Cerpen
Disukai
6
Dilihat
7,208
Memecat Bos
Slice of Life

“Dua kali keguguran?”

Seorang dokter senior lewat paruh baya menilikku intens melalui kacamatanya dari seberang meja. Aku pun merasa bagai mundur ke masa lampau kala duduk di hadapan beliau sebagai mahasiswi. Beliau pernah menjadi mediator dalam kasus tugas laporanku yang macet dengan seorang dosen pembimbing. Beliau seakan hadir dalam dua masalah sukar di waktu berbeda, yakni akademik dan hidupku. 

Aku malu menjawab pertanyaan itu. Di saat perempuan lain berkorban mati-matian demi memperoleh kehamilan yang sehat, aku terlihat seperti menyia-nyiakan dan tidak bersyukur. Jawaban lelaki di sisiku pun tidak menambah nilai plus sama sekali, “Iya, Dok. Kecapekan kerja.”

Kulirik sepintas suamiku lewat sudut mata. Aku bekerja keras demi siapa, coba? 

Aku masih terperangkap dalam rasa bersalah hingga keesokan hari sembari menatap dinding dengan wallpaper bercorak kuning membosankan di hadapanku. Tidak melakukan apa-apa, begitu saja selama berpuluh-puluh menit kemudian. Dadaku terasa kosong. Bukan seperti sebuah kelegaan, tetapi lebih seperti ada yang mengisap habis isinya hingga kempis. Aku membayangkannya dengan anekdot sebuah balon. Balon besar berlapis harapan yang terbang tinggi karena penuh gas antusiasme akan masa depan. Namun di puncak ketinggian, balon itu dihempas oleh angin kehidupan, lantas tersangkut di ruang sempit berisi meja tindakan. Di atasnya, berjejer jarum suntik beragam ukuran dari 27 gauge untuk suntik vitamin C, 30 gauge untuk suntik jerawat, serta jarum kecil berbelalai panjang untuk mesotherapy. Jarum-jarum itu lantas menusuk balon harapan milikku hingga meletus.

Angin berdesis keras keluar dari bagian vakum mesin pompa mesotherapy dan mengembalikanku ke realitas. Ah, sebaiknya aku mulai menghentikan arus pikiran yang kacau ini sebelum balon lain tertusuk oleh stres yang kuciptakan sendiri. Tangan kiriku yang bebas dari mesotherapy gun lantas bergerak mengusap perut. Balon harapan yang sempat miris tadi pun kembali penuh sediakala karena kini aku punya visi masa depan baru yang berada dekat, dalam tubuhku sendiri, dengan jarak yang lebih masuk akal untuk kutempuh daripada perjalanan bolak-balik waktu atau berpindah ke dimensi lain untuk melarikan diri dari kenyataan.

“Dokteeer!”

Akan tetapi, ancaman sesungguhnya baru dimulai ketika terdengar suara cempreng memanggil diriku dengan kesal. 

“Ya, Buuu!” sahutku, balas berteriak. 

Aku tidak perlu sungkan melakukannya, ya. Berteriak. Bukan hanya aku, tetapi dokter lain juga pasti pernah melakukannya; di tengah deru mesin bor ortopedi, kesibukan di IGD, bahkan untuk sekadar memanggil perawat jaga poliklinik. Akan lebih adil jika memandangnya dalam kacamata personal, tetapi aku juga punya alasan yang tak kalah pribadi. Kelamaan tercemar di lingkungan bising akibat bunyi peralatan dan teriakan bos seperti tadi pasti ikut berdampak pada sensitivitas pendengaranku.

Perasaanku selalu–hampir setiap waktu–tidak enak jika mesti menghadapi perempuan yang sering dipanggil oleh satu klinik dengan sebutan “ibu bos”, “nyonya besar”, “owner”, atau sebutan hormat lainnya yang menunjukkan bahwa dia berada di puncak hierarki klinik, tetapi acapkali kebablasan bersikap otoriter terhadap karyawan, termasuk diriku. Jika aku dibilang tipe karyawan yang antipati dengan atasanku sendiri tapi ogah memecat diri sendiri, maka itu sepenuhnya benar. The Devil Wears Prada adalah film yang relevan dengan kondisiku, tetapi hanya pada bagian penerimaan kondisi bekerja layaknya kacung, bukan menyabotase pekerjaanku dengan sebuah pemberontakan yang bisa membuat balon harapan ini meletus kena dor. Tidak, sampai saat ini.

Wajah perempuan itu terlihat masam saat aku keluar menemuinya. Tinggi badannya yang di atas rata-rata mengharuskan aku mendongak menatapnya. Silau. Bosku ini punya penampilan yang sama memukaunya dengan deretan selebriti di layar kaca, tetapi sayang, kata-katanya tidak tertata. “Siapa yang kasih dokter izin main hapus perawatan RF (radio frequency)?” tembaknya langsung dengan mata berkilat menyalahkan. Mata itu sedang terpicing ke arahku seperti melihat upil di ujung jari.

“Oh, itu,” ujarku mendadak pilon. “Anu, begini, Bu. Saya sedang nggak bisa ngerjain RF wajah. Karena cuma saya sendiri di sini, jadi saya setop dulu untuk sementara.”

“Kenapa begitu? Saya bayar Dokter di sini bukan untuk ongkang-ongkang rebahan. Kalau Dokter rebahan, nggak ada pasien, nggak ada uang, siapa mau bayar gaji?” Ia menembakiku beruntun dengan sindiran toksik. Telingaku serasa berdenging menangkap suaranya yang cempreng. Aku pun memegang perut tanpa sadar untuk mengurangi perasaan begah yang mendera.

“Masih ada RF body, kok, Bu. Beautician bisa ngerjain.”

“Kalau ada yang mau perawatan paket RF mukanya, gimana? Siapa yang ngerjain? Hantu?”

“Ya, Ibu, dong,” sahutku kalem.

“Hah? Kamu bilang saya hantu?!”

Ibu Bos ini lucu juga. Salah satu keahliannya adalah membalik posisinya dari penindas menjadi teraniaya. Teraniaya oleh prasangkanya sendiri. Pada akhirnya, aku juga yang mengalah untuk bicara baik-baik panjang lebar.

“Maaf, Bu, saya betul-betul nggak bisa ngerjain RF. Selama ini, Ibu, kan, juga sering mesotherapy pasien sendiri tanpa saya? Kalau cuma RF, Ibu juga bisa kerjain.”

“Tangannya beda, Dok! Klien-klien sudah ketagihan tangan kamu. Dokter jangan cari-cari alasan saja karena malas, ya? Di klinik ini nggak ada ceritanya boleh malas!” Kepala Ibu Bos bergoyang-goyang seperti boneka dengan leher per. Karyawan lain–dua orang beautician–mulai melongok dari ruang depan. Tatapan mereka seolah berkata, mulai lagi, deh, yang tertuju pada bos kami. Mereka hanya berani begitu di balik punggung dan aku beruntung, posisiku cukup kuat untuk berkonfrontasi dengan wajah terangkat di hadapan Ibu Bos, meskipun tidak ampuh untuk menundukkan argumentasinya. 

“Siapin mesin RF sekarang, saya mau perawatan! Berkerut kulit saya gara-gara mengomel pagi-pagi.” Ibu Bos bertitah tanpa minat melanjutkan debat. 

Darahku berdesir. Masih mending dianggap malas, aku meneguk ludah. Namun, aku punya alasan kuat. Ada sebuah pengakuan penting yang beberapa hari ini ingin kuutarakan, tetapi rasanya tersendat di ujung lidah. Sungguh sulit mengatakannya. Lebih sulit daripada mengajukan eksepsi di depan sidang. Aku bagai terpidana mati, bahkan sebelum putusan pengadilan dibacakan. Aku bergeming sesaat hingga ia memunggungiku pergi, bersiap-siap menunggu di bilik perawatan.

“Bu. Saya nggak bisa RF.” Ibu Bos berbalik dengan tercengang. Pembangkanganku baru sekali ini terjadi dan fatal. “Saya sedang hamil, jadi nggak boleh pegang mesin RF. Kalau Ibu memaksa, saya akan melapor ke pusat.”

“HAMIL?!”

Ekspresi wajah Ibu Bos seketika memucat. Kedua matanya terbelalak seakan ingin melompat keluar. 

“Kenapa Dokter bisa menggelembung? Dokter baru kerja sama saya tiga tahun!”

Sudah kubilang, cantik-cantik Ibu Bos ini bicaranya tidak tertata dan aku pun tidak suka dengan redaksi katanya tadi, seakan-akan perutku bisa ditiup dalam satu malam seperti balon. Kalau aku bercerita perjuanganku untuk memiliki bayi ini, bakal tidak cukup. 

“Yah, namanya juga udah nikah, Bu. Wajarlah kalau dokter hamil.” Ibu Alina, manajer klinik membela diriku sambil melengos lewat di dekat kami. Ada baskom aluminium di tangannya, bekas perawatan seorang pasien yang belum dibereskan oleh beautician karena tadi kabur duluan ke depan untuk memenuhi panggilan Ibu Bos. Ibu Alina masih besan bos sehingga perempuan lewat paruh baya itu merasa aman melontarkan pendapat tersebut tanpa takut diserang balik. Sementara aku, makin terpojok.

“Benar, itu, Dok?” Ibu Bos kelihatan cemas dan kian bertambah dalamlah kerutan di keningnya yang tidak elok dipandang dan jelas tidak mampu diatasi dengan perawatan superfisial macam radio frequency. Aku mengangguk cepat untuk menyadarkannya bahwa kabar buruk ini bukanlah mimpi. Kabar buruk yang ia takut-takuti dulu, kini mendatanginya dalam waktu yang tidak tepat. “Dokter, 'kan, masih muda. Nggak usah nikah dulu, ya?” Aku masih mengingat syarat yang lebih terasa sebagai permintaan Ibu Bos waktu aplikasiku diterima oleh perusahaan pusat, lalu ditempatkan di sini. Baru lulus dan belum punya riwayat kerja di tempat lain mungkin membuat Ibu Bos berpikir aku cukup naif untuk ia peralat. Namun, ia sudah terlambat untuk menyadari bahwa aku juga punya rencana masa depan sendiri yang tertanam kuat dalam benak, yakni menikah dengan dengan ayah dari bayi dalam rahimku sekarang.

“Aduh, Doook! Trus gimana saya mau RF …;” keluhnya nelangsa. Ingin kuputar bola mata rasanya menghadapi perubahan sikapnya yang mendadak manja. Bosku memang punya strategi yang licik jika sedang dalam kondisi terjepit. Sekali lagi, mengubah posisinya menjadi penindas menjadi kaum teraniaya.

“Ibu udah cantik, kok. Nggak RF satu tahun juga nggak masalah. Ibu, ‘kan, juga masih bisa mesotherapy?” ujarku heran. 

“Nggak bisa, Dok. Nggak bisa. Perawatan saya jadi nggak lengkap. Masa saya harus terbang ke Jakarta dulu buat RF?”

“Ide bagus itu, Bu. Ibu sering bolak-balik Jakarta buat nengok keluarga juga.”

Aish! Dokter senang banget jika saya sering-sering pergi dari klinik. Kalau saya nggak pulang-pulang, kalian juga yang ribut pada minta dibayar gaji.”

Oh, Tuhan …. Aku sedang hamil dan perdebatan macam ini bukan hanya ampuh menguras tenaga, tetapi juga batin. Kasihan sekali ‘dedek bayi’ dalam perutku ikut-ikutan stres menanggung beban masalah ibunya. Kuelus-elus kembali perutku untuk menenangkan diri, sekaligus mengundang delikan tajam Ibu Bos yang langsung tertarik ke arah lain. 

“Kenapa Dokter bawa mesogun? Mesinnya rusak lagi?”

Otomatis aku menoleh pada mesotherapy gun di tanganku yang tinggal disambungkan ke selang pompa dan dipasangi spuit berisi vitamin untuk mesotherapy. Aku menggeleng putus asa. “Saya lagi siapin mesotherapy karena pagi tadi anak-anak kasih tau kalau Ibu mau perawatan hari ini.” 

Perempuan itu pun menepuk jidat hingga berbunyi nyaring. “Oh, iya. Duh, saya jadi pikun gara-gara omongan Dokter tadi. Ya udah, saya RF body dulu. Kalau udah siap meso, baru Dokter dipanggil–Anak-anaaak. Ayo sini RF perut Ibu! Tapi cuci rambut dulu pakai masker. Kalian udah siapin belum?” 

Seketika klinik riuh lantaran kepanikan berganti meliputi dua orang beautician yang baru tahu rencana tersebut pada detik ini. Tidak apa-apa, tidak masalah kemudian jika aku diabaikan seakan tak dihargai karena aku jadi punya waktu sebentar untuk beristirahat sesuai pesan spesialis obstetri.  

“Duh, gimana, nih, Lin. Dokter hamil! Kacau klinik jika begini!” 

Tanpa sengaja, aku mendengar percakapan antara Ibu Bos dan manajer. Suara mereka terdengar cukup jelas dari balik dinding yang memisahkan bilik mandi susu–tempat peristirahatanku saat ini–dengan ruang perawatan rambut. Jantungku berdebar tidak keruan lantaran menjadi topik pembicaraan pemilik klinik dan besannya tersebut. Ketika Ibu Alina membelaku, Ibu Bos malah mengotot menyalahkanku karena tidak pakai kontrasepsi, katanya. Lucu juga digosipkan oleh bos sendiri di belakang, rupanya ada juga yang tidak berani berkonfrontasi langsung untuk bicara. Aku memang dokter satu-satunya yang ia punya dan bersedia bekerja di tempat ini karena dua dokter lain memilih kabur lantaran tidak tahan menghadapi keotoriteran bosku. Tidak bakal ada dokter waras yang bersedia dipersempit ruang geraknya dan harus mematuhi protap pelayanan gaib yang diada-adakan sendiri oleh Ibu Bos. Ini cerita lain dan tidak cukup pula untuk kuceritakan semua di sini. Karena aku pun tidak mau tahu. Balon di perutku ini lebih penting dan segala-galanya bagiku sekarang daripada keegoisan Ibu Bos yang telah mati langkah mengadang rencana masa depanku. 

***

“Kenapa? Sakit lagi?” tanya suamiku kala ia melihat raut wajahku yang sedang merintih kesakitan. Aku duduk bersandar di jok serendah mungkin untuk meluruskan punggung sambil memegangi perut. Dengan posisi tersebut, aku berhadap ada ruang lebih bagi janin mungilku untuk bergerak di rahim yang sempit. 

Sudah sejak pagi aku memasang wajah memelas lantaran tersiksa akibat kontraksi yang mencengkeram perut bagian bawah, maka terpaksalah ia mengantarkan aku berangkat kerja ke klinik. Padahal, suamiku tergolong pria yang angin-anginan dan jarang memanjakan istri. Selama ini, aku cuma naik motor melakukan perjalanan sejauh dua puluh lima kilometer dari rumah kami yang berada di pinggiran kota. Bisa dibayangkan perjuangkanku bolak-balik kerja dengan kondisi perut membundar karena sudah menginjak trimester dua. 

“Mestinya, kamu cuti saja!” sungut suamiku. Ia malah menyalahkan aku karena masih kukuh bekerja, padahal masih hangat rasanya bekas cubitan yang kurasakan di ulu hati saat dinasihati oleh spesialis obstetri tadi malam. Jangan capek-capek, nanti keguguran lagi, kata dokter senior sekaligus dosen kuliahku dulu. Yah, ini memang kali ketiga aku positif hamil, jadi kami berdua merasa deg-degan setelah belajar dari pengalaman yang sudah-sudah–rahimku tidak kuat kelelahan. Bisa mencapai bulan keempat pun sudah merupakan keajaiban. 

“Tapi, gimana nanti kalo aku nggak kerja, nggak ada duit buat beli kebutuhan bayi. Masih banyak yang harus disiapin buat lahiran!” 

“Kok malah mengomel ke aku, sih?” Suamiku protes dan langsung mengalihkan perhatiannya dari kemudi. Perdebatan panas pun tak terhindarkan hingga mobil yang kami naiki sudah dekat dengan klinik. Lagi-lagi, suamiku mengeluh melihat tempat parkir yang sudah berjubel oleh kendaraan. Bukan milik klien klinik, tetapi lengseran dari parkir warung makan sebelah. Dalam situasi normal, aku pasti ikut mengomel karena persoalan lahan parkir ini berdampak negatif hingga mengurangi minat kunjungan pasien, tetapi sekarang aku tidak peduli. Nyeri di bagian bawah perutku tidak membaik, terutama setelah duduk di jok mobil selama setengah jam. Aku hanya ingin berbaring secepatnya dan bernapas lega saat belum terlihat pasien di klinik. Aku pun memulai kebiasaan baru di hari itu dengan masuk ke bilik mandi susu favoritku, lalu berbaring di sana agar kontraksi mereda. Tidak ada yang memprotes karena orang-orang di klinik sudah tahu dengan riwayat keguguranku yang memprihatinkan. 

“Dokter mana? Masa cuma ada suaminya di depan?” Terdengar gerutuan sayup-sayup menembus dinding bilik. Ibu Bos sepertinya sudah datang dan langsung mencariku. 

“Ada, di dalem ….” Ibu Alina menjawab kalem. Ah, masa bodoh. Kalau aku dipecat, mungkin skenario itu lebih baik daripada terus-terusan kena marah suami. Andai suamiku juga tidak pindah-pindah tempat kerja, tidak punya cicilan mobil, dan tidak menghabiskan uang buat traktir teman, kami mungkin masih bisa hidup dengan satu sumber penghasilan, maka aku bisa cuti seperti yang ia mau. Suamiku itu kedengarannya malah berbincang ramah dengan bosku di depan. 

Nah, siapa tadi yang sempat protes agar aku bisa bersikap tegas di depan bos? Pesona atasanku di mata lelaki memang tiada tara dan sungguh mengkhawatirkan, meskipun usianya sudah nyaris setengah abad. Dengan kecantikannya yang masih terlihat seperti perempuan tiga puluh tahun, Ibu Bos mungkin merasa boleh berbuat dan bicara apa saja, termasuk pada suami orang. Kalau aku secantik itu, mungkin aku juga akan punya kepercayaan diri yang melambung tinggi.

Ketika aku penasaran memeriksa ke depan, kulihat ekspresi serbasalah suamiku, dan aku langsung tahu sebabnya. Ibu Bos sedang membujuk suamiku agar ia mau mencoba beragam perawatan kulit yang kutahu pasti berat di kantongnya yang pas-pasan. Ingin aku tertawa menyaksikan tingkah dua orang itu saat sedang bersitegang harga dan gengsi. Meskipun itu suamiku, kurasa tidak ada salahnya sekali-kali lelaki itu tahu rasa bagaimana caranya menyelamatkan muka di depan orang yang ia segani. 

“Nggak usah repot-repot, Bu. Nanti aku juga yang bayar,” celetukku, menyela mereka. Suamiku langsung melayangkan tatapan tajam, sementara bosku cemberut karena ia sudah gencar berpromosi dengan mulut berbuih-buih. 

Ibu Bos memang selalu mem-push siapa pun yang tampak dalam radar penglihatannya, tidak peduli itu siapa, jenis kelaminnya, atau ekspresi tidak nyaman di wajah mereka karena telah terperangkap sebagai mangsa. Rata-rata kasus, mereka akan mencoba perawatan facial yang paling murah, lalu kabur dan takkan ada kedatangan kedua atau berikutnya, sekalipun perawatan kulit di klinik kami tergolong memuaskan–mungkin yang terbaik di kotaku–dan memang sesuai dengan harganya, tetapi pelanggan sepertinya ogah didorong secara ofensif dan berlebihan. 

Dengan karakter bos yang agresif dan mendominasi arus kegiatan klinik, bisa dibayangkan bagaimana suasana di tempat ini jadinya. Hubungan kami bagai pernikahan yang hambar dan dipaksakan. Seseorang harus mengalah dan lebih submisif; dan orang itu adalah aku.

Kembali pada Ibu Bos dan suamiku, kedua orang itu sedang terlibat adegan tawar-menawar yang sudah pasti lebih didominasi oleh bosku. “Dokter nanti-nanti saja cutinya karena kerjaan di klinik juga banyak, jadi nggak boleh cuti sekarang. Dokter nanti habis lahiran juga jangan lama-lama cutinya. Bayinya dibawa sambil kerja aja.”

“Yah, gimana, yah, Bu,” tanggap suamiku serbasalah. Lelaki itu melirikku dan aku hanya mengangkat bahu. Jujur, aku tidak bisa dimintai pendapat dalam hal ini. Terserah jika mereka ingin berdiskusi di hadapanku tentang kepentingan klinik yang melibatkan aku sebagai dokter satu-satunya. Semenjak hamil, pikiranku tidak mampu lagi menguasai tubuhku. Semua keinginanku seolah dikendalikan oleh jabang bayi yang bersemayam. Aku hanya ingin tidur, maka pikiranku pun tidak jauh-jauh dari bantal dan guling. Jika ada hal lain yang ingin kulakukan, maka itu adalah menimbun makanan sebanyak-banyaknya dalam perut hingga menggelembung seperti balon.

***

“Kamu masih kerja juga?” 

Aku mendapat omelan serupa ketika mampir ke kediaman orang tuaku yang berada dalam rute antara rumah dan klinik. Kali ini aku sowan sendiri tanpa suami. Aku pun mengendarai sepeda motor sendiri. Alasannya, perutku sedang bisa diajak bekerja sama. Mungkin hasil dari istirahat beberapa hari ini di tengah situasi klinik yang sedang sepi pengunjung, juga sempat diantar suami.  

Ibuku telah menjanda belasan tahun dan memutuskan untuk tidak kawin lagi sepeninggal mendiang Ayah. Demi aku dan adik-adik, katanya. Namun, kedatanganku kali ini bukan untuk dihakimi. Aku punya alasan yang sama, yakni memikirkan calon anakku, meskipun dalam cara yang berbeda dari beliau. 

“Nah, Ibu mau, nggak, aku titip anakku kalau kerja nanti?” tanyaku memberanikan diri. Ibuku yang sedang sibuk mengepel lantai dapur, sontak berhenti. Aku menunduk menghindari tatapan tajam beliau dan memperhatikan lantai mengilap di bawahku. Ibuku seorang perfeksionis dan penggila kebersihan, jadi segala hal di rumah tertata rapi di bawah kendalinya. Inisiatif untuk menitipkan bayi pada beliau mungkin hal yang keliru.

“Memangnya, mertua kamu nggak bisa? Kamu juga cuma swasta. Berhenti aja.” Sudah kuduga Ibu akan berpendapat demikian, napasku terembus kencang. Reaksi Ibu sebelas dua belas dengan mertuaku. Mereka berdua tidak mau direpotkan oleh urusan cucu untuk menikmati masa pensiun dengan maksimal. 

Beginikah nasib ibu pekerja? Waktu awal menikah dulu, aku masih berleha-leha menikmati hidup, berpikir tidak banyak hal akan berubah, tetapi tantangan sulitnya baru dimulai sejak kehadiran jabang bayi di antara kami. Kalau begini caranya, aku merasa dipojokkan oleh semua orang dan situasi di sekitarku. Aku tidak tahu apa yang akan kuhadapi dan bagaimana cara menjalani kehidupan jika balon di perutku ini meletus kemudian hari. Sekarang saja, aku sudah dilanda dilema luar biasa akan gambaran masa depan tersebut. 

Baiklah, aku bertekad untuk berhenti meminta bantuan orang tua mengenai pengasuhan anak. Anakku biar aku yang asuh sendiri. Masalahnya kini hanya antara aku, suami, dan bosku. 

Akan tetapi, aku tidak menyangka jika konflik masalah ini akan datang begitu cepat, menyaingi kecepatan berpikir, sekaligus harapanku untuk mengumpulkan pundi-pundi rupiah dulu hingga sedekat mungkin menjelang waktu persalinan. Aku ingat, hari itu kontraksi yang kurasakan tidak hilang-hilang walaupun telah kujinakkan dengan berbaring di ranjang perawatan klinik. Nyeri di bawah perut saat itu mengingatkanku akan pengalaman keguguran tahun-tahun sebelumnya. Segera kutelepon suami dengan kegelisahan tiada tara dan kuceritakan gejala itu padanya dengan suara merengek ingin menangis. Ibu Alina yang mendapati ketidakwajaran sikapku pagi itu juga turut melongok untuk mencari tahu kondisiku. 

“Kenapa, Dok?” Ia bertanya pelan karena aku merintih di ranjang sambil memegangi bagian bawah perut.

“Sakit, Bu ….” Tanpa perlu kujelaskan pun, aku berani bertaruh Ibu Alina sangat paham apa yang tengah terjadi. 

“Duh, hati-hati, Dok. Jangan sampai kecolongan lagi. Kali ini jaga yang bener. Sayang, loh,” ujarnya penuh empati dalam nada menyayangkan. Aku selalu bersikap tegar di hadapan karyawan lain meskipun cara Ibu Bos memperlakukanku sungguh miskin apresiasi. Namun, di hadapan Ibu Alina, pertahananku runtuh. Air mata mulai jatuh satu demi satu seperti rintik di permukaan wajahku yang digelayuti mendung. Perkataan Ibu Alina menyadarkanku bahwa mungkin saja ini kesempatan yang akan kusesali jika kulewatkan begitu saja. Memiliki anak pertama di usiaku yang sudah lewat tiga puluh. 

Malam itu, suamiku langsung mengajak ke praktik spesialis obstetri milik dokter senior sekaligus dosenku dulu. Beliau pun heran karena aku datang kembali dengan masalah serupa. 

“Perut saya sakit lagi, Dok,” keluhku ketika aku sedang berbaring diperiksa USG. 

“Sungsang ini, Dek, makanya kontraksi terus,” ujar beliau dengan kening berkerut saat memperlihatkan posisi kepala janin dalam kandunganku yang masih berada di atas. Aku pun kembali diwanti-wanti agar cukup beristirahat. Namun kali ini, tidak ada lagi pertanyaan klise mengenai kesibukanku bekerja. Mungkin beliau paham dan tidak ingin menambah dilema yang kuhadapi, meskipun sewaktu aku masih berstatus mahasiswinya dulu, beliau gencar mendorong para mahasiswi kedokteran untuk menikah muda, sambil kuliah jika perlu. Usia produktif seorang perempuan dan memiliki kehamilan yang sehat itu terbatas, katanya. Maksimal 35. Lebih dari itu, risiko tinggi. Mungkin saran dosenku ini ada benarnya dan.pasti didasari oleh pengalaman beliau berhadapan dengan komplikasi-komplikasi yang dialami pasien selama ini. 

Suamiku tidak puas. Menjelang akhir trimester kedua, ia mengajakku untuk berganti dokter hingga kami sempat bersilat lidah. Aku merasa tidak ada masalah, tetapi ia berkilah tidak paham dengan penjelasan dosenku yang seadanya. Ia butuh kepastian, katanya. 

Karena suamiku mengotot tetap ingin meminta second opinion, maka pergilah kami menemui spesialis obstetri yang sama sekali tidak kukenal. Wajah baru dan sepertinya bukan orang lokal. Dari pemeriksaan, janinku pun dibilang terlilit tali pusar satu kali, karena itulah sempat kesusahan membalik posisi kepala dari sungsang menjadi di bawah. Pendapat dari dokter tersebut sukses membuat kami terperanjat, sementara hatiku makin kebat-kebit tidak keruan. Membayangkan bayiku tercekik oleh tali pusarnya sendiri membuat suasana hatiku gerimis. 

Akan tetapi, apa peduli bosku? Aku sudah menjelaskan kondisi kehamilanku yang sulit dengan riwayat buruk tersebut, tetapi juga tidak menerbitkan empati di hatinya sebagai sesama ibu karena di mata bosku, urusan klinik jauh lebih penting daripada persoalan kehamilan pertama dokternya yang manja.

“Dokter ngapain?” tanya Ibu Bos suatu hari menerobos bilik mandi susu lantas mendapati aku sedang dalam posisi knee-chest position, bahasa keren dari menungging seperti anjing. Aku berusaha untuk tidak bergerak lantaran terkejut karena saat itu aku sedang berusaha keras mempertahankan posisi selama mungkin. “Disuruh sama dokter, Bu. Biar nggak sungsang karena ini udah jalan enam bulan,” jelasku. Untunglah ia tidak berpanjang kata mendikteku, walaupun wajahnya kelihatan kisruh harus membiarkan aku kembali mengurung diri di bilik perawatan, bukannya berjaga di depan menyambut pasien.

Belum cukup aku diberi kesempatan beristirahat, Ibu Alina muncul di bilik. Ia menyampaikan perintah bos padaku untuk menemui beliau di depan. Meski berat hati, aku tidak punya pilihan selain beranjak dari tempat tidur yang nyaman. Di lobi depan, ternyata sedang berlangsung rapat dadakan. Semua orang telah berkumpul menunggu diriku. Ibu Bos pun tanpa belas kasihan langsung memulai agresi begitu tatapan sinisnya melihat kedatanganku. “Dokter harus lebih proaktif nge-push perawatan ke pasien. Pendapatan klinik kita berkurang, loh, Dok!” Bokongku bahkan belum menyentuh kursi, hingga aku berdiri terpaku bagai pesakitan. 

“Parkiran sebelah itu, loh, Bu. Suka makan tempat. Pasien malas jadinya ke sini. Kalo nggak ada yang datang, siapa yang mau di-push?

“Ini juga gara-gara Mbak Dian keluar buka klinik sendiri sama pasien Ibu itu. Semua pasien kita banyak yang dia bawa lari juga, toh?”

Dua orang beautician angkat bicara membelaku dengan logat khas NTT mereka. Duh, aku sungguh terharu karena memang sudah tidak tahu lagi bagaimana cara menghadapi serangan dari Ibu Bos, juga senantiasa dirundung rasa bersalah akibat kondisiku sekarang yang sedikit banyak berpengaruh pada kinerjaku. Secara mental, aku sudah tertekan oleh keterbatasan fisik yang tidak aku kehendaki.

Akan tetapi, bukan Ibu Bos namanya jika rela omongannya dimentahkan begitu saja. Ia meradang. Aku ingat betul hari itu adalah hari di mana anak-anak–para beautician–gerah menghadapi perlakuan semena-mena Ibu Bos terhadap kami semua. Teriakan-teriakan bersahutan di udara bagai petasan beruntun. Ibu Alina terkesima tidak mampu bereaksi, sementara aku berusaha merangkak keluar dari situasi itu karena perut besarku bukanlah balon penyelamat, melainkan cangkang telur rapuh yang terancam retak sewaktu-waktu jika fisik dan mentalku terus dibanting.

Aku tidak boleh selamanya begini. Tidak bisa dibiarkan.

“Saya berhenti, Bu.”

Seketika ruangan hening. Kedua beautician dan Ibu Alina bergeming karena aku telah menekan tombol darurat yang kerap digunakan oleh orang-orang sebelumku untuk melarikan diri dari lingkaran setan di klinik–bekerja keras tanpa henti bagai tiada hari esok dengan risiko disalahkan jika tidak memenuhi target. 

“Hah? Jangan, Dok!” Ibu Bos panik tidak terima. 

“Mungkin lebih baik begini, Bu. Tugas saya di sini bisa ditangani semua oleh Ibu. Saya nggak kuat lagi bekerja sementara hamil begini. Saya takut anak saya kenapa-kenapa.”

“Tapi, kesepakatannya, kan, nggak gitu? Dokter cuti doang!”

Aku menggeleng tegas. Tekadku telah mantap. 

“Dokter pikir, cari kerjaan itu gampang? Punya anak butuh biaya banyak, loh, Dok!” Ancaman Ibu Bos tidak berefek sama sekali di kepalaku. Hanya seperti sundulan bola yang sakit sebentar tanpa bekas. Dengan begini, aku akan membungkam suara-suara sumbang yang meniup balon dilemaku ke berbagai arah tanpa menyediakan tempat untuk bertambat alias solusi.

***

“Nanti balik lagi, ya, Dok.” Dok. Dok. Aku bukan anjing menggonggong kafilah tetap berlalu, pikirku. Masih kuingat usaha Ibu Bos untuk membujukku agar berubah pikiran malah terlihat menjadi ekspresi sinis di wajahnya. Entah wajahku sendiri bagaimana. Dengan kulit berbintik-bintik hitam akibat hormon kehamilan, yang pasti tidak seindah wajah miliknya. 

Hari itu adalah kali terakhir aku masuk klinik. Raut muram para beautician dan Ibu Alina pun tidak menyurutkan langkahku keluar klinik. Aku pergi dan tidak berbalik. 

Tiga bulan setelah keputusanku–yang kata orang-orang–bodoh juga nekat, aku melahirkan bayi sehat dan normal, meski sempat mengalami drama karena bayiku terlilit tali pusat hingga susah turun dari rongga panggul. Hebatnya, semua aku lalui dengan proses persalinan normal. Beratnya pun ideal; tiga setengah kilogram dengan panjang 51 sentimeter, persis ukuran bayi selebriti taipan dari Andara. Di bulan yang sama pula, hanya selisih beberapa hari. Tentang pekerjaan, aku mantap menjadi ibu rumah tangga purna waktu. Aku kabur dan Ibu Bos juga sepertinya tidak berminat memanggilku kembali. Kabar yang terakhir aku dengar, klinik tidak mempekerjakan dokter baru lagi, hingga dua tahun kemudian klinik tutup dan bangunan tersebut disewakan kepada pihak ketiga. Ibu Bos lebih banyak berada di Jakarta untuk mengawasi putra-putranya yang telah menikah. Aku tidak tahu kabar lebih lanjut kecuali Ibu Bos sangat menginginkan kehadiran cucu dan akhirnya bosku itu pasti tahu seperti apa keinginanku untuk punya bayi pertama dulu.

TAMAT



Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (3)