Masukan nama pengguna
BAB 2
“Rin, dari pagi kamu sudah merawat Bapak dan memberikan obatnya, Bapak sudah agak mendingan. Nanti sehabis Dhuhur, kamu berangkat saja kuliah, Bapak nda papa,” saran Pak Rahmat pada putrinya.
“Beneran nda papa, nanti kalau butuh apa-apa gimana?” tanya Rina ragu.
“Ya udah lumayan sehat kok, Bapak kan bisa sendiri.”
“Ya deh, nanti Rina kuliah mbok ada kuis dan bisa jawab, lumayan buat tambah-tambah nilai,” jawab gadis itu. Ada perasaan lega di hati gadis itu, karena satu-satunya orangtua yang dimilikinya sekarang sudah makin sehat.
Meskipun Rina adalah anak bungsu, ia memiliki karakter yang mapan dan mandiri. Ia sering kali menjadi teman curhat bagi bapaknya, dan kehadiran serta sikapnya ini sudah membuat kehidupan Pak Rahmat sedikit lebih berwarna, meskipun sebenarnya hatinya kerontang.
Suatu hari, setelah selesai menonton acara televisi yang menampilkan kisah cinta di usia tua, Pak Rahmat merasa ada sesuatu yang berbeda menyelinap dalam perasaannya. Kemudian baru terpikirkan dan tersentuh jiwa kelelakiannya, kerinduan di sudut hatinya kian menyeruak. Dia pun teringat pada momen-momen bahagia ketika hidup bersama istrinya dulu. Rasa sepi yang menyelimuti hidupnya sekarang ini telah mendorongnya untuk mempertimbangkan keinginan apabila dirinya kembali menikah.
Ya menikah, Pak Rahmat akan segera mencari pendamping hidup di masa tuanya, sebagai teman saling mengingatkan dan mencurahkan kasih sayang, tidak lebih dari itu. Namun, di sudut hatinya yang lain timbul pertanyaan, apakah keinginannya ini akan disetujui oleh anak-anaknya? Jangan-jangan setelah dirinya mengutarakan isi hatinya ini langsung disanggah atau mendapat perlakuan lain, dijauhi atau dimusuhi oleh mereka. Apakah Pak Rahmat sudah siap seandainya dirinya memang benar-benar menerima perlakuan seperti itu, karena mereka menganggap bapaknya sudah tidak mencintai ibunya dan sedang berusaha melupakannya. Sepertinya aku tidak sanggup jika timbul sikap-sikap itu dari ketiga putriku, Pak Rahmat membatin.
Kembali logikanya mencerna hasrat menikahnya. Bukankah sekarang dirinya sudah harus semeleh menerima semua yang terjadi sebagai sebuah takdir, Marni mendahuluinya dan dirinya tak perlu mencari penggantinya. Ketiga putri dan cucu-cucunya sudah cukup menghibur, menghiasi hari-hari di ujung kontrak umurnya pada Tuhan. Tidak perlu repot-repot memiliki istri lagi, yang belum tentu prinsip hidupnya sejalan dengannya. Ditambah lagi jika kehadiran istrinya ini hanya tidak bisa ngemong ketiga putrinya. Itu baru masalah pribadi istrinya, belum lagi jika keluarga calon istrinya ini, anak-anaknya mungkin berniat tidak baik pada keluarganya. Haduh … pusing! Pak Rahmat termenung sembari menopang dagu dengan tangan, beberapa waktu, hingga keringat mulai mengembun di kulit leher dan wajahnya.
Ah, bagaimana jika yang terjadi sebaliknya? Ketiga putrinya malah sangat senang kalau bapaknya memiliki pendamping hidup lagi, sehingga selalu ada teman di kala siang dan malam untuk diajak ngobrol, tidak sendirian dan nglangut terus. Nani dan Widi, mungkin saja menyetujui karena mereka berdua posisinya jauh tidak serumah dengan Pak Rahmat, jadi terserah saja kemauan bapaknya. Namun dengan Si Bungsu Rina, Pak Rahmat tidak yakin. Rina sangat dekat dengan dirinya, semua keperluannya setiap hari dia yang menyiapkan, meskipun dalam keadaan sedang sibuk kuliah. Pernah juga Rina rela tidak mengikuti beberapa kali kuliah karena bapaknya sedang sakit. Di balik semua itu Rina adalah gadis yang memiliki pemikiran cukup dewasa dan mudah diajak bermusyawarah, bisa saja bapaknya ini malah mendapat lampu hijau. Antar sudut hati lelaki tua itu mengalami perang batin, dia tidak berdaya dan sering terbawa dalam lamunan.
Sudah beberapa malam Pak Rahmat, mengadukan dilema hidupnya pada Sang Khalik. Apapun yang terjadi, Pak Rahmat akan mencoba untuk berbicara dari hati ke hati pada anaknya, tentang keinginan dirinya untuk bahagia dan tidak kesepian.
Pak Rahmat mencari kesempatan yang tepat untuk membicarakan masalahnya, pertama dengan Rina, putri yang selalu menemaninya di rumah. Saat Rina sedang duduk santai bersamanya setelah Sholat Maghrib dengan hati-hati laki-laki itu menyampaikan keinginan hatinya.
"Nak, apa pendapatmu kalau misalnya Bapak menikah lagi," tanyanya lirih, seolah bertanya pada diri sendiri.
Tentu saja Rina terkejut. "Menikah lagi? Kenapa Bapak berpikir seperti itu?" tanyanya, dengan nada suaranya menunjukkan kekhawatiran.
"Bapak merasa kesepian, Rin. Bapak ingin ada seseorang yang menemani di sisa hidup ini," terang Pak Rahmat. Rina menggelengkan kepalanya.
"Tapi, Bapak kan sudah cukup tua. Menurut Rina lebih baik Bapak menikmati hidup sendiri saja. Banyak hal yang bisa Bapak lakukan tanpa harus menikah lagi," ujarnya, berusaha meyakinkan. Pak Rahmat merasakan hatinya kecewa.
"Rin, ini bukan tentang menjalani hidup sendiri. Menikah lagi bukan berarti Bapak tidak mencintai Ibu. Bapak hanya ingin ada teman di sisa hidup ini."
“Pak, Rina kan di sini serumah bareng Bapak, selalu ada untuk Bapak dan menemani Bapak. Apakah tidak cukup?”
“Ada hal-hal lain yang tidak bisa kamu lakukan Rin. Kamu tidak akan mungkin bisa menemani Bapak terus, karena Rina juga memiliki dunia dengan aktifitasnya sendiri, suatu saat akan bekerja, menikah dan masih banyak lagi. Mungkin saja setelah menikah, Rina harus ikut dengan suami dan keluar dari rumah ini.”
“Tidak Pak. Rina tidak akan keluar dari rumah ini. Kalau kami sudah nikah, Rina akan meminta pada Mas Toni untuk tinggal bersama di sini, menemani Bapak.”
“Tidak bisa begitu Rin. Kalau kamu sudah nikah ya harus nurut dengan suami, mau tinggal di mana apa ke mana, karena suamimu yang bertanggung jawab atas dirimu bukan Bapakmu lagi,” sanggah Pak Rahmat.
“Rina akan meminta pada Mas Toni Pak, bukan tidak mau ikut dengan dia.”
“Rin, kamu tidak bisa mengatur-atur suamimu Nak. Justru harus manut dengan suami jika sudah menikah kelak.”
“Pak, Rina tidak mengatur suami hanya minta ijin,” jawab gadis itu mulai kesal.
“Bapak justru merasa bersalah, seandainya kamu tidak mau nurut dengan suamimu hanya gara-gara menemani Bapak di sini.”
"Bapak, Rina tidak setuju. Rina takut kalau Bapak menikah lagi, akan timbul masalah baru." Gadis semampai itu berbicara dengan nada tegas.
Pak Rahmat merasa sedih dengan jawaban putrinya ini. Laki-laki tua ini tahu sebenarnya Rina tidak bermaksud menyakiti perasaannya, tetapi keinginan untuk mencintai dan dicintai di sisa umurnya ini terasa begitu kuat.
"Rina, Bapak janji akan memilih perempuan dengan hati-hati. Jujur tidak ada yang bisa menggantikan Ibumu, tetapi Bapak juga berhak untuk bahagia."
“Rina tetap tidak setuju Pak, kalau bapak menikah lagi.”
Pak Rahmat masih duduk di kursinya hanya terdiam, mendengar jawaban tegas dari putri bungsunya itu. Sama sekali dalam pikirannya tidak bermaksud membuat Rina kesal, tetapi hanya meminta agar dia juga lebih pengertian dengan kondisinya, yang sudah hampir satu tahun menduda. Sementara itu bagi Rina juga tidak pernah sedikit pun menyinggung perasaan Pak Rahmat, tetapi justru mengingatkan jangan sampai dengan menikahnya kembali bapaknya ini justru menjadi awal masalah lain. Rina hanya tidak rela jika hal itu yang terjadi, makanya dirinya berusaha melindungi orangtua ini. Sore tadi suasana menghangat tapi menjelang malam berangsur hambar dan sepi. Bapak dan putrinya diam membisu, masing-masing tenggelam dalam pikiran dan asumsinya sendiri-sendiri.