Masukan nama pengguna
Di dunia ini, nama bukan hanya identitas.
Nama adalah mata uang.
Semakin langka namamu, semakin tinggi nilaimu.
“Berapa harga namamu sekarang?” tanya Vira sambil menyesap kopi.
“Lima ribu. Turun seribu sejak kemarin,” jawab Adin. Suaranya getir. “Katanya karena ada bayi baru lahir dikasih nama yang sama.”
Vira mengangguk simpati. “Nama pasaran. Gitu risikonya.”
Mereka duduk di kedai Nama & Narasi, tempat orang-orang memperbarui nilai nama mereka. Di layar besar tergantung data real time:
TOP 5 NAMA DENGAN HARGA TERTINGGI HARI INI
1. Svanhild = 45.230 koin
2. Qymera = 41.800 koin
3. Ezraio = 39.500 koin
4. Niya = 38.000 koin
5. Selamat = 37.000 koin (naik drastis karena cuma satu orang di dunia yang masih pakai)
Vira duduk di peringkat ke-13. Nama “Vira” pernah jadi primadona di era 2030, tapi sekarang mulai turun karena varian barunya, “Veyra”, lebih tren.
“Aku mau jual namaku,” gumam Adin.
Vira terkejut. “Serius?”
“Serius. Aku udah capek dihina karena nama ini cuma 5 ribu. Aku bisa lelang ke pasar gelap. Mungkin bisa dapet 15 ribu.”
“Terus kamu mau pakai nama apa?”
Adin diam sebentar. Matanya menatap lantai.
“Aku nggak tahu. Mungkin… nggak pakai nama.”
*****
Pasar gelap nama berada di lorong digital yang hanya bisa diakses dari modem analog bekas. Transaksinya dibayar dengan identitas yang pernah hilang, bukan uang.
Adin berhasil menjual namanya ke seorang miliarder yang ingin menamai anak kelimanya “Adin” agar terlihat membumi.
Setelah transfer selesai, sistem nasional memperbarui data kependudukannya:
> Nama: ———
Status: Tanpa Nama (Tanam)
Akses publik: Terbatas
Kehadiran sosial: Redup
Perlindungan hukum: Kosong
Ternyata, tanpa nama… segalanya berubah
Orang-orang mulai lupa siapa dia.
Wajahnya memudar di CCTV.
Tagihannya tak lagi dikirim.
Sistem transportasi menolak sidik jarinya.
Ia bukan hilang. Ia menjadi tak terdefinisi.
Lalu ia menemukan dunia baru: komunitas Tanam—orang-orang yang menjual nama mereka dan tak pernah kembali. Mereka hidup di batas kota, di balik bayangan billboard digital.
Adin—orang yang dulu dikenal sebagai Adin—tinggal di kamp R410, sebuah enclave tersembunyi di bawah rel kereta maglev yang sudah mati sejak dekade lalu. Komunitas Tanam seperti oasis kabur dari sistem. Mereka tak terdata, tak dikenali, tak bisa ditelusuri.
Di sana, semua orang berbicara tanpa menyebut nama. Jika ingin bicara dengan seseorang, mereka menggunakan tatapan, sentuhan bahu, atau sebutan berdasarkan tindakan:
“Penyair yang diam.”
“Perempuan yang membangun radio dari kaleng.”
“Dia yang suka menatap langit setiap subuh.”
Adin dijuluki: "Yang Pernah Punya Nama."
Awalnya, dunia ini terasa utopia. Tak ada hirarki sosial berbasis angka nama, tak ada penghakiman algoritma. Setiap orang bisa bicara tanpa takut direkam, bisa menangis tanpa dicatat. Tak ada masa lalu yang menghantui, tak ada masa depan yang dipaksa diraih.
Tapi waktu berjalan aneh di sini.
Hari-hari terasa seperti kabut yang mengendap. Tak ada tanggal. Tak ada pengingat ulang tahun. Tak ada panggilan sayang. Tak ada “kamu siapa” atau “dari mana”.
Tiga bulan di komunitas Tanam, ia mulai bertanya dalam diam: Siapa aku jika tak ada satu pun orang menyebutku? Apakah aku masih nyata jika tak pernah dipanggil?
Pada malam ke-99, ia duduk bersama seorang lelaki tua yang dikenal sebagai "Arsipir yang Lupa"—mantan pustakawan yang menyerahkan nama dan semua memorinya pada sistem.
“Apa kau tak ingin kembali?” tanya Adin.
Arsipir menjawab dengan menatap jauh.
“Dulu aku percaya, menjadi tanpa nama adalah menjadi bebas. Tapi lama-lama, aku sadar... aku tak bisa mengingat siapa yang pernah mencintaiku.”
Diam.
“Nama,” lanjutnya, “bukan hanya identitas. Tapi titik temu. Tanpa itu… kita hanyalah gema yang hilang arah.”
Besok paginya, Adin diam-diam pergi ke batas kota. Ia menatap gedung pusat pencatatan ulang nama. Ia tahu, siapa pun yang masuk ke sana harus menyerahkan sesuatu yang besar:
sebagian ingatan hidup sebagai Tanam akan dihapus selamanya.
Kau bisa kembali punya nama.
Tapi kau harus melupakan komunitas ini.
Dan mereka harus melupakanmu.
Di luar gedung, Vira sudah menunggu. Ia seperti tahu.
“Masih ingat aku?” tanyanya.
Adin mengangguk pelan. “Kau satu-satunya yang memanggilku meski dunia tak lagi mengizinkan.”
“Lalu, kau mau kembali?”
Adin memandang langit. Tak ada angka. Tak ada skor. Hanya langit.
“Aku ingin… menjadi seseorang. Bukan karena nama itu bernilai, tapi karena saat kau mengucapkannya, aku merasa ada.”
Vira tersenyum. “Kalau begitu… pilihlah nama yang belum pernah dipakai siapa pun.”
Adin berpikir lama. Lalu menulis pada form digital di depannya:
Nama Baru: Khamar—yang tidak bisa ditebak kapan datangnya. Tapi selalu membuatmu jujur.
Hari itu, sistem mengakui kembali keberadaan Khamar. Tapi nama itu tak muncul di tangga peringkat. Ia tak punya nilai komersial. Tak ada bayi yang dinamai sama. Tak ada saran algoritma yang mengusulkannya.
Namun bagi Vira,
dan bagi dirinya sendiri,
itu cukup.
Dunia nyata terasa terlalu nyata bagi Khamar.
Setelah keluar dari komunitas Tanam, ia kembali memiliki nama.
Memiliki bayangan.
Tercatat.
Terlihat.
Dipanggil.
Dicintai.
Nama baru itu asing pada awalnya,
tapi perlahan ia mulai menjawab ketika orang berkata, “Khamar!”
Dan di balik senyum orang-orang yang menyambutnya kembali,
ada kelegaan yang tenang.
Ia “menjadi” seseorang lagi.
Sampai malam itu.
Pukul 03.33, ia mendengar ketukan di pintu.
Tiga kali.
Perlahan.
Dalam ritme yang tidak dibuat manusia biasa.
Seolah waktu sendiri sedang mengetuk.
Ia membuka pintu.
Tak ada siapa-siapa.
Hanya secarik kertas identitas lama, tertempel di pintu.
> Nama: Aldin
No. Identitas: 000-000-000 (Dicabut)
Status: Tidak Lengkap
Anda telah membeli identitas baru.
Tapi ingat:
Yang lama tak pernah benar-benar mati.
Ia hanya menunggu giliran…
untuk kembali memakai tubuh yang sama.
Khamar tercekat.
Tangannya bergetar.
Tiba-tiba, ia merasakan denyutan di bagian belakang lehernya.
Ia melihat ke cermin.
Matanya masih Khamar.
Tapi ada kilasan bayangan lain di balik refleksi.
Bayangan Aldin—lebih muda, lebih keras kepala, lebih egois—berdiri di sana
“Kau kira kau bisa membeli kebebasan?
Aku tak pernah menjual diriku.
Kau hanya menyewaku.”
***
Esok harinya, Khamar mulai kehilangan detail kecil:
Ia lupa nama ibunya sendiri.
Ia menulis tanda tangan dan mendapati dirinya menulis “Aldin”.
Di lift kantor, orang-orang mulai menyapanya, “Din, kau di sini lagi?”
Tapi mereka langsung meminta maaf dan bilang itu hanya deja vu.
Namun setiap malam pukul 03.33, ketukan itu kembali
Tiga kali.
Semakin pelan.
Semakin dekat.
Hingga suatu malam, cermin tak lagi menampilkan wajah Khamar.
Hanya ada Aldin, tersenyum.
Dan dari dalam cermin, Aldin berkata
“Terima kasih sudah menjaga tubuh ini.
Sekarang giliranmu jadi… Tanpa Nama.”
Dan semuanya gelap.
Keesokan harinya, seorang pria tak dikenal bangun di rumah dengan alamat Khamar.
Ia tak ingat namanya.
Tak ada kartu identitas.
Tetangga menyapanya pelan
“Halo, Pak... Anda yang baru ya?”
Dan ia hanya mengangguk,
padahal dalam
sebuah suara terus berbisik:
"Jangan khawatir. Namamu akan ditemukan nanti. Kalau kau cukup laku.”