Masukan nama pengguna
LELAKI BERMATA TEDUH
PART-3
By: Munkhayati
Pagi yang cerah, matahari dengan gagahnya menampakkan wajah tersenyum, pada penghuni bumi. Pesonanya memikat seluruh mahluk, yang tak akan mungkin hidup tanpa keberadaan dirinya. Semakin merangkak waktu, keperkasaannya makin meluluhkan kabut tebal yang sedari subuh tadi memeluk Kampung Opak. Makin berpendar, menipis. Pepohonan di sawah, tepi jalanan, pekarangan, bangunan membayang dan mulai nampak jelas. Kabut perlahan menggulung suasana dingin entah kemana hingga hangat yang menggantikannya.
Tapi saat ini, kabut di hati mas Yoga tidak ikut menipis bersama mereka. Malah terhimpun menebal di benaknya dalam banyak pertanyaan yang belum terjawab. Mas Yoga berdialog sendiri, Anisah, siapa sih dia, mengapa mesti pamitan kalau mau pulang ke Semarang. Ngapain juga dia nangis? Ibu, mengapa berwajah pasi ketika memergoki dirinya bersama Anisah? Pertanyaan ini silih berganti berputar-putar di kepala mas Yoga yang berusaha merangkai jawaban dengan asumsi-asumsinya, sembari menyelesaikan packing-packing nya. Sehabis subuhan tadi mas Yoga sudah sibuk mengemasi barang-barang yang akan dibawa pulang. Harus lebih cepat sedikit pikirnya, keburu Dede keponakannya bangun dan minta jalan-jalan. Baju-baju sudah masuk ke koper semua tinggal beberapa potong saja, oleh-oleh yang dari kemarin ibu siapkan untuk dibagi-bagi ke saudara, tetangga, teman sudah dimasukkan ke dalam kardus rapi terakhir dilakban. .Jajanan basah dan kering jelas harus beda kardusnya, dengan ditulisi memakai spidol besar. Tanpa disadarinya, sejak tadi ibu berdiri di samping dia yang asik menata barang-barang layaknya transmigran.
“Ehhem…..,” ibu berdehem.
“Eh ibu dah lama to?”
“Lumayan,….Yoga kesini nak, istirahat dulu duduk dekat ibu.”
Mas Yoga beringsut dari duduknya di lantai menuju kursi, duduk berdekatan dengan ibunya.
“Nak….ibu ingin tanya, tolong dijawab jujur. Sudah lama kamu mengenal temanmu yang gadis kemarin ketemu di kedai seblak?”
Sejak memergoki mas Yoga bersamaku, perempuan yang dipanggil ibu itu sering di rumah saja kadang terlihat merenung. Padahal kemarin-kemarin sibuk terus mengumpulkan barang atau oleh-oleh yang akan dibawa ke Semarang.
“Belum, emangnya ada yang salah bu?” Kemudian mas Yoga menceritakan awal mengenalku. nyonya Subandriyo, ibu mas Yoga manggut-manggut mendengarkan seksama.
“Nda ada yang salah. Kayaknya rencana pulang, ibu tunda dulu nak, ada sedikit urusan yang mesti dibereskan dulu.”
Deg….! Kalimat terakhir ibu tentu saja membuat mas Yoga kaget, dari kemarin beliau sudah semangat, sibuk menyiapkan keperluan untuk balik ke Semarang tapi tiba-tiba saja diundur. Dan yang membuat aneh lagi, ibu minta berkenalan denganku. Alasannya simpel ingin mengenal lebih jauh gadis yang saat ini dekat dengan anak laki-lakinya, yang harusnya sudah menikah. Ah, nyonya Subandriyo super aneh ngapain juga begitu, orang belum ketemu jodoh.
Pertama melihatku, Nyonya Subandriyo kaget campur heran, wajah dan perawakanku bak pinang dibelah dua dengan Suliyem, mbak yang dulu pernah menjadi rewang di rumahnya. Ya mas Yoga baru ingat sekarang teryata Anisah sangat mirip dengan mbaknya. Sewaktu masih SD di rumah ada rewang mbak Suli namanya. Orangnya manis, rajin, cekatan dalam bekerja, tapi entah kenapa katanya pindah.
Lewat ponsel, aku diberi kabar kalau kepulangan mas Yoga sekeluarga ditunda. Dia hanya mengatakan ada urusan mendadak yang harus diselesaikan, ibunya menitipkan pesan kalau ingin kenal lebih dekat denganku. Pikir mas Yoga, aku adalah gadis yang supel, seneng berteman dengan siapa saja, jadi mudah saja jika kompromi bertemu untuk kenalan. Iya memang aku begitu tapi tidak untuk kali ini. Dugaannya keliru, cukup lama mas Yoga meminta kesediaanku bertemu. Perih karena kabar kemarin masih terasa menyayat harapan yang terlanjur melambung tiba-tiba terhempas tak berdaya. Apakah mas Yoga tidak tahu kalau kalimatnya itu seperti pisau yang melukaiku. Aku lihat kemarin begitu entengnya tanpa beban dan dosa, dia mengucapkan kalimat,“….mungkin kita sudah nda bisa ketemu lagi.” Ohh…! Kembali suram nyalaku menatap masa depan. Mungkin juga aku yang salah, berharap perhatian lebih. Selama ini sudah terbutakan nda bisa membedakan antara ketulusan dan tipuan.
Aku bimbang dipermainkan oleh kenyataan dan perasaan.. Terlebih lagi ada kekhawatiran yang mendalam di hati, aku takut kedekatan dengan Bayu dahulu terulang lagi. Setelah mereka tahu siapa aku, akhirnya mundur teratur tanpa aba-aba. Anak dari seorang ibu sepertinya menjijikkan, tidak punya hak mendapat perhatian kasih sayang. Huhh…. aku muak dengan orang-orang seperti Bayu yang munafik, maunya menang sendiri!
Mas Yoga sangat sabar, terus dan terus meyakinkan. Sungguh tak tega, rasanya tidak adil jika terus egois dengan perasaanku bersikeras tidak mau menemuinya, selama ini dia begitu baik sudah memberikan warna dalam hidupku walau baru sesaat. Tidak bisa kupungkiri dalam hati kecil selalu ingin didampingi, diperhatikan dan dilindungi. Kenapa disia-siakan? Bukankah ini kesempatan untuk lebih banyak waktu bersamanya? Lama kutatap wajah sendiri di cermin untuk memberikan kekuatan, sambil berbisik, “Iya… aku cukup kuat. Aku mampu menemui mereka. Apapun yang terjadi harus siap, cepat atau lambat semuanya akan tahu siapa aku.”
Sebenarnya mas Yoga agak keberatan waktu nyonya Subandriyo meminta pertemuan di tempat pertama kami kepergok, “Posko Seblak,” tapi ibunya terus mendesak, apa boleh dikata. Untuk kedua kalinya kami menyambangi “Posko Seblak”, tapi kali ini bertiga bersama dengan nyonya Subandriyo. Nggak biasa beliau ke tempat seperti ini, tapi katanya sekali-kali nyonya ini ingin juga mencicipi jajanan yang digandrungi kawula muda, tentunya selera sudah disesuaikan dengan lidah lansia, ngga pedes, ngga aneh-aneh topingnya. Atau bisa menikmati jajanan lain yang lebih familiar, mendoan hangat, pisang goreng mentega atau burjo juga ada.
Dalam hati nyonya Subandriyo mengharap dugaannya benar. Pertemuan denganku ini menjadi titik terang kemelut batinnya. Semenjak almarhum suaminya sakit-sakitan hingga meninggal dunia, peristiwa demi peristiwa silih berganti terbaca kembali dalam ingatannya, direnungi dan ditarik simpulan. Dirinya harus legowo menerima kenyataan sebagai sebuah takdir. Tidak mungkin mengelak. Lebih baik memaafkan, ini bukan berarti kalah, tapi dengan memaafkan sudah membuktikan sebenarnya dirinya berjiwa besar. Jiwa besar harus dimiliki oleh orang yang memiliki derajad pangkat seperti dirinya, meskipun hanya sekedar katut status dari almarhum Pak Subandriyo yang pejabat. Dirinya bertekad akan menjadi orang pertama yang mengulurkan tangan minta maaf karena ini lebih terhormat. Untuk mengurangi beban berat rasa bersalah yang pernah dilakukannya. Hanya karena egonya, gengsinya, harga dirinya seperti diinjak-injak oleh seorang sudra, pembantu. Perenungannya melihat bahwa apa yang dilakukan oleh orang yang terhormat, memiliki derajad pangkat tak selamanya benar, karena khilaf akan mengiringi setiap manusia yang terlena bisikan setan. Justru semakin tinggi derajad pangkat seseorang Sang Pencipta akan memberikan ujian yang jauh lebih besar. Ini untuk membuktikan apakah seseorang yang berderajad pangkat besar tahan uji dan pantas menyandang kedudukannya itu ataukah tidak, Bersikap perilaku yang mampu menjadi teladan bagi lainnya, adil, mengayomi, andhap asor, tidak semena-mena pada yang lemah.
Saat kami bertemu, lebih dominan suasana canggung dan dingin yang terjadi. Bisa dibayangkan, goresan kecewa masih lekat menyayat, ditambah lagi kehadiran orang ketiga, nyonya Subandriyo. Aku mematung saja bak robot, menjawab kalau ditanya, itupun jawaban pendek-pendek . Ternyata nyonya Subandriyo tidak seperti yang kubayangkan, beliau cukup ramah seperti anak lelakinya. Roman mukanya masih menampakkan garis kecantikan alami, bentuk hidungnya yang mancung diwariskan pada mas Yoga. Kata-kata yang diucapkan lembut berwibawa, kadang sedikit berkelakar pada kami untuk mencairkan suasana. Meskipun agak kaku dan dingin kami bertiga beda generasi, akhirnya ngobrol sederhana. Urat leherku sedikit mengendur, santai, karena nyonya Subandriyo tidak bertanya tentang keluarga tapi lebih banyak menyinggung masa depanku, cita-cita setelah merampungkan SMU. Mungkin saja beliau sudah banyak tahu dari anak lelakinya.
Di malam harinya, terlihat nyonya Subandriyo dan anak lelakinya di ruang tengah sedang bercengkerama,
“Nak Yoga….kapan bisa ngantar ibu ke rumah Anisah ya?” tanya ibu tiba-tiba.
“Aduh ibu apa-apan lagi sih. Yoga tambah ngga ngerti apa yang ibu rencanakan?”
“Coba jawab nak, apakah Yoga tertarik dengan Anisah?” Pertanyaan nyonya Subandriyo yang sama sekali tidak diduga membuat mas Yoga gelagapan.
“A..anu..bu…, Yoga cuma merasa ingin melindungi dia. Pertama bertemu rasanya sudah dekat banget gitu, kayak udah kenal lama.”
“Justru itu…tolong ibu diantar kesana ya.”
“Ibu….. ngapain? Lagian Yoga nda tahu alamat rumahnya dimana.” Nyonya Subandriyo tidak menggubris, bersikukuh untuk diantar ke rumahku.
Mas Yoga mengingat-ingat kembali jalan menuju rumahku, beruntung dia pernah diam-diam membuntuti sewaktu pulang. Minta alamat langsung atau sharelok jelas nda mungkin bisa-bisa langsung cut selamanya. Kemarin mau menemui saja sudah ibarat mukjizat.
Pagi-pagi sekali mas Yoga kirim pesan whatshapp, mengingatkan agar aku nda males-malesan karena sudah tidak ada pembelajaran di sekolah tinggal menunggu kelulusan saja. Dia memastikan keberadaanku dan ibu di rumah hari ini, …tumben. Ibu empat hari ini libur kerja karena keluarga Pak Iskandar tempatnya menjadi rewang, sedang kondangan ke Bandung, saudaranya sedang hajatan. Paling ibu datang pagi untuk bersih-bersih rumah Pak Iskandar, terus pulang sekitaran jam 09.00 WIB. Di rumah aku akan membantunya membuat peyek kacang untuk dititipkan di warung-warung. Hemm, rupanya mas Yoga sedang mencari info karena berencana mengunjungiku di rumah hari ini bersama nyonya Subandriyo.
Jam 10.30an di rumahku terdengar suara ketokan pintu diiringi salam dari suara berat laki-laki. Kami menjawab salam, ibu menyuruhku membukakan pintu. Sungguh tak habis pikir, jika mas Yoga dan nyonya Subandriyo akhirnya sampai di rumahku. Apa sih maunya?
Ambal, awal Juni 2024