Masukan nama pengguna
Si Pengacau Baru
Panti Jompo Bahagia Sejahtera. Nama yang terdengar seperti surga kecil bagi para sepuh. Tempat di mana teh diseduh dengan sabar, rematik dipijat dengan penuh cinta, dan pagi dimulai dengan doa dan bubur hangat.
Tapi sejak Pak Dul datang, tempat ini lebih mirip warung kopi tengah pasar: ramai, penuh gosip, dan kadang... ada sandal di freezer.
“BU LASTRI, ITU SANDAL IBU DITEMUKAN DI DALAM KULKAS!”
teriak Mbak Ayu, perawat muda penuh semangat yang terlalu polos untuk dunia seperti ini.
Bu Lastri langsung menyembul dari balik jendela kamarnya.
“Astagfirullah... sandal saya beku! Kenapa sandal saya kayak nugget?!”
Semua penghuni panti berkumpul di aula, membawa rasa penasaran, dendam, dan segelas teh.
“Ini pasti ulah Pak Dul!” tuduh Pak Bowo, sambil menunjuk dengan sendok bubur.
“Eh, eh, jangan asal nuduh, Pak!” Pak Dul mengangkat tangan, duduk santai di kursi goyang, memegang koran minggu lalu dan mengenakan topi fedora miring ala detektif pensiun. “Saya ini baru bangun. Masih ngantuk. Sandal ibu masuk kulkas? Jangan-jangan... sandal itu punya cita-cita jadi es lilin.”
“Tuh kan! Lihat saja, bercandanya absurd!”
Bu Lastri mendengus, “Zaman saya jadi guru, murid kayak gini saya suruh bersihin WC sekolah!”
Pak Dul tersenyum licik.
“Kalau Bu Lastri dulu guru, berarti saya muridnya dong? Wah, jadi nostalgia ini... Eh, bu, nilai PPKn saya waktu itu berapa ya? Saya lupa. Soalnya ibu suka ngasih nilai berdasarkan zodiak.”
Semua tergelak. Kecuali Bu Lastri. Matanya melotot. Bibirnya bergetar.
“Kau keterlaluan, Dul!”
Hari-hari selanjutnya makin rusuh.
Hari kedua, speaker mushola tiba-tiba nyetel lagu TikTok.
Hari ketiga, kasur Pak Tono ditemukan di taman belakang—penuh daun dan secarik kertas bertuliskan ‘Salah Posisi’.
Mbak Ayu sampai menulis laporan harian dengan capslock:
“HARI INI TIDAK ADA YANG NORMAL. SALAHKAN DUL.”
Namun, Pak Dul tetap kalem.
“Saya cuma mencoba membuat hidup di sini lebih... hidup,” ujarnya saat disidang informal di ruang makan. “Kalian semua kelihatan kayak mau nyambut malaikat maut tiap hari. Mana semangat kalian?”
“Semangat kami ikut pensiun, Dul!” seru Pak Bowo.
“Tuh kan. Makanya, saya bantuin. Hidup itu harus seperti celana dalam: meski tersembunyi, tetap punya peran penting.”
Semua terdiam. Tak tahu harus marah... atau ngakak.
Namun di balik kekacauan itu, ada satu orang yang selalu tersenyum: Mbak Ayu.
Ia memang paling muda di antara semua makhluk penghuni panti itu. Tapi ia juga satu-satunya yang tak takut menghadapi teror Pak Dul.
“Menurutku Pak Dul lucu, kok. Kayak... badut tua, gitu,” bisiknya ke Bu Murni.
Bu Murni mendengus. “Badut? Badut itu lucu. Dia? Licik!”
“Dia cuma kesepian, Bu... Mungkin ngerasa gak dianggap. Jadi dia pilih dianggap biar dimarahin.”
Bu Murni terdiam sejenak. “Hmm... kamu terlalu banyak nonton film Korea.”
Lalu... pagi itu datang.
Hari ke-15.
Jam dinding baru menunjukkan 05.25, tapi aula sudah ramai.
Si Manis, kucing kesayangan panti, hilang.
Dan seperti gravitasi sosial yang tak bisa ditolak...
Semua kepala menoleh ke Pak Dul.
Yang, seperti biasa, hanya mengangkat bahu sambil menguap.
“Lho? Kucing? Hilang? Saya juga kehilangan cinta pertama saya, tapi nggak heboh begini.”
Kasus Si Manis yang Hilang
“SI MANIS HILANG?!”
Teriakan itu menggema di aula seperti pengumuman darurat dari Presiden.
Si Manis, kucing berbulu oren kekuningan dengan gaya jalan malas dan tatapan menghina, adalah maskot tak resmi Panti Jompo Bahagia Sejahtera. Dia tidak pernah peduli siapa yang ngasih makan, tapi semua orang menganggap dialah pemersatu panti—lebih dari Bubur Ayam Jumat atau kunjungan mahasiswa KKN.
“Terakhir saya lihat dia tidur di atas kasur Pak Dul!” kata Bu Lastri sambil menunjuk dramatis.
Pak Dul baru saja duduk dan belum sempat membuka bungkus roti sobek.
“Saya? Mana mungkin! Saya ini alergi kucing! Lihat bulunya saja—AH-CHIIIIUUUHH!”
Ia bersin seperti efek suara sinetron, lengkap dengan dramatisasi mundur dua langkah dan muka memerah.
Pak Bowo ikut nimbrung, “Tapi tadi pagi saya lihat kasur Pak Dul ada jejak kaki kecil dan... sisa makanan basah.”
“Saya makan bubur tumpah!” elak Pak Dul cepat.
“Bubur tumpah kok baunya kayak ikan kaleng,” gumam Bu Murni, tajam seperti jarum infus.
Pembentukan Tim Investigasi
Maka terbentuklah tim investigasi mendadak:
Bu Lastri: mantan guru matematika, pemimpin teliti yang percaya semua masalah hidup bisa dipecahkan dengan rumus akar kuadrat.
Pak Bowo: mantan dosen teknik sipil, suka berpikir berlapis seperti strukturnya.
Bu Murni: jenderal senior, hanya bicara bila perlu, tapi suaranya bisa membuat lampu padam karena takut.
Mbak Ayu: notulen merangkap mediator, yang membawa catatan dengan stiker Hello Kitty demi menetralkan tensi lansia.
Mereka menyebut diri mereka: Tim Anti-Dul.
(“Saya sih gak setuju namanya itu,” kata Mbak Ayu, “kesannya kayak dendam pribadi banget.” Tapi tidak ada yang dengar karena Bu Lastri sibuk menggambar diagram silang persegi panjang dan alur kronologis hilangnya Si Manis.)
Penyelidikan Dimulai
Langkah pertama: sidak kamar Pak Dul.
Mereka menyerbu saat Pak Dul sedang mencukur kumisnya dengan silet dan kaca pembesar.
“E-eh, permisi? Saya ini lagi ujian sabar, jangan diganggu.”
“Di mana kucingnya, Dul!” bentak Bu Lastri.
Pak Dul melongo. “Kucing? Saya cuma punya luka batin.”
Pak Bowo mulai mengendus-ngendus.
“Hmm… ini bau kucing.”
“Bau saya! Saya minum jamu kucing garong!”
“Kenapa kamu minum jamu itu?”
“Biar awet muda… dan cepat lupa mantan.”
Sementara itu, Bu Murni memeriksa lemari Pak Dul.
Isinya:
Sebungkus keripik singkong rasa bawang
Poster Wulan Guritno tahun 1998
Sandal jepit yang bukan miliknya
Dan sebuah... kunci besi tua yang mencurigakan
“Ini kunci gudang belakang,” gumam Bu Murni.
“Lho, kok bisa nyasar ke situ ya?” tanya Pak Dul, matanya menghindar seperti anak SD habis ngupil dan ketahuan.
“Kita cek ke sana. Sekarang.”
Menuju Gudang
Gudang belakang panti jompo dikenal sebagai ‘area terlarang’, bukan karena horor, tapi karena isinya campur aduk: kursi rusak, koper tua, treadmill yang sudah lama pensiun sebelum pemiliknya.
Pak Dul ikut digiring, dengan ekspresi seperti tahanan KPK yang masih ngotot bilang “ini semua rekayasa politik”.
Mbak Ayu membuka kunci perlahan.
Kriiieeekkk.
Dan di dalamnya…
Terdengar suara “Meowww...” pelan.
Disusul suara "Buuuurrppp…" lebih pelan.
Semua menoleh.
Si Manis sedang tidur di atas tumpukan bantal. Di sebelahnya, kaleng sarden terbuka.
Semua hening. Lalu serempak:
“PAK DUL!!!”
Pak Dul mengangkat tangan tinggi-tinggi.
“Demi usia lansia saya, saya bersumpah, saya tidak menculik! Kucing itu masuk sendiri! Dia… mau numpang nostalgia!”
“Dengan bantal, sarden, dan udara sejuk gudang?!” hardik Pak Bowo.
“Ya. Kucing juga butuh liburan. Hidup di panti penuh tekanan.”
Mereka nyaris pingsan karena emosi... atau tawa. Tak bisa dibedakan.
Pengadilan Lansia & Barang Bukti Tak Bermoral
Aula utama Panti Jompo Bahagia Sejahtera berubah fungsi pagi itu.
Meja makan disusun seperti ruang sidang.
Taplak meja motif bunga disulap jadi karpet merah tua.
Kursi roda dijajar sebagai “bangku juri”.
Dan Pak Dul, si terdakwa, duduk dengan tenang di bangku plastik warna biru, mengenakan baju batik dan topi pet putih—mirip preman tobat yang baru selesai ikut arisan RT.
“Dengan ini, kami nyatakan sidang kasus ‘Hilangnya Si Manis dan Penemuan Gudang Misterius’ dibuka!”
Bu Murni mengetukkan tongkat ke lantai, layaknya palu hakim.
“Ehem,” Pak Dul berdiri, “boleh saya menyanyikan lagu pembuka?”
“Duduk, Dul!” serentak tiga orang bersuara.
Barang Bukti Diumumkan
Pak Bowo maju ke depan membawa kardus. Diangkat satu per satu:
1. Kaleng sarden kosong.
2. Bantal empuk bertuliskan “Hotel Mewah 2012.”
3. Majalah Gadis Sampul 1987 dengan halaman tengah lecek.
4. Boneka Doraemon botak.
5. Celana dalam Hello Kitty ukuran dewasa.
“Yang ini... mohon jangan ditanya ya,” Pak Bowo meletakkan barang terakhir dengan penjepit jemuran.
Pak Dul langsung berseru, “Eh, eh, itu properti seni saya! Bagian dari proyek pribadi! Judulnya: Kenangan Tak Terpakai Tapi Tak Terlupakan.”
“Kamu niat bikin pameran di gudang?” tanya Bu Lastri setengah teriak.
“Yah, siapa tahu bisa viral. Kan seni itu subjektif.”
Punya
Sesi Interogasi
Bu Murni menatap tajam.
“Pak Dul, untuk apa majalah jadul itu disimpan?”
“Saya suka halaman konsultasi cinta. Jawabannya jujur, gak kayak mantan saya.”
“Tolong jangan bawa-bawa mantan!”
“Baik. Tapi saya mohon, jangan bawa-bawa majalah saya juga.”
“Dan kenapa sarden bisa nyasar ke gudang?”
“Saya lapar tengah malam. Saya pikir... kucing juga lapar. Kami berbagi.”
Mbak Ayu tiba-tiba bertanya pelan, “Tapi kenapa harus di gudang, Pak?”
Pak Dul diam sesaat, lalu menjawab lirih, “Kadang saya butuh ruang sendiri. Di kamar selalu ribut. Di taman banyak semut. Di mushola... banyak yang khusyuk. Jadi ya, saya pilih gudang. Temannya sunyi dan... Si Manis.”
Bu Murni perlahan menurunkan tongkatnya. “Kamu... ngumpet di gudang karena kesepian?”
“Kesepian itu makanan sehari-hari di sini, Bu. Tapi ya, saya lebih suka ngemil sarden daripada rasa sedih.”
Putusan Akhir
Bu Lastri berdiri. “Kami semua sepakat. Terdakwa tidak bersalah secara hukum, tapi... bersalah secara moral, mental, dan logika!”
Pak Dul tepuk tangan sendiri.
“Sebagai hukuman,” lanjut Bu Murni, “kamu akan menjadi MC acara tujuhbelasan minggu depan... dengan kostum Doraemon itu. Lengkap. Dan kamu wajib membacakan puisi kemerdekaan bertema kasih sayang.”
“WHAT?!”
“Dan kamu juga harus ngajarin kita TikTok,” tambah Bu Lastri, “biar eksis.”
Pak Dul mendongak ke langit-langit. “Tuhan... kenapa hukuman lansia lebih kejam dari pengadilan HAM?”
Tawa meledak di aula. Bahkan Si Manis, yang tidur di sudut ruangan, menguap lebar seolah mengerti betapa drama ini layak jadi sinetron.
Mbak Ayu mencatat di jurnal harian:
Hari ini kami tidak menyelesaikan kasus hukum. Tapi kami menyelesaikan rasa sepi. Terima kasih, Pak Dul, atas kekacauan yang ternyata... menyatukan.
Tujuhbelasan Penuh Kejutan & Puisi Doraemon
Hari itu, panti jompo Bahagia Sejahtera tidak seperti biasanya. Spanduk “HUT RI KE-78: MERDEKA DI USIA SENJA” terbentang besar di aula. Kursi roda dihias pita merah putih, dan bendera dikibarkan setinggi mungkin oleh tiga orang yang bersatu padu mengoper tongkat.
Dan di tengah keramaian…
Pak Dul muncul dari balik tirai dengan kostum Doraemon botak.
Bukan sekadar botak. Kostumnya benar-benar modifikasi DIY: jaket biru tua, celana piyama, penutup kepala dari baskom plastik warna putih, dan lonceng kaleng digantung di leher.
Semua peserta lomba tertawa sampai lupa nyeri lutut.
“Selamat pagi, warga panti yang masih punya semangat 45… walau lutut tinggal 17!” seru Pak Dul memegang mic, suaranya lantang, gayanya seperti host Indonesian Idol edisi pensiunan.
Acara Dimulai
“Baik, pertama-tama… lomba makan kerupuk,” teriak Pak Dul. “Tapi kali ini... pakai gigi palsu!”
“Hah?!”
“Kami nggak bawa!”
“Mana cukup waktu buat masang!”
“Tenang! Kami siapkan gigi palsu darurat dari gabus spons! Boleh dibawa pulang!”
Peserta tertawa sambil mencoba mengunyah udara.
Setelah itu ada lomba jalan sarung, tapi sarungnya disablon gambar Raisa. Lalu lomba yel-yel, di mana tim Pak Bowo meneriakkan:
“Lansia cerdas! Penuh gaya! Rematik hanya mitos belaka!”
Tapi yang bikin geger adalah lomba bendera...
Insiden Bendera Pink
Ketika Bu Murni akan mengerek bendera upacara, semua hening.
Tali ditarik perlahan… bendera berkibar…
“ITU... BENDERA WARNA PINK?!?”
Semua menjerit. Bahkan Si Manis lari ke kolong kursi.
“Pak Dul! Ini ulah kamu lagi, ya?!”
“Demi celana Doraemon saya, itu bukan salah saya!”
“Terus siapa yang bisa ganti bendera semalam?”
Semua menoleh ke Pak Tono, yang tertidur di kursi baris kedua dengan kacamata miring dan tangan memegang kuas cat.
“Ternyata Pak Tono sleep-painting lagi,” jelas Mbak Ayu panik. “Kemarin malam dia mimpi ngecat rumah, ternyata benderanya dilukis ulang…”
Bendera akhirnya diganti, tapi momen bendera pink tetap viral di grup WhatsApp alumni lansia.
Puisi Kemerdekaan: Oleh Doraemon
Pukul 11.45, Pak Dul naik ke atas panggung untuk tugas terakhirnya.
“Ini puisi saya. Judulnya: ‘Merdeka, Doraemon, dan Cinta Tanpa Batas Usia.’”
Ia membuka kertas lusuh, batuk sedikit, lalu mulai:
Dulu aku dijuluki pengacau,
Sekarang aku jadi maskot acara meriah,
Katanya lansia harus diam, duduk, dan taat,
Tapi Doraemon di panti... boleh nekat.
Kami tua, tapi bukan sisa,
Kami punya cinta, tawa, bahkan drama,
Jika rindu datang tanpa suara,
Bawa aku ke masa muda... atau setidaknya ke lapak bakso depan panti.
Merdeka itu bukan soal usia,
Tapi tentang siapa yang masih bisa tertawa paling keras walau pakai gigi palsu dari spons.
Suasana aula sunyi... lalu gemuruh tepuk tangan meledak seperti dentuman mercon dalam hati yang rapuh.
Bu Murni mengusap mata dengan lap sendok.
Pak Bowo mengangguk pelan, “Dul emang absurd… tapi dalam.”
Bahkan Bu Lastri… tersenyum setengah ikhlas. “Mungkin si Dul gak 100% gila. Mungkin cuma… 73%.”
Pak Dul, Si Maskot Panti Bahagia
Sejak acara tujuhbelasan itu, Panti Jompo Bahagia Sejahtera berubah drastis.
Bukan jadi lebih tenang.
Tapi… lebih hidup.
Mbak Ayu sampai bikin spanduk kecil di dinding aula:
“PANTI BUKAN RUMAH TUNGGU MAUT. TAPI RUMAH TUNGGU TAWA.”
Dan di bawahnya, tempelan foto: Pak Dul dengan kostum Doraemon, menggandeng Si Manis yang ogah-ogahan.
Kabar Viral
Tanpa sepengetahuan Pak Dul, salah satu relawan magang mengunggah video puisinya ke TikTok.
Judulnya:
“Doraemon Membacakan Puisi Kemerdekaan di Panti”
24 jam kemudian, video itu viral.
150 ribu views. 70 ribu likes. Kolom komentar penuh emot nangis ketawa.
Komentar paling disukai:
“Gue nangis dan ngakak bareng nenek gue. Terima kasih, Pak Dul. Kamu ngingetin kita kalau tua itu bukan berarti selesai.”
Mbak Ayu menunjukkan video itu ke Pak Dul sambil senyum bangga.
Pak Dul, yang sedang main catur dengan Pak Bowo (menggunakan biji salak dan potongan plastik), hanya mengangguk pelan.
“Hmm... jadi saya viral?”
“Iya!”
“Wah, saya belum siap jadi influencer lansia. Nanti endorse-nya susu rendah gula terus.”
Pak Dul Show
Sejak saat itu, banyak yang datang ke panti. Wartawan lokal. Mahasiswa. Bahkan anak-anak muda yang penasaran.
“Pak Dul ada? Yang bikin puisi Doraemon itu?”
“Boleh selfie nggak?”
“Om, diajak ngonten bareng boleh?”
Bu Murni sampai bikin aturan baru:
“Tidak ada TikTok setelah jam 5 sore!”
Tapi diam-diam… Bu Murni juga minta diajari filter glowing sama Mbak Ayu.
Namun, Suatu Pagi...
Pukul 5.00 pagi. Pagi seperti biasa.
Tapi... Pak Dul tidak di kamar.
“Waduh, jangan bilang ke gudang lagi,” kata Bu Lastri sambil nyuap pepaya.
Saat dicari ke taman belakang... kosong.
Di aula... tidak ada.
Di mushola... juga tak tampak.
Mereka mulai panik. Bahkan Bu Murni mengeluarkan tongkatnya dan berseru:
“Siapkan skenario pencarian!”
Tapi tepat pukul 06.00, sebuah kereta mini mainan meluncur dari ujung lorong. Di atasnya: Pak Dul duduk, mengenakan mantel Superman, membawa toa.
“SELAMAT PAGI PARA PAHLAWAN! INILAH KERETA MERDEKA LANSIA!! NAIK GRATIS, TURUN BAYAR DENGAN TAWA!”
Semua nyaris pingsan. Tapi juga tertawa sampai ngos-ngosan.
Penutup Tak Pernah Tenang
Hari-hari berikutnya, Pak Dul diangkat sebagai “Maskot Resmi Panti”. Lengkap dengan plakat bertuliskan:
“Dul Dullah. Usia 78. Pencipta kekacauan ringan. Penggerak tawa. Perusak kulkas.”
Dan tiap ada hal aneh seperti:
Sarung dijahit jadi bendera
Bubur ditemukan di laci sepatu
Ada pengumuman lomba tidur tercepat dengan piala berbentuk sandal
Semua langsung berteriak:
“Ngaku saja, Pak Dul!!”
Dan Pak Dul hanya senyum, mengangkat bahu, sambil berjalan santai ke arah gudang.
“Saya? Tidak tahu menahu. Tapi… kalau kamu sudah terlalu diam, mungkin saatnya bikin sedikit keributan. Biar hidup terasa hidup.”