Masukan nama pengguna
Sore itu di sebuah rumah mungil angin bertiup membuat halamannya tak lagi rapi, rumput tumbuh liar, dan ayam piaraan tetangga kadang ikut nongkrong di sana. Kang Muchtar, seorang lelaki berusia 57 tahun, duduk di kursi bambu, wajahnya standar saja, berwarna gelap khas desa karena terbakar matahari. Lelaki ini tampak lebih banyak duduk, merokok, dan merenung. Dahinya yang sudah mulai membayang garis keriput, kadang berkerut serius tetapi bukan beban hidup, melainkan karena terlalu sering berpikir tentang jodoh yang tak kunjung bertemu. Beberapa kali tangannya meraih gelas yang ada di meja kemudian menyeruput kopi hitam buatan sendiri, pahit seperti nasibnya, hangat seperti harapannya yang tidak akan padam.
“Yang penting wajah cantik, kulit bersih. Harus bisa ngaji, dan … ya jangan miskinlah,” ucapnya suatu hari saat ditanya tetangga, kenapa belum menikah juga.
“Lho, Kang Muchtar kerja juga ngga bener gimana mau dapat perempuan yang bener apalagi bernilai plus begitu?” tanya salah satu tetangganya.
Kang Muchtar hanya tertawa kecil. “Jodoh itu rezeki. Saya yakin Alloh akan kasih yang terbaik,” jawabnya dengan yakin.
Kang Muchtar memang bukan tipe orang pemalas total. Dulu sempat jadi buruh bangunan, lalu berhenti karena katanya terlalu panas. Pernah juga jualan pulsa, tapi bosan karena keuntungannya terlalu kecil. Kini, mengandalkan hidup dari warisan sepetak sawah peninggalan orang tuanya dan sesekali “diberkahi” pemberian dari adik-adiknya yang sudah mapan. Namun, lelaki itu paling sibuk adalah urusan “mencari gadis idaman.”
Sudah belasan perempuan Kang Muchtar lirik. Dari anak guru ngaji, anak kepala desa, bahkan anak tetangga yang baru lulus SMA, semuanya gagal. Alasannya beragam, ada yang “kurang cocok,” “terlalu biasa,” “nggak bisa masak,” “nggak ada darah bangsawan,” atau hanya karena “kulitnya yang kurang putih.” Setiap hari ia menulis kriteria gadis idaman di buku kecilnya: cantik, putih bersih, bisa mengaji, rajin sholat, senang tahajud, anak orang kaya atau PNS, tidak cerewet, mau tinggal di desa, usia maksimal 25 tahun. Tetangga Kang Muchtar yang bernama Pak Kadir, pernah menegur.
“Muchtar, kamu tuh cari istri atau malaikat sih?”
“Tapi ini kan permintaan dalam doa, Pak Kadir. Mumpung doa, ya minta setinggi langit. Yang terbaik gitu lo,” jawabnya enteng.
Waktu berjalan, tahun demi tahun, hajatan demi hajatan datang silih berganti. Semua adik dan sepupu Muchtar sudah menikah. Bahkan anak-anak teman masa kecilnya sudah punya anak dua atau tiga. Namun, lelaki itu tetap sendiri, dengan kopi, buku doa, dan harapan yang makin mengering.
Suatu sore, ia mendatangi pengajian di mushola. Pengajian itu mengundang seorang ustadz dari kota kabupaten untuk memberi tausiyah. Di tengah tausiyahnya, ustadz itu menyinggung tentang jodoh.
“Kadang Alloh menunda jodoh karena kita sendiri tidak siap. Kita ingin istri sholehah, tapi diri kita belum sholeh. Kita minta pasangan kaya, tapi kita sendiri tak mau bekerja. Kita ingin jodoh sempurna, tapi tidak pernah bercermin.”
Sebenarnya kalimat dari ustadz itu seperti tamparan, tapi Kang Muchtar buru-buru menepisnya dalam hati.
“Bukan soal saya tidak pantas, mungkin jodoh saya saja yang sedang diproses untuk segera dipertemukan,” gumamnya.
Suatu hari Kang Muchtar mendengar kabar, ada gadis 24 tahun, cantik, pintar mengaji, lulusan pesantren, anak pemilik toko besar di kecamatan, yang belum menikah, namanya Khumairoh. Kang Muchtar langsung semangat. Kemudian meminjam jas milik Pak Kadir, menyemprot rambut dengan minyak cem-ceman, dan mendatangi orang tua gadis itu dengan membawa teh kotak dan roti kaleng.
Sesampainya di tempat tujuan, sambutan keluarga itu datar, bahkan sinis.
Ayah gadis itu berkata langsung, “Maaf, Pak Muchtar. Anakku masih muda, dan kami sedang mencarikan pasangan yang bisa jadi pemimpin rumah tangga. Yang pekerja keras, sepadan.”
Kang Muchtar merasa dipermalukan, tapi tetap berusaha tenang.
“Baik Pak, mungkin memang belum berjodoh.”
Sejak hari itu, wajah Kang Muchtar sering kosong. Setiap melihat pemuda desa lewat naik motor bersama istri, hatinya bagai dicubit. Setiap undangan pernikahan datang, dirinya hanya memandang kosong.
Di suatu malam yang sunyi, Kang Muchtar menatap langit dari serambi rumah. Hujan turun pelan. Lelaki itu bicara pelan juga, entah pada diri sendiri atau pada Tuhan.
“Ya Alloh, aku minta istri yang baik, cantik. Yang bisa menuntunku ke surga-Mu. Tapi kalau memang tak ada, apakah aku harus sendiri sampai mati?”
Kang Muchtar lalu tersenyum getir. Dalam diamnya, ia baru menyadari satu hal, tak pernah benar-benar mencari istri untuk membangun rumah tangga. Selama ini hanya mencari gambaran sempurna dalam khayalan yang tak pernah ia perjuangkan. Tak pernah belajar untuk sabar. Tak pernah bekerja sungguh-sungguh dan tak pernah membuka ruang bagi cinta yang sederhana.
Dua bulan kemudian, terdengar kabar kalau Kang Muchtar sakit. Kata tetangga, tubuhnya lemah, darah tinggi kambuh, makan tak teratur. Rumahnya sepi. Tak ada istri yang merawat, tak ada anak yang menyuapi dan menghiburnya. Kang Muchtar berbaring sembari menatap langit-langit kamarnya dari ranjang bambu. Perlahan matanya menggenang basah, mengalir di permukaan kulit pipinya yang mulai berkeriput.
Lelaki itu teringat satu gadis yang dulu pernah ditolaknya, Maryam, gadis sederhana anak tukang becak, yang dulu pernah menawarkan diri karena kasihan. Saat itu dirinya menolak, dengan alasan kulit Maryam gelap dan tidak punya motor. Sekarang Maryam sudah menikah, punya dua anak, dan sering lewat depan rumah dengan naik motor bersama suaminya. Dalam hati, Kang Muchtar berbisik,
“Seandainya waktu bisa diulang, mungkin aku tak akan memilih terlalu tinggi. Aku akan memilih seseorang yang mau menemaniku, bukan hanya sekedar indah dipandang mata.”
Perlahan Kang Muchtar akhirnya kembali sembuh. Tubuhnya sekarang ringkih langkah kakinya juga jadi lambat. Lelaki ini sudah jarang bicara tentang gadis idaman, tapi lebih sering duduk di mushola, ikut membantu bersih-bersih, dan sesekali ikut tadarus. Orang-orang di kampungnya mulai melihat perubahan ini. Pak Kadir duduk di sampingnya, suatu sore.
“Aku lihat kamu lebih tenang sekarang, Tar,” tanya Pak Kadir.
Kang Muchtar tersenyum kecil.
“Aku capek cari yang sempurna. Ternyata kesempurnaan itu bukan dicari, tapi dibangun bsersama-sama.” Pak Kadir menepuk pundaknya.
“Masih ada waktu, Tar. Mungkin jodohmu bukan gadis cantik kaya raya, tapi janda baik yang bisa membuatmu hidup tenang,” terang Pak Kadir.
Muchtar hanya tersenyum. Untuk pertama kalinya, senyum itu tidak menyimpan khayalan, tapi keikhlasan.
Penampakan Kang Muchtar kini jauh berbeda dengan yang dulu. Di kampung itu tak ada lagi lelaki 56 tahun yang terus mengejar-ngejar gadis muda. Pengalaman hidup selama ini mulai mengajarkan dirinya untuk mengenal arti cinta yang sederhana. Bukan tentang wajah atau harta, tapi tentang siapa yang mau tinggal saat semua yang luar tampak mulai pudar. Meskipun lelaki ini juga tak tahu apakah masih sempat menikah atau tidak, yang jelas siap bukan untuk mencari yang sempurna, tapi untuk menjadi seseorang yang bisa dimiliki.