Masukan nama pengguna
LELAKI BERMATA TEDUH
PART-2
By: Munkhayati
Harusnya barusan mandi pagi badan sehat seger, tapi ini malah terasa pegel-pegel lungkrah, loyo. Mungkin bener kata ibu aku harus segera ke tukang urut barangkali saja ada otot yang geser posisinya atau tegang, terus menjadi penyebab setelah kemarin nyungsep di jalan Kampung Opak. Untung matic masih bisa diajak kompromi mengantarku hingga ke sekolah, telat sih, dan mesti laporan ke Guru Piket, biasalah diinterogasi mungkin tampangku pembohong yang mengada-ada alasan, Lihat dong jari-jari tanganku yang terluka, ini fakta ....euy! Lecet-lecetnya sampai sekarang belum mengering masih memerah oleh betadin. Butuh waktu untuk regenerasi jaringan epidermis yang terkoyak rusak oleh benda keras. Stang motor, pagar jalan, beradu dengan kulit tangan, belum lagi memar di kaki yang masih membiru padahal sudah dikompres berkali-kali.
Di tempat lain, mas Yoga masih merenungkan peristiwa kemarin. Kala itu dirinya bermaksud memberikan pertolongan, untuk sesaat terhenyak melihat wajahku pertama kalinya. Mas Yoga bicara pada dirinya sendiri “Siapa sih dia, kayak ngga asing. Temanku jelas bukan, saudaraku…ngga juga…Hem…dia sekarang dimana ya,”gumam mas Yoga diliputi penasaran. Di dalam hati mas Yoga bertekad akan mencari jawaban karena wajah yang dilihatnya sama persis dengan seseorang. Untuk mengurangi penasarannya, dia kirim whatshapp, sekedar ucapan salam atau pesan agar rajin belajar ke nomerku yang kemarin sempat dimintanya.
“Assalamualaikum,….”
“Hari ini liburkah?”
Ada dua pesan dari mas Yoga. Sejak kami kenal kemarin, dia terus bertanya memastikan kondisiku makin membaik. Gegara nyungsep, aku jadi tahu nama si lelaki bermata teduh yang membayangiku, Doni Suprayoga dipanggil mas Yoga. Tadinya aku manggilnya om tapi dia keberatan katanya ketuaan karena belum married. Dia minta dipanggil mas Yoga saja biar akrab gitu. Musibah kemarin bagiku adalah berkah karena telah memperkenalkan dengan sosok misteri yang aku kagumi selama ini, duh makin merekahlah bunga-bunga di taman hati.
Hari ini aku libur karena ada rapat walimurid ngebahas kelulusan dan tetek bengeknya untuk kelas XII, tahu sendirilah kalau rapat begini ujung-ujungnya ya duit. Sebenarnya mau ngantar ibu sih, tapi ngga berkenan takut nyungsep lagi, jadinya pilih naik angkutan umum. Kasihan ibu, semua yang dilakukannya hanya untuk masa depanku, sangat menginginkan agar lanjut sekolah kelak hidup sukses tidak bernasib jadi pembantu seperti dirinya, yang sering disalahartikan harus mau melakukan semua perintah majikan. Terus dari mana ibu dapat uang yang cukup, kuliah itu butuh biaya banyak. Kemarin saja beli matic bekasan ibu belum bisa lunas, alias ngutang sana-sini. Aku pernah berdebat dengannya tentang masa depanku tapi ibu tetap bersikukuh aku harus lanjut sekolah, entah gimana caranya,...pusing juga nih. Kalau ingat yang seperti ini, jadi males belajar. Andai orangtuaku lengkap mungkin saja nasibku berbeda, setidaknya seluruh kebutuhan hidup kami tidak hanya ibu yang menanggungnya. Apalah daya, aku hanya seorang anak dari single parent tulen, semenjak menyatunya dua sel gamet yang berbeda hingga terbentuk janin dan bertumbuh hingga menjadi diriku ini. Jelas sekali di akte kelahiranku, tertulis anak dari seorang ibu, lalu dengan bapak siapa…siapa…? Tiba-tiba rongga dadaku serasa penuh ada sebongkah batuan besar yang menghimpit, panas, berat dan menyesakkan.
Sudah semingguan lebih dari awal kenal mas Yoga, kami sering komunikasi lewat ponsel. Ups….ternyata mas Yoga itu bukan asli warga Kampung Opak toh, dia di sini di rumah buliknya yang kebetulan menempati rumah induk almarhum kakeknya. Mas Yoga sekeluarga rumahnya di Semarang, ayahnya seorang pejabat ternama di instansi pemerintah kota itu. Beberapa bulan yang lalu ayahnya yang asli Kampung Opak meninggal setelah cukup lama menderita sakit dan dimakamkan di kampung halaman itu. Mas Yoga, ibunya, adik perempuan satu-satunya ikut ke Kampung Opak dan hingga sekarang belum kembali ke Semarang. Adik mas Yoga memiliki anak laki-laki dua setengah tahunan yang juga ikut, sementara suaminya sedang berlayar karena kerjanya di pelayaran. Keponakan mas Yoga ini sangat akrab dan manja padanya, maklum jarang ketemu dengan ayahnya, sebaliknya mas Yoga juga teramat sayang dengan keponakannya itu. Setiap pagi minta jalan-jalan kadang sambil sarapan, mas Yoga menurutinya walhasil seperti ayahnya sendiri. Dulu mas Yoga bekerja di Batam jarang pulang, tetapi sekarang sudah mengundurkan diri tidak di sana lagi. Katanya sih mau kerja di Semarang saja, bisa pulang tiap hari menemani ibunya yang sendirian karena ayahnya sudah tiada.
Setiap chat dari mas Yoga selalu aku baca berulang dengan sepenuh rasa, hampir semua isinya pesan agar aku rajin nda boleh males-malesan menggapai cita-cita, kalau seperti ini semangat lagi deh belajarnya. Namun giliran sampai pada masalah melanjutkan sekolah, aku jawab masih belum jelas, dianya terus mengalihkan ke pertanyaan yang lain seolah tidak ingin aku terbebani menjawabnya.
“Anis....HP nya tuh bunyi kayaknya panggilan, cepetan gih…kasihan tuh…!” Ibu teriak-teriak memberitahuku bersaing dengan suara guyuran air dari gayung, aku yang sedang mandi.
“Biarin aja bu nanti kalau butuh kan kontak lagi.” Sambil menyelesaikan mandi aku mencoba nebak-nebak yang kontak siapa, ah…paling Nely pinjam rangkuman Biologi atau Maya ngajak kelompokan. Selama ujian, sekolah memprogramkan perpustakaan tetap membuka layanan khusus kelas XII di sore hari untuk belajar. Jadi anak-anak yang mau ujian bisa ngumpul belajar bareng, ngebahas soal-soal atau kisi-kisi, atau melengkapi tugas yang masih kurang. Ada juga kayak si Nala belajar di perpustakaan karena di rumah nda bisa konsentrasi, direcoki adiknya yang masih kecil.
Seusai dari kamar mandi ponsel segera kuraih. Aku tersenyum bahagia, tebakanku salah semua, tumben mas Yoga nelpon biasanya cukup whatshapp ada apa ya?
“Maaf barusan mandi, tumben calling ada apa mas.”
“Ngga papa cuma pengin aja dengar suaramu…”
Mas Yoga mengurungkan niatnya memberitahu jika dalam waktu dekat harus kembali ke Semarang bersama keluarganya. Dirinya tidak sampai hati mengganggu konsentrasiku yang mau ujian besok Senin. Hubungannya denganku belum lama tetapi rasanya sudah begitu dekat diantara kami, mas Yoga merasa sudah pernah mengenali wajahku sebelumnya, jadi seperti komunikasi lama yang terhenti akhirnya menyambung kembali, sungguh aneh.
Seminggu kemudian ujian sudah usai, penat badanku, lebih-lebih pikiran, Hari Minggu ini saatnya untuk relaksasi santai-santai saja di rumah. ya pokoknya memanjakan diri. Tadi ibu sudah menyiapkan bahan-bahan untuk seblak berkuah pedas yang selama ujian aku tahan, takut sakit perut ujian bisa tertunda. Nyam…nyam…nyam…kutelan saliva yang keluar dari kelenjar, terbayang betapa makanan favoritku begitu menggoda, kuah pedas panas dengan bakso dan taburan makaroni yang melimpah, sayurannya hijau segar dari caisim yang diiris kasar, aku suka ditambah sedikit seledri. Jangan lupa diberi kencur secukupnya untuk menambah aroma dan citarasa di mulut agak semriwing Pelengkapnya, minum es buah saja sudah istimewa bagiku.
“Assalamualaikum, ada acara ngga sekarang dik?”pesan dari mas Yoga.
“Ngga ini lagi nyantai di rumah, gimana sih?”
“Ada yang ingin kuberitahu, bisa kan ketemu?”
“Dimana…jam berapa…?”
Demi mengikuti kemauan mas Yoga niatku nyantai di rumah hari ini gagal, nda papalah. Aku akan nyantai di tempat lain menikmati kedamaian dalam bentuk yang berbeda bersama si mata teduh.
Untuk penampilan hari ini aku pilih bawahan jersey rimpel hitam bermotif bunga-bunga kecil warna cerah, atasan kaos polos warna senada dengan jilbabnya, sedangkan alas kaki sendal bertali berkaos kaki. Sempat bingung juga pilih baju yang cocok untuk bertemu dengan mas Yoga, yang bagus dan cukup mewakili suasana hatiku,… santai dan bahagia, apa daya di lemari koleksi bajuku apa adanya. Mudah-mudahan ngga norak penampilanku hari ini….aamiin, doaku.
Kami sepakat bertemu di kedai “Posko Seblak” milik saudaranya Nala teman sekolahku. Tadi aku pura-pura cemberut karena gagal nyantai plus nyeblak di rumah, makanya mas Yoga berinisiatif ngajak bareng makan seblak biar ngga ngiler katanya. Amit- amit deh! Posko Seblak jaraknya sekitar satu kilometer ke arah barat dari sekolahku. Kalau dari arah pasar lebih dekat, cukup jalan kaki lurus dan agak menikung ke arah kanan sedikit. Tempatnya tidak terlalu ramai, bersih, asri di dekat kebun terbuka bersebelahan dengan hamparan sawah yang hijau. Jajanannya receh enak lagi, kalau sedang bete atau gabut teman-teman biasanya ke sini. Tadi ibu agak heran waktu aku pamitan, karena niatnya seharian mau di rumah kok tiba-tiba mau keluar sebentar. Aku pamit ke ibu mau ke rumah Nala sekalian lihat-lihat baju yang untuk acara kelulusan dan perpisahan sekolah.
Aku sungguh salah tingkah, malu tapi juga bahagia karena lelaki yang selama ini membuat aku iri, kali ini duduk semeja tepat di hadapku. Sungguh telah membuat iri perhatian dan keteduhannya karena mampu menjadi oase di tengah kegersangan figure seorang pelindung bagi keponakan, demikian juga aku. Menunduk lebih banyak kulakukan, terkadang meliriknya tidak berani memandang wajah apalagi matanya. Heran kok jadi setolol ini, harusnya sekaranglah waktunya aku bisa leluasa mengembara dan menyelami setiap titik magnetnya. Sengaja ponsel kubuka-buka untuk mengalihkan perhatian dan sedikit menenangkan perasaan, sesekali kumainkan tisu yang ada di tangan yang membasah oleh keringat dingin, kuatur nafas yang memburu dalam diam.
“Assalamualaikum dik, kok diam?”
“Waalaikumsalam, terus suruh gimana, apa aku teriak-teriak,”jawabku lirih balik bertanya.
“Ngga teriak sih, ya ngomong gitu.”
“Lo yang mau ngomong kan mas Yoga bukan aku.”
Mas Yoga hanya nyengir mendengar jawabanku.
“Begini dik,…aku minta maaf, sekitar dua apa tiga hari lagi aku dan keluarga akan balik ke Semarang, mungkin kita sudah nda bisa ketemu lagi.’’ Jlep…..! Aku kaget mendengarnya. Mas Yoga terus melanjutkan bicaranya, “Rencana awal mau minggu yang lalu pulangnya tapi aku minta ibu menundanya, karena ada sesuatu hal akhirnya baru minggu depan mau pulang. Kita saling mengenal belum lama tapi aku merasa ada ikatan batin kuat yang menuntunku untuk selalu berada di dekatmu. Aku mohon dik, beri kabar jangan putuskan komunikasi, setelah lulus terus mau kemana?”
Semakin lama mendengar penjelasan mas Yoga, kurasa ada air hangat di netra yang mengaburkan pandangan, meleleh dan membasahi pipi. Tak sanggup aku menerima semua kalimat yang diucapkannya, Mas Yoga tidak melanjutkan bicaranya, hanya diam akupun diam. Cukup lama kami larut dalam keheningan tanpa tanya dan suara, membiarkan seblak yang tadi masih berkepul-kepul panas asapnya mulai menghilang dan menghadirkan dingin.
Setelah suasana kembali mencair meski tak sehangat semula, kami berbincang basa basi sambil menyendok makanan yang sudah tersaji dari tadi, meskipun tanpa selera. Selang berikutnya aku berpamitan pada mas Yoga untuk pulang dengan janji akan memberi kabar secepatnya tentang langkah setelah lulus sekolah. Demikian juga mas Yoga akan terus menunggu kabar dariku. Kita saling bersalaman sebagai salam perpisahan.
“Le…. kok ada di sini to, lagi ngapain?” Tiba-tiba dari seberang jalan ada seorang ibu tergopoh menuju kearah kita dan mendekati mas Yoga sembari bertanya. Kemudian ganti memandangku,
Perempuan itu terkesiap pasi, dengan suara gemetar bertanya. “Nduk ka…kamu… siapa, kok kenal Yoga?” Aku dan mas Yoga saling berpandangan, bingung.
Ambal, pertengahan Mei 2024