Cerpen
Disukai
0
Dilihat
2,337
Bintang Kecil di Jendela
Slice of Life

Desa kecil yang terletak di pinggiran hutan lebat, hiduplah seorang gadis kecil bernama Nara. Usianya baru tujuh tahun, tetapi hatinya terasa lebih besar dari usia yang ia punya. Nara tinggal bersama ibunya, Bu Sari, di sebuah rumah kayu sederhana yang selalu dipenuhi suara tawa lembut dan aroma masakan hangat. Ayahnya telah pergi jauh bertahun-tahun yang lalu, bekerja di negeri seberang dan belum kembali. Meski begitu, Nara selalu percaya, suatu hari ayahnya akan pulang.

Setiap malam sebelum tidur, Nara selalu duduk di tepi jendela kamarnya yang menghadap langit luas. Dengan mata yang berbinar, ia menatap bintang-bintang yang berkelap-kelip di langit malam yang gelap, seolah-olah mereka sedang mengajaknya berbicara. Di dalam hati kecilnya, Nara selalu berbisik pelan, "Ayah, apakah kamu melihat bintang yang sama?"

Suatu malam yang sepi, ketika angin berhembus lembut dan bulan bersinar setengah, Nara melihat sesuatu yang tak biasa. Di jendelanya, ada satu bintang kecil yang tidak berada di langit, tetapi persis di depan matanya, bersinar cerah seperti permata yang memancarkan cahaya lembut. Bintang itu tidak tampak seperti bintang biasa, ada sesuatu yang berbeda pada dirinya. Nara menatapnya dengan takjub, seakan ia belum pernah melihat sesuatu yang begitu indah.

Bintang kecil itu perlahan mulai berbicara dengan suara lembut yang hampir seperti bisikan angin. "Halo, Nara. Aku mendengar doamu."

Nara terkejut, tetapi tidak merasa takut. Hatinya justru terasa hangat, penuh rasa ingin tahu. Ia tersenyum dan bertanya, "Kamu bintang sungguhan?"

"Aku adalah temanmu malam ini," jawab bintang kecil itu dengan suara yang penuh kelembutan.

Sejak malam itu, Nara dan Bintang Kecil menjadi teman. Setiap malam, sebelum tidur, Nara akan duduk di jendela, bercerita tentang hari-harinya. Ia menceritakan tentang sekolahnya yang penuh tawa dan petualangan, tentang sahabat-sahabatnya yang baik hati, dan tentang kerinduan mendalam yang ia rasakan pada ayahnya yang jauh di sana. Bintang Kecil selalu mendengarkan dengan penuh perhatian, seolah ia adalah teman sejati yang tidak pernah menghakimi.

"Kadang aku merasa takut, Bintang Kecil. Kadang aku merasa sendirian," Nara mengeluh suatu malam, menatap bintang yang bersinar terang. "Tapi aku tahu, aku harus kuat. Aku harus tetap percaya."

Bintang Kecil berkilau lebih terang malam itu, seolah memberikan pelukan lewat cahaya yang lembut. "Kamu tidak sendirian, Nara. Harapanmu, serta cinta yang kamu kirimkan, itu adalah cahaya yang tak akan pernah padam. Kamu hanya perlu terus percaya akan dirimu,"

Hari-hari Nara terasa lebih ringan sejak ia memiliki Bintang Kecil. Ia tetap belajar dengan giat di sekolah, membantu ibunya di ladang, dan menulis surat-surat untuk ayahnya yang tak tahu kapan akan pulang. Setiap malam sebelum tidur, Nara berbicara dengan Bintang Kecil, mengungkapkan segala rasa yang terpendam dalam hatinya.

Namun, pada suatu pagi yang cerah, Bu Sari pulang dari pasar dengan wajah yang muram. Nara merasa ada yang tidak beres. Ibunya memanggilnya ke dapur dengan langkah pelan.

"Nara, ada kabar dari Ayah," suara Bu Sari bergetar pelan.

Nara menahan napas. "Apa kabarnya, Bu?"

Ibunya menghela napas panjang. "Ayahmu... Ayahmu tidak bisa pulang dalam waktu dekat. Ada badai besar di negeri sana, dan mereka kehilangan banyak hal, termasuk rumah mereka."

Nara menunduk, hatinya terasa begitu berat. Sejenak, ia merasa dunia seperti berhenti berputar. Namun, ia berusaha tersenyum, menggenggam tangan ibunya erat. "Tak apa, Bu. Kita doakan Ayah, ya? Suatu hari, pasti Ayah akan pulang."

Malam itu, Nara kembali duduk di jendela, seperti biasa. Tapi malam itu berbeda. Angin malam terasa lebih dingin, dan kesunyian mengisi ruang di sekelilingnya. Ia menatap bintang-bintang yang berkelap-kelip, tetapi hatinya terasa kosong. Rasa takut dan kerinduan begitu mendalam, namun ia berusaha mengumpulkan kekuatan. Ia bercerita pada Bintang Kecil, "Kadang aku ingin marah, Bintang Kecil. Tapi aku tahu, aku harus terus percaya, bukan?"

Bintang Kecil kembali bersinar lebih terang. "Kamu hebat, Nara. Tidak semua anak kecil bisa sekuatmu. Ingatlah, meski badai datang dan memporak-porandakan segalanya, cinta dan harapanmu tak akan pernah hilang."

Nara menatap bintang kecil itu dengan penuh rasa syukur. "Aku ingin mengirimkan pelukan untuk Ayah, Bintang Kecil. Bisakah aku?"

"Tentu," jawab Bintang Kecil. "Tutup matamu. Bayangkan Ayah, kirimkan pelukan terhangatmu lewat bintang-bintang."

Dengan mata yang terpejam, Nara memeluk dirinya sendiri, membayangkan pelukan hangat ayahnya yang begitu dirindukan. "Untuk Ayah..." bisiknya pelan.

Di langit, sebuah bintang jatuh, menyebarkan kilauan seperti membawa pesan rahasia yang jauh, menuju negeri tempat Ayah berada.

Hari berganti minggu, dan Nara bertumbuh. Kini, usianya sudah sembilan tahun. Ia semakin tinggi dan kuat, tetapi setiap malam ia masih duduk di jendela, menatap bintang-bintang. Namun, Bintang Kecil kini jarang muncul. Kadang hanya terlihat sebagai kerlip kecil yang samar di kejauhan.

Suatu malam, di sekolah, diumumkan bahwa akan ada festival bakat desa. Anak-anak diminta untuk tampil menunjukkan bakat mereka seperti bernyanyi, menari, atau apapun yang mereka kuasai. Nara diam-diam mendaftar untuk ikut. Ia memilih untuk menyanyi, bukan untuk menang, tetapi untuk mengirimkan suara rindunya, untuk Ayah, untuk Bintang Kecil.

Bu Sari mendukung penuh keputusan Nara. "Kamu pasti bisa, Nara," katanya sambil menata pita merah di rambut anaknya.

Malam sebelum festival, Nara duduk di jendela lagi. Hujan turun rintik-rintik, dan angin berbisik lembut di telinganya. Kali ini, Nara tidak menangis. Ia berbicara dengan angin, berbicara dengan langit yang penuh bintang.

"Besok aku akan bernyanyi. Semoga Ayah bisa mendengarnya, darimana pun Ayah berada. Semoga kamu juga mendengarnya, Bintang Kecil."

Hari festival tiba. Aula desa yang sederhana dipenuhi dengan anak-anak yang menunggu giliran untuk tampil. Nara berdiri di panggung kecil dengan gemetar. Namun, ketika ia melihat ke luar jendela aula, ia melihat seberkas cahaya yang terang seperti sebuah bintang kecil yang bersinar di siang hari. Hatinya terisi dengan kehangatan yang tak terlukiskan.

Ia menarik napas dalam-dalam, tersenyum, dan mulai bernyanyi:

"Bintang kecil di langit yang biru..."

Suaranya begitu bening, penuh dengan rasa yang mendalam. Ia menyanyikan lagu itu, bukan untuk mendapatkan tepuk tangan, tetapi untuk mengirimkan pesan rindu yang terpendam dalam hatinya. Semua yang mendengar terdiam, terpesona oleh keindahan dan ketulusan suaranya.

Setelah lagu selesai, tepuk tangan bergemuruh. Bu Sari meneteskan air mata di sudut ruangan, bahagia dan bangga.

Saat Nara turun dari panggung, seseorang berdiri di dekat pintu , ada seorang pria berjaket lusuh, dengan mata berkaca-kaca. "Nara," panggilnya dengan suara yang serak.

Nara menoleh. Suara itu, meski sudah bertahun-tahun tidak terdengar, begitu familiar di telinganya.

"Ayah!" serunya, dan seketika berlari menuju pria itu.

Ia melompat ke pelukan ayahnya, dan tangisan serta tawa mereka menyatu dalam kehangatan yang tak terungkapkan. Ayah Nara berhasil pulang, dan suaranya yang kecil, yang penuh dengan rindu, menjadi kompas yang membimbingnya kembali.

Malam yang indah, di rumah kayu mereka, Nara duduk di jendela lagi. Kini, diapit oleh Ayah dan Ibu, mereka bertiga menatap langit berbintang, merasakan kebahagiaan yang tak terungkapkan. Di antara kerlip bintang, satu bintang kecil bersinar lebih terang dari biasanya.

"Terima kasih, Bintang Kecil," bisik Nara dalam hati. "Aku tidak sendiri. Aku tidak pernah sendiri."

Dan malam itu, untuk pertama kalinya setelah sekian lama, Nara tidur dengan senyuman penuh kedamaian di wajahnya.


**

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)