Cerpen
Disukai
1
Dilihat
5,498
LAGU YANG TAK JADI SELESAI
Romantis

PECAHAN GELAS DAN RASA YANG TUMPAH

Kedai Likecoffee, sore hujan yang malas pulang

Kedai itu bernama Likecoffee—satu kata, tanpa spasi, seperti cinta yang tidak pernah sempat dijelaskan. Di luar, hujan turun seperti seseorang yang mencoba menghapus jejak, tapi malah membasahi luka yang tak ingin dibuka. Di dalam, aroma kayu manis dan kopi hitam memenuhi udara, bercampur dengan gema musik jazz pelan dari pengeras suara langit-langit yang menggantung malas.

Langit sore itu kusam, jendela-jendela berkabut, dan sofa beludru tua di pojok ruangan tampak lebih puitis daripada pengunjungnya. Meja-meja terbuat dari kayu jati dengan goresan waktu, dinding bata ekspos dihiasi foto-foto analog yang membingkai fragmen masa lalu: sepeda ontel, stasiun tua, dan potret anak-anak yang tertawa.

Dimitri, pemilik kedai, berdiri di belakang bar. Pria jangkung berambut gondrong yang selalu mengenakan apron denim, dan sorot mata yang tahu banyak hal tapi memilih diam. Ia sedang meracik kopi dengan tangan tenang seperti penyair yang menyusun rima terakhir.

Di sudut kedai, Johanes duduk diam. Pria berusia 30 tahun itu mengenakan jaket abu-abu yang basah di ujung lengan. Mata cekungnya menyiratkan kurang tidur, pipi tertutup jenggot tipis, dan jari-jarinya menggenggam pena di atas buku catatan lusuh. Di depannya, secangkir kopi hitam tak lagi hangat, seperti kenangan yang sudah tidak ingin dihangatkan ulang.

Seminggu lalu, kekasihnya meninggalkan dia untuk pria yang lebih kaya dan lebih tampan. Ia tidak menyalahkan siapa pun, hanya tak habis pikir bagaimana seseorang bisa mengukur cinta dengan rekening dan garis rahang. Luka itu tidak berteriak, hanya mengendap-endap dalam diam, seperti kopi yang mulai pahit ketika dibiarkan terlalu lama.

“Lo ngapain masih nulis, Hans?” tanya Dimitri dari bar.

“Lagi cari alasan buat bangun besok pagi,” jawab Johanes pelan.

Dimitri tersenyum simpul, lalu kembali menyeduh pesanan.

Pintu kedai berderit. Seseorang masuk. Hujan menempel di jaket kulit dan sepatu boots yang menginjak lantai kayu dengan suara berat. Seorang perempuan. Rambutnya pendek, terurai separuh, warna hitamnya hampir seperti arang. Wajahnya seperti not balok yang tak selesai ditulis—ada sesuatu yang ingin diungkap tapi terus ditahan.

Ia menatap sekeliling. Sofa pojoknya biasa sudah diisi pria muram itu. Meja yang tersisa hanya satu—tepat di depan Johanes.

“Ada kopi buat Melisa?” tanyanya pada Dimitri tanpa melihat.

“Selalu. Tapi sofa pojokmu udah diculik penyair putus cinta,” sahut Dimitri sambil menunjuk Johanes. “Gak ada pilihan lain.”

Melisa mendesah, lalu berjalan mendekat.

“Boleh duduk?” tanyanya datar, namun suara seraknya seperti bekas nyanyi malam yang terlalu larut.

Johanes menoleh sebentar, hanya cukup untuk mengenali bahwa ia bukan perempuan biasa. Ada energi di matanya yang tidak mencari kekaguman. Ia mengangguk.

Melisa duduk. Tangannya membuka lembaran not balok dari tas selempang berbahan kanvas. Tangannya bergetar halus—entah karena hujan atau hidup.

Dimitri datang dengan dua cangkir kopi. Tapi pelayan barunya, si Bima, masih kikuk. Di tengah langkah, ia tersandung ujung karpet.

Gelas kopi tumpah ke atas meja Johanes. Suara pecah terdengar nyaring, memecah keheningan seperti ending film yang tak diinginkan. Kopi menodai buku catatan Johanes, meluber ke puisinya yang belum selesai.

“Ma—maaf, Kak!” ucap Bima gugup. “Aduh, saya…”

Johanes menatap noda itu dengan ekspresi seperti patung batu: diam, tapi menyimpan gelombang.

Namun sebelum ia bicara, Melisa mengambil tisu dan mengelap catatan Johanes, lalu berkata santai, “Kalau puisinya bagus, kopi hanya akan jadi catatan kaki yang wangi.”

Johanes mengangkat alis. “Atau jadi noda yang menutup puisi sebelum sempat dibaca.”

Melisa tersenyum tipis. “Itu pun sajak, kalau kamu mau menyebutnya begitu.”

Mereka tertawa. Dimitri menatap mereka dari kejauhan, lalu menyenggol Bima pelan, “Nah, lo liat itu? Beberapa pertemuan memang perlu tumpahan. Bukan untuk diratapi, tapi untuk dimulai.”

Melisa lalu memesan kopi barunya—tanpa gula. “Seperti cinta yang tak pernah benar-benar tumbuh,” katanya.

Johanes membuka halamannya yang baru.

“Kau sering datang ke sini?” tanyanya.

“Kalau lagi gagal nulis lagu.”

“Kenapa gagal?”

“Karena aku susah jatuh cinta. Gimana mau nulis lagu cinta kalau hatiku seperti pagar berduri?”

Johanes tertawa kecil. “Aku baru saja putus. Hatiku seperti halaman belakang yang ditinggal pergi, dan kini dipenuhi rumput liar.”

“Aku Melisa. Penyanyi indie yang belum viral.”

“Johanes. Penulis iklan yang tak percaya lagi pada kata-kata.”

Pembicaraan mereka lalu mengalir seperti lagu yang tak memiliki chorus. Mereka bicara tentang mimpi yang tak dibayar, tentang teman yang berubah ketika kita gagal, dan tentang malam-malam yang terasa terlalu panjang bagi orang yang patah.

Waktu berjalan, tapi jam di dinding seperti lupa berfungsi. Dimitri mematikan musik jazz dan menyalakan lampu kuning yang lebih redup. Pelanggan lain mulai pergi. Di luar, hujan sudah reda, menyisakan jalan basah yang memantulkan cahaya lampu jalan.

“Kedai mau tutup,” kata Dimitri lembut sambil menyapu meja.

Melisa berdiri. Johanes pun ikut berdiri, tapi masih dengan sisa kopi dan tulisan basah di atas mejanya.

“Kalau kau ingin dengar lagu ini selesai,” kata Melisa, “datanglah ke Studio Orion. Dekat rel kereta yang bau cat dan sejarah.”

“Kalau aku datang, lagu itu akan selesai?”

Melisa tak langsung menjawab. Ia menatap Johanes sejenak, lalu menuliskan sesuatu di not baloknya, merobeknya, dan meletakkannya di meja.

“Aku gak janji. Tapi mungkin... kita bisa menulis ulang satu dua nada.”

Ia berjalan pergi.

Di atas meja, Johanes membaca:

“Reff-nya belum kutemukan. Tapi aku mulai menyukai intro-nya.”

Dimitri datang, mengambil cangkir kosong.

“Kau tahu, Hans,” katanya pelan, “kopi yang tumpah bisa dibersihkan. Tapi kalimat yang tepat... kadang cuma datang sekali.”

Johanes hanya tersenyum. Untuk pertama kalinya dalam seminggu, ia merasa seperti manusia yang masih layak dicintai, walau belum utuh.


NADA YANG GAGAL DIKENANG

Studio Orion, malam di bawah suara kereta

Studio Orion berdiri di antara lorong sempit, diapit toko onderdil motor dan gudang cat yang berbau tajam. Pintu masuknya hanya ditandai tulisan kecil di atas papan kayu lapuk: Orion Music House. Tak ada neon, tak ada bel pintu, hanya bunyi seret dari rel kereta api di kejauhan yang menjadi penanda waktu di sana.

Johanes datang malam itu, mengenakan hoodie kelabu dan sepatu yang basah oleh genangan hujan kemarin. Ia berdiri sebentar di depan pintu studio, ragu. Hatinya belum sepenuhnya pulih, tapi sesuatu dalam dirinya mendorong langkahnya maju. Mungkin ingin tahu. Mungkin ingin sembuh.

Studio itu hangat oleh suara, bukan suhu. Dindingnya dilapisi busa peredam yang warnanya pudar. Ada rak berisi kaset pita dan amplifier tua yang masih berfungsi. Di sudut ruangan, Melisa sedang berdiri di depan mikrofon, gitar tergantung di lehernya. Ia memejamkan mata, menyanyikan satu bait:

"Tak semua yang hilang itu pergi...

Sebagian diam, sembunyi... menunggu ditemui."

Lalu ia berhenti. Tangannya lepas dari senar gitar. Kepalanya menunduk. Lagi-lagi, bait itu terhenti sebelum reffrain. Seperti ada tali tak kasat mata yang menariknya mundur sebelum ia benar-benar melompat.

Johanes hanya berdiri di ambang pintu, tak ingin mengganggu.

“Datang juga,” suara Melisa, pelan namun cukup jelas.

“Aku ingin dengar reff-nya,” jawab Johanes.

Melisa menghela napas dan duduk di lantai studio, menyilangkan kaki seperti anak kecil yang kalah main petak umpet.

“Aku selalu berhenti di bait yang sama. Sudah tiga bulan. Seperti hidup yang hanya berani di awal, tapi takut di tengah.”

Dari ruang dalam, seorang pria tua muncul. Rambutnya putih panjang, mengenakan jaket rajut dan kalung manik-manik kayu. Namanya Mas Aryo, musisi eksperimental yang dulu terkenal sebagai komposer bunyi di film-film tahun 90-an. Kini ia tinggal di belakang studio, merawat suara seperti merawat kenangan yang nyaris mati.

“Kenapa lagumu mandek, Lis?” tanya Aryo, duduk di kursi lipat sambil menyalakan rokok linting.

“Karena aku menulis tentang cinta yang belum kutemukan,” jawab Melisa cepat.

Aryo tertawa pelan. “Salah. Lagu tidak menunggu cinta. Lagu hanya ingin kau jujur.”

Ia menatap Johanes, lalu berkata, “Kau orang baru. Apa yang membuatmu datang ke sini?”

Johanes menjawab pelan, “Aku ingin tahu kenapa seseorang bisa berhenti sebelum selesai. Mungkin aku juga sedang begitu.”

Aryo berdiri, berjalan ke piano tua di sudut studio. Ia memainkan tiga nada minor. Lambat. Dalam.

“Kau tahu kenapa lagu sering berhenti di reffrain?”

“Karna itu bagian paling kuat?” tanya Melisa.

“Karena itu bagian paling jujur,” kata Aryo. “Dan kejujuran, anak-anak, adalah tempat paling sepi di dunia.”

Hening sesaat. Hanya suara metronom yang berdetak, dan dengung amplifier tua.

Melisa menatap Johanes. “Kau tahu, aku takut kalau lagu ini selesai, aku juga harus jujur soal rasa yang sedang tumbuh. Dan aku benci perasaan itu.”

Johanes mendekat, lalu duduk di samping Melisa. Tangannya tidak menyentuh, tapi jaraknya cukup untuk saling merasa.

“Aku pernah memberikan segalanya untuk seseorang,” katanya pelan, “tapi ternyata bukan aku yang ia cari. Sejak itu, aku takut menjadi ‘terlalu cukup’ untuk orang yang tak benar-benar butuh aku.”

Aryo tertawa lagi, kali ini lebih dalam.

“Kalian berdua lucu. Satu takut jatuh, yang satu takut cukup. Padahal hidup hanya ingin kalian terus berjalan, walau tak tahu ke mana.”

Ia berdiri, lalu menuju dinding dan menarik tirai kain. Di baliknya tergantung puluhan lembar partitur musik yang tidak pernah dipublikasikan.

“Aku pernah jatuh cinta dengan perempuan yang tak pernah mencintaiku balik. Tapi aku tetap selesaikan lagunya. Bukan untuknya, tapi untuk tahu bahwa aku masih bisa mencintai—dengan atau tanpa balasan.”

Melisa menunduk. Tangannya meremas lembaran not yang tadi pagi ia tulis ulang.

Johanes menatap lembaran itu. “Apa aku ada di lagumu?”

Melisa menoleh, wajahnya mendung. “Sebelum aku tahu namamu… iya. Sekarang? Aku belum berani menulis ulang.”

Malam makin dalam. Kereta melintas di kejauhan, suaranya menggetarkan kaca.

Aryo berdiri, mematikan metronom.

“Kalau kau ingin menemukan jawaban, jangan cari di lagu. Cari di diam yang kalian bagi malam ini.”

Ia masuk ke ruang belakang, meninggalkan dua hati yang sedang mengintip kemungkinan baru.

Melisa mengangkat gitar. Kali ini ia menyanyikan bait itu lagi. Tapi dengan satu nada baru. Reff-nya mulai terdengar, belum selesai, tapi cukup untuk dimulai.

Johanes tak banyak bicara. Ia hanya duduk di sana, mendengar, dan merasa bahwa untuk pertama kalinya, ia tidak sendirian di antara yang belum selesai.

SKOR DAN SKAR

Lapangan Futsal Pinggir Kota, Sabtu malam, cahaya lampu halogen dan kenangan terbuka

Lapangan futsal itu terletak di antara gudang logistik dan bengkel tua. Di luar pagar kawat, terdapat warung kecil beratap seng, dihiasi bohlam kuning yang menggantung rendah. Malam itu dingin, langit nyaris tanpa bintang, dan suara sepatu menggurat lantai vinyl terdengar seperti detik jam dalam dada orang yang sedang menyimpan banyak yang tak terucap.

Johanes mengenakan jersey hitam polos. Keringat membasahi pelipisnya, dan napasnya tak lagi beraturan. Fisiknya masih bisa bertarung, tapi ada sesuatu yang selalu tertinggal setiap kali ia menyentuh bola—semacam beban di dada yang tak pernah benar-benar dilepas, bahkan ketika ia berlari.

Melisa datang tiba-tiba. Ia berdiri di pinggir lapangan, mengenakan hoodie kebesaran dan celana jeans robek yang tak disengaja. Tangannya menggenggam kotak salad buah dan sebotol teh hangat dari warung kecil di dekat pintu masuk.

Ia tak bersuara, hanya duduk di kursi plastik biru sambil menatap permainan.

Setelah pertandingan usai, Johanes menghampiri, masih dengan keringat yang belum mengering.

“Kau ngapain di sini?” tanyanya, tak yakin harus marah atau bersyukur.

Melisa mengangkat bahu. “Aku penasaran, seperti apa wujud orang yang katanya dulunya kapten tim SMA tapi sekarang kalah 4-1.”

Johanes tertawa pendek. “Aku lebih banyak belajar dari kekalahan. Tapi entah kenapa, tetap saja sakit.”

“Karena luka itu seperti skor. Tidak selalu adil, tapi tetap dicatat.”

Di saat yang sama, seorang perempuan paruh baya menghampiri mereka. Ia mengenakan celemek bermotif stroberi, rambutnya digelung asal, dan matanya cerah seperti perempuan yang sudah lama berdamai dengan kenyataan. Di tangannya ada nampan berisi botol-botol kecil minuman herbal dan potongan buah berwarna cerah.

“Istirahat dulu, Nak. Minum ini, biar jantung nggak kaget sama dinginnya malam,” katanya sambil menyodorkan botol kecil ke Johanes.

Melisa tersenyum. “Ibu ini yang punya warung tadi?”

“Iya,” jawabnya sambil duduk di bangku kosong, “Nama saya Bu Lilik.”

Johanes meneguk minuman, merasakan rasa pahit yang tak asing. Seperti cinta yang pernah dicoba dan gagal.

“Ibu sering nonton futsal?”

“Kadang. Tapi lebih sering nonton orang diam-diam menyimpan luka.”

Melisa menatap wanita itu. “Ibu... maksudnya?”

Bu Lilik tersenyum, lalu menunjuk ke ujung lapangan. “Dulu anak saya suka main di sini. Namanya Adi. Penjaga gawang yang jago. Tapi sekarang dia nggak bisa lagi main.”

Johanes dan Melisa saling menatap. Bu Lilik melanjutkan, nadanya tak sedih, tapi mengandung keheningan panjang.

“Waktu kecil, dia kena demam tinggi. Dokter bilang dia gak akan bisa mendengar sejak umur lima. Tapi dia tetap belajar jadi penjaga gawang. Karena katanya, ia tak butuh suara untuk menangkap bola—hanya butuh rasa.”

Melisa hampir terdiam. Tangannya menggenggam kotak salad buah lebih erat.

“Ibu,” tanya Johanes hati-hati, “anak Ibu sekarang di mana?”

“Dia di rumah. Mengajar anak-anak disabilitas sekarang. Dulu dia sempat jadi inspirasi satu kampung. Semua orang kira dia nggak akan bisa jadi apa-apa. Tapi dia malah jadi orang yang membuat orang lain merasa berarti.”

Ia berhenti sebentar, menatap langit.

“Terkadang, Tuhan menyembunyikan jawaban bukan di tempat yang megah, tapi di bangku plastik pinggir lapangan, di tangan yang tetap menyuap buah meski hatinya pernah hancur.”

Melisa memejamkan mata. Lalu ia berkata pelan, “Lagu yang belum selesai itu... ternyata aku yang menolaknya selesai. Karena aku takut jawaban tak sesuai ekspektasi.”

Bu Lilik menatapnya lekat-lekat. “Nak, hidup bukan tentang siapa yang paling utuh. Tapi siapa yang tetap memilih berdiri meski tahu dirinya retak.”

Johanes duduk lebih dalam di bangkunya. Ia tak tahu harus berkata apa. Tapi malam itu, ia merasa seperti seseorang yang baru saja diberi kata kunci untuk membuka pintu yang sudah lama tertutup.

Melisa berdiri, menyodorkan kotak salad kepada Johanes. “Mau?”

Johanes tersenyum. “Kalau buah bisa manis meski terpotong-potong, mungkin kita juga bisa.”

Mereka makan di bangku itu, bertiga, tanpa perlu bicara lebih banyak. Di latar belakang, lampu lapangan mulai dipadamkan satu per satu. Tapi malam itu, sesuatu telah menyala dalam dada mereka.

Dan di kepala Melisa, satu baris lirik baru akhirnya muncul: “Kita tak butuh utuh, hanya cukup untuk merindukan lagi.”

HURUF YANG BERSEMBUNYI DI RAK PALING ATAS

Toko Buku “Langgam Aksara”, gang sempit pasar lama, pagi yang beraroma debu dan nostalgia

Pagi itu, gang sempit di balik pasar lama menyimpan aroma kayu lapuk, hujan semalam, dan lontong sayur yang sedang dipanaskan ulang. Tapi ada satu aroma yang tak bisa diungkapkan dengan kata: bau buku tua. Ia mengalir dari satu pintu kayu bercat hijau pudar, bertuliskan dengan kapur putih: Langgam Aksara – Jual Beli Buku Lama & Puisi yang Tak Diterbitkan.

Johanes dan Melisa tiba nyaris bersamaan, tanpa janjian, tanpa sengaja.

“Kau juga ke sini?” tanya Johanes, heran.

“Aku cari buku Sapardi. Entah kenapa, lirikku butuh semacam hujan yang halus dan kata-kata yang pelan,” kata Melisa sambil mengibaskan rambutnya.

“Aku cari buku filsafat. Mungkin karena hatiku sedang terlalu ramai, butuh kalimat-kalimat yang dingin.”

Toko itu kecil, sempit, tapi dalam. Rak-raknya tinggi menjulang, seperti lorong perpustakaan di universitas tua. Bau debu bersatu dengan jejak tinta yang menua. Di balik meja kasir kayu, duduk seorang lelaki tua berambut putih keperakan, mengenakan cardigan krem, dan kacamata bundar: Pak Mantra, pemilik toko yang sekaligus penyair gagal, menurut pengakuannya sendiri.

“Kalian berdua,” katanya tanpa melihat, “dari langkahnya saja, aku tahu kalian sedang mencari bukan buku... tapi pengakuan.”

Melisa tertawa kecil. “Pengakuan?”

“Ya. Bukankah semua orang datang ke toko buku bekas bukan untuk mencari cerita baru, tapi untuk melihat kembali apa yang pernah mereka lewatkan?”

Pak Mantra berdiri, mengambil bangku kecil, lalu memanjat rak tertinggi. Ia mengambil dua buku: satu berisi puisi Sapardi, satu lagi berjudul "Eksistensi dalam Kekosongan: Fragmen Kierkegaard".

Ia meletakkannya di meja. “Ini untukmu, gadis suara.” Ia menatap Melisa. “Dan ini untukmu, lelaki dengan luka sunyi.”

Johanes membuka buku filsafat itu. Di dalamnya, ada catatan tangan seseorang: “Ada yang hidup dengan penuh suara, tapi kehilangan gema. Ada yang hidup dalam diam, tapi setiap getarnya terdengar oleh semesta.”

“Siapa yang menulis ini?” tanya Johanes.

Pak Mantra tersenyum samar. “Penyumbang buku. Seorang perempuan. Dulu dia penyair. Pernah hampir menikah, tapi laki-lakinya pergi entah ke mana. Ia bilang, hidupnya terlalu penuh skenario tapi minim naskah.”

Melisa terdiam. Matanya membesar. “Pernah hampir menikah? Kapan?”

“Lima belas tahun lalu. Ia punya seorang anak. Tapi dia tak pernah menyebutkan siapa ayahnya. Hanya bilang... ‘suatu saat anakku akan menemukan jawabannya sendiri, lewat puisi dan kehilangan.’”

Suasana menjadi dingin. Seperti angin yang menyelinap lewat celah rak dan menampar kenangan.

“Siapa nama perempuan itu?” tanya Johanes, perlahan.

Pak Mantra menatap mereka dalam-dalam, lalu menjawab pelan,

“Saya tidak boleh menyebut namanya. Tapi dia menitipkan satu amplop. Katanya, jika suatu hari dua orang datang bersamaan, dan keduanya memilih buku yang bukan untuk mereka, maka amplop itu layak diberikan.”

Ia membuka laci tua, mengambil amplop krem dengan segel lilin merah.

Di bagian depannya tertulis dengan tinta hitam: “Untuk dua jiwa yang terluka tapi masih mau membaca.”

Melisa menggenggamnya erat. “Boleh kami buka di tempat yang lain?”

Pak Mantra mengangguk. “Tentu. Tapi ingat, kadang jawaban datang bukan untuk menenangkanmu, tapi untuk membuatmu jujur.”

Mereka meninggalkan toko dalam diam. Di luar, langit menggantung abu-abu. Di tangan Melisa, amplop itu terasa berat—bukan karena isinya, tapi karena kemungkinan yang dibawanya.

Mereka duduk di bangku tua dekat taman kecil di samping pasar. Melisa membuka amplop itu pelan-pelan.

Di dalamnya hanya selembar kertas. Tertulis dengan tangan:

“Jika hidup adalah lagu, maka reffrainnya bukan tentang siapa yang kita cintai, tapi tentang siapa yang tetap bertahan ketika musiknya hilang.”

Di bawahnya, hanya tertulis satu nama:

Laras Wening.

Melisa menahan napas. Johanes memejamkan mata. Nama itu seperti pintu yang terbuka, tapi belum bisa dimasuki.

“Laras Wening...” ucap Johanes pelan, “Itu...”

“Nama ibuku,” potong Melisa, suaranya bergetar. “Dulu ia bilang... aku lahir dari lagu yang tak pernah dinyanyikan sampai selesai.”

Hening.

Untuk sesaat, dunia seperti berhenti. Burung tidak terbang. Angin tidak lewat. Dan dua hati yang selama ini mencari jalan masing-masing, mendadak merasa sedang berada di tengah simpul yang sama.

Tapi simpul itu belum bisa diurai.

Karena di akhir catatan, ada satu kalimat kecil, hampir tak terbaca:

"Ada yang harus kalian lihat di tempat yang sunyi. Di mana nama-nama tidak lagi disebut dengan suara, tapi dengan bunga."

PEMAKAMAN TANPA BATU NISAN

Pemakaman tua, pagi berkabut, suara waktu yang berjalan mundur

Kabut menebal seperti tirai rahasia yang belum sempat disibak. Di tengah pemakaman tua yang sunyi, Johanes dan Melisa berjalan pelan di antara batu nisan yang mulai retak, bunga-bunga yang layu, dan bayangan pohon beringin yang seperti raksasa tua yang tak lagi menakutkan.

Mereka tiba di depan satu pusara. Tanpa batu nama. Hanya papan kecil yang pudar oleh hujan. Tertulis samar: Laras Wening - 1972–2000. Di bawahnya, tulisan tangan yang mulai hilang: “Suaraku padamu tak akan pernah diam.”

Melisa meletakkan seikat melati yang ia bawa sejak dari pasar. Matanya tak menangis. Hanya menatap, dalam dan kosong, seperti tengah bercakap dengan kenangan.

“Dia meninggal waktu aku baru dua tahun,” katanya pelan. “Aku diasuh bibi. Tapi selama ini, tidak ada yang pernah bilang kenapa ibuku dimakamkan di sini… tanpa nama. Tanpa upacara.”

Johanes duduk di bangku semen yang dingin. Ia memperhatikan nisan-nisan lain, dan menyadari satu hal:

“Ini... pemakaman untuk korban tragedi.”

Melisa mengangguk. “Dia bukan cuma penyanyi. Dia pernah jadi aktivis. Dan hilang, sebelum akhirnya ditemukan… sudah dalam diam.”

Hening menggantung lama.

“Selama ini aku pikir lagu-lagunya tentang cinta. Ternyata tentang kehilangan yang tak pernah sempat ia tuntaskan,” kata Melisa. “Aku anak dari perempuan yang memilih berbicara lewat lirik, bukan lewat amarah.”

Johanes mendekat. Ia tak berkata apa-apa. Hanya duduk, menjadi pendengar bagi seseorang yang butuh mendengar dirinya sendiri.

Lalu, dari saku jaketnya, Melisa mengeluarkan potongan kertas. Surat terakhir dari Pak Mantra. Bukan dari Laras, tapi dari seseorang yang selama ini tak disebut.

“Melisa, jika kau membaca ini, ketahuilah: ibumu menyimpan lagu terakhirnya bukan untuk dikenang, tapi untuk diwariskan. Ia tidak ingin hidupmu berakhir seperti miliknya—terkubur dalam idealisme yang lupa menyentuh kehidupan nyata. Maka dari itu, kami—teman-temannya dulu—sepakat menitipkan kepadamu satu hal: Sebidang tanah kosong di sudut kota. Tempat studio musik. Tempat awal cerita ini.”

Melisa membaca lagi, tak percaya.

“Studio Orion?” tanya Johanes, nyaris tak bersuara.

“Ya… studio itu milik ibuku. Setelah dia meninggal, diambil alih oleh Aryo dan teman-temannya. Tapi mereka menunggu saat yang tepat untuk mengembalikannya.”

Johanes menatap Melisa. Mata mereka bertemu. Tak ada cinta yang meledak. Tapi ada kesadaran baru yang mekar perlahan: bahwa yang mereka cari selama ini bukan satu sama lain, tapi makna untuk tetap berjalan. Dan ternyata, mereka menemukannya bersama.

Lalu, plot twist yang tak mereka duga terjadi.

Di ujung pemakaman, seorang lelaki paruh baya menghampiri mereka. Rambutnya abu, tapi matanya masih tajam.

“Aku diminta menyerahkan ini,” katanya sambil memberikan map cokelat pada Melisa. “Warisan hukum Laras Wening. Diserahkan hanya jika anaknya kembali ke makam ini dan membawa seseorang yang kelak bersedia menjaga warisan ini... bukan sebagai kenangan, tapi sebagai rumah masa depan.”

Melisa membuka map itu. Di dalamnya:

1.     Sertifikat tanah

2.     Rencana pembangunan ulang Studio Orion

3.     Catatan tangan Laras:


"Jika ada seseorang yang membuatmu berhenti menulis kesedihan, ajak dia menulis masa depan bersama."

Melisa menatap Johanes.

“Aku akan membuka kembali studio itu. Tapi bukan hanya untuk musisi. Aku ingin tempat itu jadi rumah untuk orang-orang yang belum selesai. Termasuk kamu, Hans.”

Johanes tersenyum. “Aku akan jadi penulis jinggle terburuk di kota, tapi akan jadi penunggu sofa studio terbaik yang bisa kamu minta.”

Mereka tertawa. Tapi tawa itu seperti simfoni pelan dari masa depan yang tak lagi buram.

Kabut mulai menghilang. Matahari merayap dari balik langit abu-abu. Mereka berdiri. Melangkah keluar dari pemakaman.

Bukan untuk melupakan masa lalu. Tapi untuk menyusun ulang nada demi nada dari lagu yang akhirnya...tak perlu selesai untuk jadi utuh.

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)