula sekolah aku memperhatikan ibu yang masih bingung, belum menemukanku, sepertinya pangling beliau.
“Ibu sudah lama?” sapaku.
“Eh lumayan.” Beliau mengenali suara yang barusaja menyapa dan menatapku dengan seksama.
“Ya ampun Anis, cantik sekali, kamu tidak pernah berhias sama sekali sekarang ibu pangling,” puji Ibu. Aku hanya tersenyum. Senyum ibu saat ini persis sama seperti dulu sebelum ada masalah dengan nyonya Subandriyo. Aku lega semoga senyumnya tetap menghias setiap hari.
Satu angkatan sekolahku dari jurusan IPA, IPS dan Bahasa semua dinyatakan lulus. Seluruh siswa bersorak sorai gembira, tidak ketinggalan guru dan para walisiswa, demikian juga dengan ibu. Di akhir acara dilakukan pentas seni oleh siswa kelas XII tidak lupa sesi berfotoria. Aku perhatikan ibu sangat bahagia hari ini dengan kelulusanku, walaupun belum seperti harapannya. Yah..aku pernah mengikuti Seleksi Nasional Berbasis Tes (SNBT) untuk bisa masuk Perguruan Tinggi Negeri, harapannya bisa memenuhi keinginan ibu untuk kuliah dengan biaya terjangkau, tapi gagal. Ibu tetap memiliki harapan dan mencari celah demi masa depanku, anak single parent.
Mobil jemputan dari Tante Ningnong sudah datang, kami serombongan pulang dengan hati riang. Selama perjalanan pulang tidak henti-hentinya derai tawa kami diselingi foto-foto bareng.
Di rumah Tante Ningnong, kami juga menyempatkan foto dengan beliau, tadi pagi sebelum berangkat ke sekolah juga sudah, mumpung make up nya belum luntur.
“Kesempatan terakhir ayo foto, entah kapan lagi kalian bertemu seperti ini,” begitu goda Tante Ningnong.
Kurasakan badan lelah, tenaga terkuras habis, sampai di rumah kurang lebih jam empat sore. Ibu menyambut kepulanganku, kemudian melanjutkan aktifitasnya menggoreng peyek kacang. Setelah mandi kulangkahkan kaki mendekati meja yang dari tadi sudah ada piring dengan beberapa potong singkong goreng dan segelas susu coklat hangat. Kusantap tiga potong singkong goreng, kulitnya kriuk tapi dalamnya empuk, gurih, pasti ditambah mentega ibu menggorengnya. Limabelas menit berikutnya susu coklat di gelas sudah mengering, kenyang rasanya. Gelas kotor kubawa ke dapur untuk dicuci, kalau dibiarkan sebentar saja, semut banyak yang mengerubung soalnya manis.
“Aduh…capeknya hari ini, aku tidak membantu Ibu dulu ya.”
“Ya sudah nda papa. Istirahat dulu di kamar ya, nanti kan capeknya hilang. Paling nanti malam bungkus-bungkusnya.”
Aku mengayunkan langkah ke kamar. Kuambil mukena di meja dan menjalankan sholat Ashar. Kamar ini juga untuk tempat sholat, hanya beralaskan karpet plastik yang harganya tidak sampai seratus ribu. Motif mozaik tak beraturan di benda ini sudah tidak jelas lagi, pudar. Malah sebagian besar lapisan atas yang bermotif ini mengelupas, tinggal bagian dalamnya, semacam lempengan busa tipis berwarna hijau. Sholat Ashar kutunaikan dengan sepenuh hati, inilah waktu yang sakral untuk berdialog dengan Sang Khalik, yang telah memberikan rezeki pada kita setiap detik. Sholat selesai, tidak lupa kupanjatkan doa. Berterimakasih atas rezeki hari ini dan memohon padaNYA, agar diberikan kesempatan untuk mengetahui bahkan bertemu dengan ayah kandungku. Amiin. Kurogoh ponsel yang masih berada dalam tas sekolah, tidak ada notif, klik nada dering non aktif.
Jam setengah enam sore aku dibangunkan ibu. Ternyata lumayan lama aku berpetualang di pulau kasur berteman bantal, jadi fresh sih. Badan masih malas beranjak dari kasur, tetapi kupaksa bangun karena sudah sore. Sembari duduk kurapikan selimut dan bantal. Sprei usang kutarik tepi-tepinya agar rata tidak berlipat-lipat. Jendela yang menghadap ke persawahan telah meniupkan semilir angin ke dalam kamar, seolah kipas alami yang menyebabkan tidurku nyenyak sekali. Kusapu kamar yang dari pagi belum sempat dibersihkan, kertas-kertas dan paling banyak kotoran kumbang mengerati kayu-kayu bangunan rumah kami yang sudah mulai rapuh. Ponsel di meja kulongok, ada pesan… dari Mas Yoga.
“Dik, selamat atas kelulusannya ya, sukses selalu.” Masih ada pesan lain yang membuatku gusar.
“Hari ini hari ketiga, berarti tenggang waktu terakhir, adik memberi jawaban pada kami.” Pesan hanya kubaca mau menjawab tapi bingung jawab apa. Atau aku sampaikan saja ke ibu ya, tidak..tidak..mungkin. Baru tadi siang di acara kelulusanku dari bangku SMU, kulihat senyum ibu yang dulu, senyum yang benar-benar memancarkan ketulusan hati. Mana mungkin aku tega menenggelamkan senyum itu dengan menuntut jawaban atas pertanyaaan yang mungkin sangat menyakitkan bagi ibu. Sungguh aku tidak tahu ada apa diantara mereka, ibu, Mas Yoga dan nyonya Subandriyo.
“Drer…drer…drer….” nada getar ponselku mengagetkan. Ada panggilan masuk, ya ampun. Kubiarkan saja nada panggilan itu berhenti sendiri.
“Kalau pesan belum dijawab, mbok nda usah telpon, nda sopan.” Baru kali ini aku menanggapi sikap Mas Yoga dengan kurang simpatik, sementara pikiranku sendiri sedang tidak baik-baik saja.