Cerpen
Disukai
1
Dilihat
2,421
NADINE
Slice of Life

Dengan kemeja biru lengan panjang yang digulung rapi hingga siku dan suara bariton yang mantap, Elhan berdiri di depan kelas menjelaskan teori performativitas Judith Butler. “Gender,” katanya sambil menatap tajam para mahasiswa, “bukan sesuatu yang kita miliki, tapi yang kita perankan terus-menerus.” Ia berjalan perlahan di antara deretan bangku, tubuh tegapnya seolah menjadi bukti bahwa maskulinitas dapat diajarkan bersamaan dengan dekonstruksinya. Ruang kelas sunyi, hanya suara penjelasan Elhan yang mengisi udara—penuh wibawa, logis, dan tak menyisakan celah untuk pertanyaan. Di balik gestur akademiknya, tak ada yang tahu panggung lain sedang menunggunya malam ini.

*****

Pukul lima sore di bulan Agustus, kota itu tak lagi hangat. Bangunan kampus tampak seperti tubuh tua yang menanti ajal. Gedung Rektorat memudar warnanya, cat terkelupas seperti kulit yang lupa dirawat. Elhan duduk sendirian di ruang dosen lantai dua. Dari jendela, ia bisa melihat lapangan basket yang selalu kosong sejak pandemi dan krisis biaya kuliah menghantam. Tak ada mahasiswa yang minta bimbingan. Tak ada kelas tambahan. Tak ada proyek penelitian yang berjalan.

Elhan menggenggam slip gaji yang baru ia terima—sehelai kertas tipis yang bahkan lebih ringan dari beban hidup yang ia pikul. Tertulis angka yang tak akan cukup untuk bertahan satu bulan penuh. Ia menatap nama lengkapnya yang tercetak di pojok kiri atas: Drs. Elhan Saputra, M.Hum. Terlihat akademik. Terlihat stabil. Tapi itu hanya sebentuk huruf—nama yang tak menjamin harga diri.

Jam tujuh malam, Reno menelpon lagi. Elhan mengangkat.

“Gue ngerti harga diri lo, Han,” suara Reno lirih tapi dalam, “Tapi harga hidup lo juga penting. Gue enggak ngajak lo jadi penari telanjang. Lo cuma tampil. Akting. Lo jago itu.”

Elhan diam.

“Kita enggak nyari perempuan cantik di sini. Kita nyari sosok yang bisa bercerita lewat tubuh dan kata. Lo bisa. Lo tahu itu.”

Elhan menutup telepon tanpa menjawab.

Tiga hari kemudian, ia datang ke bar bawah tanah itu. Letaknya di basement sebuah hotel tua yang dulunya tempat para pejabat daerah menginap. Sekarang tempat itu jadi sarang orang-orang yang hidup di sela-sela: perempuan-perempuan tua yang pernah jadi diva, lelaki patah hati, janda ceria, dan para pegawai rendahan yang butuh satu malam untuk merasa hidup.

Reno menyambutnya dengan pelukan cepat. “Kita nggak panggil ini panggung, kita sebut ini altar pengakuan,” katanya setengah bercanda. Elhan hanya mengangguk.

Satu jam kemudian, ia sudah berdiri di depan cermin rias. Wajahnya dibingkai wig hitam. Bibirnya dipulas merah gelap. Tubuhnya terbungkus gaun beludru ungu tua dengan belahan pinggul yang tak biasa ia rasakan. Ia memandang dirinya sendiri lama sekali.

“Nama panggung?” tanya Reno.

Elhan menarik napas. “Nadine.”

*****

Malam itu, Nadine menyanyikan lagu lama milik Rita Effendy. Lagu itu tentang hujan dan rindu yang gagal tersampaikan. Suaranya tidak sempurna, tapi penuh luka. Penonton tidak berteriak. Mereka diam. Mendengarkan. Di bar ini, kesedihan tidak untuk ditertawakan—melainkan disimpan bersama.

Di meja pojok dekat lampu kuning remang, seorang pria paruh baya terus memandang. Rambutnya separuh putih. Ia tak ikut tertawa seperti pengunjung lain. Usai pertunjukan, ia menghampiri Nadine.

"Suara kamu... kayak perasaan yang pernah saya bunuh," katanya perlahan.

Nadine—atau Elhan—tersenyum canggung. “Perasaan nggak pernah benar-benar mati, Pak.”

Pria itu memperkenalkan diri: Haris. Mantan dokter gigi yang sekarang pensiun. Istrinya meninggal dua tahun lalu. Anaknya pindah ke luar negeri dan tak lagi menghubunginya.

“Saya datang ke sini setiap Jumat bukan buat cari hiburan. Tapi karena cuma di sini saya bisa dengar seseorang jujur di atas panggung,” katanya.

Kata-kata itu menghantam Elhan lebih dalam dari kritik dekanat. Apakah dirinya sedang jujur, atau sedang melarikan diri?

*****

Beberapa bulan berlalu. Nadine menjadi favorit. Lagu-lagu yang ia bawakan—penuh nada minor dan lirih—selalu menutup malam dengan tepuk tangan dan air mata. Hingga satu malam, seseorang merekamnya dan mengunggah ke media sosial. Video itu meledak. Dosen jadi drag queen. Judulnya bombastis. Wajahnya viral.

Paginya, ia dipanggil ke ruang dekan. Ruang itu dingin. Bukan karena AC, tapi karena cara pandang.

“Kami tidak bisa melarang Anda berekspresi. Tapi... ini kampus, Pak Elhan. Ini institusi.”

“Maksud Bapak, saya tidak pantas?” suara Elhan datar.

“Tidak semua panggung cocok dipertontonkan ke mahasiswa.”

Elhan tertawa kecil. “Tapi kalau saya pura-pura normal di kelas, dan pura-pura jujur di bar, itu lebih pantas?”

Tak ada jawaban.

Elhan berjalan keluar gedung. Ia melewati taman kampus yang sepi, tempat ia pernah mendiskusikan konsep performative utterance dengan mahasiswa yang kini sudah entah ke mana. Ia duduk di bangku tua, menatap langit yang menggantung rendah.

Haris datang malam itu ke bar. Kali ini tanpa jas. Hanya kemeja dan mata yang letih.

“Kamu kelihatan kosong, Nadine.”

“Elhan,” jawabnya pelan. “Nama asli saya Elhan.”

Haris tersenyum kecil. “Lalu siapa yang ada di panggung selama ini?”

“Elhan yang nggak bisa hidup di dunia nyata. Nadine yang bisa bicara tanpa takut dihakimi.”

Haris mengangguk. “Mungkin dunia ini memang nggak adil buat orang-orang yang punya dua sisi. Tapi kamu... kamu berhasil menyalakan lampu di panggung yang sepi.”

*****

Refleksi Penulis:

Nadine bukan hanya nama panggung. Ia adalah perwujudan dari apa yang kita sembunyikan di balik rutinitas, status sosial, dan norma-norma yang kita telan bulat-bulat. Dalam tubuh Elhan, Nadine bukan ilusi. Ia adalah resistensi.

Sebagai penulis, saya menggambarkan Elhan bukan untuk menyoroti kegagalan sistem kampus, tapi untuk menunjukkan bagaimana tubuh manusia selalu dijadikan ladang tafsir oleh masyarakat. Dalam teori gender performativity dari Judith Butler, gender bukanlah fakta biologis yang stabil, melainkan hasil dari pengulangan tindakan, simbol, dan bahasa yang dikonstruksi sosial. Gender adalah sesuatu yang "diperankan", bukan diwariskan.

Elhan sebagai “dosen” adalah produk norma maskulinitas akademik: serius, intelektual, berjarak, dan mapan. Sementara Nadine adalah panggung tubuh yang membuka kemungkinan-kemungkinan lain—bahwa menjadi feminin, ekspresif, dan menyentuh emosi bukanlah kebohongan, melainkan lapisan lain dari kebenaran.

Ketika Nadine naik panggung, ia mengaktifkan yang disebut Butler sebagai “tindakan subversif”—yakni tindakan yang meruntuhkan kategori stabil dan membuka ruang bagi identitas yang cair, ambigu, dan tidak selalu nyaman. Inilah yang membuat Nadine viral, bukan karena ia “salah”, tapi karena ia mengganggu. Ia memecah citra yang kita pegang sebagai benar.

Dalam komunikasi, gender bukan hanya soal bagaimana kita berbicara, tapi juga bagaimana tubuh kita dikomunikasikan—melalui pakaian, suara, gerak, dan tatapan. Dan tubuh Elhan menjadi medan konflik antara citra publik dan kejujuran batin.

Saya menulis ini bukan untuk mengajari pembaca tentang gender. Tapi untuk mengajak berpikir: berapa banyak dari kita yang hidup seperti Elhan—memakai peran demi peran, berharap tidak ketahuan siapa diri kita sebenarnya? Dan seandainya kita punya satu malam untuk jujur di atas panggung, siapa yang akan muncul?

Nadine? Atau kita sendiri?

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)