Masukan nama pengguna
Jam 11:44 – Jalan Mendaki dan Surat yang Tak Pernah Dikirim
Mobil putih itu mendaki pelan, menapaki jalanan sempit berbatu menuju kaki bukit Dieng yang diselimuti kabut tipis. Udara sejuk menembus celah kaca jendela yang sedikit terbuka, membawa bau tanah basah dan sayup-sayup aroma pinus yang baru tumbuh. Dalam mobil yang menghela napas seperti makhluk tua kelelahan itu, duduk empat jiwa yang tidak lebih muda dari jalan yang mereka lewati.
Di kursi depan sebelah kiri, Ardhika, lelaki berusia 69 tahun, memeluk buku kecil bersampul kulit—Rumi: The Essential Teachings. Tangannya kurus, jari-jarinya gemetar sesekali saat ia membalik halaman. Bukan karena Parkinson atau gemetar usia, tapi karena kata-kata. Kata-kata selalu mengguncang seseorang yang terlalu lama menyimpan perpisahan dalam diam.
“Pernah kau rasakan, bagaimana cinta tak memerlukan tubuh untuk tinggal?” gumamnya, entah pada dirinya sendiri atau angin yang masuk dari celah jendela.
Di sebelahnya, duduk Pak Surya, sopir sewaan dari kota. Usianya tampak tiga dekade lebih muda dari penumpangnya, tapi matanya menyimpan sesuatu yang tua: semacam kelelahan yang tak berasal dari tenaga. Ia hanya mengangguk pelan sambil tetap fokus pada tikungan tajam di depan. Di dasbor, ada gantungan kecil bergambar lukisan bunga melati. Tidak ada ornamen Islami atau Kristen, hanya sepotong sajak: "To vanish gently, is a kind of bravery."
“Bapak suka puisi?” tanya Ardhika.
Pak Surya menoleh sekilas, senyum tipis. “Saya hanya menyalin, Pak. Yang menulis, bukan saya. Tapi... saya paham rasa di baliknya.”
Di bangku belakang, Satya merapikan jam kantong perak miliknya. Jam tua itu pernah berhenti berdetak saat istrinya tewas dalam kecelakaan menara jam yang ia rawat selama puluhan tahun. Sejak hari itu, ia tak pernah benar-benar mempercayai waktu. Tapi tetap membawanya, seperti orang yang membawa abu istrinya dalam liontin kecil—bukan untuk dikenang, tapi untuk tidak lupa bahwa kehilangan pernah terjadi.
“Kalau jam ini berdetak hari ini,” katanya, “mungkin waktuku sudah habis.”
Di sebelahnya, Rumi membuka botol aroma kecil. Ia mencolek sedikit ke pergelangan tangan, menggosok pelan, lalu menutup matanya. Ia tahu ia tidak mencium apapun. Tapi aroma, katanya, bukan hanya urusan hidung.
“Ini aroma terakhir yang bisa kubuat sebelum aku berhenti,” ujarnya pelan. “Namanya: Sisa.”
Gayatri, istri Ardhika, duduk di tengah baris belakang, seperti penyeimbang tiga kutub yang tak saling menyentuh. Ia menatap keluar jendela, memandangi peta kertas yang dilipat-lipat—peta lama yang masih menampilkan nama-nama desa yang kini sudah menjadi kawasan wisata modern.
Ia membawa tas berisi surat-surat yang tidak pernah sampai. Surat permintaan maaf, surat rindu, surat untuk kekasih gelap seseorang yang akhirnya menikah dengan orang lain. Ia menulis semuanya atas nama orang-orang yang hanya ia kenal lewat email.
“Kadang,” katanya pelan, “tulisan orang asing lebih jujur daripada pengakuan suami sendiri.”
Tak ada yang menjawab. Masing-masing tahu kalimat itu bukan tuduhan, tapi perenungan.
Mobil itu melambat di tanjakan terakhir. Di balik kabut, tampak siluet sebuah rumah kayu dua lantai, dengan balkon menghadap lembah dan tangga batu yang dilapisi lumut tua. Vila Arunika, begitu nama yang tertera di plakat besi berkarat.
“Sudah sampai, Pak,” ujar Pak Surya. Ia turun terlebih dahulu, membukakan pintu dengan sopan. Tapi matanya menatap ke arah vila itu bukan seperti orang asing, melainkan seperti seseorang yang kembali ke tempat yang tak pernah benar-benar ia tinggalkan.
Rumi menatapnya sekilas, keningnya berkerut.
“Apa kau pernah ke sini sebelumnya?”
Pak Surya tersenyum kecil. “Beberapa perjalanan tidak pernah benar-benar baru, Bu. Hanya berbeda penumpangnya.”mendengarnya
Hari Pertama – Jam 17:07 – Vila, Kabut, dan Teh Terakhir dari Rumah Lama
Pintu vila tua itu berderit saat dibuka, seperti kerongkongan seseorang yang sudah lama tidak bicara. Udara di dalamnya dingin dan berat, bukan hanya karena ketinggian, tapi karena waktu yang tertinggal. Dinding-dindingnya masih berlapis kayu jati tua, penuh lubang-lubang kecil bekas paku yang entah pernah menggantung apa—foto, harapan, atau mungkin kekecewaan.
Langkah Gayatri berhenti di depan rak buku yang hanya berisi empat novel tua dan satu ensiklopedia bunga berdebu. Ia mengusap punggung bukunya, mengamati sidik jari debu yang tertinggal seperti garis nasib di telapak tangan.
"Rumah ini seperti orang tua yang lupa sudah berapa kali ditinggalkan," gumamnya.
Satya membuka jendela besar yang menghadap ke lembah. Kabut naik pelan seperti uap dari ketel raksasa. Ia menaruh jam peraknya di pinggir jendela, lalu duduk diam, memperhatikan jarum yang tak bergerak.
“Di kota, waktu mengejar kita. Di sini, kita mengejar waktu yang sudah lewat,” katanya. Tapi tak ada yang mendengarkan—dan ia memang tak berniat didengarkan.
Ardhika membawa koper ke kamar ujung, kamar yang menghadap ke timur, katanya, agar bisa menyambut matahari tanpa harus bangun dari tempat tidur. Ia menaruh buku Rumi-nya di meja nakas yang retak pada sudutnya, dan membuka satu amplop kecil dari sakunya. Surat itu belum dibuka. Surat yang ia minta ditulis oleh seorang ghostwriter anonim. Surat yang berisi kata-kata perpisahan yang tak pernah mampu ia susun sendiri untuk Gayatri.
Di dapur, Rumi sibuk dengan teko tanah liat. Teko itu tampak biasa, tapi ia tahu—teh yang akan ia seduh bukan sekadar minuman. Ia menakar daun teh dari kantong yang dibawa Satya: teh dari pohon yang tumbuh di halaman menara jam, tempat ia mengubur abu istrinya diam-diam.
Rumi menyeduhnya perlahan, dengan gerakan seperti ritual. Meskipun hidungnya tak lagi mengenali aroma, tubuhnya masih menyimpan ingatan atas wangi.
“Ini teh terakhir dari rumah lama,” ujar Satya dari ambang pintu. “Setelah pohon itu ditebang, tak ada lagi yang tumbuh.”
Rumi menyuguhkan cangkir pada yang lain. Mereka duduk mengelilingi meja bundar di ruang utama vila. Dinding ruangan itu dipenuhi bayangan mereka sendiri—karena cahaya datang dari satu lampu gantung kecil di atas kepala, dan satu jendela yang belum ditutup tirainya.
“Waktu tidak pernah benar-benar meninggalkan tempat seperti ini,” ucap Gayatri, menyeruput pelan. “Ia hanya menyamar sebagai kesepian.”
Tak ada obrolan riuh. Hanya suara sendok beradu pelan dengan keramik. Masing-masing seperti sedang berusaha mengingat sesuatu yang hilang. Atau menanti sesuatu yang belum datang. Atau keduanya.
Ardhika menatap Gayatri dalam diam. Ia tahu teh ini akan menjadi semacam penanda. Bahwa setelah ini, tidak ada lagi kebersamaan yang sama. Surat dalam sakunya terasa panas seperti surat dosa yang tak pernah dikirim ke Tuhan.
“Kalau kau bisa memilih tempat terakhirmu di dunia, kau ingin di mana, Dika?” tanya Satya tiba-tiba.
Ardhika tersenyum samar. “Tempat di mana orang tak perlu mengingatku. Tapi juga tidak melupakanku sepenuhnya.”
“Berat itu,” ujar Rumi. “Kebanyakan orang ingin dikenang.”
“Karena mereka belum benar-benar berdamai dengan pergi,” jawab Ardhika, lalu meneguk teh dalam satu kali tegukan.
Dan saat itu, dari luar jendela, kabut turun lebih tebal—menutupi lembah, menelan jalanan, dan menyelimuti pohon-pohon seperti lengan raksasa yang memeluk siapa pun yang siap pergi.
Di kejauhan, Pak Surya, sang sopir, duduk di teras bawah vila, menyalakan rokok dengan korek usang. Ia menatap ke arah jendela di lantai dua, ke bayangan empat orang yang sedang diam, seperti bayangan hidup di panggung terakhir drama manusia.
Ia menghembuskan asap dan bergumam:
“Sebentar lagi waktunya.”
Tapi tak seorang pun mendengarnya.
Hari Kedua – Jam 06:06 – Suara-suara yang Tak Disampaikan Udara
Fajar datang seperti bisikan. Bukan cahaya yang menerobos penuh, tapi bias jingga samar di antara lipatan kabut dan dedaunan yang masih basah oleh embun dini. Vila Arunika diam seperti orang tua yang enggan dibangunkan, seolah ia tahu tamu-tamunya tak mencari pagi, melainkan sesuatu yang tertinggal dari semalam.
Ardhika bangun lebih dulu. Ia melangkah perlahan menyusuri lantai kayu yang berderit kecil di tiap langkah. Di tangannya, buku Rumi kembali terbuka, namun bukan untuk dibaca. Ia menatap baris-baris huruf itu seperti seorang buta warna yang menatap lukisan—penuh rasa, tapi kehilangan bentuk.
Ia meletakkan buku itu di altar kecil di ruang tengah vila. Tepat di bawahnya, diletakkan pula amplop berwarna gading yang masih tersegel. Ia menatapnya lama. Surat itu kini seolah memiliki gravitasi sendiri.
Di lantai dua, Rumi terjaga oleh suara yang tidak ia mengerti. Bukan suara manusia, bukan pula alam. Mungkin itu hanya suara ingatan yang kembali mengetuk. Ia berdiri, melangkah ke kamar mandi, dan mencuci wajah dengan air dingin yang mengingatkan dirinya pada sungai tempat ia pernah berendam bersama suaminya.
Saat ia membuka lemari tua di pojok kamar, satu botol aroma berjatuhan. Tapi ini bukan botol miliknya.
Labelnya buram, tapi tertulis samar: "Maaf, untuk yang belum selesai."
Ia menatapnya, lalu menyelipkannya ke saku baju.
“Siapa yang membuatmu?” gumamnya.
Entah kepada botol itu atau kepada dirinya sendiri.
Di dapur, Gayatri sibuk memanaskan air. Ia membuka buku catatan kecil dan menulis sebaris kalimat, seperti yang selalu ia lakukan setiap pagi sejak pensiun: satu kalimat dari orang lain, satu dari dirinya sendiri.
Pagi ini ia menulis:
“Banyak orang berusaha memahami cinta dengan bertanya, padahal ia lebih sering menjelma dalam diam.”
– klien anonim #27
Tangannya berhenti. Klien itu...
Suaranya, emailnya, gaya bahasanya—entah mengapa mengingatkan ia pada Ardhika. Tapi itu tidak mungkin. Suaminya bukan tipe yang suka menulis email, apalagi untuk menyewa penulis surat anonim.
Ia menutup buku itu. Matanya tak jernih, bukan karena air mata, melainkan karena kesadaran bahwa ia mungkin menyimpan kebohongan yang sudah terlalu tua untuk diungkap.
Sementara itu, Satya duduk di balkon, menatap jam peraknya yang masih membisu. Ia menggulung lengan baju, membuka sehelai foto lusuh dari dompet: potret dirinya dan istrinya berdiri di bawah menara jam, pada hari ulang tahun perkawinan ke-30 mereka. Di belakang foto itu tertulis tangan sang istri:
"Kalau waktu tak lagi berdetik, aku tetap akan ada di sini—dalam diammu."
Angin pagi datang seperti tangan tua yang menyentuh tengkuknya. Ia menggenggam foto itu erat, lalu meletakkannya di atas jam.
“Kenapa waktu tak pernah cukup lama bagi mereka yang mencintai?” katanya pelan.
Saat itu, langkah kaki terdengar turun dari tangga. Ardhika, Gayatri, Rumi, dan Satya bertemu di ruang tengah tanpa janjian. Semua dalam sunyi. Semua memandang satu sama lain seolah ada yang berubah, meski tak ada yang terlihat jelas.
“Tidurmu nyenyak, Dika?” tanya Gayatri.
Ardhika hanya mengangguk. Tapi matanya tidak bicara soal tidur, melainkan soal mimpi yang mungkin tak akan terulang.
“Pagi ini kabut tebal sekali,” ujar Rumi.
Satya membalas, “Kabut hanya muncul ketika langit lupa caranya menangis.”
Mereka duduk mengelilingi teko teh yang baru saja matang. Tak ada aroma. Rumi tidak menawarkan nama untuk racikan pagi ini. Mungkin karena ia sendiri tidak yakin itu racikan atau sekadar pengulangan dari kemarin.
Dan dari luar jendela, Pak Surya tampak berjalan perlahan ke arah hutan pinus kecil di belakang vila. Ia membawa termos dan sebuah tas selempang cokelat.
Tak ada yang memperhatikannya.
Tapi udara memperhatikannya.
Dan udara itu membawa bisikan-bisikan halus:
suara surat yang belum dikirim,
aroma pengakuan yang belum terbuka,
dan waktu yang akan segera pecah seperti jam tua di tangan Satya.
Hari Kedua – Jam 13:13 – Makan Siang dan Jam yang Tak Lagi Mati
Meja makan vila itu bundar, dibuat dari kayu trembesi yang sudah retak seperti nadi waktu yang kelelahan. Di atasnya tersaji makan siang sederhana: sayur asem dari bumbu instan, tempe goreng yang masih berasap, dan sepiring kecil sambal mangga yang lebih pedas dari yang diharapkan. Tapi bukan rasa yang dicari keempat manula itu—melainkan rasa tertentu yang tak bisa diberi nama: semacam kebersamaan yang tak menuntut janji, atau pengakuan yang tak meminta balasan.
Satya mengeluarkan jam peraknya dan meletakkannya di tengah meja. Sudah lama jam itu hanya menjadi benda mati, penanda masa lalu yang tertinggal. Namun hari ini, jarumnya bergerak satu detik. Lalu satu lagi.
Seolah waktu, setelah sekian lama menyepi, memutuskan untuk kembali berdetak—tapi hanya untuk menyampaikan pesan terakhir.
Rumi memandang jam itu, lalu bertanya, “Apa yang membuatmu hidup kembali?”
Satya menjawab tanpa menoleh, “Mungkin karena aku mulai menerima bahwa aku tak bisa memperbaiki masa lalu.”
Gayatri menyendokkan sayur asem ke mangkuknya, matanya tak lepas dari Ardhika. Ia tak tahu sejak kapan ia mulai membaca sorot mata suaminya seperti membaca kalimat samar dalam surat-surat pesanan dari orang asing.
Ada yang berbeda.
Cara ia memegang sendok, cara ia menunduk, bahkan cara ia tersenyum—semuanya seperti seseorang yang tahu bahwa ini adalah makan siang terakhirnya sebagai dirinya yang utuh.
“Kenapa kamu nggak bawa buku hari ini, Dika?” tanya Gayatri.
Ardhika mengangkat bahu. “Kadang, kita harus berhenti membaca untuk mendengar suara sendiri.”
Rumi meletakkan sendoknya dan menghela napas. “Kupikir aku sudah lama berhenti mendengar. Telinga bisa mendengar, tapi hati seringnya diam.”
“Karena suara yang paling jujur tidak lahir dari mulut,” sambung Satya. “Ia lahir dari hal-hal yang tidak kita ucapkan, tidak kita tulis, tapi kita simpan terlalu lama.”
Sejenak tak ada yang bicara. Di luar, kabut mulai naik kembali. Vila seperti dipeluk oleh kelembaban yang abadi. Udara berubah dingin, tapi bukan dingin yang mengusir, melainkan dingin yang mengundang perenungan.
Lalu Ardhika mengambil napkin, menuliskan sesuatu. Tangannya gemetar, tapi tulisannya tetap indah:
“Jika aku memilih untuk diam, itu bukan karena aku tidak punya kata—tapi karena aku takut kata-kataku akan menyakiti orang yang paling kucintai.”
Ia melipat napkin itu dan menyerahkannya pada Gayatri.
“Apa ini surat lagi?” tanyanya setengah bercanda.
Ardhika tak menjawab. Ia hanya tersenyum dan kembali menyeruput kuah sayur asem yang mulai dingin.
Gayatri membuka lipatan itu. Matanya membaca cepat, lalu lambat. Lalu ia meletakkannya pelan, seperti seseorang yang menemukan sesuatu yang sudah lama hilang tapi tidak tahu harus bersyukur atau menangis.
Satya menatap jamnya kembali. Jarumnya berhenti. Kali ini di angka 13:13. Ia tersenyum.
“Waktu hanya ingin menyapa, rupanya.”
Rumi berdiri, mengambil botol aroma dari saku bajunya—botol yang ia temukan di lemari pagi tadi. Ia menyodorkannya ke Ardhika.
“Kau pernah buat ini?” tanyanya.
Ardhika memandangnya, lalu menggeleng.
“Tapi rasanya seperti… aroma seseorang yang ingin pamit tanpa pamit.”
Seketika suasana di meja itu seperti waktu yang mengerut. Sunyi, padat, tak bisa dihindari.
Kemudian terdengar langkah kaki. Dari arah luar.
Pak Surya, sang sopir, datang membawa kantung plastik berisi buah-buahan dari pasar bawah.
“Maaf mengganggu, saya beli salak dan jeruk. Barangkali Bapak dan Ibu suka yang segar-segar.”
Mereka menoleh padanya sejenak, lalu mengangguk pelan. Tak ada yang bertanya ke mana ia pergi, atau kenapa ia datang di saat hening itu. Tapi ada sesuatu pada caranya menatap meja—terutama jam tua Satya—yang seperti… mengetahui.
Rumi memperhatikan gerak tangan sopir itu saat meletakkan buah.
Terlalu tenang. Terlalu akrab dengan kehilangan.
Dan saat itu, mereka semua merasa hal yang sama tanpa menyebutnya:
bahwa makan siang ini bukan hanya makanan,
bahwa jam yang berdetak bukan sekadar logam,
dan bahwa seseorang sedang bersiap mengucapkan selamat tinggal—
dalam cara yang hanya bisa dipahami oleh mereka yang telah terlalu lama menunda kepergian.
Hari Kedua – Jam 18:45 – Permainan Surat Terakhir
Malam turun seperti tirai yang ditarik perlahan oleh tangan tak terlihat. Vila Arunika hanya diterangi oleh cahaya temaram dari lampu gantung yang berkedip samar—seperti napas terakhir sebuah lentera tua. Di luar, kabut menebal hingga menyentuh kaca jendela. Langit tak sepenuhnya gelap, tapi juga tak menawarkan bintang. Malam ini seperti jeda antara dua nada yang tak kunjung menyatu.
Di ruang tengah, keempat orang tua itu duduk membentuk lingkaran. Tidak ada acara resmi, tidak ada jadwal. Hanya tubuh-tubuh lelah yang memilih diam sebagai bentuk paling jujur dari komunikasi.
Lalu Rumi, yang biasanya enggan memulai, tiba-tiba berdiri. Ia membawa kotak kayu kecil dari kamarnya—kotak tempat biasa ia menyimpan botol-botol aromaterapi yang kini tinggal kenangan.
"Ada satu permainan yang biasa kami mainkan di komunitas trauma recovery,” ujarnya sambil membuka kotak itu. "Setiap orang diminta menulis satu surat terakhir. Bukan untuk dibaca hari ini. Bukan untuk diberikan besok. Tapi untuk ditulis seolah ini hari terakhir kita hidup sebagai kita."
Satya mengerutkan dahi. “Surat kematian?”
“Bukan,” jawab Rumi lembut. “Surat kehidupan yang tak sempat kau ucapkan. Yang kau tangguhkan karena takut, atau karena waktu tak pernah cukup tenang untuk membiarkanmu menuliskannya.”
Gayatri menatap wajah suaminya, lalu ke kotak itu. "Kalau suratnya untuk orang yang sudah mati, boleh?"
"Boleh," jawab Rumi. “Untuk siapa pun. Bahkan untuk dirimu sendiri."
Ardhika memejamkan mata sejenak. Lalu mengangguk. “Mungkin sudah waktunya.”
Setiap dari mereka diberi selembar kertas dan satu pena. Tangan tua mereka gemetar tak rata, tapi ada sesuatu yang lebih mantap dari biasanya: keberanian yang lahir dari ketidaktertarikan pada penilaian.
Mereka menulis.
Sunyi menemani.
Waktu berhenti.
Ardhika mulai lebih dulu. Tangannya menulis perlahan tapi pasti. Gayatri menoleh sesekali, mencoba membaca, tapi tak tega.
Di sampingnya, Satya membuka dompet kulit usang. Ia mengeluarkan foto lamanya bersama mendiang istrinya. Di balik foto itu, ia menambahkan sebaris tulisan:
“Kalau waktu bisa kulipat, aku akan menghabiskannya bersamamu lagi, bahkan dalam diam.”
Rumi menulis dengan cepat. Mungkin karena ia tak lagi menimbang kata. Ia menulis untuk aroma yang hilang, untuk rasa yang tidak kembali, untuk suaminya yang dulu meninggalkan rumah tanpa pamit, dan untuk dirinya sendiri yang terlalu lama mencium luka tapi tak pernah sembuh.
Gayatri menulis paling terakhir. Suratnya singkat. Tapi ia melipatnya tiga kali, seperti biasa ia lakukan pada surat-surat klien.
Dan entah kenapa, ia menyelipkan surat itu ke dalam saku jaket Ardhika saat suaminya bangkit dari duduknya untuk ke kamar.
Ardhika tak menyadari. Ia hanya berkata, “Aku ingin tidur lebih awal malam ini.”
Tak ada yang menahannya.
Setelah ia masuk kamar, ketiganya duduk diam di ruang utama.
Satya memainkan jam peraknya.
Rumi menyimpan kembali kotak kayu.
Dan Gayatri menatap lilin kecil yang tinggal setengah.
“Mungkin ini memang malam terakhir,” gumam Satya.
“Bagi siapa?” tanya Rumi pelan.
Tak ada jawaban. Hanya kabut yang mengetuk jendela.
Dan suara langkah pelan di lantai atas. Bukan berat. Tapi jelas.
Langkah seseorang yang sedang memilih: apakah akan tetap tinggal, atau meninggalkan semuanya dalam senyap.
Di luar, Pak Surya duduk di bangku kayu teras bawah. Ia tidak lagi membaca buku, atau merokok. Hanya menatap ke arah jendela kamar Ardhika, lalu ke langit yang tak bersuara.
Ia menggenggam amplop berwarna gading di tangan kirinya.
Amplop itu kosong. Tapi ia tahu siapa yang seharusnya mengisinya. Dan kenapa ia belum pernah berani menuliskannya sendiri.
Hari Ketiga – Jam 04:44 – Aroma yang Tak Pernah Diciptakan
Dunia belum sepenuhnya terjaga, dan malam belum sepenuhnya menyerah. Waktu itu—antara jam tiga dan lima pagi—adalah milik para pejalan sunyi, para ibu yang kehilangan anaknya, dan para jiwa yang menimbang apakah hidup masih layak diperpanjang.
Jam tua di jendela kamar Satya—yang kemarin hidup sebentar—kini menunjukkan pukul 04:44. Tapi tak seorang pun tahu apakah waktu itu nyata, atau hanya bagian dari skenario yang sudah ditulis lebih dulu oleh seseorang yang tahu akhir cerita.
Di kamarnya yang dingin, Rumi terbangun tanpa sebab. Tapi ini bukan terjaga karena mimpi buruk. Ini seperti… dibangunkan oleh aroma.
Aroma yang tak pernah ia buat. Aroma yang tak pernah ia cium sejak kehilangan indera itu. Tapi kali ini berbeda.
Ada bau hujan. Bukan air. Tapi bau tanah yang disentuh hujan pertama kali.
Ada aroma kopi tua. Tapi bukan kopi seduh—kopi yang tersimpan lama di toples nenek yang tertinggal di dapur kayu.
Ada aroma tubuh seseorang yang pernah ia cintai—dan mencintainya dalam diam.
Aroma perpisahan.
Rumi turun dari tempat tidur. Kakinya menggigil bukan karena dingin, tapi karena ada sesuatu dalam tubuhnya yang tahu: ada yang berubah.
Ia menapaki tangga perlahan, mengenakan jubah tipis. Di ruang tengah, lampu kecil masih menyala. Tapi yang lebih menyala adalah amplop putih yang terletak di meja tengah, tertindih oleh jam milik Satya.
Ia membuka perlahan.
Tidak ada nama pengirim.
Hanya satu kalimat tertulis rapi, dengan tinta hitam yang masih segar:
“Ketika waktumu tiba, aku harap kau bisa mengenali aroma yang membawamu pulang.”
Tangan Rumi gemetar. Bukan karena takut. Tapi karena ia tahu: aroma itu sedang membawanya menuju sesuatu.
Ia membuka jendela. Kabut begitu tebal, seolah dunia sedang menyembunyikan rahasia dari dirinya sendiri.
Langkah kaki menyusul dari atas. Gayatri, dengan syal tipis dan mata yang bengkak. Ia tidak tidur malam itu. Ia memandangi pintu kamar Ardhika, menunggu bunyi engsel atau suara batuk, atau apapun… tapi tak ada.
“Kau juga mencium itu?” tanya Rumi, suara pelan seperti doa yang ditahan.
Gayatri mengangguk pelan. “Tapi yang kucium... seperti hari pernikahan kami. Ada aroma dupa, lembaran kitab doa, dan air bunga mawar.”
Rumi menggenggam tangannya.
“Kau tahu dia tidak akan pergi dalam amarah, Gayatri. Dia hanya ingin tidak menyakitimu lagi.”
Gayatri memandang ke arah pintu kamar Ardhika, lalu berbalik.
“Aku hanya tak siap… kalau ternyata aku sudah tahu lebih dulu.”
Di balkon, Satya duduk diam. Jam tuanya masih menunjukkan 04:44, seperti angka yang dipilih semesta sendiri. Ia membaca ulang surat yang ia tulis semalam, tapi tak pernah sempat ditaruh di kotak.
Di dalamnya tertulis:
“Jika suatu hari aku berhenti mencari waktu, itu karena aku ingin hidup di luar detik, menit, dan jam. Di tempat yang hanya mengenal napas dan keheningan.”
Ia menaruh surat itu di pot kecil berisi bunga liar yang ia tanam sore kemarin.
Lalu berbisik,
“Sudah waktunya.”
Sementara itu, dari kejauhan—di bawah tangga depan vila—Pak Surya berdiri. Ia menatap vila dalam diam. Di tangannya, botol kecil berlabel lusuh:
“Antima”.
Ia membuka tutupnya, mencium isinya, lalu mengangguk pelan—seolah memastikan bahwa sesuatu telah mencapai takdirnya.
Dan ketika ia membalikkan tubuh, sebutir embun jatuh dari helai daun ke tanah.
Bukan karena beban. Tapi karena sudah waktunya jatuh.
Hari Ketiga – Jam 09:09 – Meja Makan yang Tak Lengkap
Pagi itu tak seperti pagi kemarin. Kabut tidak lagi turun, tapi juga belum naik. Ia melayang rendah, menggantung di sela-sela jendela vila Arunika seperti sisa mimpi yang lupa jalan keluar.
Di meja makan, hanya ada tiga cangkir teh. Tidak ada suara sendok. Tidak ada bumbu tawa. Hanya piring-piring kosong dan nasi yang mengering di sisi mangkuk. Ardhika tidak turun pagi itu.
Gayatri duduk di sudut meja, menghadap kursi kosong yang selalu ditempati suaminya selama dua hari terakhir. Tangan kanannya menggenggam syal, tangan kirinya menggenggam selembar surat yang ia temukan di balik bantal ranjangnya.
Bukan tulisan Ardhika—setidaknya bukan yang biasa. Tapi ia mengenali gaya bahasanya. Gaya yang sama dengan surat-surat dari “klien anonim” yang pernah ia bantu. Gaya seseorang yang ingin berpamitan tanpa menyebut kata selamat tinggal.
“Aku memilih pergi bukan karena aku tak mencintaimu. Tapi karena cinta tidak pernah memintaku bertahan ketika tubuh sudah tak menjadi rumah yang layak bagi jiwaku.”
Ia membacanya tiga kali. Setiap kali, huruf-huruf itu terasa lebih ringan. Lebih jujur. Dan, entah mengapa, lebih bisa diterima daripada kepergian yang terjadi tanpa kata-kata.
Satya hanya diam. Di tangannya, jam peraknya masih terdiam di angka yang sama: 09:09. Tapi ia tidak merasa kehilangan waktu. Ia merasa diberi kesempatan untuk mendiamkan waktu bersama orang-orang yang benar-benar hadir.
“Jamku sudah selesai bicara,” ujarnya. “Sekarang waktunya aku mendengar.”
Rumi meletakkan botol kecil di tengah meja. Botol yang ia temukan sejak kemarin. Labelnya kini sudah bisa terbaca dengan jelas:
"Antima – Untuk yang Memilih Jalan Sunyi"
Tak ada yang tahu siapa yang menulisnya, atau menciptakannya. Tapi saat Gayatri membuka tutup botolnya, aroma yang tidak bernama memenuhi udara—aroma kertas tua, bantal lembap, tangan yang pernah menggenggam kuat tapi kini melepas pelan.
Dan mereka bertiga tahu: Ardhika sudah pergi.
Bukan meninggalkan vila.
Tapi meninggalkan dirinya yang lama.
Menjadi sesuatu yang tak bisa lagi dituliskan, tapi bisa dikenang dalam aroma, waktu, dan surat.
Tak ada mayat.
Tak ada kehilangan dalam bentuk tubuh.
Yang tertinggal hanya satu ruang kosong, dan satu kursi yang tidak akan pernah mereka isi.
“Dia pergi seperti caranya mencintai,” ujar Rumi. “Tanpa membuat kita menangis. Tapi cukup dalam untuk membuat kita diam.”
Mereka makan dengan hening.
Tiga sendok, tiga napas panjang, dan satu botol kecil di tengah meja.
Dan saat mereka selesai, Pak Surya muncul dari luar pintu. Ia tampak lebih ringan pagi ini.
“Mobil sudah siap, Bu, Pak,” katanya.
“Dia tidak di kamarnya,” ujar Gayatri tanpa ekspresi.
Pak Surya hanya mengangguk, tidak tampak kaget.
Ia menuruni dua anak tangga vila, lalu berbalik dan berkata,
“Beberapa orang tidak meninggalkan jejak karena mereka memilih menjadi jalan itu sendiri.”
Mereka bertiga berdiri. Tidak tergesa. Tidak menyesali.
Satu-satunya yang tertinggal di meja makan vila Arunika hari itu adalah botol aroma berlabel Antima, dan jam perak tua yang tak akan berdetak lagi.
Hari Ketiga – Jam 13:33 – Jalan Pulang dan Waktu yang Tak Lagi Penting
Matahari siang menggantung rendah, seolah ikut menyimpan energi untuk menangisi apa yang tidak bisa ia pahami. Vila Arunika berdiri senyap seperti nisan yang tak diberi nama. Tidak ada upacara. Tidak ada tangisan. Hanya kursi kosong di beranda yang menghadap ke kabut terakhir.
Gayatri, Satya, dan Rumi berjalan pelan menuju mobil putih yang sama, parkir di tempat yang sama, dengan sopir yang masih memakai baju yang sama. Tapi tidak ada yang benar-benar sama hari ini.
Pak Surya membuka pintu mobil. Wajahnya bersih, tenang. Terlalu tenang untuk seseorang yang tahu bahwa seorang penumpang telah pergi, tanpa jejak, tanpa perpisahan.
Gayatri menatap mata Surya. Mata itu tidak berkedip. Tidak menghindar. Tapi menyimpan rahasia seperti batu menyimpan panas dari matahari siang.
“Apa kau… tahu ke mana suamiku pergi?” tanya Gayatri.
Surya diam sejenak. Lalu menjawab dengan suara yang hampir tidak terdengar, tapi cukup jelas untuk mengukir sesuatu di ruang antara mereka:
“Saya hanya diberi tugas mengantar orang. Tapi saya tidak pernah menanyakan ke mana mereka ingin diantar terakhir kalinya.”
Mobil melaju menuruni perbukitan. Jalanan yang kemarin tampak terjal kini terasa seperti lorong kenangan yang sedang dikunci perlahan. Tak ada yang bicara. Tak ada musik. Hanya suara mesin dan angin yang memukul-mukul kaca jendela, seolah berusaha menyampaikan pesan dari alam yang tak mampu menulis surat.
Satya membuka jendela. Ia mengeluarkan jam peraknya dan meletakkannya di pangkuan.
“Aku tak akan memperbaikinya lagi,” katanya. “Waktu harus dibiarkan rusak agar kita bisa merasakannya benar-benar hadir.”
Rumi membuka botol aroma Antima untuk terakhir kalinya. Ia tidak lagi bertanya siapa pembuatnya. Ia hanya ingin tahu, apakah dengan membiarkan aroma itu menguap di dalam mobil, ia bisa memeluk sisa dari seseorang yang pernah ada.
Gayatri menatap bukit yang menjauh di kaca belakang. Ia tidak menangis. Tapi suaranya pecah saat ia berkata,
“Dia tidak pernah benar-benar pergi. Ia hanya memilih bentuk kehadiran yang tak bisa kita sentuh.”
Surya menoleh sekilas ke spion tengah. Dan untuk sesaat, ia tampak… berbeda. Wajahnya bukan wajah sopir biasa. Tapi seperti seseorang yang telah menyaksikan terlalu banyak kepergian.
Seseorang yang lebih sering mengantar orang ke keheningan daripada ke tempat wisata.
“Antima,” bisik Surya, seperti mengulang mantra. “Bukan akhir. Tapi penutup yang tahu caranya menghormati.”
Mobil terus melaju, meninggalkan vila yang mulai samar dalam kabut siang.
Dan ketika mereka bertiga kembali ke kota, mereka tidak lagi membawa tubuh keempat, tapi membawa ruang kosong yang akan tetap mereka jaga di dalam diri masing-masing—tempat di mana cinta tidak mengikat, hanya mendampingi.
Sore itu, jam di dashboard mobil menunjukkan 13:33.
Dan tidak seorang pun merasa perlu melihatnya.
Jam 00:00 – Di Antara Yang Tak Bernama
Malam kembali memeluk vila Arunika, kali ini tanpa percakapan, tanpa napas, tanpa jejak kaki yang membawa beban usia. Kabut turun pelan seperti debu waktu yang mengendap setelah semuanya selesai. Tak ada lampu menyala. Tak ada teh mendidih. Hanya satu siluet lelaki yang masih ada di dalam rumah itu.
Pak Surya duduk di kursi rotan ruang tengah. Kursi yang sebelumnya dipakai Ardhika saat membaca buku Rumi. Di hadapannya, meja bundar kecil dengan tiga benda: jam perak milik Satya, botol aroma “Antima” milik Rumi, dan selembar surat yang tak pernah dikirim Gayatri—surat yang secara tak sengaja terselip di saku jaket Ardhika dan ditemukan pagi tadi oleh Surya saat membersihkan kamar.
Ia membaca surat itu sekali. Lalu melipatnya perlahan, seolah melipat sepotong sejarah.
Di sudut ruangan, koper kecil berwarna hijau tua berdiri diam, dengan label nama:
A. W. Surya.
Ia berdiri, berjalan ke rak buku. Menarik satu buku catatan bersampul hitam dari balik rak kayu. Buku itu tak memiliki judul di sampulnya, tapi ketika ia membukanya, halaman pertama menampilkan baris yang ditulis dengan tangan:
“Daftar Nama yang Telah Memilih Jalan Sunyi”
Nama-nama di halaman itu ditulis rapi, semua dengan tanggal yang bukan tanggal kematian, tapi… semacam tanggal pemahaman.
Surya mengambil pena dari saku dadanya. Menuliskan satu nama tambahan:
Ardhika Wismantara – 04:44 – Vila Arunika
Lalu ia menutup buku itu. Meletakkannya kembali di rak.
Meniup lilin kecil yang terakhir.
Dan dalam gelap itu, suara langkahnya menyusuri lorong tak terdengar oleh siapa pun. Tapi jika seseorang cukup hening, mungkin akan terdengar suara lembut:
“Yang memilih pergi tanpa tubuh, telah memilih hidup di dalam ingatan. Dan aku hanya mengantarkan mereka sampai ambang pintu.”
Ia keluar dari vila. Tak ada mobil. Tak ada koper.
Ia melangkah masuk ke dalam kabut seperti seseorang yang tahu ke mana harus pulang—meski tempat itu tidak ada di peta mana pun.
Dan saat jam menunjukkan 00:00, waktu pun berhenti sejenak.
Bukan karena ia lelah.
Tapi karena ia sedang memberi ruang bagi sesuatu yang tak bisa diukur:
perpisahan yang dipilih, bukan terjadi.
Dan sebelum ada yang bertanya lebih jauh, ia berbalik, menurunkan koper-koper tua yang tampak seperti kenangan keras kepala yang enggan ditinggal mati.