Masukan nama pengguna
Relevé
Langit pagi belum sepenuhnya terang saat Shandy duduk bersila di depan layar kecil ponselnya, berselimut sarung dan senter saku di antara tumpukan bantal. Jam baru menunjukkan pukul 04:47. Suara langkah ayahnya masih terdengar di luar kamar, mengelilingi rumah, mungkin sedang cek pagar atau sekadar kebiasaan patroli kecil sebelum subuh.
Shandy menekan tombol play pelan.
Layar memperlihatkan video latihan balet berdurasi dua menit tiga puluh detik:
seorang anak laki-laki Eropa berumur sepantarannya sedang melakukan plié, lalu relevé… lalu pirouette ringan seperti bunga yang berputar saat tertiup angin.
Jantung Shandy ikut berputar.
Bukan karena video itu baru,
tapi karena ia menonton ulang untuk yang ke-28 kali.
Dan seperti sebelumnya, setelah video selesai, ia akan berdiri pelan-pelan… menghadap cermin lemari,
dan diam-diam mencoba menirukan gerakan yang ia ingat paling baik: relevé.
Berdiri dengan ujung jari kaki,
mengangkat dagu,
dan menyentuh udara seperti percaya diri itu bukan milik orang dewasa saja.
Satu… dua… angkat.
Tapi baru saja ia mengangkat tumit, langkah berat terdengar dari luar kamar.
Pintu bergetar.
“Shandy, bangun. Subuh. Jangan malas kayak anak-anak kota itu. Kau kan tentara kecilnya Bapak.”
Suara itu membuat tubuh Shandy langsung menjatuhkan tumitnya kembali ke lantai.
Ia mematikan senter, menyembunyikan ponsel, dan menjawab,
“Iya, Pak. Siap!”
Di meja sarapan, ada bubur, telur rebus, dan koran dengan headline tebal soal perayaan Hari Pahlawan.
Ayahnya—bertubuh tegap, bercambang rapi, mengenakan jaket militer lama yang tak pernah benar-benar dilepas—duduk membaca sambil menyeruput kopi hitam.
“Bapak dengar kamu nanti mau tampil silat pas pentas seni ya?”
“Bagus! Biar teman-temanmu tahu kamu ini bukan laki-laki lembek.”
Shandy mengangguk pelan.
Tapi dalam hatinya, ia merasa lututnya lebih ingin menekuk dalam plié daripada kuda-kuda silat.
Di sekolah, dunia terasa lebih ringan.
Norish sudah menunggu di dekat tangga.
Rambutnya diikat dua, kemeja sekolahnya dibuka satu kancing lebih longgar,
dan langkahnya seperti selalu diiringi musik—tak peduli hari apa.
“Shandy, latihan hari ini nggak boleh bolos. Aku mau kamu lihat aku coba duet sama Sukma.”
“Kamu harus komentarin. Aku lagi cari ekspresi yang cocok untuk bagian ending.”
Shandy mengangguk.
“Kau tau nggak, Norish…”
“Aku suka yang bagian relevé kemarin itu. Keren banget.”
Norish tertawa.
“Aku tahu kau suka. Makanya aku kirim videonya, kan?”
Shandy hanya senyum. Tapi senyum itu menyimpan berjuta hal:
kegelisahan, kekaguman, dan rasa aneh yang tumbuh setiap kali ia mendengar kata "balet" seolah itu sesuatu yang hanya bisa ia cintai dari balik tirai.
Dan di ruang seni, saat sore tiba,
Shandy kembali duduk di pojok ruangan.
Sepatu-sepatu balet kecil berjajar seperti pasukan bunga.
Sukma dan Norish mulai menari,
dan saat gerakan relevé tiba,
Shandy diam-diam ikut menegakkan tubuhnya, berdiri di ujung kaki sepatu sekolahnya, sambil menahan napas…karena mungkin itulah satu-satunya cara tubuhnya merasa bebas.
Pas de Deux
Ruang seni sore itu disapu sinar jingga dari kaca buram.
Lantai kayu memantulkan cahaya seperti panggung mimpi yang tak berani disebutkan.
Norish memutar tubuhnya perlahan,
membiarkan rambutnya jatuh,
mengangkat tangan seperti ingin menyentuh matahari yang semakin rendah.
Shandy duduk di sudut, memeluk lutut, memperhatikan setiap detail.
Ia tahu kapan Norish sedikit goyah,
kapan lututnya kurang lentur,
dan kapan wajahnya tak lagi seirama dengan gerak tubuhnya.
“Pause dulu,” kata Shandy tiba-tiba.
“Bagian belok kanan tadi terlalu cepat. Coba lebih lambat. Biar ekspresinya nggak ketinggalan.”
Norish berhenti. Nafasnya berat, tapi senyumnya lebar.
“Lihat? Kamu emang cocok jadi pelatihku suatu hari nanti.
Atau jadi partnerku sekalian.”
Shandy tersenyum. Tapi di dalam dadanya, kata “partner” membuat sesuatu melenting—bukan takut, bukan malu.
Tapi semacam pengakuan diam:
aku ingin menari. Aku ingin berada di tengah ruangan ini. Tapi tidak boleh. Tidak bisa. Tidak berani.
Di rumah, saat malam datang dan ayahnya sudah tidur,
Shandy membuka lemari mainan.
Dari balik tumpukan robot-robot tentara, ia mengeluarkan benda yang paling ia jaga:
sepasang sepatu balet anak laki-laki
—warna putih gading, dengan tali silang.
Hadiah ulang tahun dari Norish tahun lalu.
“Ini bukan hadiah untuk kamu sekarang,” kata Norish saat itu.
“Ini hadiah untuk kamu yang berani suatu hari nanti.”
Esoknya, saat latihan, Sukma tidak hadir.
Norish kecewa, tapi tidak marah.
Ia menari sendiri. Dan setelah dua kali mencoba, ia mengajak Shandy berdiri.
“Cuma coba gerakan dasar, kok. Kamu juga bisa. Ayo.”
“Angkat tanganmu.
Sekarang posisi arabesque. Lurusin kaki yang belakang.”
Shandy ragu.
Tapi suara Norish lembut, dan ruang itu seperti dunia di mana tidak ada siapa pun… kecuali dua anak sepuluh tahun yang tidak sedang jadi anak pejabat atau anak tentara.
“Pas de deux itu bukan hanya tentang laki-laki dan perempuan,” bisik Norish.
“Tapi tentang dua orang yang menari untuk satu hal yang sama.”
Maka Shandy berdiri.
Tangannya menggantung di udara,
dan untuk pertama kalinya,
ia berputar bersama Norish.
Ringan. Bebas. Tak terlihat.
Seperti gerakan mereka hanya bisa dilihat oleh cahaya sore.
Tapi kemudian pintu terbuka.
Suara langkah berat masuk.
Pak Ganis—guru olahraga—melongok.
“Norish, Sukma belum bisa latihan ya? Pentas tinggal seminggu, tolong latihan duetnya diprioritaskan.”
Norish mengangguk.
Shandy menunduk, diam.
Pak Ganis tidak melihat, atau pura-pura tidak melihat siapa yang barusan ikut berdansa.
“Kamu bagus tadi,” kata Norish setelah guru itu pergi.
“Tapi kamu selalu nunduk. Padahal kamu punya kepala yang bisa tegak juga.”
Shandy tak menjawab.
Tapi dalam hati, ia tahu:s emakin ia menari, semakin ia harus memilih—antara panggung dan kejujuran, atau persembunyian dan rasa aman.
En Dedans
Ada yang berubah di dada Shandy sejak latihan duet itu.
Bukan sekadar degup yang lebih cepat saat melihat Norish menari, tapi sesuatu yang bergerak ke arah dalam—menggulung seperti pusaran air, menggoda keberaniannya yang selama ini tenang di permukaan.
Pentas seni semakin dekat.
Norish semakin yakin,
Sukma tak akan bisa tampil.
“Dia jatuh dari sepeda,” kata Norish, “pergelangan kakinya keseleo. Mama-nya udah bilang ke Bu Elok.”
Bu Elok—guru seni yang akan jadi koordinator acara—menoleh ke arah Shandy waktu Norish bilang,
“Shandy aja yang gantiin Sukma. Dia udah latihan diam-diam, Bu.”
Shandy sontak menoleh tajam.
“Norish, jangan!” bisiknya.
Bu Elok tersenyum, tapi tidak langsung menanggapi.
Ia hanya menjawab,
“Kita lihat nanti ya. Yang penting sekarang, latihan dulu yang serius.”
Malam itu, Shandy tidak makan malam.
Di kamarnya, ia menyalakan YouTube, memutar video balet The Nutcracker.
Tapi ia tak sedang memperhatikan gerakan,
melainkan wajah-wajah penari pria:
tegas, kokoh, tapi lentur.
Bukan perempuan. Bukan boneka. Bukan lemah.
Mereka menari seperti sedang bertarung dengan angin.
Lalu ia memandangi tubuhnya di cermin.
Bahu kecil. Lengan kurus.
Ia berdiri dengan posisi first position,
lalu mencoba plié.
Pelan. Dalam. Diam-diam.
“Aku bukan perempuan,” gumamnya pada pantulan itu,
“tapi aku ingin menari.”
Keesokan paginya, ayahnya pulang dari markas.
Senyumnya tidak pernah panjang.
Langkahnya kaku seperti irama sepatu lars.
Tapi ada semacam kebanggaan aneh ketika beliau berkata:
“Shandy katanya mau tampil silat, ya? Bapak siap rekam. Kita tunjukin anak tentara juga bisa!”
Jantung Shandy menjerit.
Silat?
Oh, ya. Ia memang pernah bilang ke guru olahraga bahwa ia mau menampilkan seni bela diri.
Itu sebelum ia tahu bahwa menari bisa membuatnya lebih jujur tentang siapa dirinya.
Di sekolah, Norish menyeret Shandy ke ruang seni.
“Aku udah jahitin kostum cadangan. Kita bisa bikin kamu pakai topeng. Enggak ada yang tahu kamu siapa.”
“Tapi ayahku nonton, Rish.”
“Justru itu. Biar dia lihat kamu bisa. Kamu bukan perempuan. Kamu cuma…
kamu.”
Shandy terdiam.
“Apa kamu malu jadi temanku?” tanya Norish pelan.
"Nggak. Aku malu sama diriku sendiri…”
Dan kalimat itu pecah di tengah.
Di sinilah En Dedans—gerak ke dalam tubuh—menjadi nyata.
Shandy tak hanya dililit oleh ketakutan akan ayahnya, tapi oleh rasa takut yang lebih rumit: takut jadi berbeda.
Takut kehilangan identitas yang sudah dicocokkan padanya sejak kecil.
Tapi juga takut menolak panggilan yang membuat jantungnya menari.
Di panggung imajinasi yang hanya ia tempel di dinding kamarnya,
Shandy menari sendirian malam itu,
dengan topeng kertas,
dengan lampu belajar menyala seperti spotlight.
Ia tahu satu hal:
jika aku tak tampil untuk mereka, mungkin aku bisa tampil untuk diriku sendiri.
Dan itu mungkin awal dari sesuatu yang tidak bisa dibatalkan lagi.
Port de Bras
Ruang seni sore itu sunyi.
Langit menggantung kelabu di luar jendela.
Tirai setengah tertutup seperti panggung yang belum benar-benar siap terbuka.
Di tengah ruang itu, Norish menari.
Langkah kecilnya ringan,
lengan mungilnya melengkung seperti bahasa tubuh para bidadari di kitab lama.
“Shandy, tanganmu harus bicara. Balet itu bukan soal kaki aja.”
Shandy berdiri terpaku.
Bukan pada langkah, tapi pada lengan.
Tangan miliknya terlalu kaku, terlalu defensif.
Ia terbiasa menangkis, bukan mengekspresikan.
“Bayangin kamu sedang pegang dunia,”
kata Norish sambil menuntunnya,
“terus kamu bawa dunia itu ke atas, ke langit. Terus kamu peluk. Terus kamu lepasin…”
Shandy meniru.
Perlahan.
Bahu rileks.
Lengan terbuka.
Dan ada air menggenang di matanya,entah kenapa.
Di sudut ruangan, Bu Elok memperhatikan diam-diam.
Ia kemudian melangkah ke arah mereka.
Tangannya menggenggam dua benda:
sebuah topeng hitam sederhana dan secarik kertas bertuliskan daftar urutan tampil.
“Kalau kamu mau tampil, Shandy, aku akan taruh kamu di segmen terakhir. Dengan topeng. Tapi kamu harus latihan serius.”
Shandy mengambil topeng itu.
Ringan.
Tapi terasa seperti beban dari masa depan.
Di rumah, tangan ayahnya justru sibuk mengoles minyak kayu putih ke kaki Shandy.
“Supaya enggak keseleo pas silat. Kamu pasti bisa. Kamu anak Bapak.”
Shandy diam.
Tangan ayahnya hangat, penuh keyakinan.
Tapi tangan itu juga bisa menghukum,
kalau kecewa.
“Pak…”
"Hmm?”
“Kalau misalnya… aku enggak jadi silat, tapi tampil yang lain, Bapak bakal marah?”
Ayahnya berhenti mengoles.
Sejenak sunyi.
“Tergantung. Kalau kamu jadi badut, Bapak marah.”
Ia tertawa.
Tapi Shandy tidak.
Dan ayahnya menatap lebih tajam, seolah menyadari sesuatu, tapi memilih diam.
Hari H makin dekat.
Norish membawa sepasang sepatu balet kecil berwarna putih gading dan berkata,
“Kalau kamu pakai ini, jangan ragu. Kakimu udah siap. Sekarang tinggal hatimu.”
Dan Shandy hanya menjawab dengan satu gerakan port de bras ke depan, menyilang, lalu terbuka ke samping.
Mungkin tubuh bisa bicara saat lidah tak mampu.
Mungkin tangan bisa menggambarkan impian, bahkan yang tidak diizinkan.
Pentas seni tinggal dua hari.
Di rumah, di sekolah, di mimpinya sendiri, Shandy seperti dua anak: satu yang pakai seragam bela diri, satu yang memegang sepatu balet di balik tas sekolah.
Dan keduanya bersalaman diam-diam setiap malam di bawah lampu tidur.
Tangan ke tangan.
Port de bras dari dua dunia.
Relevé
Pagi itu datang tanpa aba-aba.
Hari pentas seni.
Hari semua anak jadi versi paling lantang dari dirinya sendiri.
Ada yang membawa sulap, ada yang menyanyi, ada yang tampil dengan marching band mini.
Dan ada pula yang masih menyembunyikan siapa dirinya—seperti Shandy.
Ia menatap sepatu putih gading di bawah bangku, samping seragam bela diri yang tergantung rapi.
Keduanya seolah menunggu keputusan, tapi hanya satu yang boleh naik panggung.
Norish datang lebih awal.
Kuncir kembarnya kini dihiasi pita emas.
Tangan kecilnya menarik Shandy ke ruang ganti khusus.
“Sukma kecelakaan, jatuh dari motor. Dia nggak bisa tampil.”
“Aku tahu,” jawab Shandy pelan.
“Aku nggak bisa sendiri, Shand. Semua gerakan duet. Semua cerita. Semua…”
“Aku ngerti.”
Suara Norish mulai bergetar, tapi ia menunduk menahan air mata. Bukan karena takut tampil, tapi karena kehilangan peluang untuk bicara lewat gerak.
“Kalau kamu jadi tampil, aku pakai topeng.”
“Tapi kamu mau?”
“Aku takut. Tapi kalau aku nggak tampil, aku lebih takut lagi.”
Bu Elok mengangguk mengerti.
Ia menyelipkan catatan baru ke daftar penampil:
#34: Penampilan Balet Duet
Norish & … (Tertulis: Anonymous)
Jam terus bergerak.
Ayah Shandy tiba, berseragam tentara dengan badge di dada.
Wajahnya tegas, duduk di baris tengah bersama para wali murid.
Tak ada yang tahu ia adalah ayah dari anonim yang akan tampil di akhir acara.
Shandy mengganti pakaiannya.
Kaus dalam hitam, celana legging longgar, sepatu balet putih.
Sebuah topeng hitam menutupi wajahnya.
Dan jantungnya berdetak seperti genderang perang.
Ketika nomor 33 selesai, panggung gelap.
Lagu klasik mulai dimainkan.
Cahaya naik perlahan.
Norish berdiri di ujung kanan,
dan Shandy di ujung kiri, tubuhnya tegak dalam posisi relevé.
Kakinya bergetar.
Tapi ia bertahan.
Ia menari.
Langkah demi langkah,
lompatan, putaran, tarikan tangan,
gerakan menyilang,
angkat tubuh Norish, putar, lepaskan,
terbang.
Sorakan.
Tepuk tangan.
Mata para guru terkesima.
Dan ayah Shandy hanya berkata pelan,
“Hebat juga anak itu. Siapa ya?”
Tapi saat Norish membungkuk dan menoleh ke arah topeng Shandy,
ia mengangguk kecil.
Mungkin bukan siapa-siapa.
Atau justru: seseorang yang akhirnya berani naik ke panggung dirinya sendiri.
Grand Jeté
Setelah pertunjukan usai, aula sekolah dipenuhi tepuk tangan, tawa, dan pujian yang dilemparkan seperti kembang api di malam perayaan. Orang tua berbaris menjemput anak-anak mereka yang masih berdandan, masih membawa euforia pentas di ujung mata mereka.
Tapi tak ada yang menanyakan siapa “anak bertopeng” di nomor 34.
Tidak satu pun.
Semua hanya ingin mengingat keindahan, bukan mengungkap rahasia.
Semua… kecuali satu orang.
Letkol Adimarsa.
Ayah Shandy.
Ia berdiri di depan daftar tampil yang tertempel di papan pengumuman.
Matanya menyipit saat membaca ulang:
#34: Norish & … Anonymous
“Anonymous?”
Ia menoleh ke guru musik yang lewat.
“Bu, yang tampil balet terakhir itu siapa ya? Luar biasa duetnya.”
Guru itu tertawa ringan.
“Wah, kami juga kagum, Pak. Tapi katanya anaknya minta dirahasiakan. Hanya ingin menari satu kali… sebagai dirinya sendiri. Kami hargai itu.”
Adimarsa diam. Tapi dadanya bergemuruh seperti komando tanpa aba-aba.
Rasa penasaran menggigit nadi.
Ia berjalan keluar, lalu berhenti di taman sekolah.
Dari kejauhan, ia melihat Norish sedang menggandeng seseorang—anak laki-laki bertopi dan berkaus biasa.
Anaknya.
Shandy.
Malamnya, di rumah…
Shandy masuk ke kamar lebih cepat dari biasanya.
Ia menggantung seragam silat yang tak pernah dipakai hari itu.
Di bawah kasurnya, sepatu balet tersembunyi rapi dalam kotak sepatu bergambar dinosaurus—pemberian sang ayah.
Ketukan pintu.
Lalu ayahnya masuk.
Membawa dua gelas susu. Satu untuk dirinya, satu untuk Shandy.
“Bapak bangga kamu latihan silat keras selama ini.”
“Iya, Pak…”
“Tapi hari ini Bapak bangga karena kamu bisa jaga janji juga.”
“Janji?”
“Katanya kamu enggak tampil, tapi kamu tampil. Tapi bukan silat. Bapak nonton.”
Shandy meneguk susunya cepat, seolah bisa menyembunyikan kenyataan.
“Pak, aku… aku cuma mau bantu Norish. Sukma jatuh. Kalau bukan aku, dia nggak bisa tampil.”
Adimarsa tak menjawab
Tangannya merogoh ke saku, mengeluarkan secarik kertas kecil.
Sebuah selebaran:
“Festival Tari Modern untuk Anak. Terbuka untuk semua gender.”
“Kalau kamu mau daftar, pakai nama siapa?”
“Nama asliku, Pak.”
Ayahnya menatapnya dalam-dalam,
“Dengan atau tanpa topeng?”
Shandy mengangkat kepala.
Untuk pertama kalinya malam itu, ia tak takut.
“Tanpa, Pak.”
Grand jeté.
Langkah besar itu bukan hanya di atas panggung.
Tapi di dalam hati—di antara rasa takut dan kejujuran.
Dan hari itu, Shandy melompat jauh.
Bukan dari panggung ke udara.
Tapi dari ketakutan menuju penerimaan.
Coda
Langit berwarna kelabu keperakan, sore yang mengambang di antara rintik dan harapan.
Di sebuah studio tari kecil yang tersembunyi di balik deretan toko buku tua, kaki-kaki kecil berbaris rapi di depan cermin. Ada yang memakai sepatu balet merah, biru, ada pula yang masih belajar mengikat tali pita dengan benar.
Di tengah mereka—Shandy.
Tanpa topeng.
Tanpa rasa bersalah.
Hanya dengan keyakinan yang baru tumbuh: bahwa laki-laki bisa menari seanggun hujan, sekuat guntur, dan seteguh tanah yang mereka pijak.
Norish duduk di samping, membaca ulang catatan koreografi.
“Kita daftar lomba tari duet minggu depan, ya?”
“Serius?”
“Serius banget. Kostumnya udah aku pikirin.”
“Jangan terlalu heboh, ya.”
“Kita anak seni. Heboh itu wajib.”
Mereka tertawa.
Dari luar kaca studio, Letkol Adimarsa berdiri mengamati.
Seragamnya kini lebih lusuh dari biasanya.
Tapi matanya lebih terang.
Ia tak masuk.
Hanya tersenyum melihat anaknya yang kini melangkah bebas.
Mungkin ia tak sepenuhnya mengerti tari.
Tapi ia mulai mengerti:
tak semua keberanian ditunjukkan dengan tegas dan keras.
Ada keberanian dalam kelembutan.
Ada kekuatan dalam gerakan yang melayang.
Dan Shandy telah memilih jalannya sendiri.
Sementara itu, dunia tak berubah banyak.
Masih banyak yang tertawa saat melihat anak laki-laki berdansa.
Masih ada ejekan, masih ada batas-batas purba.
Tapi satu anak laki-laki telah membuat lompatan besar.
Satu anak telah berdiri di panggung dan berkata lewat geraknya:
“Aku ada. Aku berbeda. Tapi aku juga utuh.”
Di bawah cahaya remang panggung,
saat tubuh melayang dalam pas de deux,
penonton tidak peduli siapa yang di balik topeng, mereka hanya tahu: itu indah.
Boy Behind the Veil
sebuah kisah tentang impian, keberanian, dan kasih sayangy ang menari di antara tirai norma dan cahaya jati diri.