Cerpen
Disukai
0
Dilihat
1,327
Rindu yang Terburu
Romantis

Namaku Indah, usiaku 22 tahun, belum pernah pacaran, bukan karena tak ingin, tapi karena tak ada yang benar-benar datang. Kadang, aku berpikir apa yang salah dengan diriku, wajah juga bukan tipe yang buruk rupa, Nilai kuliah lumayan tak jelek-jelek amat. Aku hanya terlalu sering diam dan tak pandai menyapa duluan.

 

Sudah sejak lama aku ingin dicintai, bukan oleh orangtua atau keluarga karena itu sudah barang  tentu. Maksudku, dicintai seorang pemuda seperti dalam drama-drama atau sinetron, seperti teman-teman yang lain dengan mudahnya mengganti status media sosialnya dari "single" jadi "in a couple."

 

Dari semester awal kuliah, aku menyimpan harapan sederhana. Suatu saat akan ada pemuda datang, menyukaiku, membawa cokelat atau bunga, mungkin juga kirim pesan selamat pagi ke ponsel. Aku membayangkan bagaimana rasanya dirindukan, ditatap dengan senyuman, atau sekadar berdampingan saat jalan kaki menyusuri trotoar kampus. Kerinduan itu tumbuh dalam diam, tak bersuara, tapi gemanya terasa ke seluruh tubuh.

 

Lalu datanglah Alex. Aku mengenalnya sebagai teman satu organisasi di kampus. Dia ramah, wajah tak mengecewakan, dan selalu bersedia membantuku saat ada kerja kelompok, entah dengan yang lain.

 

Beberapa saat kemudian Alex mulai sering menghubungiku, untuk menanyakan apakah sudah makan, mandi atau apa saja. Aku tersipu, inilah saat yang lama kutunggu selama ini, diperhatikan oleh seorang pemuda. Sengaja jaga gengsi sedikit, aku tidak langsung membalas perhatiannya tetapi membiarkan semuanya mengalir begitu saja.

 

Seiring  berjalannya waktu, Alex jadi berbeda. Pemuda itu mulai muncul tiba-tiba di depan tempat kost, padahal aku tidak pernah mengundangnya. Dia juga tahu aku sedang ada di mana, bahkan saat tidak mengunggah apa pun di media sosial. Aku benar-benar merasa terganggu oleh ulahnya. Karena alasan inilah, aku mulai jaga jarak, meskipun Alex makin sering mengirim pesan-pesan panjang, kadang bernada lembut, bahkan sering semacam ancaman, menakut-nakuti.

[Kalau kamu nggak mau balas, ya sudah. Jangan salahkan aku ya, kalau suatu saat kamu nyesel.]. Begitu salah satu chat-nya.

 

Situasi yang tidak nyaman ini cukup beresiko pada keberlangsungan studiku. Beberapa kali aku bilang kalau belum siap menjalin hubungan dengannya, tapi Alex tak mau mengerti. Baginya, cinta itu mutlak, sekali mencintai, maka harus dimiliki.

 

 Di hati kecilku sempat juga terlintas pikiran, bukankah dulu aku ingin dicintai seorang pemuda, bukankah ini yang dicari? Namun mengapa rasanya seperti ini, bukan indah tapi aku dibuat gelisah, bukan bahagia tapi malah menderita. Alex memperlakukanku seperti tahanan, harus nurut dengan keinginan, diintimidasi, dibuntuti dan melaporkan semua aktifitas keseharian.

 

Hari-hariku berlalu dalam ketakutan. Penampilanku sekarang berubah untuk menyamarkan dari pantauan Alex, mengenakan masker dan topi saat ke kampus. Aku menghindari tempat-tempat yang biasa untuk nongkrong. Bahkan, aku sempat absen dua minggu dari organisasi, hanya agar tidak perlu bertemu dengan pemuda itu.

 

Puncaknya adalah malam saat pulang dari minimarket dekat kost, Alex muncul dari balik pohon dan menarik tanganku.

“Aku cuma mau ngobrol, Indah. kenapa kamu menghindar terus? Kamu jahat, tahu nggak,” keluh Alex.

Kupikir dia akan menyakiti, spontan aku berteriak ketakutan dan untungnya ada ibu kost yang keluar dan melihat kami. Pemuda itu pergi sambil mengumpat. Malam itu aku tidak bisa tidur., hanya memeluk bantal sembari berpikir, mencoba memahami mengapa harapanku dicintai seorang lelaki malah berujung seperti ini.

 

Aku terpaksa menceritakan pada orangtuaku tentang semuanya. Setelah banyak pertimbangan, aku memutuskan pindah ke luar Jawa. Kakak sepupuku yang tinggal di Makassar kebetulan mengizinkan menumpang sementara di sana. Akhirnya kutinggalkan semuanya, kuliah, organisasi dan teman-teman kuliah maupun tetangga kost. Aku hanya ingin merasa aman kembali.

 

Di perjalanan menuju Makasar, aku menangis pelan, bukan hanya karena takut, tapi juga kecewa. Kerinduanku selama ini ternyata keliru, terlalu berharap pada cinta yang manis, tanpa tahu bahwa cinta juga bisa datang dalam bentuk yang lain, menggelisahkan dan mengerikan.

 

Di Makassar, aku mulai dari awal, ikut privat Bahasa Mandarin dan membantu sepupu memberikan les pada anak-anak. Dengan banyak kesibukan aku  mencoba pelan-pelan membangun rutinitas baru dan membuang jauh kenangan yang menyebabkan terdampar di tempat ini.

 

Beberapa malam, aku masih terbangun dari tidur dengan napas memburu. Mimpi-mimpi aneh menghampiri, kadang samar, kadang terlalu nyata. Wajah Alex muncul dalam bentuk bayangan samar yang menatap tajam dari kejauhan. Aku terbangun dengan tubuh berkeringat, memeluk lutut di atas kasur, mencoba menenangkan diri dengan kalimat yang berulang kali kuucap dalam hati, "Kamu sudah jauh darinya, Indah. Sekarang sudah aman."

Nyatanya rasa takut tidak bisa dibohongi, karena setiap kali ada suara langkah di luar kamar kost sepupuku, aku refleks menahan napas. Begitu juga ketika ada notifikasi dari nomor tak dikenal, jantungku berdebar dua kali lebih cepat. Luka itu memang tak berdarah, tapi cukup dalam dan nyata hingga sedikit trauma.

 

Kadang, ketika malam tidak ada kesibukan, aku masih menyempatkan diri buka-buka ponsel, melihat story teman-teman yang tertawa bersama pacar mereka, atau makan malam romantis di kafe yang dihias lampu gantung menawan. Sementara aku di sini, hanya menggenggam segelas teh hangat sambil bertanya-tanya, kapan cinta akan datang lagi, tetapi tidak dengan wajah menyeramkan seperti Alex.

 

Beberapa bulan berlalu, hidupku sudah mulai tenang. Alex tak pernah lagi menghubungi, setidaknya dari akun yang kukenal. Aku memblokir semua kontaknya, mengganti nomor, dan hanya membagikan media sosial pada teman-teman yang benar-benar bisa kupercaya.

 

Sementara itu nun jauh di lubuk hati kerinduan belum hilang, tapi kini aku harus lebih hati-hati. Cinta bukan soal seberapa keras seseorang mengejar atau seberapa sering dia mengatakan “aku sayang kamu.” Cinta yang sehat tidak datang dengan ancaman, atau dipaksakan melalui rasa kasihan.

 

Suatu sore, saat sedang menunggu anak-anak selesai les, aku duduk di bangku taman dekat tempat les. Seorang pemuda seusia kakak sepupuku duduk di bangku seberang, memainkan gitar kecil sambil bersenandung pelan. Lagu yang ia mainkan bukan lagu cinta, melainkan lagu daerah yang membuatku tersenyum kecil. Ia menangkap tatapanku dan membalas dengan anggukan ramah. Tidak ada yang spesial darinya, tapi untuk pertama kalinya setelah sekian lama, aku tidak merasa ingin melarikan diri.

 

Kehadiran pemuda itu tidak membuat jantungku langsung berdetak kencang. Namun senyum itu, teramat sederhana dan tak memaksa apa pun, tapi telah memberikan harapan kecil padaku. Harapan mungkin suatu hari, aku bisa mempercayai dunia ini lagi, untuk mencintai dan dicintai setulus hati.

 

Malamnya, aku menulis di buku harian,

“Aku masih ingin dicintai, tetapi kali ini, cinta yang tidak membuatku merasa kecil, tidak membuatku takut untuk berkata tidak. Aku ingin dicintai oleh seseorang yang bisa mendengar, bukan hanya berbicara, yang bisa melihatku sebagai manusia, bukan sebagai milik.”

Kerinduan dalam hatiku belum padam, tetapi sekarang, tak lagi menggebu seperti dulu. Biarlah berjalan perlahan, seiring langkah diri yang mulai belajar untuk menyambut cinta dengan sadar bukan dengan buta dan terburu-buru. Aku harus yakin untuk bisa membangun ulang hidupku meski dari puing-puing yang berserakan.


Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)