Masukan nama pengguna
Hal-Hal yang Tidak Jadi
“Sebagian besar hidup manusia dihabiskan untuk merencanakan hal-hal yang tidak akan pernah terjadi. Di situlah aku bekerja.”
Namanya Akena Virendra. Tak tertulis di KTP. Tak tercantum dalam basis data sipil mana pun. Ia tinggal di sebuah rumah kayu satu lantai di ujung lereng yang tak disebut dalam peta topografi. Rumah itu tampak seperti bangunan terbengkalai jika dilihat dari luar: cat mengelupas, dinding menggembung dimakan lembap, dan pagar kawat berkarat yang tak pernah dikunci. Tapi begitu melewati ambangnya, waktu terasa berhenti. Atau mungkin berbelok.
Di dalam rumah itulah Akena melakukan profesi yang tidak diakui negara dan tidak dipercayai akal sehat:
Ia adalah seorang Arsipir—pekerja tunggal yang mengarsipkan hal-hal yang nyaris terjadi, tapi tidak pernah benar-benar terwujud.
Ia mencatat:
Kalimat “aku mencintaimu” yang sudah sampai di ujung lidah seseorang, tapi batal terucap.
Jari yang hampir menekan tombol “kirim” pada email pengunduran diri.
Gambar bayi dalam hasil USG yang kemudian tak jadi dilahirkan karena ibunya berubah pikiran.
Bunuh diri yang dibatalkan detik sebelum kursi ditendang.
Dan doa yang nyaris terucap—tetapi tertahan karena ragu kepada siapa doa itu ditujukan.
Semua itu ia simpan dalam ruang bawah tanah berkubah, yang tak bisa dibuka tanpa jam khusus miliknya: jam kantong kuningan dengan jarum berjalan mundur. Arsip-arsip itu tak ditulis di kertas biasa, melainkan pada lembaran yang disebut membrana kosong—kertas tak terlihat yang hanya bisa dibaca oleh mata yang pernah patah hati.
Ruang kerjanya seperti altar.
Di tengahnya, sebuah meja jati tua dengan ukiran heksagram dan potongan ayat dari naskah yang belum pernah diterbitkan manusia. Di atasnya, ada mesin ketik tua yang hanya bisa digunakan antara pukul 02.00 dan 04.00 dini hari, saat dunia paling sunyi.
Setiap pukul 03.03, lonceng tembaga kecil yang tergantung di langit-langit akan berdentang satu kali saja, jika ada arsip baru yang datang dari "perbatasan kemungkinan." Tapi pada malam itu, lonceng berdentang dua kali.
Itu belum pernah terjadi sebelumnya.
Akena berjalan perlahan ke ruang arsip. Udara di ruangan itu selalu terasa seperti detik sebelum hujan pertama. Lembap, sarat, tapi juga menahan sesuatu. Ia menyentuh dinding—dinding yang merekam semua keengganan manusia. Tiba-tiba, salah satu laci terbuka sendiri. Di dalamnya ada selembar membrana kosong yang... tak benar-benar kosong.
Ia membaca:
"Jika Akena membaca ini, maka keseimbangan telah terganggu. Dan arsip akan mulai bocor.”
Tinta pada kalimat itu belum kering.
Masih basah.
Masih hangat.
Dan tertulis dengan gaya ketikan yang sangat ia kenal: miliknya sendiri.
Akena mundur satu langkah. Ia menyadari satu hal yang menggetarkan jiwanya:
Ia telah mengarsipkan kemungkinan dirinya sendiri.
Sesuatu yang seharusnya dilarang keras oleh hukum metafisik profesinya.
Tanda-tanda mulai muncul:
Jam kantongnya berjalan mundur dua detik sekaligus.
Salah satu arsip tua terbakar pelan dari sudutnya sendiri, mengeluarkan bau bunga melati—yang hanya muncul jika cinta lama yang belum selesai dipanggil kembali.
Dan suara pintu rumahnya yang terbuka sendiri, padahal tidak ada siapa-siapa.
Atau… belum.
Akena menatap mesin ketiknya.
Satu kertas kosong telah terisi kalimat baru, padahal ia belum duduk.
"Tidak semua yang tidak jadi harus diselamatkan."
Ia tahu, sejak malam itu, pekerjaannya tidak lagi tentang mencatat.
Tapi tentang memilih:
Mana yang harus dibiarkan tetap tidak jadi,
dan mana yang harus dibiarkan bocor—meski konsekuensinya bisa membuat dunia kehilangan garis waktu.
Buku yang Tak Pernah Dicetak
Pagi tidak pernah benar-benar datang di tempat Akena tinggal. Kabut tipis menyelimuti lereng sejak fajar hingga senja. Matahari hanya muncul seperti janji yang tak pernah ditepati: samar, jauh, menggantung di balik pohon-pohon tua yang bahkan tidak lagi mengingat musim.
Akena menyeduh kopi dari teko besi yang dentingnya menyerupai suara waktu yang pelan-pelan meloloskan diri. Ia duduk di kursi kayunya, menatap ke luar jendela. Tapi hari ini, jendela tidak menawarkan pemandangan. Hanya pantulan dirinya—dan pantulan rak tua di belakangnya yang tiba-tiba berubah.
Rak itu tidak pernah bergeser. Namun pagi ini, ada satu buku tambahan.
Buku itu tidak berjudul, tidak bersampul. Namun jelas bukan bagian dari koleksi Akena.
Ia mendekat. Buku itu tebal, dengan kertas tipis dan aroma lembab seperti kitab yang disembunyikan terlalu lama. Di halaman pertama, ada satu kalimat yang tercetak dengan huruf timbul:
“Halaman-halaman ini belum terjadi. Tapi akan.”
Ia mulai membalik. Dan di setiap halaman, tertulis:
Dialog-dialog yang tak pernah ia ucapkan.
Percakapan via telepon yang tidak pernah ia lakukan.
Surat cinta yang tidak pernah ia tulis, tapi bisa ia kenali dengan jelas sebagai tulisannya.
Lalu halaman ke-44 menampilkan kalimat sederhana:
“Dia akan datang sore ini. Jangan tutup pintu.”
Akena membeku. Ia membaca ulang halaman itu, berharap huruf-hurufnya menguap. Tapi tidak. Justru semakin jelas. Tinta seperti menebal dengan napasnya sendiri.
“Dia”…?
Hanya satu perempuan yang disebut “dia” dalam hidupnya. Seseorang dari arsip lamanya. Seseorang yang tidak seharusnya kembali.
Namanya tidak pernah ia simpan dalam arsip resmi. Ia terlalu takut, sebab nama itu adalah satu dari sedikit hal yang pernah membuatnya mempertimbangkan untuk berhenti menjadi Arsipir.
Namanya: Lia Abirama.
Sepuluh tahun lalu, Akena menghapus kemungkinan untuk bersama Lia demi menyelamatkan satu kota dari bencana emosi kolektif.
Cinta mereka adalah sebuah simpul di mana banyak kemungkinan bisa saling bertabrakan.
Jika mereka bersatu, akan ada 132.401 skenario lain yang tak pernah terwujud—termasuk dua kelahiran, tiga rekonsiliasi keluarga, dan satu penyair yang seharusnya hidup.
Akena mencatat semuanya waktu itu.
Lalu ia memilih untuk membiarkan dirinya kehilangan.
Itu yang membuatnya layak menjadi Arsipir.
Namun kini, buku itu ada di hadapannya.
Dan jam kantongnya berdetik maju satu kali—pertanda arsip dari masa depan telah bocor ke waktu sekarang.
Akena menutup buku itu, tapi saat hendak mengembalikannya ke rak, ia melihat sesuatu yang membuat punggungnya dingin:
Di sisi samping buku itu, tercetak samar dengan tinta abu-abu: “Edisi Pertama – Ditulis oleh Akena Virendra.”
Ia tidak pernah menulis buku.
Tapi buku ini, entah bagaimana, ditulis olehnya—dari masa depan yang belum terjadi.
Ia menoleh ke pintu depan.
Masih tertutup.
Masih terkunci.
Namun ia tahu...
Jika Lia mengetuk sore ini, dan ia membuka pintu itu, semua arsip akan kehilangan garis batasnya.
Hujan yang Seharusnya Tidak Turun
Langit semestinya cerah hari itu. Akena tahu karena ia menyimpan salinan atmosferik harian dari catatan meteorologis yang tidak pernah diterbitkan. Udara pukul 14.00 seharusnya kering dengan kelembapan di bawah 30%. Tapi pukul 13:37, tetes air jatuh dari langit, satu-satu, seperti keraguan yang tak bisa ditahan lagi.
Hujan yang tidak seharusnya turun.
Bukan hanya karena langit tak mengizinkannya, tapi karena tidak ada catatan kemungkinan tentang itu. Akena tahu: jika sesuatu terjadi tanpa kemungkinan tercatat, maka dunia sedang retak di satu titik yang tak terlihat.
Ia berdiri di beranda, menyaksikan air turun seperti kesalahan. Setiap tetes adalah interupsi pada garis waktu yang biasanya tertib.
Daun-daun menjadi lebih gelap dari biasanya.
Bau tanah menjadi asing, seperti aroma rumah yang pernah ia datangi dalam mimpi, tapi tak bisa ia kenali setelah bangun.
Di dalam rumah, jam kantong berdetak keras tanpa ritme.
Akena bergegas turun ke ruang arsip.
Langkahnya cepat, nyaris panik.
Bukan karena hujan. Tapi karena perasaan mendalam bahwa sebuah nama yang seharusnya diam telah mulai bergema.
Dan benar saja—salah satu arsip paling tua terbakar sendiri dari sudutnya.
Membrana itu menghitam, mengeluarkan asap tipis berwarna biru.
Aroma terbakar itu bukan seperti kertas—tapi seperti rambut Lia saat tersentuh sinar matahari sore, aroma yang hanya ia ingat saat ia kehilangan.
Akena menarik membrana itu dengan penjepit, menaruhnya di atas meja batu.
Sebagian besar arsip telah hangus, namun satu baris masih bisa dibaca:
“Jika ia mengetuk pintu, dan kau menjawab, maka kemungkinan akan menjadi kenangan. Dan kenangan adalah jenis waktu yang paling sulit dikembalikan ke arsip.”
Akena terdiam.
Pintu depan berderit.
Ia tak tahu apakah angin yang membukanya, atau seseorang dari luar waktu. Tapi di udara mulai terasa sesuatu: kehadiran. Bukan hanya manusia—tapi semacam “bekas” dari sesuatu yang pernah hidup di hatinya.
Ia melangkah perlahan ke ruang depan.
Di ambang pintu, tidak ada siapa-siapa. Hanya sepucuk amplop.
Bukan putih. Tapi berwarna biru laut tua—warna yang hanya digunakan oleh para Arsipir untuk pesan antar-dimensi.
Ia mengambilnya dengan tangan gemetar. Tinta di depannya tertulis:
“Untuk Akena, dari yang nyaris tidak kembali.”
Di dalamnya hanya satu kalimat:
“Aku sudah di dalam arsip. Tapi apakah kau ingin mengeluarkanku?”
Ia menutup matanya.
Langit masih menangis untuk sesuatu yang belum terjadi.
Dan Akena tahu, ini bukan lagi tentang mencatat. Ini tentang melupakan sesuatu yang tak bisa ditinggal dengan aman.
Perempuan Bernama Sisa
“Beberapa orang tidak pernah benar-benar hadir dalam hidup kita. Tapi kita mengenangnya seolah mereka tak pernah pergi.”
Pukul 03:03 dini hari.
Lonceng tembaga di langit-langit ruang bawah berdentang. Sekali.
Lalu... sekali lagi.
Akena duduk di kursi ruang kerja, tubuhnya diam namun pikirannya terpecah ke dalam jutaan kemungkinan. Di hadapannya, mesin ketik tua mengetik sendiri. Ia tak menyentuhnya. Tapi bunyi ketikan terdengar jelas, seperti suara ingatan yang menuntut untuk dibentuk menjadi kalimat.
SISA TELAH KEMBALI. IA MENUNGGU DI ANTARA BARIS YANG TIDAK JADI KAU TULIS.
Akena berdiri. Ia melangkah menuju ruang arsip, bukan sebagai pencatat kali ini, tapi sebagai saksi dari kemungkinan yang menolak dimakamkan.
Pintu besi yang biasa berat itu… terbuka dengan sendirinya.
Di tengah ruangan berkubah itu, tempat arsip-arsip tersimpan dalam laci-laci memori dunia, berdiri seseorang yang tidak nyata—tapi juga tidak sepenuhnya fiktif.
Perempuan itu mengenakan mantel hijau lumut. Wajahnya tak berubah sedikit pun sejak terakhir kali Akena melihatnya di dunia nyata sepuluh tahun lalu. Tapi matanya… matanya seperti cermin retak yang memantulkan bukan dirinya, melainkan segala yang gagal terjadi antara mereka.
“Lia?”
Suara Akena terdengar seperti milik orang lain.
Tapi perempuan itu tidak menjawab. Ia hanya menatap Akena dengan tatapan yang penuh pengertian, kesakitan, dan sesuatu yang lebih kelam dari kehilangan: sisa.
Akena melangkah mendekat, tapi tubuhnya berat, seolah realitas menolaknya untuk benar-benar menyentuh yang tak seharusnya ada.
“Aku bukan Lia,” perempuan itu akhirnya berkata, “Aku adalah Sisa dari Lia. Bagian yang kau tolak, tapi tak sempat kau bakar. Yang tidak kau arsipkan… tapi juga tidak kau bebaskan.”
Akena terduduk. Kepalanya menunduk.
“Kenapa kau muncul sekarang?” bisiknya.
Karena aku tidak pernah selesai.
Karena kau membuka arsip sendiri.
Karena dunia yang kau jaga telah mulai mempertanyakan penjaganya.
Sisa berjalan pelan mengitari meja batu tempat Akena biasanya merekam kemungkinan. Ia menyentuh satu laci yang tertulis tahun 2039—tahun yang belum tiba.
“Ada kemungkinan-kemungkinan yang tidak ingin dikembalikan,” ujarnya. “Mereka ingin menjadi nyata. Dan aku… adalah yang pertama.”
Akena berdiri, menggenggam tepi meja.
“Kalau kau jadi nyata, maka yang lain akan ikut. Dunia akan penuh dengan bayangan keputusan yang batal. Dengan versi anak-anak yang tak lahir, pernikahan yang gagal, kejahatan yang tak jadi dilakukan tapi tetap hidup dalam niat.”
Sisa menatap Akena dalam-dalam.
“Tapi apakah semua itu lebih mengerikan daripada satu cinta yang tidak pernah diberi ruang untuk hidup, hanya karena kau terlalu takut pada akibatnya?”
Diam.
Sunyi yang sangat panjang.
Jam kantong di saku Akena retak. Bunyi logam kecil terdengar, dan dunia terasa sejenak miring.
Akena mendekat.
Ingin menyentuh wajah Sisa.
Namun tubuh perempuan itu mengabur—seperti debu mimpi yang menolak membentuk wajah.
Yang tersisa hanya aroma hujan pertama. Aroma buku tua. Aroma kopi yang tak jadi diseduh.
Dan satu suara terakhir:
“Aku tidak ingin kau menyesal. Aku hanya ingin kau tahu bahwa aku pernah mungkin.”
Akena menutup pintu ruang arsip. Tapi kali ini… pintu itu tidak mengunci.
Dan di luar rumah, pagi datang lebih awal. Tapi matahari tetap tidak terlihat.
Yang terlihat hanyalah pantulan Akena di jendela, dan di belakangnya, bayangan perempuan dalam mantel hijau yang berdiri dalam diam.
Jam Tembus yang Retak
“Waktu tidak pernah sepenuhnya lurus. Ia retak di tempat-tempat yang dipilih oleh kenangan dan penyesalan.”
Jam kantong Akena retak pada dini hari pukul 04:44.
Satu celah membelah angka 4, menjadikannya mirip angka 11 yang bersembunyi dalam bentuk.
Ia menatapnya lama, memutar-mutarnya di telapak tangan.
Jarumnya masih berjalan, tapi tak ada yang tahu ke arah mana.
Di meja kerjanya, mesin ketik tua berbunyi sendiri. Tidak seperti biasanya yang ragu dan pelan, kali ini hentakannya pasti—seperti tangan seorang ayah yang sedang menulis nama anaknya untuk pertama kali.
Akena perlahan mendekat.
Di atas lembaran putih, hanya ada satu kata yang belum pernah ia lihat muncul dari sistem arsip mana pun:
"Rayaka."
Ia membacanya keras-keras. Dan saat itu juga, seluruh ruangan bergetar pelan. Seperti bumi yang menghela napas dari dasar perutnya.
Akena membuka catatan sistem, mencari nama itu.
Tidak ada.
Tak pernah ada.
Namun ketika ia mengetik nama itu dalam pencarian arsip belum terjadi, halaman kosong tiba-tiba terisi sendiri.
Muncul sebuah catatan, tertanggal:
7 Juli 2045
Kategori: Kemungkinan Terhapus Sebelum Diputuskan
Tingkat Gangguan Waktu: Tinggi
Isi:
Rayaka Virendra. Anak laki-laki. Lahir dari kemungkinan cinta yang pernah ditolak. Tidak pernah dicatat. Tidak pernah dihapus. Ia hidup di antara celah waktu—antara ayah yang menolak, dan ibu yang terlambat mencintai kembali.
Akena terdiam.
Virendra. Nama keluarganya.
Nama anak yang tidak pernah ia punya.
Tapi kini, tertulis lengkap dengan waktu lahir, panjang badan, tangisan pertama, dan… satu hal yang membuat tubuhnya menggigil:
Status: Berhasil Membocorkan Diri ke Realitas Melalui Celah “Sisa.”
Akena memegang pinggiran meja. Napasnya berat.
“Rayaka,” gumamnya, “kau tak boleh ada…”
Tapi dunia sudah bergerak.
Ia mendengar suara kecil dari luar ruang kerjanya.
Bukan suara langkah kaki.
Tapi suara kertas-kertas yang jatuh, satu demi satu—seperti kartu domino yang disusun dengan hati-hati lalu disentuh satu kali oleh takdir.
Akena berjalan menuju ruang tamu.
Dan di sana, di lantai yang lembab oleh kabut dini hari, bertebaran puluhan lembar arsip.
Semua bertuliskan nama yang sama:
Rayaka.
Ada yang menampilkan sketsa wajah anak laki-laki usia 7 tahun.
Ada yang berisi surat sekolah yang tak pernah dikirim.
Ada satu yang menampilkan gambar tangan mungil menggenggam jari Akena sendiri.
Ia terduduk. Tak bisa berkata-kata.
Dan saat ia menutup mata untuk sejenak, terdengar ketukan.
Pelan.
Tiga kali.
Sederhana.
Ketukan di pintu depan.
Seperti siapa pun yang datang, datang bukan untuk mengganggu, tapi untuk menggenapkan.
Akena membuka pintu.
Tak ada siapa-siapa.
Hanya udara yang hangat. Terlalu hangat untuk dini hari.
Dan di ambang pintu, satu sepatu kecil.
Ukuran anak-anak.
Di atasnya, ada catatan kecil:
“Ayah, aku di dalam cerita. Jangan hapus aku.”
Jam kantong di tangan Akena berhenti berdetak.
Tapi dunia di sekitarnya terus berjalan.
Hanya saja, ia tak lagi yakin waktu bergerak ke depan.
Harga dari Semua yang Tak Jadi
“Setiap pilihan yang kita buat selalu memiliki harga. Tapi harga dari yang tak jadi—itu tak bisa dibayar dengan waktu. Hanya dengan keheningan.”
Pagi datang seperti seseorang yang mengetuk pintu terlalu pelan. Dunia mulai bergerak lagi. Detik pada jam digital berdetik. Ikan-ikan kembali berenang di kolam sunyi. Langkah-langkah manusia yang sempat tertunda kini kembali menyelesaikan niat.
Tapi Akena tidak merasa lega.
Ia hanya tahu: harga dari malam tanpa kemungkinan akan datang perlahan.
Bukan dalam bentuk bencana, tapi dalam bentuk kehilangan yang halus—seperti seseorang yang bangun tidur dan merasa ada sesuatu yang hilang, tapi tidak tahu apa.
Di ruang kerjanya, mesin ketik kini berhenti total. Seperti tahu bahwa tugasnya sudah selesai. Tapi Akena menyadari satu hal ganjil:
Setiap lembar arsip yang terbuka pagi ini… tidak menampilkan masa lalu atau masa depan.
Semua hanya menampilkan satu baris:
“Apakah kau yakin ingin mengingatnya?”
Bukan “merekam.”
Bukan “menyimpan.”
Tapi mengingat.
Akena berjalan ke ruang arsip. Setiap langkah terasa seperti menuruni anak tangga menuju dirinya sendiri. Pintu terbuka. Dinding kubah kini retak halus—garis-garis lembut seperti keriput di wajah orang bijak yang terlalu banyak menyimpan rahasia.
Ia menatap laci tengah—laci yang selama ini tak pernah dibuka. Bukan karena dilarang. Tapi karena itu adalah laci terakhir.
Laci yang hanya boleh dibuka jika seorang Arsipir bersedia berhenti menjadi penjaga dan menjadi isi.
Di sanalah ia menemukannya:
Membrana dirinya sendiri.
Bukan dalam bentuk catatan arsip. Tapi seperti narasi tentang hidup seseorang yang pernah—dan hampir—ada.
Akena Virendra. Putra dari keluarga penjaga waktu. Menolak cinta. Menolak menjadi ayah. Menolak menulis buku. Menolak dikenang. Tapi… pernah menulis satu nama di jendela yang berembun, lalu menghapusnya sebelum matahari pagi melihat.
Di bawah catatan itu, hanya satu pertanyaan ditulis dengan tinta merah:
“Apakah kau ingin tetap mencatat… atau ingin diingat?”
Akena terduduk. Di depannya, botol tinta tua dan pena besi yang selama ini ia gunakan untuk menandatangani penutupan arsip. Tangannya gemetar.
Ia tahu konsekuensinya.
Jika ia menandatangani arsip terakhir ini…
Ia tidak akan lagi menjadi Arsipir.
Ia akan menjadi bagian dari cerita—milik orang lain.
Mungkin milik Rayaka.
Mungkin milik Lia.
Mungkin hanya milik siapa pun yang pernah memilihnya tapi tak pernah berhasil memilikinya.
Ia mengambil pena.
Menandatangani.
Tinta merah membentuk namanya.
Dan saat tanda tangan selesai, dinding-dinding ruang arsip mulai memudar.
Laci-laci menghilang satu per satu.
Mesin ketik larut ke dalam meja.
Jam kantong berhenti berdetak dan meleleh menjadi logam cair.
Dan tubuh Akena… perlahan mulai menjadi transparan.
Sebelum semuanya hilang, satu suara terdengar dari ruang kerja di atas.
“Ayah?”
Lia berdiri di ambang pintu.
Di sampingnya, seorang anak lelaki berusia tujuh tahun, membawa secarik kertas dan sepatu kecil.
“Dia bilang kau ada di sini,” kata anak itu.
Di mejanya, satu lembar kertas terakhir tertinggal:
“Beberapa kisah memang tidak seharusnya jadi… tapi jika mereka masih ingin ditulis, bukankah itu artinya mereka layak hidup?”
Arsipir Terakhir
“Ketika tidak ada lagi yang mencatat, setiap manusia harus belajar mengingat dengan sepenuh jiwa.”
Dunia tidak menyadari bahwa seorang penjaga telah pergi.
Tak ada berita.
Tak ada upacara.
Tak ada arsip yang mencatat hilangnya Akena Virendra.
Namun sesuatu berubah.
Hari-hari menjadi sedikit lebih gamang.
Orang-orang mulai merasakan rasa ragu yang lebih dalam dari biasanya.
Beberapa berhenti di tangga, memikirkan ulang apakah mereka akan naik atau turun.
Beberapa lainnya berdiri di depan pintu seseorang, tapi tidak jadi mengetuk.
Dan di antara semua itu, ada satu perasaan baru yang muncul:
Rasa kehilangan terhadap sesuatu yang tak pernah mereka miliki.
Di rumah kayu di lereng yang tidak ada di peta, pintu depan dibiarkan terbuka.
Lia berdiri di sana, menatap ke dalam ruang kerja yang kini kosong, tapi tidak mati.
Di tengah ruangan, mesin ketik tua—yang dulu menolak bergerak tanpa izin Akena—kini menunggu.
Rayaka, bocah berusia tujuh tahun itu, duduk di kursi ayah yang tak pernah ia sentuh sebelumnya. Ia menatap tuts mesin dengan mata penuh tanda tanya.
“Boleh aku menulis, Bu?”
Lia mengangguk, meski suaranya tercekat.
“Jika kau menulis, pastikan kau menulis dengan hati.”
Rayaka mengetik perlahan.
“Ayah adalah cerita yang tak jadi dilupakan.”
Lalu ia menambahkan:
“Aku ingin menulis tentang semua yang tidak terjadi, tapi hampir.”
Lia menatap anak itu. Dan untuk pertama kalinya, ia merasa, mungkin dunia tak lagi butuh Arsipir.
Bukan karena arsip tak penting,
tapi karena manusia kini mulai mau mengingat yang pernah gagal, mencintai yang belum sempat, dan memberi nama pada yang hampir.”
Di loteng rumah itu, satu lemari kecil terbuka dengan sendirinya.
Di dalamnya, satu botol aroma tua, labelnya mengelupas.
Namun samar-samar, masih bisa terbaca:
Sisa. Untuk yang tak selesai, tapi tak ingin hilang.
Udara menghangat.
Dan jendela ruang atas memantulkan cahaya senja.
Di pantulan itu—untuk sesaat—terlihat sosok Akena berdiri.
Tidak mengawasi. Tidak mengikat.
Hanya… menghadirkan ruang.
Kini, tidak ada lagi Arsipir.
Tapi semua orang menjadi penulis.
Penulis bagi yang hampir, yang nyaris, dan yang tak sempat.
Dan di setiap keputusan yang diambil, di setiap kata yang terucap—mereka tahu:
Ada seseorang yang dulu pernah menjaga,
agar mereka bisa memilih dengan benar.