Cerpen
Disukai
1
Dilihat
2,580
STALL NOMOR TUJUH
Horor

Celah yang Tak Pernah Tertutup

21.38 WIB

Toilet Wanita – Lantai 5, Mall Urbania

Udara malam mulai menyusup masuk ke sela-sela dinding kaca mall yang menghadap ke jalan raya. Lampu-lampu toko telah diredupkan, rolling door digulung setengah hati, dan denting musik mall terdengar semakin kecil seperti suara terakhir dari radio rusak. Lantai 5 hanya menyisakan satu area yang masih menyala terang: bioskop dan deretan food court di sisinya.

Amara melangkah keluar dari studio sembilan dengan perasaan kosong. Film horor yang ia tonton sendirian terasa lebih hambar daripada kesepian yang menempel di kulitnya malam itu. Ia menyesal tak menunggu temannya yang batal datang. Tapi sudah terlanjur. Tubuhnya letih, perutnya kembung karena minuman soda, dan sekarang, ia harus buang air.

Ia berjalan menuju koridor sempit menuju toilet. Lorong itu sunyi, lantainya licin mengilap seperti belum pernah diinjak, dan lampunya berpendar kuning pucat. Sebuah tanda bercahaya "Toilet Wanita" menyala seperti lentera di film Jepang—hampir seperti undangan dari dunia lain.

Pintu toilet terbuka otomatis saat ia mendekat, menimbulkan suara klik yang terlalu keras dalam keheningan. Di dalam, udara dingin langsung menyergap. Pendingin ruangan di toilet ini terasa seperti ruang mayat—steril, mengilap, dan hampa. Dindingnya berlapis marmer abu-abu, wastafel memanjang dengan sensor otomatis, dan deretan bilik tampak seperti lemari mati.

Tujuh bilik berjajar rapi, pintu-pintunya abu logam dengan nomor kecil tak kasatmata di atas engselnya. Amara melangkah pelan, memeriksa tiap pintu dari kiri ke kanan. Semua tertutup kecuali satu: bilik nomor tujuh.

Pintu bilik itu tidak sepenuhnya terbuka, tapi juga tidak tertutup. Tersisa celah dua jari, cukup untuk melihat ujung sepatu seseorang—atau membayangkan ada. Tapi saat Amara melongok ke bawah, tak ada kaki di baliknya. Hanya bayangan kosong, dan potongan kertas toilet yang sobek menggantung seperti lidah.

Ia menoleh ke cermin panjang yang membentang di depan wastafel. Wajahnya terlihat pucat di bawah cahaya lampu LED putih kebiruan. Matanya tampak lelah, rambutnya lepek, dan ada semacam kabut yang membuat cerminnya tak sepenuhnya bersih. Padahal ia tahu betul, toilet mall ini selalu terlihat steril.

Sesuatu tentang bilik nomor tujuh membuatnya tak nyaman. Ada bisikan halus di kepala—“jangan pilih itu.” Maka ia membuka bilik nomor lima.

Ceklek.

Toilet bersih. Dudukan kloset kering. Aman.

Ia masuk, menutup pintu, dan mengaitkan kuncinya. Bunyi klik terdengar terlalu keras. Terlalu final.

Begitu ia duduk, keheningan mengental. Tak ada suara kipas. Tak ada musik. Tak ada langkah kaki. Seolah seluruh mall membeku hanya untuk menonton dirinya di balik pintu. Ia bisa mendengar detak jantungnya sendiri, bahkan suara air liur yang ia telan terasa seperti gempa kecil.

Lalu—krrkk

Sebuah suara pelan terdengar. Bukan dari bilik sebelah. Tapi seperti... dari langit-langit.

Seolah ada sesuatu yang sedang merayap.

Amara memejamkan mata. “Jangan mikir aneh-aneh, Mar,” gumamnya. Tapi tubuhnya justru merinding. Udara dalam bilik terasa lebih dingin. Ujung jari tangannya menggigil.

Dan saat ia hendak menyelesaikan urusannya dan berdiri—

“Tok.”

Satu ketukan.

Dari luar bilik.

Ia menahan napas.

“Tok. Tok.”

Dua ketukan berikutnya lebih keras.

Amara membungkuk, mengintip lewat celah bawah pintu. Tak ada siapa-siapa. Hanya pantulan sepatu putihnya sendiri. Tapi kemudian—dari sudut matanya—ia menangkap sesuatu di cermin. Seseorang berdiri di belakangnya.

Ia berbalik spontan. Tapi dinding bilik terlalu sempit.

Tak ada siapa-siapa.

Ia membuka pintu bilik perlahan, tangan gemetar menggenggam kunci kecil.

Toilet itu masih sepi. Tapi bilik nomor tujuh kini terbuka… lebih lebar.

Celahnya kini seperti mulut yang menunggu, tak sabar untuk menerima sesuatu ke dalamnya.


Listrik Padam Pukul 22.07

22.06 WIB

Toilet Wanita – Lantai 5, Mall Urbania

Amara berdiri mematung di tengah toilet, tubuhnya masih kaku setelah kejadian tadi. Bilik nomor tujuh—yang awalnya terbuka sedikit—sekarang menganga setengah, seolah menyambut. Udara di dalam bilik itu terlihat lebih gelap, seperti menyerap cahaya. Ia menelan ludah, berusaha menenangkan pikirannya yang liar.

Toilet itu masih kosong. Tidak ada suara, tidak ada langkah kaki. Tapi keheningan yang sekarang terasa bukan seperti sunyi biasa, melainkan semacam kekosongan aktif—diam yang mengamati, diam yang menahan napas bersamanya.

Ia mengarahkan pandangan ke jam digital merah kecil yang tergantung di atas cermin wastafel:

22.06

Digitnya berdetak pelan. Satu menit lagi mall resmi tutup. Tapi kenapa pintu toilet masih terbuka? Kenapa dirinya masih di sini?

Amara buru-buru berjalan ke wastafel. Ia menyalakan air—sensor merespons lambat, seolah enggan bekerja malam ini. Ia membasuh wajah, berharap dingin air bisa menyadarkannya dari rasa takut yang tumbuh liar.

Lalu—cahaya padam.

“Cekkk...”

Semua lampu mati serempak, tanpa peringatan. Kecuali satu:

Lampu darurat merah menyala di langit-langit pojok, memandikan ruangan dalam rona darah.

“Ya Tuhan…” Amara berbisik.

Cermin di depannya berubah. Tak lagi menunjukkan refleksi utuh. Hanya sebagian wajahnya yang tertangkap cahaya. Sebagian lainnya tenggelam dalam hitam, retakan samar di permukaan kaca membentuk guratan seperti urat nadi. Wajah Amara terlihat... asing.

Ia melangkah mundur, napasnya terengah.

“Tok.”

Ketukan terdengar lagi. Kali ini tidak dari luar bilik, tapi dari dalam dinding.

Dekat pipa. Dekat wastafel. Seperti... ada yang hidup di sana.

“Siapa di sana?” suaranya pecah, meski tahu ia sendiri.

Tak ada jawaban. Tapi detik berikutnya, terdengar suara seperti—seretan kain basah di lantai.

Amara spontan berbalik dan mencoba keluar. Tapi saat ia menarik gagang pintu masuk toilet…terkunci.

Ia menarik lebih keras.

Terkunci.

“Tidak, tidak, tidak,” katanya panik. Ia menekan tombol sensor otomatis di dinding. Tak ada reaksi. Sistem telah mati.

Jam digital di atas cermin—masih menyala merah.

22.07

Dan tidak bergerak.

Waktu telah berhenti. Seolah toilet ini, dan dirinya di dalamnya, telah dikeluarkan dari dunia luar.

Amara kembali ke tengah ruangan. Ia mencoba menelepon—tidak ada sinyal. Ia menyalakan flashlight ponsel, menyapu seluruh toilet dengan cahaya. Refleksi lampu ponsel menari di dinding keramik, pada cermin, dan pada bilik-bilik yang berjajar rapi seperti peti mati berdiri.

Bilik nomor tujuh kini tertutup. Rapat.

Padahal sebelumnya terbuka.

Ia melangkah pelan, menyusuri bilik satu per satu. Cek—kosong. Dua—kosong. Tiga—bersih. Empat—tidak ada yang aneh.

Saat ia tiba di bilik nomor tujuh, sesuatu dalam dirinya menolak. Tapi tangannya tetap terulur, gemetar. Ia menyentuh gagang logamnya. Terasa dingin, basah. Seperti memegang kulit yang telah mati.

Sebelum sempat membukanya—

Ceklek.

Pintu bilik terbuka sendiri.

Gelap. Tak ada apa-apa di dalam. Tapi bau menyengat keluar dari dalamnya—perpaduan besi karat, air basi, dan wangi melati yang membusuk.

Lalu… ponselnya mati.

Layarnya hitam. Cahaya padam.

Toilet kini hanya disinari merah samar dari lampu emergency yang berpendar lemah.

Dan pada saat itu, dari dalam bilik nomor tujuh, terdengar suara pelan…

“Jangan tinggalkan aku sendirian...”


Cermin Retak Tak Terlihat

22.08 WIB

Toilet Wanita – Lantai 5, Mall Urbania

Semua terasa beku. Bukan dingin biasa, tapi beku seperti ruangan tanpa udara. Tanpa waktu.

Amara berdiri terpaku, tubuhnya menggigil bukan karena suhu, tapi karena rasa yang merambat perlahan—takut yang tak lagi rasional. Ketika suara itu muncul dari bilik nomor tujuh, suaranya seperti gema yang datang dari masa lalu, bukan dari mulut manusia, tapi dari celah waktu yang terbuka sesaat.

Ia mundur perlahan, punggungnya menyentuh cermin.

Cermin yang selama ini hanya menjadi saksi diam kini bergetar halus. Amara merasakannya di tulang belakang—getaran itu menjalar ke tulang tengkuk. Seolah sesuatu dari balik permukaan kaca sedang... mencoba keluar.

Ponselnya mati total. Tidak ada sinyal. Tidak ada sumber cahaya lain, hanya nyala lampu darurat merah yang sudah mulai redup, membuat bayangan di sekelilingnya tampak seperti tangan yang menjulur dari lantai.

Ia menoleh pelan ke arah cermin.

Wajahnya masih di sana—tapi tidak utuh.

Separuh wajah Amara tampak seperti biasa, tapi sisi lainnya... seakan terbuat dari kabut. Rambutnya berbeda, lebih panjang, dan matanya—oh, matanya—menatap lurus ke arahnya, tidak bergerak, tak mengenali. Seolah refleksi itu adalah orang lain. Seseorang yang berdiri di tempat yang sama, tapi bukan dirinya.

Cermin mulai menampilkan retakan. Halus, seperti goresan kuku. Awalnya satu. Lalu dua. Lalu menyebar perlahan, membentuk pola seperti akar pohon mati di musim dingin. Tapi anehnya, tidak ada suara retak. Tidak ada suara sama sekali. Hening. Terlalu hening.

Amara memalingkan wajah dan mencoba fokus.

“Tarik napas. Kamu pasti cuma... kecapekan,” bisiknya.

Tapi begitu menoleh lagi ke cermin, retakannya telah hilang.

Cermin kembali utuh. Tapi bukan dirinya yang tampak di sana.

Refleksi itu masih berdiri di tempat yang sama, tapi kini... tersenyum.

Senyum dingin. Lambat. Tidak wajar.

Amara terlonjak mundur, membentur wastafel. Air otomatis menyala sejenak, memercik tak tentu arah lalu mati kembali.

Ia menunduk, mencoba menenangkan diri. Tapi saat menatap bayangan air di lantai, ia melihat sepatu lain berdiri di belakangnya. Sepatu yang bukan miliknya. Sepatu kanvas putih pudar, dengan satu tali terlepas dan noda kecoklatan di ujung.

Ia reflek menoleh. Tidak ada siapa-siapa.

Tapi cermin... cermin itu merekam segalanya. Dan dari refleksi, kini terlihat seluruh bilik toilet perlahan membuka—

klik... klik... klik...

Satu per satu.

Kecuali bilik nomor tujuh, yang tetap tertutup rapat. Tapi dari bawah pintunya, merembes air hitam pekat seperti tinta, membentuk pola aneh di lantai: lingkaran kecil dengan tanda silang di tengah.

Dan di tengah ruang, cermin menampilkan tulisan kabur:

"Kita pernah di sini bersama..."

Tulisan itu bukan di permukaan kaca, tapi di baliknya.

Seperti tergores dari sisi lain dunia.

Amara mundur sampai punggungnya menyentuh dinding toilet. Napasnya makin pendek, tak teratur. Kepalanya pusing, dan sesuatu dalam dirinya berbisik:

Kau tidak sendirian.

Tapi semua yang ada di sini... sudah mati.

Ia menutup mata sejenak. Tapi dalam gelap matanya, ia melihat kilasan—

Gadis berseragam putih abu-abu berlumuran darah, duduk di atas kloset bilik nomor tujuh, menatap lurus ke arahnya. Di tangan gadis itu, sebuah gunting berkarat dan selembar surat yang sudah usang.

Dan di cermin, wajah Amara mulai berubah.

Sedikit demi sedikit. Menjadi wajah gadis itu.


Ketukan dari Dalam

22.12 WIB

Toilet Wanita – Lantai 5, Mall Urbania

Amara tidak ingat bagaimana ia bisa duduk di lantai—punggungnya menempel dinding, lutut ditarik ke dada. Tubuhnya berkeringat dingin, tapi telapak tangannya kering kerontang. Seperti tubuhnya tahu ia dalam bahaya, tapi pikirannya belum bisa mengejarnya.

Toilet ini bukan lagi tempat.

Ia sudah menjadi ruang antara.

Antara sadar dan gila.

Antara hidup dan sesuatu yang tak bisa disebut mati.

Cermin itu... masih berdiri utuh. Tapi pantulannya kini lebih cepat berubah dari kenyataan. Kadang kosong, kadang terisi kabut, kadang menampilkan sosok yang bahkan belum ada di ruangan.

Satu-satunya hal yang belum bergerak, belum berubah… adalah bilik nomor tujuh.

Ia berdiri pelan, tubuhnya terasa seperti bukan miliknya sendiri. Langkahnya lambat, licin karena lantai yang kini basah oleh air yang mengalir entah dari mana. Ia menyapu pandangan ke sekitar. Semua bilik lain kini terbuka.

Bilik nomor satu: kosong, dengan coretan “HELP” samar di dindingnya.

Bilik nomor dua: dudukan klosetnya patah, seolah seseorang jatuh keras di atasnya.

Bilik nomor tiga: lampunya berkedip, seolah menyampaikan morse dari neraka.

Bilik empat, lima, enam... semuanya menunjukkan tanda-tanda kehadiran—tapi tak ada siapa-siapa.

Hanya bilik nomor tujuh yang tetap tertutup. Rapat. Diam.

Tapi tidak untuk waktu lama.

Tok.

Satu ketukan pelan dari dalam.

Bukan seperti ketukan meminta izin masuk,

Tapi ketukan dari seseorang yang terperangkap dan ingin keluar.

Amara menahan napas.

Tok. Tok. Tok.

Kali ini lebih cepat. Lebih kuat.

Ia melangkah mundur, hampir terpeleset. Tapi tak sampai dua langkah...

Tok. Tok. Tok. TOK.

Ketukan itu berubah jadi hentakan. Pintu bilik nomor tujuh bergetar.

Bukan seperti dipukul tangan—lebih seperti dihantam sesuatu yang lebih berat.

“Siapa... siapa di dalam?” suara Amara serak, nyaris tak keluar.

Sunyi.

Ketukan berhenti.

Amara menunggu. Lima detik. Sepuluh. Dua puluh.

Masih diam.

Hingga—

“Ma...ra...”

Bisikan itu muncul dari bawah pintu bilik. Seperti suara udara yang mengandung nama. Tapi terlalu jelas untuk dianggap angin, terlalu akrab untuk dianggap mimpi.

Amara membeku. Jantungnya seperti dibekap.

Tidak ada orang lain yang tahu nama itu malam ini. Tidak ada.

Lalu ia mendengar suara gemeretak dari langit-langit. Ia mendongak.

Salah satu ubin plafon terbuka sedikit—menganga seperti mulut, dan dari sana... menjulur rambut panjang hitam legam, perlahan-lahan menjuntai ke bawah.

Tiga helai. Lima helai. Lalu seluruh ikatan rambut—seperti milik perempuan muda—jatuh menjuntai tepat di atas bilik nomor tujuh.

Tok. Tok. Tok.

Ketukan kembali. Tapi kali ini bukan dari bilik.

Dari dinding.

Dari pipa.

Dari bawah lantai.

Toilet ini menjadi hidup. Atau lebih tepatnya, menjadi... terisi.

Lalu semua bilik tertutup kembali.

Ceklek. Ceklek. Ceklek.

Secara bersamaan. Tanpa suara langkah. Tanpa tiupan angin.

Amara hanya berdiri di tengah, dikelilingi pintu tertutup rapat, seolah ia menjadi pusat lingkaran ritual yang tak ia pahami.

Tiba-tiba, lampu emergency meredup.

Dan pada saat itu—

Pintu bilik nomor tujuh terbuka sendiri.

Perlahan. Sangat perlahan.

Gelap total di dalamnya. Tapi di lantainya, terlihat sebuah benda:

Sebuah foto.

Foto kecil berbingkai logam. Basah.

Foto anak SMA. Gadis berambut panjang, tersenyum manis.

Dan di bawah fotonya tertulis nama.

“Amara Putri Salsabila. Kelas 12-A.”


Aroma Formalin

22.16 WIB

Toilet Wanita – Lantai 5, Mall Urbania

Amara menatap foto itu.

Air yang menggenang di lantai membuat bayangannya terdistorsi, tapi tak ada keraguan: itu wajahnya. Wajah saat remaja, saat duduk di bangku SMA, dengan seragam putih abu-abu dan senyum kecil yang tak pernah ia ingat pernah ia tunjukkan.

Tapi yang lebih mengerikan dari penemuan itu adalah namanya—tertulis rapi di bawah foto seperti batu nisan. Dan bingkainya... bukan bingkai biasa. Terbuat dari logam tua, berkarat, basah, dan baunya... seperti bau kamar jenazah.

Amara bergidik. Tangannya gemetar saat ia mencoba menyentuh foto itu, tapi begitu ujung jarinya menyentuh kertas, rasa dingin menohok hingga ke sumsum tulang. Ia menarik tangannya reflek, dan saat itulah bau itu datang.

Aroma menyengat. Tajam. Lembab.

Formalin.

Dan sesuatu yang menyerupai bunga layu. Campuran manis basi dan kematian. Amara menutup hidung, tapi bau itu menembus pori-pori. Udara di dalam toilet berubah. Lebih berat. Seperti kabut tipis yang tak terlihat tapi bisa dirasakan menempel di kulit.

Perlahan, dia berdiri, meninggalkan bilik nomor tujuh yang kini terbuka lebar.

Lantainya basah. Bukan oleh air. Tapi cairan keruh seperti bekas pembalseman tubuh.

Dan di tembok bilik itu... tertulis dengan goresan tajam:

“Aku di sini, selamanya.”

Tulisan itu basah, seperti baru ditorehkan. Dan di bawahnya, ada jejak telapak tangan—kecil, seperti milik gadis remaja—terpampang merah kecoklatan di dinding marmer putih.

Amara mundur, ingin berlari. Tapi tidak ada pintu keluar. Toilet ini tak lagi berfungsi seperti bangunan nyata.

Ia mencoba membuka salah satu bilik lain. Terkunci. Bilik dua? Terkunci. Tiga? Empat? Enam? Semua tertutup rapat. Tak ada celah. Seolah toilet ini telah memutuskan: satu-satunya ruang yang terbuka untuknya hanya bilik nomor tujuh.

Bau formalin makin kuat. Matanya mulai perih. Ia terbatuk.

Dan di tengah ruangan, dari cermin yang sudah tak lagi utuh, muncul kabut. Bukan dari uap, tapi seperti embun yang menyebar dari dalam kaca, seakan ruang di balik cermin kini menguap masuk ke dunia ini.

Lalu, terdengar suara langkah.

Pelan. Teratur. Seperti kaki telanjang menapak pada lantai basah.

Amara membeku.

Langkah itu bukan miliknya.

Langkah itu bukan gema.

Langkah itu mendekat.

Ia menoleh, tapi tak ada siapa-siapa.

Namun bau formalin kini datang bersama hawa panas yang naik dari lantai, bertolak belakang dengan dinginnya udara semula. Dan bersama panas itu, ia melihat sesuatu muncul dari bawah bilik nomor tujuh:

Sebentuk tangan pucat.

Ujung-ujung jarinya hancur, kukunya terkelupas. Tapi tangan itu tetap merayap perlahan keluar, menapaki ubin seperti mencari sesuatu. Mencari... dia.

Amara berlari ke arah pintu utama toilet, menghantam dan menggedor dengan sekuat tenaga.

“Bukaaa! Ada orang di dalam! Tolong!!”

Tapi tidak ada jawaban.

Dari luar, dunia benar-benar senyap.

Ia menoleh.

Tangan itu sudah tidak sendiri.

Kini dua tangan keluar dari bilik nomor tujuh.

Dan terdengar erangan. Pelan. Basah.

Lalu... suara seperti seseorang tersedak air.

Gluk. Gluk. Gluk.

Amara memeluk tubuhnya sendiri, membisu, dan dalam diam ia tahu satu hal pasti:

Toilet ini bukan tempat ia terperangkap... ini tempat ia kembali.

Dan bau formalin itu bukan baru datang malam ini.

Itu bau yang pernah ia kenal.

Dari suatu tempat yang terlupa.


Ingatan yang Tidak Diundang

22.20 WIB

Toilet Wanita – Lantai 5, Mall Urbania

Toilet ini menolak logika.

Semua bentuk waktu, cahaya, dan bau telah menyimpang dari yang ia kenal. Seperti berjalan di dalam mimpi buruk yang dibungkus dunia nyata. Tapi yang paling menyesakkan bagi Amara bukan tubuh yang lemas, bukan tangan-tangan mayat yang keluar dari bilik, atau pintu yang tak bisa dibuka.

Yang paling menyesakkan adalah perasaan familiar.

Seolah semua ini... sudah pernah terjadi.

Ia menyandarkan diri di bawah wastafel, mencoba membungkam napas yang terengah. Air mata menggenang, bukan karena takut, tapi karena ingatan yang mulai menampar balik.

Kepingan-kepingan masa lalu. Kabur. Tapi menyusup.

Satu potong:

Seorang gadis remaja, menangis di dalam bilik toilet sekolah, di-bully karena hamil di luar nikah.

Potong lainnya:

Surat permintaan maaf yang tak sempat dikirim.

Dan satu lagi:

Siluet tubuh tergantung dengan dasi sekolah melilit leher, di dalam bilik... nomor tujuh.

“Tidak, itu bukan aku. Itu bukan aku!” Amara memukul kepala sendiri. Tapi semakin keras ia mencoba melawan, semakin jelas kilasan itu menyeruak. Seperti seseorang—atau sesuatu—berusaha menjejalkan ulang sejarah yang ingin ia buang jauh-jauh.

Cermin mulai berembun, meski tak ada uap. Dan di sana, tulisan itu muncul kembali:

“Kau yang menyaksikan... tapi diam.”

Amara terpaku.

Ingatannya menjalar cepat.

Dia tahu siapa gadis itu.

Bukan orang asing. Bukan roh jahat tanpa nama.

Itu teman sekelasnya.

Nadia.

Gadis pendiam. Sering duduk di belakang. Sering dibisiki gosip. Sering dikucilkan. Suatu hari menghilang. Dikatakan pindah sekolah karena keluarga. Tapi sebelum hilang, Nadia sempat bicara pada Amara. Meminta ditemani ke toilet. Mengaku takut. Mengaku ingin bicara. Tapi Amara menolak.

“Nanti aja, Nad. Aku mau nonton dulu. Gak enak kalau temenku nunggu.”

Kalimat itu. Dingin. Ringan. Tapi tajam.

Dan malam itu... Nadia ditemukan bunuh diri.

Di toilet mall ini.

Di bilik nomor tujuh.

Amara menjerit. Tapi suara jeritannya terpantul kembali sebagai tawa.

Tawa anak perempuan. Tipis. Patah.

Dan bersamaan dengan itu, dari bilik nomor tujuh—yang kini seperti lubang waktu yang terbuka lebar—terdengar suara langkah.

Langkah kaki remaja perempuan bersepatu kets usang.

Langkah yang lambat, seperti beban berat menggantung di setiap ayunan.

Dan kemudian, suara pintu bilik satu per satu kembali terbuka.

Ceklek. Ceklek. Ceklek.

Tapi kali ini, di setiap bilik, ada sosok berdiri.

Berdiri menghadap ke dinding. Tubuh mereka pucat, rambut menutupi wajah, dan gaun mereka meneteskan air yang sama—lengket, hitam, bau kematian.

Mereka semua menoleh ke arah Amara dalam waktu yang sama.

Dan dari bibir mereka, kalimat yang sama terucap serempak, kaku:

“Kau datang lagi.”

Amara memejamkan mata, tapi dunia tidak lenyap.

Sebab di tempat seperti ini... menutup mata tak berarti berhenti melihat.

Dan di balik kelopak matanya, ia melihat ulang satu adegan:

Nadia berdiri di bilik nomor tujuh, tubuhnya gemetar, memegangi dasi yang ia lingkarkan di pipa atas. Ia menoleh ke arah pintu toilet—ke arah seseorang yang melihatnya dari cermin. Bukan untuk meminta tolong.

Tapi untuk memastikan:

“Kau melihat, tapi kau membiarkan aku pergi.”


Tubuh di Cermin

22.24 WIB

Toilet Wanita – Lantai 5, Mall Urbania

Cermin tak lagi menampilkan dunia luar.

Ia telah menjadi portal. Bukan ke dimensi asing, tapi ke kenyataan yang tak diakui.

Amara membuka matanya.

Tapi yang ia lihat bukan refleksinya.

Melainkan tubuh—tergantung, melayang, tak menyentuh lantai—di dalam cermin.

Tubuh itu adalah Nadia.

Rambutnya basah, gaunnya compang-camping, matanya hitam seluruhnya, menganga seperti lubang ke ruang sunyi. Dan dasi sekolah masih terjerat di lehernya, mengikatnya pada pipa yang kini membentuk akar-akar besi di langit-langit cermin.

Amara mundur, terantuk wastafel, hampir terjatuh.

Tapi tubuhnya seolah tertahan oleh sesuatu.

Bukan oleh gravitasi—oleh rasa bersalah.

Oleh masa lalu yang kini berubah menjadi ruang.

Lantai toilet kini memantulkan gambar bukan dari atas, tapi dari bawah tanah.

Ia melihat sepatu-sepatu remaja. Banyak. Terendam lumpur.

Seolah di bawah toilet ini terkubur banyak sekali… cerita. Tubuh. Dosa.

Amara mengumpulkan napas dan mendekati cermin.

Ia menatap ke dalam, berharap bayangannya kembali.

Yang muncul justru dirinya sendiri, berdiri di bilik nomor tujuh.

Tapi berbeda.

Amara versi dalam cermin berwajah datar. Pucat. Tak berkedip. Dan yang paling mengerikan: dia tidak bergerak mengikuti gerakan tubuh aslinya.

Ia berdiri diam, menatap Amara dari dalam kaca. Seolah berkata:

“Akhirnya kau datang.”

Amara mengangkat tangan kirinya. Refleksi tidak.

Amara mundur satu langkah. Refleksi tetap diam.

Lalu, perlahan, tubuh di dalam cermin bergerak sendiri.

Ia berjalan mundur ke dalam bilik nomor tujuh versi cermin.

Dan sebelum menghilang dalam gelap, ia menyeringai pelan, lalu menunjuk ke arah Amara dengan gerakan lambat.

Tiba-tiba, cahaya merah padam. Gelap total.

Semua suara hilang.

Lalu... dari dalam cermin, terdengar suara basah seperti sesuatu meletus.

Dan muncul tangan berdarah, menyembul dari permukaan cermin yang seharusnya padat.

Tangan itu meraih Amara, tapi tak menyentuh tubuhnya—ia menarik bayangannya.

Refleksi Amara... tercabut keluar dari tubuh.

Dan ia melihat dirinya sendiri ditarik perlahan ke dalam cermin, diseret ke dunia yang selama ini ia tolak.

Seketika, dunia terbelah.

Amara berada di dua tempat sekaligus.

Tubuhnya di lantai toilet yang gelap dan dingin.

Jiwanya di dalam bilik nomor tujuh, menatap diri sendiri dari dalam, seperti orang asing di dalam daging yang dikenalnya.

Dan saat ia mencoba memanggil, lidahnya kelu.

Sebab dalam dimensi cermin ini, tidak ada suara. Hanya penyesalan yang bergema.

Lalu ia menyadari:

Amara dalam cermin... bukan hanya dirinya.

Ia adalah Amara yang seharusnya menolong Nadia. Tapi memilih pergi.

Dan kini, setelah bertahun-tahun, tubuh dan jiwa itu bersatu kembali—di tempat yang semestinya


Tujuh Langkah Terakhir

22.27 WIB

Toilet Wanita – Lantai 5, Mall Urbania

Suara langkah pertama terdengar seperti suara jam berdetak…

Satu.

Langkah kaki itu telanjang, menapak pada lantai yang kini basah oleh darah dan air sisa pembalseman.

Dua.

Langkah itu datang dari lorong sempit di luar toilet. Amara yang kini terjebak di dalam bilik nomor tujuh—bukan dalam tubuhnya, melainkan dalam pantulan dirinya sendiri—hanya bisa mendengar.

Tiga.

Toilet yang tadinya ruang steril kini berubah menjadi tempat ritual—sepi tapi sarat gema. Suara tangisan, tawa, dan jerit perempuan menyatu seperti orkestra neraka.

Empat.

Langkah itu makin dekat. Tapi anehnya, tak ada bayangan manusia. Tak ada siluet di bawah pintu.

Lima.

Toilet ini menghapus batas tubuh dan suara.

Semua bilik tertutup, tapi setiap bilik... bernafas.

Amara bisa merasakan napas berat keluar dari sela-sela pintu bilik, mengembuskan bau tanah basah dan luka lama.

Enam.

Lampu darurat menyala kembali—berpendar merah menyakitkan, seperti mata yang terbuka paksa dalam gelap. Cermin di atas wastafel kini tak menampilkan apapun kecuali lautan kabut dan simbol silang hitam—sama seperti pola yang muncul di bawah pintu bilik nomor tujuh di awal malam.

Dan...

Tujuh.

Langkah terakhir berhenti tepat di depan bilik tempat Amara berada.

Bukan dirinya yang berdiri di sana, tapi Amara lain—dari tubuh, dari waktu, dari ingatan.

Dia melihatnya.

Amara versi "masa lalu yang berdosa."

Versi yang membiarkan Nadia sendirian.

Versi yang tak pernah menengok ke belakang saat seseorang memanggil pelan dari balik bilik.

Tok. Tok.

Bukan ketukan dari dalam. Tapi dari dirinya sendiri, di luar.

Dirinya yang ingin masuk. Dirinya yang ingin... menggantikan.

Amara mencoba berteriak, tapi tak ada suara yang keluar.

Mulutnya hanya bergerak, tenggorokannya kering seperti batu.

Ia memukul dinding bilik, mencoba memecahkan ruang ini. Tapi tangan hanya menembus kabut.

Kemudian... pintu bilik terbuka pelan.

Bukan karena dorongan. Tapi karena keputusan.

Pintu itu seperti hidup. Ia tahu siapa yang pantas berada di sini, dan siapa yang harus menggantikan.

Dan Amara melihat wajahnya sendiri. Tapi lebih tua. Lebih tenang. Lebih kosong.

Wajah yang tak lagi menolak dosa.

Wajah yang menerima... untuk tinggal.

Lalu terdengar bisikan dari segala arah:

"Kau sudah mengunci dirimu sendiri sejak dulu, Amara."

"Ini bukan kutukan. Ini pengulangan."

"Dan selalu akan ada... yang mengambil tujuh langkah itu."

Amara yang asli, yang rapuh, yang masih merasa bersalah, akhirnya...duduk.

Di atas kloset bilik nomor tujuh.

Dasi sekolah tergantung di atas.

Foto Nadia kini berpindah ke tangan.

Dan cermin... menampakkan mall yang sudah buka.


Tidak Pernah Keluar

Hari berikutnya, 10.05 WIB

Mall Urbania – Lantai 5, Toilet Wanita

Petugas kebersihan pagi itu mendorong troli pembersih menyusuri koridor lantai lima. Aroma sabun pelarut lantai dan musik instrumental dari speaker langit-langit menyelimuti mall yang baru saja dibuka. Tak ada tanda bahwa malam tadi, sesuatu pernah hidup—dan mati—di toilet wanita.

Ia membuka pintu toilet secara otomatis.

Ruang itu terlihat… bersih. Seperti biasa.

Terlalu bersih.

Namun ada sesuatu yang membuat langkahnya melambat.

Semua bilik tertutup rapat. Kecuali satu:

Bilik nomor tujuh.

Pintu bilik itu terbuka sedikit—celahnya kira-kira dua jari.

Dari celah itu, terlihat sepatu perempuan. Putih, agak kusam, dengan satu tali terlepas.

Petugas membersihkan wastafel terlebih dahulu, sambil sesekali melirik cermin panjang di atasnya. Cermin itu tidak menunjukkan refleksi normal. Sekilas, ia merasa ada bayangan perempuan duduk di bilik tujuh, rambutnya menutupi wajah.

Ia mencoba menenangkan diri. Mungkin belum cukup tidur.

Tapi saat membersihkan lantai di depan bilik tujuh, ia tak sengaja menyentuh gagang pintu bilik yang terbuka itu. Terasa dingin… terlalu dingin.

Dan saat ia menekan pintu perlahan—

Kosong.

Tak ada siapa-siapa.

Tapi di dalamnya, masih tertinggal sesuatu di lantai:

Sebuah foto berbingkai logam.

Bergambar remaja perempuan berseragam putih abu.

Di bawahnya tertulis:

“Amara Putri Salsabila – Kelas 12-A”

Petugas itu bergidik, buru-buru keluar, tak jadi menyapu.

Dan seperti ritual pagi yang sudah berlangsung diam-diam selama bertahun-tahun, toilet wanita lantai lima kembali dikunci permanen.

Beberapa Minggu Kemudian

Laporan CCTV Mall Urbania merekam kejadian malam tanggal 12 itu.

Terlihat jelas: seorang perempuan muda masuk ke toilet wanita pukul 21.38.

Ia tak pernah keluar.

Tak pernah.

Seluruh footage tidak menunjukkan siapa pun meninggalkan ruangan itu.

Namun setiap malam pukul 22.07, dari dalam bilik nomor tujuh,

lampu menyala sendiri.

Dan kamera merekam satu sosok duduk diam di dalamnya.

Kepalanya menunduk. Rambut menutup wajah.

Dan tepat pukul 22.27,

selalu terdengar tujuh langkah kaki...

dari arah yang tidak pernah terekam kamera manapun.


EPILOG

Jika suatu hari kau sendirian di toilet mall,

dan bilik nomor tujuh sedikit terbuka,

jangan pernah menatap ke dalam cermin.

Karena kadang...

yang kau lihat di sana bukan dirimu.

Tapi seseorang yang masih menunggumu…

untuk menggantikan tempatnya.


Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)