Masukan nama pengguna
Tiket Promo, Takdir Bodoh
Ipoh, 09.17 pagi waktu lokal
Suhu: 33°C. Kelembaban: 81%.
Mood: Bingung level Bang Toyib mudik ke planet lain.
Wicak berdiri di depan stasiun Ipoh dengan koper seberat kesalahan masa lalu. Tubuhnya berkeringat, tapi bukan karena cuaca panas. Ia menatap Tommy yang sedang mengunyah keripik udang sambil melirik peta Google Maps terbalik.
“Bro, ini Malaysia... tapi rasanya kayak... Cirebon versi kolonial ya?” kata Wicak, menghapus peluh dengan saputangan bermotif Doraemon.
“Cirebon kepala lo! Ini Ipoh. Kota tua. Bersejarah. Katanya banyak kopi, banyak mural, banyak cewek Instagramable. Makanya gue ikut,” jawab Tommy, dengan nada bangga seperti baru saja menemukan Atlantis.
Mereka berdiri bengong. Di sekeliling mereka, orang-orang tampak tahu ke mana mereka akan pergi. Sementara dua pria 40-an ini justru memegang tiket kereta lama yang sudah hangus masa berlakunya dan koper yang... bukan milik mereka.
“Cak... ini koper siapa?” Tommy menatap koper cokelat lusuh yang mereka ambil dari rak bagasi. Ada inisial "Z.T" dan kode Jangan dibuka kecuali Anda siap lari zigzag.
“Tadi lo yang ambil,” tuduh Wicak.
“Tadi lo yang ngasih!”
“Tadi lo yang bilang, ‘ambil aja, yang ini glossy!’”
“Tadi gue kira itu kode keberuntungan!”
“Tadi gue kira lo punya IQ!”
Mereka berdebat dengan intensitas sinetron primetime. Lalu Wicak, yang paling tidak tahan dengan ketidakpastian, membuka koper itu.
Isi koper:
Satu ikat uang Ringgit yang bahkan lebih banyak dari gaji pensiun direktur BUMN.
Tiga paspor. Satu dengan wajah pria botak mirip Tommy.
Sebuah peta lusuh dengan simbol mata satu dan gambar toilet umum.
Sebungkus kopi bubuk berlabel Kopi 8 Rasa: Warisan Terakhir.
“Oke... ini bukan koper kita,” kata Wicak, perlahan.
“Tapi takdir udah membuka jalan. Dan lo tahu, gue selalu percaya sama... insting aroma,” ujar Tommy sambil mencium bubuk kopi dan... bersin keras.
Tiba-tiba, seseorang menepuk pundak mereka.
Seorang perempuan berjaket hitam, berkacamata hitam, dan berlogat Melayu berkata:
“Maafkan saya. Itu koper... bukan milik anda. Dan jika anda tidak mau kehilangan ginjal kanan, ikut saya diam-diam, sekarang.”
Wicak dan Tommy saling pandang.
“Tommy... lo ingat film Mission Impossible?”
“Ingat.”
“Kita lagi ada di film... Mission Absurdable.”
Mereka langsung berlari.
Koper di tangan. Otak di awang-awang.
Suara teriakan, klakson becak, dan tukang cendol menyatu dalam simfoni kekacauan. Ipoh jadi panggung komedi gelap, dan mereka—dua pria 40-an yang cuma mau ngopi dan healing—malah masuk dalam teka-teki kolonial, konspirasi kopi, dan kemungkinan besar daftar orang hilang.
Koper, Komplotan, dan Kejar-kejaran
Ipoh Old Town, 09.36 pagi waktu lokal
Kondisi: Dua pria lari dari agen bersenjata sambil bawa koper yang bisa menyebabkan Perang Dunia Kopi.
Catatan mental: Jangan buka koper orang asing, apalagi kalau ada tulisan “Jangan dibuka kecuali Anda siap lari zigzag.”
“Wicak! Belok kiri!”
“Gue gak bisa belok kiri kalau lo ada di kanan gue!”
“Ya udah, belok kanan terus langsung kiri keras!”
“Itu mah muter doang, Tom!”
Dua pria 40-an ini berlari dengan gaya yang jauh dari atletik: napas megap-megap, lutut ngilu, dan suara sendal jepit menghantam aspal seperti orkestra putus asa. Di belakang mereka, dua pria berjas hitam dan wanita berjaket kulit masih mengejar dengan langkah penuh tekad dan... pistol.
“Wicak, lo inget gak? Ini mirip kayak scene di Bourne Identity,” ujar Tommy, sambil mengintip ke belakang.
“Bedanya, kita bukan Bourne. Kita ‘Born to be kacau’,” jawab Wicak.
Mereka masuk ke gang sempit, berbelok ke belakang sebuah toko kamera jadul bernama "Kilat & Kenangan", lalu tanpa sadar menabrak becak motor tua yang sedang parkir. Sang tukang becak menatap mereka tanpa ekspresi, seolah menyaksikan telenovela tanpa subtitle.
“Pak! Tolong! Kita diserang agen rahasia!”
“Saya cuma tukang becak, bukan Marvel Avenger,” jawabnya datar.
“Tapi ini darurat, kita bawa... koper sensitif!”
“Mau naik atau mau terus debat sampai nyawa hilang?”
Wicak lompat ke belakang becak, sementara Tommy nekad naik sepeda tua yang parkir di sebelah. Dua musuh mereka tampak muncul dari sudut gang seperti bos level terakhir game arcade.
“Wicak, ini baru ‘healing’ ekstrim,” ujar Tommy sambil mengayuh sepeda dengan cara yang membuat rantainya bunyi seperti keroncong.
Di Atas Becak, Di Tengah Histeria
Di tengah terik matahari Ipoh, pengejaran paling absurd abad ini berlangsung:
Tommy, dengan wajah seperti bapak-bapak terlambat antar anak ke sekolah, mengayuh sepeda sambil bawa peta.
Wicak, berpegangan pada becak yang menabrak trotoar setiap tiga meter, teriak panik sambil peluk koper erat-erat seperti pelukan mantan yang gak move on.
Musuh? Mereka naik skuter listrik. Dan terlihat jauh lebih keren.
“Kita butuh tempat ngumpet, Tom!”
“Coba cari... tempat yang gak masuk Google Maps!”
“Toilet umum tua gimana?”
“Lu yakin?”
“Kalo di film-film, toilet tua itu selalu punya pintu rahasia.”
Akhirnya mereka berhenti di sebuah bangunan lapuk bertuliskan "TANDAS AWAM / PUBLIC TOILET – Dibina 1907".
“Tandas?” tanya Tommy.
“Toilet,” jawab Wicak.
“Kenapa tandas?”
“Itu kata orang Melayu. Fokus woy!”
Peta, Pintu Rahasia, dan Petunjuk Kode Kloset
Di dalam toilet kolonial yang beraroma sejarah dan kenangan pahit, mereka membuka peta lusuh dari koper. Ada simbol mata satu... dan lingkaran merah di salah satu kloset jongkok.
Tommy mendekati kloset.
“Gue gak yakin ini portal atau jebakan septik,” bisiknya.
“Gue rasa kita harus muter flush dua kali. Kode gitu.”
“Bro... lo nonton terlalu banyak Indiana Jones versi Indosiar.”
Dengan pasrah, Tommy memutar tuas flush dua kali.
Klik.
Tembok di belakang kloset bergeser... terbuka perlahan.
Lorong gelap terbuka. Ada tangga menurun. Di dalamnya, samar-samar, terdengar suara tetesan air dan... aroma kopi menyengat.
“Tommy...”
“Ya?”
“Kayaknya kita barusan... nemu bunker rahasia. Di balik toilet umum. Di kota Ipoh. Karena tiket promo.”
Mereka saling tatap. Napas masih ngos-ngosan. Tapi mata mereka... berbinar.
“Kita lanjut, Wicak?”
“Tentu, kita udah terlalu tua buat hidup normal.”
Dan mereka pun turun ke dalam lorong, menyisakan pintu toilet yang menutup kembali secara otomatis, seolah kota ini menyembunyikan rahasianya hanya untuk dua orang paling gak masuk akal yang pernah menginjakkan kaki di sana.
Petunjuk Kopi dan Kode Toilet
Lokasi: Lorong bawah tanah, Toilet Umum Kolonial, Ipoh
Waktu: 09.52 pagi
Mood: Gabungan antara rasa ingin tahu, takut, lapar, dan nyesel nggak sarapan nasi lemak.
Tangga sempit itu dingin dan lembab, terbuat dari batu tua dengan jejak lumut dan aroma seperti perpaduan kopi basi, sejarah terlupakan, dan bau sepatu sekolah anak SD. Cahaya remang dari lampu neon tua berkedip-kedip seolah ikut bingung kenapa dua orang pria paruh baya masuk ke bunker lewat toilet umum.
Wicak menyalakan senter ponsel. Tommy menyimpan koper di punggung seperti sedang bawa bayi naga.
“Bro, ini... kenapa ada tangga kayak ginian di balik WC?”
“Lo nanya seakan ini normal. Ini Malaysia, bukan Hogwarts.”
“Tapi kenapa di peta ada simbol mata satu? Ini apa, Illuminati Kopi?”
“Gue takut ini malah... MLM beraroma sejarah.”
Mereka tiba di ruang batu dengan meja kayu besar, rak-rak penuh tabung kaca, dan... satu mesin penyeduh kopi kuno sebesar kulkas dua pintu, dengan ukiran Royal Steam Extraction Unit dan lambang Kerajaan Inggris.
Di dinding ada peta lain. Lebih rinci. Bertuliskan:
"Kopi 8 Rasa: Disimpan. Dijaga. Dilupakan."
Lalu tanda panah menunjuk:
Gua Tempurung – Kapsul Biji ke-8
Interogasi Aroma
Tiba-tiba, mesin kopi kuno menyala sendiri. Suara mendesis dan uap menyembur seperti kereta tua. Di bagian tengah, muncul laci kecil yang otomatis terbuka. Di dalamnya: selembar catatan tua.
"Siapa pun yang membaca ini, tahu satu hal:
Anda tak sengaja masuk sejarah.
Jangan minum kopi ini sembarangan.
Rasa ke-8... membangkitkan yang tersembunyi."
“Bro... ini makin kayak film National Treasure dicampur kopi Kapal Api rasa mistis,” kata Tommy sambil menatap Wicak.
“Dan lo sadar gak, mesin ini... bentuknya mirip mesin pres jamu milik nenek gue,” sahut Wicak.
“Gue rasa ini bukan sekadar alat seduh. Ini... kunci.”
“Kunci buat?”
“Plot twist.”
Pencarian Berlanjut
Mereka membawa catatan itu dan menandai lokasi di Google Maps. Tapi Gua Tempurung letaknya cukup jauh, dan satu-satunya kendaraan mereka sebelumnya… sudah dikerumuni tukang parkir.
Tommy mengangkat ide brilian:
“Kita harus nyamar.”
“Nyamar jadi siapa?”
“Rombongan turis Korea.”
“Gue gak bisa nyanyi K-pop, bro.”
“Tenang, gue udah pernah jadi pemandu gadungan di Ancol.”
“Gue gak tau bagian mana dari itu yang bikin tenang...”
Kembali ke Atas
Mereka keluar dari toilet kolonial dengan pakaian yang mereka ambil dari lemari lama di bunker: topi baret, jaket retro turis Inggris, dan bros pemandu wisata tahun 1965.
Anehnya... cocok.
Saat mereka keluar dari pintu toilet, dua agen pemburu koper terlihat dari kejauhan—tapi tidak mengenali mereka karena nyamar absurd itu.
“Gue rasa... kita bisa kabur. Tapi kita butuh kendaraan.”
“Liat tuh. Bus turis berhenti depan sana,” kata Tommy menunjuk.
Mereka langsung bergabung dengan rombongan turis Korea Selatan yang sedang foto-foto mural. Wicak menyamar sebagai guide lokal:
“Okay everybody, we go to... Guwa Tempurungg. Very historic. Also spicy!”
“Spicy?” tanya salah satu turis.
“Yes. Spicy history.”
Mereka pun naik ke bus, duduk di bangku belakang sambil meremas-remas koper dan ketakutan. Tapi... dalam hati mereka tahu:
Petualangan belum selesai. Kopi belum diseduh. Dan mungkin... dunia belum siap dengan rasa ke-8.
Keturunan Komplotan Kopi
Lokasi: Dalam Bus Pariwisata Rombongan Korea, menuju Gua Tempurung
Waktu: 11.04 siang
Kondisi: Kepanasan, nyamar sebagai pemandu wisata, membawa koper misterius yang mungkin bisa meledak atau... menyeduh sejarah.
Wicak duduk di jok belakang bus sambil mengipasi wajah dengan brosur “Ipoh in 3 Hours.” Tommy di sebelahnya sibuk mencoba belajar bahasa Korea dari aplikasi ponsel yang terus-terusan salah dengar aksennya.
“Cak… kita ini lagi dalam misi apa sih sebenernya?”
“Lo yang ikut gue.”
“Lo yang buka koper.”
“Lo yang salah ambil koper.”
“Lo yang bilang ‘ambil yang glossy’!”
“Oke, kita sepakat. Ini salah sistem.”
Bus berhenti di depan pintu masuk Gua Tempurung. Turis Korea turun sambil foto-foto. Wicak dan Tommy turun belakangan, mencoba tetap tampil sebagai pemandu dan kru dokumentasi yang... tidak terlalu banyak bicara.
Di Dalam Gua Tempurung
Gua itu megah, sunyi, dan lembab. Tetesan air dari stalaktit membentuk musik latar horor natural. Di dinding gua, Wicak melihat simbol serupa dari peta koper: mata satu dengan bintang delapan.
“Tom, ini bukan gua biasa. Ini… situs pemujaan rasa kopi?”
“Atau situs turis mabuk yang salah ngopi.”
Mereka menuruni jalur setapak, menjauh dari keramaian turis. Sampai akhirnya... mereka tiba di sebuah sumur batu tua yang dijaga oleh pria tua berjubah putih dengan topi anyaman dan sebatang tongkat bambu.
Penjaga Sumur & Keturunan Hilang
“Wicak...?”
“Siapa... Bapak siapa?”
“Namamu lengkap, Wicaksana Mahesa Pradipta bin Darsono bin Gunawan?”
“Eee... iya, tapi biasanya orang cuma panggil Wicak aja, Pak.”
“Kau keturunan penyeduh generasi keempat. Warisan itu ada dalam darahmu.”
Tommy berbisik:
“Cak… ini makin kayak Star Wars versi franchise warung kopi.”
“Gue takut tiba-tiba disuruh menyeduh sambil duel pedang.”
Penjaga membuka tutup sumur. Di dalamnya, tergantung wadah kaca berisi satu biji kopi berwarna emas gelap.
“Ini biji ke-8. Diseduh hanya jika dunia siap menerima rasa… kebenaran.”
“Gue baru siap nerima rasa cappuccino dingin,” kata Tommy.
Banjir Kejaran
Sebelum Wicak sempat menjawab, suara sepatu berlari terdengar menggema. Dua pria berjas hitam dan wanita jaket kulit dari kejar-kejaran sebelumnya muncul, lengkap dengan alat pemindai dan... granat asap.
“Berikan biji itu. Atau... kita buat gua ini runtuh,” ancam si perempuan dengan nada tenang tapi psikopat.
Wicak spontan refleks: menelan biji kopi itu.
Tommy menatapnya seolah sahabatnya baru saja menelan iPhone.
“Cak... APAAN YANG LO LAKUIN??”
“Gue... gak sempat mikir. Panik.”
“Itu bukan permen, itu mungkin biji mistis dari masa lalu, bro!”
“Gue lapar! Insting gue bilang ‘telan aja’!”
Efek Samping yang Tak Terduga
Seketika, Wicak muntah uap. Matanya membesar. Ia bicara cepat dalam tiga bahasa: Jawa, Latin, dan… sepertinya Bahasa Portugis. Tangannya bergerak aneh seperti menyeduh kopi dalam slow motion.
“Gue rasa... biji itu aktif, Tom.”
“Lo jadi barista spiritual?”
Dinding gua bergetar. Sumur retak. Mesin tua di balik batu muncul ke permukaan. Wicak secara ajaib tahu cara menyalakannya.
“Ini... mesin penyeduh terakhir. Rasa ke-8... harus keluar sekarang. Atau dunia akan lupa cara membedakan kopi dan konten.”
Lari dari Lembah
Lokasi: Dalam Gua Tempurung, Ipoh
Waktu: 12.33 siang
Status: Kacau. Sangat kacau.
Catatan singkat: Satu biji kopi membuat Wicak berubah jadi Barista Setengah Dewa. Tommy belum siap mental.
Mesin penyeduh uap legendaris—Royal Steam Extraction Unit—muncul dari bawah tanah dengan suara sssshhhhhkkttthhhhkkkttt seperti teko air mendidih yang belajar beatbox. Wicak, yang seharusnya manusia biasa, tiba-tiba bisa mengatur tuas mesin sambil bicara dalam Bahasa Belanda kuno:
“De koffie komt terug naar het rechtvaardige...”
Tommy menatapnya dalam horor.
“Lo kerasukan barista zaman VOC, Cak!”
“Ini bukan kerasukan... ini pencerahan!”
Uap menyembur. Para pengejar mereka panik. Salah satu agen berteriak:
“Hentikan! Kalau rasa ke-8 diseduh, kita kehilangan kendali atas pasar global!”
“Gue gak peduli pasar, gue cuma mau hidup dan punya uang buat sewa Netflix!” sahut Tommy, lalu menyambar koper dan... melemparkan granat aroma dari rak mesin.
BOOM.
Asap kopi memenuhi gua. Bau robusta, arabika, dan kenangan masa kecil tumpah ruah. Para pengejar pingsan. Wicak muntah satu kalimat:
“Sajikan dengan suhu 92 derajat. Dengan hati yang ikhlas…”
Pelarian ke Sungai Kegelapan
Wicak dan Tommy kabur lewat terowongan kecil yang hanya muat tubuh seukuran mid-life crisis. Di ujung, mereka menemukan perahu getek dengan mesin tempel 1.5 PK dan bendera Malaysia mini.
“Lo bisa nyetir perahu?” tanya Wicak, napas masih berbau kopi spiritual.
“Gue pernah main Need for Speed versi air,” sahut Tommy.
Mereka meluncur di sungai gelap, hanya diterangi cahaya dari jam tangan Wicak yang sudah retak. Di belakang, suara teriakan agen bangun kembali dan mengejar dengan perahu motor sungguhan.
“Gue rasa kita gak bisa lawan mereka dengan kecepatan...”
“Tapi bisa dengan aroma!”
Wicak membuka koper, mengeluarkan bubuk Kopi 8 Rasa, dan menaburkannya ke mesin perahu. Mesin mengerang. Lalu… melesat.
Kejar-Kejaran Super Kopi
Tommy mengemudi seperti stuntman yang habis ditolak bayarannya. Wicak berdiri di ujung perahu sambil menyiramkan sisa kopi ke sungai. Air jadi kecoklatan. Agen di belakang batuk-batuk karena uap harum kopi yang menusuk hidung.
“Cak, lo bikin sungai ini jadi Americano raksasa!”
“Ini Espresso of Freedom, bro!”
Perahu mereka menabrak turap, melompat sedikit ke udara, dan... mendarat di sebuah pasar malam di pinggir Ipoh. Orang-orang bertepuk tangan mengira ini pertunjukan seni modern.
“Terima kasih, terima kasih. Kami dari grup Seni Kopi Kontemporer Kena Tabrak,” ujar Tommy sambil membungkuk ke arah penonton.
Pelarian Sementara
Mereka sembunyi di balik kios sosis bakar dan minuman susu madu. Wicak kembali normal, meski sempat menyeduh kopi dari termos penjual dengan cara seperti ritual Tibet.
Tommy menyandarkan kepalanya ke tiang listrik.
“Cak... kita ini lagi ngapain sih?”
“Gue juga gak ngerti. Tapi rasanya... kita deket banget sama kebenaran.”
“Kebenaran itu... lo turunan penyeduh ajaib.”
“Dan lo sahabat yang siap kabur kapan aja.”
“Lo sadar gak? Dari awal kita cuma mau... healing.”
Mereka tertawa. Lalu terdiam.
Di kejauhan, terdengar suara mesin skuter. Para pengejar belum selesai.
Ledakan Kopi & Plot Twist
Lokasi: Pasar Malam Gunung Rapat, Ipoh
Waktu: 14.07 siang
Kondisi: Lapar, ngos-ngosan, dikejar agen gelap, dan berada di tengah pasar yang menjual tahu goreng isi Nutella.
Suasana: Gado-gado antara pelarian dan liburan.
Tommy menggigit roti telur isi keju yang ia beli dengan uang pecahan ringgit yang entah dari mana. Wicak sedang mencoba mengakses sinyal WiFi dari warung kopi keliling. Tapi pikirannya bukan tentang koneksi, melainkan: Apa makna hidup setelah lo menyeduh mesin kolonial dan muntah kata-kata dalam Bahasa Latin?
“Tom, kita harus selesaikan ini,” kata Wicak serius.
“Lo mau lawan agen rahasia? Dengan apa? Biji kopi dan keyakinan?”
“Gak. Tapi gue punya ide yang lebih gila.”
“Gue takut lo bilang ‘buat konten TikTok’.”
“Bukan. Kita seduh biji ke-8 di tempat umum. Live. Biar dunia lihat.”
“Dan kalau biji itu ternyata bom rasa atau mesin waktu?”
“Setidaknya kita meledak dengan rating tinggi.”
Lokasi Final: Benteng Biru, Bekas Gudang Kolonial
Mereka kabur naik angkot lokal dengan sopir yang menyetel lagu dangdut koplo nonstop. Tujuan mereka: Benteng Biru, bangunan peninggalan Inggris yang kini jadi tempat sewa studio foto pre-wedding dan cosplay.
Dengan menyamar sebagai kru konten kreator, Wicak dan Tommy membawa masuk mesin penyeduh, koper, dan kamera ponsel di tripod. Di layar muncul notifikasi:
"LIVE STARTED: PENGUNGKAPAN RASA TERLARANG #Kopi8Rasa"
Pertunjukan Terakhir
Di hadapan kamera dan orang-orang yang kebetulan lewat, Wicak mulai menyeduh biji kopi ke-8 dengan tangan gemetar.
Mesin mendesis. Uap mengepul. Aroma menusuk—campuran rasa nostalgia, kecemasan, dan sedikit bau sandal baru. Semua terdiam.
“Ini rasa... kebenaran,” kata Wicak.
“Apa itu artinya?” bisik Tommy.
“Gak enak tapi bikin sadar.”
Tiba-tiba, agen rahasia masuk. Senjata terangkat.
Tapi sebelum mereka bisa menembak, uap dari mesin menyebar ke seluruh ruangan.
Semua jadi lambat.
Agen mulai batuk. Kamera mati. Lampu berkedip. Mesin meledak… dalam ledakan aroma, bukan api. Seisi gudang dipenuhi kabut harum kopi.
“Mereka pingsan?”
“Atau tercerahkan. Gue gak yakin.”
Plot Twist Besar: Bukan Sembarang Kopi
Seorang pria paruh baya, berpakaian jas safari dan membawa map tua, muncul dari balik kabut. Ia memperkenalkan diri:
“Saya Tan Sri Khairuddin bin Halim, anggota terakhir Dewan Kopi Internasional. Kami sengaja menyembunyikan rasa ke-8 karena... terlalu kuat. Bisa membuat manusia bicara jujur.”
“Kenapa kalian sembunyikan?”
“Karena kejujuran adalah ancaman bagi semua pasar.”
“Gue pikir ancaman terbesar tuh... utang KPR,” ujar Tommy lirih.
Tan Sri menghela napas.
“Tapi sekarang dunia berubah. Dan kalian... dua idiot dari Indonesia... sudah membukanya.”
Wicak menatap Tommy.
“Kita harus buat keputusan.”
“Apa? Lapor ke PBB? Buka franchise?”
“Lebih dari itu.”
Pilihan Akhir
Wicak mengambil sisa bubuk biji kopi dan melemparkannya ke dalam mesin sekali lagi.
“Untuk semua yang butuh kebenaran... dalam secangkir kecil.”
Mesin menyembur lagi, kali ini... sebagai simbol revolusi rasa. Kamera live kembali menyala.
Di seluruh dunia, orang melihat: dua pria 40-an di Ipoh menyeduh sesuatu yang membuat semua tertunduk hening. Di komentar:
“WTF IS THIS BUT I’M CRYING.”
“Smells like healing.”
“I need this coffee now.”
Pulang, Pusing, dan Panggilan Lain
Lokasi: Bandara Sultan Azlan Shah, Ipoh
Waktu: 09.00 pagi, esok harinya
Cuaca: Cerah. Hati: Campur aduk kayak kopi sachet 3-in-1 dicampur air mata.
Wicak duduk di ruang tunggu, mengenakan hoodie bertuliskan “I Brewed the Truth”—kaus hasil cetakan dadakan yang dijual seharga RM70 per biji setelah video mereka viral. Tommy berdiri di dekat vending machine, memandangi pilihan minuman yang... tidak satupun bisa dibandingkan dengan rasa ke-8.
“Cak... lo sadar gak, kita viral banget?”
“Iya. Tapi kita belum dapet endorse.”
“Gue dapet. Dari akun kopi artisan vegan bebas gluten.”
“Gue dapet... tawaran wawancara dari BBC. Tapi kayaknya hoaks.”
“Lo inget awalnya kita cuma mau... ngopi murah.”
Mereka tertawa. Lelah, tapi puas. Seperti dua pria 40-an yang berhasil menaklukkan sejarah—bukan dengan senjata, tapi dengan rasa.
Flashback: 6 Jam Sebelumnya
Setelah ledakan aroma di Benteng Biru, para agen misterius satu per satu kabur, pingsan, atau... mendaftar jadi barista di kafe lokal. Tan Sri Khairuddin memberi mereka dua pilihan:
“Kalian bisa bekerja bersama kami... jadi penjaga rasa dunia.”
“Atau?”
“Pulang ke Jakarta. Hidup tenang. Tapi dengan satu syarat: jangan pernah menyeduh kopi ke-8 lagi.”
Wicak menatap Tommy.
“Gimana, bro?”
“Gue sih... mending pulang. Tapi buka kedai kopi.”
“Namanya?”
“Terseduh di Ipoh.”
“Gue setuju. Tapi ada jam operasional?”
“Jam bebas. Rasa gak bisa diatur.”
Sekarang: Panggilan Terakhir
Suara dari speaker:
“Panggilan terakhir untuk penumpang Wicaksana Mahesa dan Tommy Gunawan dengan tujuan Jakarta... harap segera menuju gerbang keberangkatan.”
Mereka berjalan ke boarding gate.
Wicak membawa koper—sekarang berisi catatan-catatan sejarah, satu sachet biji ke-8 (disegel permanen), dan satu kantung plastik oleh-oleh berisi teh tarik sachet.
Tommy membawa dua hal: paspor dan keyakinan bahwa hidup tak perlu selalu masuk akal.
Epilog Singkat: 3 Bulan Kemudian
📍Kemang, Jakarta Selatan
Sebuah warung kopi kecil bernama Terseduh di Ipoh berdiri di pojok gang. Di dalamnya, tidak ada Wi-Fi. Tapi ada satu menu yang tidak tertulis:
"Kopi Tanpa Nama – hanya untuk yang siap jujur."
Dan di dinding, terpampang foto dua pria tertawa di bawah mural bergambar mesin kopi uap kuno, dengan tulisan tangan:
“Jangan pernah remehkan tiket promo dan rasa penasaran.”