Masukan nama pengguna
JAZZBUK
GEMBEL JAZZ
Viralnya kadang absurd. Satu detik lu ngedance, dua detik kemudian lu jadi ikon nasional. Tapi ini beda. Yang viral bukan dance, bukan prank, bukan orang cakep atau mobil mewah. Yang viral adalah gerobak reyot, penyanyi berdaster, dan musisi gondrong berminyak yang tiap nada fals-nya malah bikin netizen klepek-klepek.
@JuliGerobak—itu nama akunnya. Live tiap malam dari kampung ke kampung. Sound jelek, pencahayaan nyaris remang, tapi real. Gak ada filter. Gak ada autotune. Hanya Jono dan Juliati, duet penuh luka dan tawa, menyanyikan campursari sambil sesekali nge-jam gak sengaja ke nada-nada jazz karena ampli error.
Satu klip berdurasi 53 detik jadi pemicunya:
“Campursari rasa Miles Davis. Fals tapi nyes.”
Tontonannya jutaan. Komentarnya ribuan.
Ada yang bilang itu "jazz rakyat", ada juga yang nyinyir bilang "rusaknya musik Indonesia dimulai di Jepara".
Tapi satu orang di Jakarta melihatnya berbeda.
DI SEBUAH KANTOR LABEL MEWAH – JAKARTA
Dewa Saputra, 43 tahun, CEO NuJazz Label, pria berwajah tegang dan mata sembab karena begadang mendengarkan demo para penyanyi baru yang semuanya "bagus" tapi hambar. Suara bersih, teknik sempurna, tapi nggak ada ruh. Dia lempar headphone ke meja, ambil ponsel, buka TikTok, dan terpaku pada video gerobak musik itu.
“Lah iki... jazz yang nyasar ke kandang ayam,” gumamnya.
Dewa ketawa kecil. Lalu serius. Ada yang menyentuh. Bukan musiknya, tapi cara mereka hidup dalam musik itu.
Dia ambil jaket. Tiket kereta dipesan. Tanpa jadwal. Tanpa asisten. Hanya satu tujuan: Jepara.
JEJAK GEROBAK – JEJAK NADA
Di tengah kampung kecil di Jepara, Jono lagi masang sound. Juliati udah dandan, blush on merah kayak habis kejedot. Anak-anak udah duduk di tikar, ibu-ibu nungguin sambil bawa kipas dari kardus.
“Jo, mic-nya nyetrum maneh, iki!” jerit Juliati sambil ngibaskan tangan.
“Ndang digulung pake plastik, Ti. Nek wong kota nyebutnya improvisasi,” sahut Jono, serius tapi nyengir.
Gerobaknya udah mirip alat berat, kabel gulung-gulung kayak mi kriting setan. Tapi tiap kali Jono petik gitar rombengnya, dan Juliati mulai lenggok dengan suara sengau dan fals yang nyentuh... suasana langsung berubah.
"Wong ndeso nyanyi... ra nganggo teori. Tapi iso nyekel ati.”
Dari jauh, Dewa berdiri diam di bawah pohon jambu. Jaket linen putihnya udah belepotan debu. Tapi matanya tak lepas dari gerobak itu.
Dia buka catatan di HP:
“Ada yang liar di sini. Yang tak bisa disintesis di studio manapun.”
* * * * *
“Iki Jazz, Ti…” bisik Jono.
“Jazz ndesa, Jo.”
“Jazz buk.”
Mereka nggak tahu, malam itu, hidup mereka bakal ditarik dari gerobak ke dunia panggung yang lebih kejam dari kabel konslet.
Dan semuanya dimulai dari... TikTok dan gerobak rusak.
SIMFONI PALSU
Namanya Sandra Berjana. Dulu, setiap nada keluar dari bibirnya, hujan turun di radio, dan cinta terasa mungkin kembali. Penyanyi jazz paling disegani di eranya—tahun 2000-an, sebelum media sosial, sebelum autotune jadi alat bantu nyanyi orang sok hits.
Namun, tiba-tiba ia menghilang. Tanpa konferensi pers. Tanpa album perpisahan. Hanya satu kabar: Sandra mundur dari dunia musik karena pengkhianatan. Ada gosip tentang cinta segitiga, tentang seorang produser ambisius yang menggunakan suaranya demi eksperimen gila: mengubah musik menjadi komoditas digital.
Dan kini, dua puluh tahun berlalu, ia kembali. Tapi bukan sebagai penyanyi.
Sebagai penonton pertama yang siap menelan… atau mematahkan, “Jazzbuk”.
KONTRAK SUNYI
Jakarta. Di ruang kaca NuJazz Label, tangan Jono gemetar memegang pulpen. Juliati berdiri di sampingnya, pakai daster bermotif batik yang sengaja dia setrika rapi pagi itu. Di depan mereka terbentang kontrak 17 halaman, huruf kecil semua, istilah hukum yang tak mereka mengerti, dan satu janji besar: mimpi mereka bisa jadi nyata.
“Jo, opo bener iki dalane?” bisik Juliati.
Jono mengangguk. “Iki bisa jadi tiket kita, Ti. Opo kowe ra kelingan, pas nang tahun 2010, kita nyoba ngisi audisi TV? Didepak gara-gara bajumu robek, suaraku dibilang kayak toa masjid bocor...”
Juliati ketawa getir. “Trus kita nyanyi di warung soto, dibayar soto tanpa daging.”
Jono menatap kertas itu. Ia menandatangani. Dan saat tinta hitam menyentuh kertas, sebuah mimpi lama seperti hidup kembali… tapi bukan dengan sayap, melainkan borgol halus bernama klausul.
STUDIO REKAMAN – HARI KEEMPAT
Awalnya biasa. Mereka disuruh nyanyi. Tapi lalu berubah. Dewa tidak ingin lagu. Dia ingin potongan-potongan suara. Dengusan napas. Suara batuk. Ketawa spontan. Bahkan Juliati disuruh menjerit seperti kesurupan, “demi kebutuhan ekspresi musik kontemporer.”
“Aku kok ra yakin iki rekaman beneran,” bisik Juliati.
Jono mencoba membujuk. “Sabar, Ti. Mungkin ini cara kota gede rekam musik. Ra iso langsung paham. Tapi aku yakin, nek kita manut... impian iso nyedak.”
KEMUNCULAN SANDRA
Hari itu, studio kedatangan tamu.
Seorang perempuan elegan berambut pendek masuk, memakai coat hitam dan kacamata bundar. Dewa berdiri menyambut, seperti anak kecil menyambut ibu kepala sekolah. Jono hanya bisa melongo.
“Siapa kuwi, Jo?” tanya Juliati pelan.
“Kayak artis… tapi ora enak aurane.”
Sandra berjalan pelan, menatap mereka, lalu mengangguk kecil.
“Jadi... ini suara rakyat yang kau janjikan?” katanya datar ke Dewa.
“Yang akan kau kemas jadi produk generasi AI berikutnya? Lucu juga.”
Jono dan Juliati tak paham maksudnya. Tapi Juliati langsung menggenggam tangan Jono erat. Ada hawa dingin. Seolah angin dari masa lalu menerpa mereka.
GEGER DI MALAM HARI
Di apartemen, Juliati mencoba membuka laptop label. Dia menemukan folder tersembunyi bernama:
“PROJECT JAZZ-GENERATOR_VOICES”
File suara mereka ada semua. Diolah, dipotong, distretch. Dipasangkan dengan beat jazz yang… tidak mereka buat.
“Jo… suara kita… diganti. Tapi jenengmu isih ana. Tapi suaramu… bukan kamu.”
Jono terdiam. Mimpi jadi musisi terkenal ternyata bukan naik panggung… tapi masuk server.
Dan mereka terjebak. Kontrak yang mereka tandatangani tadi menyebut: semua bentuk suara, ekspresi, improvisasi, dan karakter vokal menjadi milik label secara penuh.
“Aku mung pengen nyanyi karo gerobakku, Ti…”
“Lan karo swaraku dewe, Jo. Ora karo suaraku sing diklone kaya robot.”
* * * * *
Di tempat lain, Sandra menatap layar. Ia membaca detail proyek. Lalu menulis catatan:
“Jika musik menjadi mesin, maka suara rakyat tak lagi punya ruh. Aku harus menjegalnya. Bukan demi jazz. Tapi demi semua yang pernah mencintai suara asli.”
Ia tersenyum dingin.
Dan pembaca belum tahu: Sandra bukan sekadar mantan penyanyi. Dia... adalah mantan kekasih Dewa.
Dan korban pertama dari "Jazz Generator".
SANDRA BERJANA MELAWAN
Malam itu, Sandra Berjana menyanyikan bait terakhir lagu ciptaannya: "Kupetik nada yang hilang, kusulam luka jadi harmoni…”
Suaranya merekah lembut, seperti bisikan malam sebelum hujan. Tapi dari balik kaca studio, Dewa Saputra—lelaki yang ia cintai, dan produsernya saat itu—tak menatapnya dengan bangga, melainkan dengan tatapan seperti ilmuwan menatap objek uji coba.
Satu jam kemudian, Sandra menemukan kontrak lisensi suara miliknya sudah dijual ke perusahaan teknologi suara Jerman, tanpa sepengetahuannya. Potongan napas, desahan, bahkan tawa dan rintihannya saat latihan… dijual sebagai soundbank suara wanita Asia.
Ia tidak sekadar ditinggalkan. Ia dimutilasi—secara musikal. Maka Sandra Berjana menghilang. Ia bersumpah tidak akan kembali, kecuali untuk membakar sistem yang mencuri jiwa dari suara manusia.
NUJAZZ LABEL, JAKARTA – MALAM DI LANTAI TIGA
Sandra menonton dari ruang kontrol rahasia tempat suara Jono dan Juliati direkam.
Suaranya: "Pak… iki kabelnya panas. Nggih ndak apa-apa?" Tawanya: "Hahaha… nyatane mic-nya nyetrum, Jo!"
Mereka tidak tahu, momen kecil itu direkam, disimpan, dan dijadikan data suara. Suara manusia yang paling tidak siap jadi komoditas—justru yang paling "murni".
PERTEMUAN DI PARKIRAN GEDUNG – HARI BERIKUTNYA
“Jono, Juliati,” Sandra memanggil mereka di tempat parkir basement. Gelap dan sunyi. Hanya suara pompa air yang sesekali berdengung.
Jono menggenggam tangan Juliati. “Kowe sopo sejatine, Mbak?”
“Aku dulu seperti kalian. Dipuja, dipoles, lalu dibungkam. Aku tahu apa yang Dewa lakukan. Dan dia akan lakukan hal yang sama pada kalian.”
“Lha… terus piye? Kontrak wis ditandatangani. Swara ku wes dicolong,” ujar Jono getir.
Sandra membuka tasnya. Isinya adalah perangkat voice disruptor. Sebuah alat mini buatan teknisi musik bawah tanah di Berlin yang bisa mengacaukan rekognisi suara real-time milik AI.
“Dengan ini, kalian bisa menyanyikan versi kalian sendiri… dan membuat sistem mereka crash saat pertunjukan live launching Jazz AI.”
RENCANA SABOTASE DIMULAI
Sandra membagi rencana ke dua bagian:
- Panggung Bayangan: Pada malam pertunjukan, akan ada slot 3 menit "improvisasi rakyat" yang diminta sponsor sebagai bentuk penghargaan suara tradisional. Sandra berhasil menyusupkan Jono dan Juliati dalam slot itu. Mereka akan naik panggung seolah bagian dari ‘demo budaya’.
- Serangan Akustik: Jono akan menyanyi dengan teknik khasnya—sengau, fals sedikit, vibrato ngglundung ala campursari. Sedangkan Juliati akan nyanyi sambil memainkan kentongan bambu yang telah disetel mengganggu sensor frekuensi AI.
- Suara-suara ini sudah diuji: jika masuk ke dalam sistem AI NuJazz, algoritma akan bingung membedakan data real dan suara hasil sintesis.
- Live Disruption : Saat suara mereka mulai menggoyang sistem, Sandra akan mengakses sistem backend menggunakan ID lama yang ia curi dari teknisi senior. Ia akan menampilkan semua file rekaman rahasia Dewa—semua suara yang dicuri dari musisi—di layar panggung besar. Bukti yang tak bisa dibantah.
HARI SEBELUM KONSER – DI APARTEMEN MURAH
Juliati duduk memandangi jendela.
“Jo, nek kiye gagal… kita bakal digugat, mungkin ditahan…”
Jono diam. Lalu berkata pelan:
“Aku lebih milih disekolahkan polisi… daripada suaraku disekolahkan ke robot.”
Mereka tertawa. Tapi ada ketegangan di mata mereka.
“Aku cuma pengen, Ti… sekali seumur hidup, nyanyi tanpa dipotong, tanpa disuruh ulang, tanpa skrip.”
“Lan nek ana wong nonton, tak pengen kui bukan karena suara kita sempurna… tapi karena suara kita milik kita sendiri.”
* * * * *
Di ruangannya, Dewa Saputra berdiri di depan kaca. Konser Jazz AI Nusantara akan jadi pertunjukan bersejarah. Dia yakin tak ada yang bisa menghentikan laju masa depan.
Tapi dia lupa: Masa depan bukan hanya milik yang punya algoritma. Kadang milik mereka yang punya kentongan bambu, dan suara serak penuh luka.
Dan malam esok… bukan hanya soal jazz.
Tapi soal siapa yang pantas bicara… dan siapa yang sudah terlalu lama dibungkam.
NADA YANG DIMUTILASI
GEDUNG PERTUNJUKAN NUSANTARA – JAKARTA, 19.00 WIB
Lampu-lampu menggantung mewah seperti bunga kristal. Di luar, tamu undangan berdatangan dengan jas mengkilap dan gaun seperti bintang di red carpet. Banner besar terbentang:
“JAZZ AI NUSANTARA: When Heritage Meets the Future”
Hosted by NuJazz Label
Dewa Saputra berdiri di belakang panggung, wajahnya bersinar oleh kesombongan.
Di tangannya: remote presentasi yang akan memutar suara AI berbasis Jono dan Juliati, yang diklaim sebagai “Jazz Buk generatif pertama di Asia Tenggara.”
RUANG TUNGGU BELAKANG – 15 MENIT SEBELUM SHOW
Jono duduk di kursi kayu, memandang kentongan bambu yang kini diikat dengan tali kulit sapi.
Di sampingnya, Juliati mengikat rambutnya, dasternya kini disulap jadi gaun patchwork dengan motif Semar, Gareng, dan warna perak.
“Aku deg-degan, Jo. Tapi juga seneng. Nek gagal… paling ora, suara kita ndak mati diam-diam.”
Sandra masuk dengan jaket kulit hitam dan headset kecil. “Panggung improvisasi akan dimulai di menit ke-45. Itu waktu kalian.”
Ia memberi satu gerakan tangan pada Jono.
“Begitu aku angkat tangan kiri, nyanyi. Jangan berhenti. Walau alarm bunyi. Walau teknisi naik panggung.”
Jono mengangguk. “Suwun, Mbak Sandra… bukan karena bantuanku bisa terkenal. Tapi karena bantuanku bisa ndak jadi kloningan.”
PANGGUNG – MENIT KE-40
Acara berjalan lancar.
Tampil musisi AI pertama: suara perempuan yang katanya “dibuat dari intonasi rakyat Indonesia”—padahal itu suara Juliati yang dipotong-potong.
Penonton terpukau. Ada standing ovation.
Dewa berdiri dan bicara:
“Dengan teknologi suara generatif, kita menyatukan masa lalu dan masa depan. Inilah suara Indonesia yang tak akan mati.”
Dan pada menit ke-45, seperti yang dijanjikan, satu segmen bernama “Jazz Rakyat Tradisional” muncul.
Slide bertuliskan:
“Penampilan Simbolik oleh Musisi Desa: Sebuah Tribute”
Masuklah Jono dan Juliati.
PENAMPILAN LIVE – KEKACAUAN DIMULAI
Jono membuka dengan tabuhan kentongan: ritmenya cacat, sengaja tidak simetris.
Juliati menyusul: suara serak, nada meleset sedikit, tapi penuh emosi.
Liriknya bukan lirik jazz. Bukan lirik campursari. Tapi lirik baru, ciptaan mereka:
“Iki dudu swara rekaman. Iki tangis wong kalah.
Iki dudu jazz buatan. Iki deg-deg-an wong merdeka.”
Di balik layar, sistem AI mulai limbung.
Sistem rekognisi suara gagal menyocokkan input live dengan basis data.
ERROR:
“SYNTHETIC-VOCAL-DELAY: mismatch > threshold 1.5s”
“UNIDENTIFIED INFLECTION: FREQ OUT OF BOUND”
Lampu mulai padam satu-satu. Layar LED mendadak bergetar.
RUANG KONTROL – KEPANIKAN
Teknisi “Pak Dewa! Sistem crash!”
Dewa “Matikan live input! Ganti playback!”
Tapi terlalu terlambat. Sandra sudah menyusup ke sistem backend, membuka folder rahasia yang ditayangkan langsung ke layar besar panggung:
[REKAMAN_SUARA_JULIATI_TANGIS]
[JONO_LAUGH_LOOPED]
[PROJECT_SANDRA_ORIGINAL_AUDITION_2008]
Penonton terdiam. Lalu bergemuruh. Wartawan mulai merekam layar. Netizen live-tweet.
“NUJAZZ MENCURI SUARA MANUSIA”
“MUSIK KITA TELAH DIBAJAK TEKNOLOGI”
PANGGUNG – JONO DAN JULIATI TERUS BERNYANYI
Mereka tidak berhenti. Bahkan ketika teknisi naik panggung, bahkan ketika panitia coba memotong mic—sistem sudah disabotase Sandra untuk tak bisa dimatikan dalam 5 menit pertama.
Air mata Juliati jatuh. Jono menabuh kentongan seperti orang kerasukan. Tapi di tengah kebisingan, muncul diam yang memekakkan—kejujuran.
Dewa berdiri sendirian. Panggungnya roboh.
Proyeknya hancur. Dan di bangku paling belakang, Sandra duduk tenang. Ia memejamkan mata, mendengar untuk pertama kalinya dalam 10 tahun: Musik yang benar-benar hidup. Bukan sempurna. Tapi jujur.
JAZZBUK!
(Gerobak yang Menyalak, Musik yang Merdeka
SATU BULAN SETELAH KONSER
Gedung NuJazz Label kini tampak senyap, nyaris kosong. Logo “Jazz AI Nusantara” dicabut dari lobi. Para sponsor menarik diri. Dewa Saputra, yang dulu dielu-elukan sebagai visioner, kini menjadi meme—“CEO Suara Cloning” kata netizen.
Ia duduk sendirian di kantor yang sudah kehilangan daya, melihat ulang siaran konser yang menjadi malapetaka. Wajahnya tirus, tapi ada seulas senyum getir yang muncul.
“Kalian menang… dengan suara paling tak masuk akal,” gumamnya sambil menutup laptop.
SEMENTARA ITU, DI JEPARA
Gerobak Gembel itu kembali menyusuri jalan kampung. Tapi kini tampilannya berubah: dicat ulang warna merah marun, dengan tulisan melengkung:
“LIVE: JAZZBUK SESSION”
Malam itu, Jono dan Juliati tampil di pelataran Balai Desa. Penonton bukan lagi hanya warga lokal, tapi ada wartawan musik, Youtuber luar negeri, dan bahkan satu kru dokumenter dari Jepang.
Dan di barisan depan, duduk Sandra Berjana, mengenakan kaos oblong bertuliskan “Campursari is the New Cool”.
SEBELUM PERTUNJUKAN DIMULAI
“Ti, iki kabeh koyo mimpi, yo?” gumam Jono sambil memetik gitar kendang hybrid buatannya sendiri.
Juliati menyeka keringat di pelipis. “Mimpi? Ora, Jo. Iki piwales.”
“Piwales opo?”
“Piwales saka kabeh penghinaan, diremehke, disumpahi ora bakal jadi apa-apa.”
Mereka saling tersenyum. Di hadapan mereka bukan panggung mewah. Tapi tanah, rumput, dan lampu petromaks. Dan itu cukup.
PENAMPILAN DIMULAI
Tabuhan kendang bersahut dengan tiupan suling dan petikan gitar akustik. Tapi kali ini, improvisasi jazz—dengan nada biru dan sinkopasi pelan—masuk dengan luwes. Juliati menyanyi dalam bahasa Jawa, sementara Jono nge-jam dengan ritme yang tidak bisa ditebak.
Tapi yang mereka tampilkan malam itu bukan jazz puritan. Bukan pula campursari klasik.
Itu sesuatu yang lahir dari kebocoran kabel, dari fals yang tak malu, dari luka yang jadi tawa.
Itu Jazzbuk.
Bukan genre. Tapi sikap.
Bukan format. Tapi perlawanan.
SELEPAS PERTUNJUKAN
Sandra menghampiri mereka, menyerahkan amplop berisi proposal.
“Label kecil baru. Aku yang dirikan. Tanpa AI. Tanpa sistem curang. Kita rilis album live kalian. Tanpa edit. Tanpa mixing. Langsung dari gerobak.”
Jono menerima proposal itu. Tapi tidak langsung menjawab.
“Kita pikir dulu, Mbak. Soale... kadang musik paling jujur lahir justru pas kabel konslet, mic nyetrum, dan gorengan jatuh di speaker.”
Mereka bertiga tertawa. Tapi air mata mengalir pelan di pipi Juliati. Ini bukan kemenangan… ini penyelamatan.
Dari balik layar TikTok, ribuan komentar terus membanjir.
“Kangen suara Jazzbuk malam ini!”
“Plis tur ke kota gue dong, Bang Jono!”
“Jazzbuk itu kayak suara bapakku pas nyanyi sambil nguli: serak tapi nyentuh.”
Dan di antara komentar itu, satu akun tak dikenal menulis:
“Mungkin musik masa depan… justru butuh kembali ke suara yang tak bisa dipoles.”
— @dsaputra_offline
Malam kembali senyap.
Gerobak Gembel diparkir di samping rumah Jono.
Di atasnya, tertulis dengan cat tangan:
“Jazzbuk bukan milik label.
Tapi milik siapa pun yang pernah nyanyi sambil lapar.”
Dan untuk pertama kalinya, dunia mendengarkan suara yang tak sempurna tapi sepenuhnya milik mereka.