Cerpen
Disukai
1
Dilihat
3,368
Nenek Food Hacker
Drama

Chapter 1 – Nenek yang Viral di Food Court


Food court Mall Astera selalu ramai sore hari. Bau ayam goreng cepat saji bercampur aroma kopi susu kekinian dan suara denting sendok garpu. Anak-anak muda duduk berkelompok, sibuk memotret minuman berwarna pastel atau memvideokan burger yang ditumpuk setinggi genggaman tangan.

Di tengah keramaian itu, duduklah seorang perempuan berambut putih, mengenakan blus bunga-bunga dan sepatu kets lusuh. Tangannya memegang sendok garpu lipat berwarna emas kusam—benda yang selalu ia bawa ke mana-mana. Nenek Lastri, 62 tahun.

Ia tidak memesan apa pun dari tenant-tenant populer di sekelilingnya. Hanya segelas air putih gratis dari dispenser umum. Tapi orang-orang datang menghampirinya, menawarkan sepotong ayam, seteguk boba, atau sejumput pasta dari piring mereka. Semua demi melihat ekspresi dan mendengar komentarnya yang terkenal di TikTok.

“Boba ini…,” katanya sambil mengunyah satu bulatan kenyal berwarna hitam, “…lebih mirip karet gelang yang nyasar ke sirup gula. Tiga dari sepuluh.” Anak-anak di depannya terpingkal. Kamera ponsel merekam setiap kata, siap diunggah malam itu juga.

Yang membuatnya viral bukan cuma kejujuran brutalnya, tapi cara ia mengamati makanan. Ia tidak langsung mencicipi. Pertama ia menatapnya lama, lalu mengangkatnya mendekati hidung, menutup mata, dan menarik napas panjang, seolah sedang membaca buku. “Makanan itu punya suara, punya cerita. Kalau kamu nggak dengar ceritanya, kamu cuma makan benda,” ujarnya pada salah satu vlogger yang memotretnya.

Tidak ada yang tahu dari mana Nenek Lastri mendapatkan kemampuan itu. Tidak ada yang tahu kenapa ia hampir setiap sore nongkrong di sini. Yang jelas, setiap kali ia datang, suasana food court berubah. Anak muda yang biasanya sibuk memamerkan makanan untuk feed Instagram mendadak penasaran pada hal lain—cerita di balik rasa.

Dan sore itu, ketika ia sedang menatap mangkuk ramen instan yang baru diberikan seorang barista kopi, seorang pemuda asing berdiri di depannya. Membawa ransel besar, wajah penasaran, dan sebuah buku resep lusuh di tangannya.

“Nek… boleh aku duduk?” tanya pemuda itu.

Nenek Lastri meliriknya sebentar, lalu tersenyum kecil.


Chapter 2 – Belajar dari Bau Pasar Malam


Adit memperkenalkan diri dengan agak canggung.

“Nama saya Adit, mahasiswa tata boga. Saya sering lihat Nenek di TikTok. Jujur… saya bingung, kok Nenek bisa menebak rasa hanya dari lihat dan cium?”

Nenek Lastri meneguk air putihnya, tersenyum samar. “Kalau mau tahu, ikut aku malam ini.”

Pasar malam Cendrawasih penuh warna lampu bohlam dan teriakan pedagang. Bau sate ayam, minyak goreng bekas, dan aroma wangi buah nangka matang bercampur menjadi satu. Adit berjalan mengikuti Nenek Lastri yang bergerak lincah meski usianya 62 tahun.

Ia berhenti di depan penjual jagung rebus. “Coba hirup uapnya,” katanya.

Adit menurut. Hidungnya dipenuhi aroma manis yang sederhana.

“Jagung rebus ini sama dengan jagung rebus di restoran hotel bintang lima. Bedanya? Yang ini murni. Hotel cuma kasih bumbu mahal biar terlihat istimewa.” Nenek terkekeh.

Mereka lanjut ke gerobak gorengan. Minyaknya hitam, tampak sudah dipakai berkali-kali.

“Apa yang kamu cium?” tanya Nenek.

Adit agak meringis. “Bau gosong… tengik.”

“Nah, kalau kamu bisa kenali tengik, kamu bisa tahu kapan minyak sehat. Chef sejati nggak hanya kenal wangi harum, tapi juga tahu bau busuk.”

Adit terdiam. Pelajaran itu sederhana, tapi menamparnya lebih dari kuliah teori rasa di kampus.

Mereka berhenti di kios buah. Nenek mengambil nangka kuning, mengupas sedikit, lalu mendekatkannya ke hidung Adit. “Hirup pelan. Rasakan manisnya?”

Adit mengangguk.

“Sekarang, bayangkan manis ini bercampur dengan rasa asin kerupuk. Hasilnya bukan bencana. Kalau seimbang, bisa jadi inovasi. Rasa itu seperti musik. Kadang harmoni, kadang tabrakan. Tapi tabrakan pun bisa indah kalau kamu tahu cara menyusunnya.”

Adit menatapnya heran. “Nenek belajar semua ini dari mana?”

Sekilas, mata Nenek Lastri redup, seolah menyimpan sesuatu. Tapi ia buru-buru menepuk bahu Adit.

“Bukan waktunya tahu. Malam ini cukup. Pulanglah. Besok kamu akan paham kenapa aku disebut food hacker.”

Adit pulang dengan kepala penuh aroma pasar malam. Untuk pertama kalinya, ia merasa bahwa kuliner bukan soal resep, melainkan soal membaca kehidupan.

Tapi jauh di benaknya, ia mulai curiga: kenapa setiap kali Nenek Lastri berbicara soal rasa, ada semacam rahasia yang ingin disembunyikannya?


Chapter 3 – Pesta Makan Tengah Malam


Kos Adit malam itu riuh tak biasa. Beberapa teman sekelasnya datang membawa bahan seadanya. Ada yang bawa sebungkus kerupuk mentah, ada yang bawa cabai bubuk sachet, ada juga yang membawa nangka dari pasar. Seseorang bahkan datang hanya dengan sekantong es batu dari kulkas.

“Nek, ini bahan yang kita punya. Kayaknya mustahil jadi makanan,” kata salah satu teman Adit, geli melihat tumpukan barang absurd itu.

Nenek Lastri tersenyum lebar. “Makanan enak bukan soal bahan mahal. Yang penting: niat, nyali, dan sedikit gila.”

Di rooftop kos yang ditemani lampu neon kota, Nenek menginstruksikan mereka.

“Kerupuknya digoreng, tapi jangan kering. Biarkan setengah lembek.”

“Nangka dipotong tipis, campur dengan cabai bubuk.”

“Es batu—tuang terakhir, biar jadi kejutan.”

Mereka semua saling pandang tak percaya, tapi menurut.

Beberapa menit kemudian, tercipta hidangan aneh: Es Kerupuk Pedas Manis. Kerupuk setengah basah, manis nangka, pedas cabai, dan dingin es batu berpadu. Semua ragu mencicipi, sampai Nenek sendiri mengambil suapan pertama.

“Luar biasa… ini namanya chaos yang enak,” katanya.

Tawa pun pecah. Anak-anak muda itu berebut mencicipi, terkejut karena ternyata rasanya aneh tapi bikin nagih.

Malam semakin larut. Musik indie dari speaker kecil bergema, obrolan soal cinta gagal dan kuliah berat bercampur dengan denting sendok. Nenek Lastri duduk di kursi plastik, menatap langit.

“Aku suka suasana ini,” katanya lirih. “Makanan sederhana bisa bikin orang betah. Kadang, rasa itu bukan untuk perut. Tapi untuk mengikat orang yang mungkin sebentar lagi pergi.”

Adit yang duduk di sampingnya menoleh. “Pergi? Maksud Nenek?”

Nenek terdiam sebentar, lalu tersenyum tipis. “Ah, abaikan saja. Nikmati malam ini. Anggap saja resep gila ini hadiahku.”

Adit tak banyak bicara, tapi kata-kata nenek itu menancap dalam. Malam itu bukan hanya pesta kuliner absurd, melainkan sesuatu yang lebih personal. Seolah-olah nenek sedang berpamitan dalam bahasa yang hanya ia sendiri yang tahu.


Chapter 4 – Secret yang Tak Pernah Diunggah


Dua minggu setelah pesta rooftop itu, akun TikTok @nenek.foodhacker mendadak berhenti aktif. Tak ada lagi video komentar pedas, tak ada lagi review jujur di food court. Para pengikutnya kebingungan, sebagian mengira nenek sakit, sebagian lagi mengira itu hanya gimmick.

Adit gelisah. Ia memutuskan mencari Nenek Lastri ke rumahnya di pinggiran kota. Rumah tua itu sepi, pintunya tak terkunci. Begitu masuk, ia menemukan ruang dapur kosong—tak ada panci, tak ada wajan, hanya meja kayu dengan sebuah buku resep lusuh di atasnya.

Adit membuka buku itu. Sebagian besar halaman kosong, hanya ada catatan-catatan kecil tentang aroma, tekstur, dan perasaan. Tapi di halaman terakhir, ada tulisan dengan tinta pudar:

“Aku bukan chef. Aku dulu bekerja di laboratorium riset rasa militer. Tugas kami: menciptakan perasa buatan untuk memanipulasi memori. Dengan satu rasa, seseorang bisa mengingat masa lalu, atau justru melupakannya. Aku kabur karena tahu rasa bisa dipakai untuk mengendalikan manusia. Itulah sebabnya aku lebih suka bermain di food court, bukan di dapur besar. Rasa harus membuat orang bebas, bukan jadi tawanan.”

Adit terdiam, merinding membaca pengakuan itu.

Di samping buku, ia menemukan sepotong kecil kertas lipat, bertuliskan:

“Es Kerupuk Pedas Manis—itu bukan resep gila. Itu jahitan terakhirku. Aku ingin kalian mengingat rasa kebersamaan itu, dan melupakan semua pahitnya hidup yang menahan kalian.”

Adit menutup buku, lalu menyadari sesuatu. Ia sudah lupa betapa sakitnya ditinggalkan mantan kekasih yang membuatnya putus asa beberapa bulan lalu. Tapi yang tak pernah hilang justru rasa manis-aneh dari “Es Kerupuk Pedas Manis” dan tawa bersama di rooftop.

Ia memandang langit malam, berbisik pelan:

“Terima kasih, Nek. Secret-mu aman bersamaku.”

Dan sejak hari itu, Adit mulai percaya bahwa makanan bisa lebih dari sekadar santapan—ia bisa jadi alat untuk menyembuhkan, juga untuk merdeka.

“Tergantung. Kamu mau makan atau mau belajar?”


Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)