Cerpen
Disukai
1
Dilihat
8,170
Nak, Ijinkan Aku Bahagia
Drama

NAK, IJINKAN AKU BAHAGIA


Sore yang menyejukkan, langit cukup bersih, meskipun tadi siang matahari memancarkan panas dengan teriknya, tetapi kemarin barusaja hujan seharian. Alhasil, pekarangan dan jalanan yang agak becek oleh guyuran hujan, sore ini basahnya menguap, kering kembali, tapi tanah jika terinjak kaki masih terasa empuk.

Pak Rahmat barusaja membersihkan pekarangan, menyapu ranting dan dedaunan kering yang berserakan di samping rumah. Halaman depan dan belakang rumah sudah sering disapu, jadi tidak terlalu kotor. Kebetulan dua hari yang lalu turun hujan, jadi baru bisa sekarang aktifitas bersih-bersih pekarangan dilanjutkan.  Ranting dan sampah dari pekarangan kemudian dibuang di lubang galian belakang rumah yang memang dibuat untuk itu. Setelah lubang galiannya penuh oleh sampah organik ini, Pak Rahmat akan menimbunnya dengan tanah. Dia tidak akan membakarnya, karena berprinsip sampah ini juga dapat memberikan manfaat kembali untuk tanaman dengan menjadi kompos.

Bagai mimpi saja, Pak Rahmat masih belum bisa mempercayai apa yang barusaja menimpanya. Dia masih merasakan kehadiran Marni di rumah. Ya, perempuan itu terus ada dan menemani di setiap aktifitasnya. Marni istri Pak Rahmat, meninggalkan dia untuk selamanya setelah serangan jantung yang merenggut hidupnya.

Pak Rahmat laki-laki berusia kurang lebih 67 tahun, sudah sebulan ini menyandang status duda dengan tiga anak perempuan semua. Yang pertama, tinggal di Jakarta bersama suaminya, yaitu Nani bekerja di salah satu BUMN ternama sehingga saat pulang menjenguk Pak Rahmat tidak bisa lama harus segera kembali ke Jakarta.  Anak keduanya, Widi yang berprofesi ibu rumah tangga, merantau ke Semarang bersama suaminya, sekarang Kepala Staff Marketing perusahaan yang bergerak di bidang furniture. Sedangkan anak bungsunya Rina, masih tinggal di rumah dan menempuh pendidikan di universitas setempat. 

Kemarin, sewaktu ketiga anaknya beserta cucu masih berkumpul  di rumah, suasana cukup ramai dan hangat, sehingga Pak Rahmat sedikit terhibur dengan keberadaan mereka. Namun, karena mereka juga memiliki aktifitas sendiri-sendiri, akhirnya satu per satu keluarga pulang melanjutkan aktifitas kesehariannya, ada yang bekerja dan ada juga yang sekolah. Beberapa waktu yang lalu, mereka memang berkumpul untuk mengantarkan Marni, ibunda sekaligus neneknya ke tempat peristirahatan terakhir.

“Istirahat dulu Pak, biar nanti Rina yang melanjutkan menyapu,” kata Putri Bungsunya ketika melihat Bapaknya tampak lelah di pekarangan.

“Iya, tapi ini nanggung tinggal sedikit lagi,” balas Pak Rahmat.

“Bapak kan jarang bersih-bersih sampah begini, udah sana istirahat. Minumnya sudah Rina siapkan di meja,” saran Rina. Pak Rahmat meninggalkan pekarangan dan melangkah mendekati putrinya di teras rumah.

“Bapak tidak betah Rin, lihat sampah numpuk di pekarangan. Waktu masih ada ibumu, pekarangan rumah selalu bersih karena senang sekali resik-resik.”

“Iya Pak, Ibu memang rajin orangnya. Kalau resik-resik beliau juaranya. Ya sudahlah, yuk minum dan istirahat dulu,” ajak Rina pada Bapaknya. Lelaki ini bergegas menuju kran air yang ada di samping teras rumah untuk mencuci tangan dan kaki. Detik berikutnya terdengar gemericik air mengalir dari kran. Setelah mengelap tangan dan kaki yang basah, Pak Rahmat menuju teras samping untuk menikmati minum dan singkong goreng yang sudah dihidangkan, sementara Rina bergegas menyelesaikan pekerjaan Bapaknya.

Air teh hangat masuk dan mengaliri kerongkongan yang mulai mengering. Meskipun suasana sore sejuk tapi aktifitas menyapu pekarangan membuat badan gerah dan keringat bercucuran. Disesapnya teh sambil memperhatikan Rina yang melanjutkan pekerjaannya tadi. Sepotong singkong diambil dari piring dan dinikmatinya. Singkong pemberian Wak Karyo kemarin, sewaktu mengembalikan timbangan gabah. Wak Karyo berniat menjual sebagian panen padinya, untuk membelikan sepeda anaknya yang tahun ini masuk di bangku Sekolah Lanjutan Pertama. 

Tidak terasa sudah dua potong singkong yang mengisi perut Pak Rahmat sambil masih memperhatikan Rina mengumpulkan sampah kemudian membuangnya ke lubang galian. Dari ketiga putrinya, Si Bungsu Rina yang paling mirip dengan mendiang istrinya. Terampil, mandiri dan wajah ovalnya yang manis dengan dekik di pipi kalau tertawa. Badannya yang tinggi semampai mewarisi sifat dari Pak Rahmat yang berperawakan tinggi juga. Marni, mendiang istrinya memang suka sekali resik-resik, halaman dan pekarangan rumahnya selalu bersih. Aneka bunga di halaman meskipun bukan bunga yang tergolong mahal, tertata apik, indah dipandang. Kebetulan ketiga anaknya perempuan semua dan suka juga dengan tanaman penghias itu.

Waktu Marni masih hidup, menikmati sore begini, Pak Rahmat tidak pernah sendiri. Kini perempuan itu sudah mendahuluinya. Hari-hari tanpa Marni seolah beban berat yang harus dia pikul sendiri karena separuh nyawanya sudah kembali pada Sang Pencipta. Perasaan cintanya yang mendalam pada Marni yang telah memberinya tiga putri, tiba-tiba harus cukup disimpan dalam hati. Wujud cintanya pada Marni sekarang dengan menepati janji mereka berdua yang masih tersisa  yaitu menjaga keutuhan dan kebahagiaan ketiga putrinya.

Sering sekali sepi datang menyelimuti hati lelaki tua itu, di kala sendiri. Jujur di dalam hatinya, tetap Marni satu-satunya perempuan yang mengisi relung hati yang paling dalam hingga kapan pun. Namun saat-saat sendiri itu, sekarang menjadi saat yang menakutkan dan sangat menyiksa batinnya. Pak Rahmat sering terbawa halusinasinya, nglangut. Dulu, ketika dirinya menonton televisi, ada Marni di sisinya, sambil ngobrol macam-macam. Kadang mereka membahas acara televisi yang sedang ditontonnya, tapi sering juga malah membincangkan hal lain yang jauh berbeda.  Apabila sudah saatnya jam tidur, di pembaringan mereka berdua saling menemani. Demikian juga ketika di meja makan, Marni melayaninya, diselingi dengan kelakar kecil yang khas. Sholat pun menjadi momen indah dan spesial, karena mereka berdua menyempatkan untuk berjamaah di rumah jika tidak di mushola dekat rumah.

Sangat sulit bagi Pak Rahmat menyesuaikan kondisinya yang sekarang ini, tanpa ada yang menemani dan saling berbagi perasaan. Meskipun ada Rina, tidak mungkin bisa menemani Bapaknya terus-menerus, karena gadis itu juga memiliki kesibukan sendiri. Aktifitas memasak, membersihkan rumah dan beres-beres, badannya yang butuh dipijit jika pegal-pegal, tentu masih bisa di-handle gadis berperawakan semampai itu. Namun untuk urusan yang pribadi seperti butuh perhatian dan kasih sayang dari pasangan tentu sulit. Pak Rahmat semakin tidak bisa membayangkan, suatu saat Rina menikah dan harus ikut dengan suaminya. Teman laki-laki anak gadisnya ini, bernama Toni, sudah sering datang ke rumah, dan sudah pernah menyampaikan maksud hubungannya dengan Rina untuk dijadikan calon istri. Rina adalah gadis yang supel dan menarik, tidak ayal lagi kalau banyak laki-laki yang menginginkannya menjadi pendamping hidup. Pak Rahmat dan Marni saat itu, sudah pernah menjawab dan mengijinkan Toni untuk menjadi imam bagi hidup Rina. Memikirkan cobaan hidup seperti ini, keadaan Pak Rahmat sekarang tampak sering murung, menonton televisi juga hanya kadang-kadang saja. 

Pagi itu, Pak Rahmat keluar kamarnya hanya untuk menunaikan Sholat Subuh, kemudian masuk kamar lagi. Sesekali lelaki tua itu terdengar batuk-batuk ringan. Dari semalam badannya terasa pegal-pegal, kepalanya agak pusing. Sewaktu Rina menengok ke kamar, ternyata sedang tiduran di atas tempat tidur. Rina kaget karena suhu badan Bapaknya cukup tinggi, kemudian demam. Dengan cepat Rina mengambil peralatan untuk mengompres. Berhubung kondisi Bapaknya masih belum membaik, kemudian Pak Rahmat dibawanya ke dokter. Sebelum pulang, Rina diberikan obat untuk Bapaknya yang harus dikonsumsi. Kecuali itu dokter juga memberikan saran, agar Pak Rahmat lebih banyak rileks, banyak bersyukur dan berbahagia, tidak banyak pikiran yang dapat memicu timbulnya sakit. Hampir setahun Pak Rahmat menduda memang sudah beberapa kali jatuh sakit. Rina sering melihat bapaknya termenung melamun, ada sepi yang menggantung di sorot matanya, walau dipaksakan tersenyum, ketika Rina memergokinya.

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)