Masukan nama pengguna
Cermin yang Tidak Setia
“Kita tidak pernah tahu wajah kita sendiri; kita hanya tahu pantulan orang lain dalam mata yang menatap kita.”
– Lacan, dalam cermin bayi manusia
Lior terbangun sebelum fajar, saat dunia masih diam dan waktu belum memutuskan arah.
Ia tak dibangunkan oleh suara alarm atau mimpi buruk—melainkan oleh keheningan yang terlalu utuh, seperti kitab yang belum dibaca tapi sudah menyala dalam dada.
Angin dini hari menyelinap dari celah jendela, menggoyang tirai putih yang compang, menebarkan aroma jamur kayu dan sisa mimpi dari penghuni-penghuni rumah sebelumnya.
Lior bangkit perlahan, mengenakan jubah linen yang terlalu besar, seperti tubuhnya belum memutuskan bentuk apa yang layak ia kenakan pagi ini.
Ia berjalan ke meja kerja, di mana satu cermin bundar tanpa bingkai tergeletak seperti Yata-no-Kagami dalam mitologi Shinto—cermin suci yang memperlihatkan bukan rupa, tapi kebenaran jiwa.
Cermin itu tak pernah memantulkan hal yang sama dua kali.
Pagi ini, pantulan Lior muncul seperti lukisan Renaisans yang belum selesai.
Rahang tajam, tapi dagu lembut. Mata kanan lebih teduh, mata kiri lebih tajam.
Ada yang laki-laki di matanya.
Ada yang perempuan di garis lehernya.
Tapi tak satu pun bisa disebut dengan pasti.
Lior menatap cermin itu bukan untuk mencari rupa—melainkan untuk mengingat luka.
Di masa kecilnya, ia pernah membaca:
“Tuhan menciptakan manusia menurut gambar-Nya; laki-laki dan perempuan dijadikan-Nya mereka.”
(Kejadian 1:27)
Dan ia bertanya:
“Kalau begitu… aku dilihat oleh siapa?”
Lior menyentuh wajahnya dengan jari gemetar. Kulitnya hangat. Tapi bukan hanya karena tubuh—melainkan karena api kecil yang menyala di dalam dadanya, seperti api Hestia yang menjaga rumah batin seseorang agar tidak runtuh.
Ia membuka buku jurnal di laci meja. Halaman ke-103.
Tulisan tangannya berserakan seperti jejak burung di salju:
“Hari ini, aku belum tahu siapa yang akan mengenaliku. Tapi siapa pun mereka, semoga tidak memaksa wajahku memilih sisi.”
Di dapur, air mendidih perlahan.
Lior menyeduh teh bunga biru—Clitoria ternatea—yang katanya bisa mempertajam ingatan dalam legenda Ayurweda.
Ia menyeruput perlahan sambil menghadap jendela yang berkabut.
Di luar sana, kota masih tidur.
Tapi ia merasa, seseorang… sedang melihatnya dari balik waktu.
Ia kembali ke meja kerja. Di bawah cermin ada amplop abu-pucat yang tak ia letakkan sebelumnya.
Tangannya gemetar. Ia membuka.
Kertas tipis itu memuat hanya satu baris:
“Aku melihatmu sebagaimana kau dilahirkan. Bukan sebagaimana kau dilihat.”
– Rei
Ia menggenggam surat itu erat.
Nama itu—Rei—adalah nama yang mengendap di ruang sunyi dalam dirinya.
Nama yang tak asing. Nama yang seperti bekas luka di lidah. Nama yang kadang muncul dalam mimpinya, bersamaan dengan wujud dirinya sendiri yang berlarian di hutan kabut dengan dua wajah: satu tersenyum, satu menangis.
Cermin di meja bergetar.
Bukan karena gempa. Tapi karena waktu sedang berbelok.
Lior menatap pantulannya sekali lagi.
Dan kali ini… ia tak melihat wajahnya.
Ia melihat bayangan siluet yang mengintip dari balik kaca.
Surat dari Rei
“Kebenaran bukanlah satu wajah, melainkan jaring-jaring kecil yang menggantung di antara cahaya dan bayangan. Kita hanyalah benang yang tersangkut di dalamnya.”
– Parabola dari Kitab Yang Tak Pernah Ditulis
Surat dari Rei bukan surat biasa.
Kertasnya berwarna abu keperakan, ringan seperti kulit ular yang baru ditinggalkan, tapi beraroma tanah basah dan logam tua.
Tulisan tangannya bukan huruf Latin, tapi bukan pula aksara mana pun yang Lior kenal.
Namun entah bagaimana… ia memahami setiap kata.
Seolah surat itu tidak sedang ditulis dengan tinta,
melainkan diingatkan langsung dari masa lalu yang belum terjadi.
Lior duduk kembali di meja kerjanya, membiarkan lampu kuning mengambang seperti kunang-kunang malas di atas permukaan surat.
Ia mulai membaca dalam diam:
“Kau tak ingat aku, tapi aku mengingatmu.
Waktu pernah berbelok saat kita bertemu. Dan sejak itu, dunia tak lagi bulat bagimu.
Jika hari ini kau membaca ini, maka waktuku di ujung sudah dekat.
Datanglah ke Menara Inframerah. Tempat di mana wajah-wajah diganti,
dan nama-nama disegel di dalam air.”
– Rei
Menara Inframerah.
Nama itu berdengung dalam kepala Lior seperti mantra kuno.
Seperti bunyi petikan sitar yang pernah ia dengar di mimpi—dari dunia lain, mungkin dari masa di mana ia belum dibentuk oleh pertanyaan.
Lior menyalakan lilin kecil di ujung meja.
Cahaya api menciptakan bayangan panjang dari wajahnya.
Di tembok, bayangan itu bergerak.
Dan anehnya, ada dua bayangan dari satu tubuh.
Satu lebih lebar, tegap, seperti siluet pria muda.
Satu lebih halus, dengan garis rahang lembut dan bahu kecil.
Lior berdiri. Bayangan itu tidak serempak.
Yang satu tersenyum. Yang satu menunduk.
“Aku… siapa yang akan sampai di menara itu?” bisik Lior pada bayangannya sendiri.
Ia membuka laci rahasia di bawah meja.
Di sana ada benda yang selalu ia simpan tapi tak pernah disentuh sejak usia delapan belas:
cermin bulu ayam hitam—warisan dari seorang perempuan tua yang pernah menyebut dirinya “ibu, tapi bukan dari rahim.”
Cermin itu tidak memantulkan bentuk,
melainkan warna-warna yang membentuk emosi.
Saat Lior mengintip, yang ia lihat bukan dirinya…
melainkan warna biru kehampaan, ungu ketakutan, dan di tengahnya seberkas merah yang bergoyang seperti cahaya lilin terakhir.
Ketukan di pintu terdengar lagi.
Tiga kali. Kali ini cepat dan keras.
Ia membuka pintu dengan jantung yang seolah membawa dua detak dari dua nyawa yang berbeda.
Seorang kurir berdiri di sana.
Perempuan. Mata sipit, kulit legam, memakai jaket hujan meski langit terang
“Surat tambahan dari Rei,” katanya singkat.
“Kau punya waktu tiga hari.”
Kurir itu berjalan pergi sebelum Lior sempat bertanya.
Ia memegang surat kedua—kali ini lebih kecil.
Hanya satu kalimat tertulis di dalamnya:
“Bawalah wajahmu yang belum selesai.”
Lior menutup pintu dan berdiri dalam gelap.
Ia kini tahu: ini bukan tentang cinta biasa, bukan tentang jati diri.
Ini tentang sesuatu yang lebih besar dari tubuh dan nama.
Tentang perjanjian yang pernah ia buat dengan alam waktu—dan tubuhnya menjadi alat perpanjangan kesepakatan itu.
Dan Rei…
Siapakah Rei?
Apakah cinta pertamanya di dunia yang lain?
Atau… dirinya sendiri dari masa depan yang mencoba pulang?
Dalam cermin bulu ayam, warna merah perlahan melebar.
Menara Inframerah
“Bangunan tertinggi bukanlah yang mendekatkanmu pada langit, melainkan yang paling dalam menggali ke akar dirimu.”
– Catatan dari Lorca, sang Penjaga Menara
Langit berwarna tembaga.
Awan tidak bergerak, seolah waktu ditangguhkan hanya di tempat ini.
Lior berdiri di pelataran luas yang ditumbuhi lumut hitam dan rumput-rumput tipis seperti jarum.
Di hadapannya, Menara Inframerah menjulang seperti sebilah pedang yang ditancapkan oleh dewa di tengah dunia,
terbuat dari batu karang dan kaca usang yang meneteskan embun merah.
Ia menggenggam amplop kedua dari Rei, dan selembar kain hitam untuk menutup salah satu sisi wajahnya.
Wajah mana yang ia tutupi, ia tak tahu pasti—karena pagi tadi, cermin menolak menampilkan pantulan sama sekali.
Gerbang menara tidak terbuka ke dalam,
melainkan ke bawah.
Tangga spiral menurun seperti pusaran tak berujung.
Langkah Lior terdengar bergema, lalu teredam.
Seiring ia turun, dinding mulai berubah warna:
dari batu, menjadi kaca buram, menjadi dinding kulit yang berdenyut.
Di dinding tergantung potret-potret tak bernama.
Wajah-wajah aneh—separuh laki-laki, separuh perempuan—seperti lukisan yang dilukis oleh pelukis buta.
Beberapa menangis. Beberapa tersenyum dengan mata kosong.
“Apakah mereka semua… aku?”
Lior bergumam, dan suaranya tak kembali padanya.
Di dasar menara, ia tiba di sebuah ruangan bundar.
Di tengah ruangan, berdiri satu kursi rotan tua dan satu meja dari kaca.
Di atas meja, tergeletak satu benda yang membuat jantung Lior berhenti satu denyut:
Topeng.
Bukan sembarang topeng—tapi topeng wajahnya sendiri.
Dibuat dari bahan seperti lilin, dengan satu sisi keras dan satu sisi lembut.
Satu mata tajam, satu mata sendu.
Hidung mancung, tapi rahang samar.
Topeng itu… seolah hidup.
Suara terdengar dari balik tirai di ujung ruangan.
Lambat, namun tanpa gema.
“Lior, kau datang lebih cepat dari yang kuduga.”
“Waktu tidak pernah bisa menunggumu dua kali.”
Dari balik tirai, muncullah seseorang berselubung merah darah.
Wajahnya tak terlihat. Tapi suara itu—terdengar seperti bisikan dari masa kecil Lior yang terlupakan.
“Siapa kau?” tanya Lior.
“Aku adalah penjaga ingatanmu yang tidak kau akui.
Aku bagian dari dirimu yang tak pernah tumbuh,
dan bagian yang kau kubur agar bisa diterima dunia.”
Penjaga itu mengangkat tangan.
Dari dinding ruangan, muncul lemari kaca berisi ratusan wajah seperti topeng.
Semua… menyerupai Lior. Tapi tiap satu… berbeda sedikit.
“Ini semua adalah dirimu yang mungkin,” kata sang penjaga.
“Yang pernah kau pikirkan menjadi.
Yang pernah dunia coba bentuk darimu.”
Lior menatap satu wajah:
Seorang perempuan dengan luka di pipi kiri dan mata kanan yang kosong.
Lalu ke wajah lain:
Seorang lelaki tua dengan tatapan tajam penuh amarah.
“Kenapa aku punya semua ini?”
Lior bertanya, nyaris tak bersuara.
"Karena kau belum memilih.
Dan menolak memilih…
juga bentuk pilihan.”
Lampu di atas mereka berpendar merah seperti napas terakhir matahari.
Waktu di ruangan itu mulai mencair.
Sang penjaga menunduk, menunjuk ke topeng di meja kaca.
“Ambillah.
Kau harus mengenakan wajah yang akan membawamu bertemu Rei.”
“Tapi ingat—kau hanya bisa mengenakannya sekali.
Dan sejak itu, dunia akan melihatmu hanya sebagai satu bentuk.”
Lior menatap topeng itu.
Dan tiba-tiba, ia bertanya:
“Kalau aku mengenakannya… apakah Rei masih akan mengenaliku?”
Ruangan diam.
Dinding berdetak pelan seperti rahim dunia.
Lior menyentuh topeng itu.
Dan tiba-tiba, mata topeng itu terbuka.
Wajah yang Dipilih
“Tuhan menciptakan wajah seperti membentuk tanah liat.
Tapi manusialah yang mengukir ekspresinya.
Dan dunia… yang menamainya.”
– Fragmen dari Mitos Tanpa Nama
Topeng itu berkedip.
Seolah punya napas.
Lior menarik tangannya perlahan, tapi mata topeng tetap terbuka, memandangnya dengan tenang—tanpa rasa takut, tanpa rasa perlu dimengerti.
Bayangan dua wajahnya sendiri terpantul di kaca meja:
yang satu pria berambut pendek, rahang tegas, mata penuh kehampaan.
yang lain perempuan dengan mata sendu, pipi halus, dan garis bibir yang seperti pernah mengecup puisi.
“Apakah ini ujian?”
“Atau undangan?”
Langit-langit ruangan bergemuruh. Dinding mulai menghitam.
Lemari wajah-wajah masa lalu perlahan lenyap ke balik kabut.
Sang penjaga berucap pelan:
“Tidak ada wajah sejati. Hanya wajah yang kau rawat dengan cerita.
Pilihlah bukan dengan apa yang ingin dilihat orang—
tapi dengan apa yang tak kau sangka akan menuntunmu.”
Lior menutup mata.
Ingatan-ingatan menyerbu seperti hujan panas:
– suara ibunya memanggil "Nak..." lalu, "Noktra…", nama yang hanya dipakai saat ia jatuh.
– cermin kamar mandi saat umur tujuh tahun—wajah yang tampak tidak sama dengan suara.
– Rei, yang memeluknya saat malam badai, dan berkata "Kau seperti aku, tapi bukan."
Ia menyentuh topeng itu.
Hangat. Basah.
Saat menempel di wajah, benda itu bukan lagi benda.
Ia melebur.
Bukan hanya bentuk wajahnya yang berubah,
tapi juga cara dunia di balik kelopak matanya bekerja.
Lior—atau seseorang yang dulunya Lior—berdiri di depan cermin kaca yang tak memantulkan.
Ia melihat sosoknya kini hanya lewat bayangan dinding:
sebuah siluet yang tak bisa ditebak—bisa siapa saja, tergantung siapa yang menatap.
Ia membuka pintu menara.
Langit di luar kini gelap.
Tapi dari kejauhan, seberkas cahaya hijau mengambang.
Rei ada di sana. Atau mungkin bayangannya.
Sebelum ia pergi, sang penjaga berkata:
“Kau tak lagi membawa wajah.
Kau sekarang membawa cerita.
Dan Rei sedang menunggu untuk membacakannya.”
Dengan langkah ringan namun goyah,
makhluk yang dulu bernama Lior melangkah keluar.
Angin berdesir seperti mengucapkan perpisahan pada masa lalu yang tidak akan pernah kembali.
Dan dari kejauhan, seekor burung hitam bersayap emas—
makhluk langka dalam mitologi selatan—
terbang di atasnya,
membentuk bayangan wajah yang tak bisa diingat.
Rei yang Kembali
“Kau tak akan pernah benar-benar mengenali seseorang,
sampai kau mendengar cara mereka memanggil namamu dalam ketakutan.”
– Dari Manuskrip Tak Bertanda, Halaman Terbakar
Hutan Zephira menyambut dengan aroma lumut basah dan kabut tembaga.
Tanahnya empuk seperti dada yang menyimpan rahasia,
dan suara heningnya seperti jeda dalam doa.
Lior, atau siapa pun yang kini ia tampakkan,
berjalan di antara pohon-pohon langsing dan langit rendah yang menggantung seperti perasaan tidak selesai.
Di bawah pohon yang daunnya menghitam di pinggirannya,
Rei berdiri—membelakangi.
Ia memakai jubah kelabu, dengan garis merah marun memanjang dari bahu ke pergelangan tangan.
Seolah waktu tidak menggerogotinya, tapi mengintainya dari kejauhan.
Lior melangkah pelan.
“Kau datang...”
Suara Rei, nyaris seperti bisikan dalam mimpi Lior dulu.
“Kau menungguku?”
Wajah Lior samar di balik kabut, dan Rei tidak langsung menatap.
“Aku tak tahu siapa yang akan datang. Tapi aku menunggu—seseorang yang akan menatapku… bukan menghakimiku.”
Mereka berdiri berhadapan.
Rei menatap wajah itu.
Tak berkedip.
Tak menyangka.
Tak menolak.
“Apakah aku mengenalmu?” tanya Rei.
“Apakah aku harus menjawab dengan jujur?”
“Jangan. Kadang jawaban hanya membuat luka makin runcing.”
Di belakang Rei, tampak pohon tumbang dengan kulitnya ditulisi huruf-huruf aneh—semacam aksara kuno.
Lior menyentuhnya.
Tulisan itu bergerak.
Ia membaca:
“Segala yang tak disebut, akan tetap hidup.
Dan segala yang tidak diakui… akan menguasai yang mengingkarinya.”
Rei akhirnya mendekat.
Ia menyentuh tangan Lior.
“Aku pernah mencintaimu sebagai laki-laki.
Aku pernah mengagumi sosokmu sebagai perempuan.
Tapi hari ini aku bertemu bayangan yang tak bisa kusebutkan namanya.”
“Apakah kau takut?”
“Ya… tapi mungkin itulah tanda bahwa aku harus masuk lebih dalam.”
Lior menunduk.
Topeng dalam dirinya bergetar.
Wajah yang ia kenakan bukan sekadar kulit,
tapi kisah… dan kisah itu kini ditulis ulang oleh tatapan Rei.
“Aku tak minta dipahami.”
“Tapi aku ingin ada yang duduk di sampingku, meski tak tahu harus bicara apa.”
Rei duduk di akar pohon.
Lior duduk di sebelahnya.
Di atas langit, awan membuka bentuk aneh:
seperti dua wajah bertumpuk,
tidak sama, tidak berbeda.
Cukup untuk membuat siapapun yang melihatnya… merasa tidak sendirian.
“Rei,” bisik Lior,
“Jika wajah bisa berubah… apakah cintamu juga bisa?”
“Cintaku… justru lahir dari apa yang tak bisa dilihat wajah.”
“Tapi aku tak janji akan mudah.”
“Aku hanya janji akan tetap di sini, selama kamu tetap jujur.”
Langit mulai menggelap.
Hujan tidak turun.
Tapi waktu mulai terurai,
seperti benang yang ditarik dari sweater kenangan.
Dan entah siapa yang mengenggam siapa lebih erat.
Cermin Ketiga
“Tak ada yang bisa sembunyi dari cermin ketiga.
Ia tak memantulkan rupa,
melainkan memintamu membuka mata terhadap luka.”
– Frasa dari Kitab Syubha, Bab Terakhir yang Terhapus
Mereka berjalan bersama.
Rei tak banyak bicara.
Langkahnya ringan seperti daun yang memaklumi angin.
Sementara Lior… mulai merasakan kelelahan yang bukan dari tubuh,
melainkan dari waktu yang memadat di dada.
Kabut hutan Zephira menyingkapkan sebuah bangunan berbentuk setengah lingkaran:
tampak seperti kuil, namun tak ada lambang agama.
Pintunya dari kaca tua yang tergores, dan jendelanya hanya lubang udara.
Rei berhenti di depan.
“Kau harus masuk sendiri.”
“Apa yang ada di dalam?”
“Cermin yang tak pernah retak,
dan pertanyaan yang tak pernah selesai.”
Lior masuk.
Pintu menutup sendiri dengan suara mengayun lembut,
seolah sebuah keheningan sedang dikunci dari luar.
Di tengah ruangan hanya ada satu cermin besar yang tergantung di udara—tanpa tali, tanpa bingkai, tanpa logika.
Tapi Lior tidak melihat wajah.
Ia melihat Meja Kayu Tua dengan seorang anak kecil yang duduk menggambar diam-diam,
menghapus nama di KTP mainan, lalu menulis nama baru: Noktra.
“Aku tak suka nama Lior…”
“Dia bukan aku.”
“Aku… yang ini.”
Suara bocah itu adalah suara Lior,
namun lebih jernih. Lebih jujur.
Lalu muncul wanita muda dengan seragam kerja, menangis di toilet kantor.
“Kenapa semua orang bilang aku harus memilih?
Memilih untuk siapa? Untuk kenyamanan siapa?”
Bayangan berikutnya memperlihatkan wajah ayah,
yang membentak,
yang menangis dalam sembunyi.
Dan cermin pun mulai bergetar.
“Lior…” suara lembut memanggil dari dalam bayangan.
“Maafkanlah dunia yang menolak percaya bahwa jiwa bisa lebih dari satu bentuk.”
“Maafkanlah dirimu yang pernah mencoba menjadi apa yang bukan dirimu, hanya agar tak ditinggalkan.”
“Tapi jangan minta cermin untuk setuju. Ia hanya tahu jujur.”
Lior berdiri di hadapan cermin.
Wajahnya perlahan muncul,
tapi kini tak laki-laki… tak juga perempuan.
Sebuah wajah tanpa label.
Bukan karena hilang, tapi karena akhirnya tak perlu dijelaskan.
Cermin retak.
Tapi bukan karena patah,
melainkan karena telah selesai menjalankan tugasnya.
Pintu terbuka perlahan.
Rei menunggu, tak dengan tatapan penasaran,
tapi dengan sikap seperti halaman kosong—siap diisi, tapi tak memaksa.
“Apa yang kau lihat di dalam?” tanya Rei.
"Aku melihat semua yang tidak ingin kulihat.
Tapi sekarang, aku bisa mengakuinya… tanpa benci.”
Langit di atas mereka berubah warna.
Seperti kelopak ungu yang dibuka dari tengah malam.
Dan angin membawa wangi bunga yang tak bernama.
Suara Terakhir
“Di akhir waktu, bukan rupa yang kita cari…
tapi suara yang pernah membuat kita merasa nyata.”
– Fragmen Catatan Jiwa dari Silsilah Tak Bernama
Mereka turun ke lembah.
Tanahnya seperti hamparan kain beledu—sepi, nyaris tak bernapas.
Di ujung jalur melingkar, terbentang lingkaran batu-batu kecil.
Bukan altar, bukan kubur, tapi ruang sunyi yang dibangun hanya untuk mendengarkan.
“Di sinilah aku mendengar suara terakhir ibuku,” kata Rei.
“Dan di sinilah kau akan mendengar suara terakhirmu.”
Lior masuk ke tengah lingkaran.
Hening.
Kemudian…
Suara itu datang.
Bukan dari mulut siapa pun,
melainkan dari dalam dirinya sendiri yang selama ini ia asingkan.
“Lior… Noktra… atau siapapun engkau ingin disebut…
Apakah engkau mencintaiku, atau hanya ingin aku mencintaimu?”
Itu suara Orva.
Suara masa lalu.
Kekasih yang tak pernah benar-benar tahu harus mencintai siapa,
karena yang ia lihat selalu berubah.
Lior ingin menjawab,
tapi lidahnya seperti dijahit oleh keraguan.
“Aku mencintaimu…” bisiknya akhirnya,
“…bukan sebagai lelaki, bukan sebagai perempuan.
Aku mencintaimu saat aku belum punya wajah.”
“Dan setelah itu?”
“Setelah itu… aku hanya mencintai bayanganmu yang masih bertahan padaku, meski aku tak lagi kau kenali.”
Langit di atas lingkaran batu perlahan menyatu—warna antara senja dan subuh.
Batas waktu kabur.
Rei, dari jauh, tidak menengok.
Ia tahu: ini bukan urusannya,
tapi pertarungan batin yang tak bisa ia masuki.
Bayangan Orva muncul.
Ia tampak seperti saat terakhir mereka bertemu:
wajahnya letih, tapi masih menyimpan rindu.
“Kau akan pergi jauh, Noktra,” katanya.
“Tapi jangan lupa… cinta tidak harus punya wajah.”
“Ia hanya butuh tempat untuk kembali.”
Bayangan itu memudar.
Tapi suara itu tertinggal di dada Lior,
bergetar setiap kali ia mengingat.
Ia keluar dari lingkaran.
Rei memeluknya.
Tak ada kata.
Tak perlu.
Karena kali ini, pelukan itu tak memilih jenis kelamin,
tak meminta kejelasan.
Pelukan itu hanya mengakui keberadaan.
Langkah mereka berdua menyusuri jalur terakhir—menuju bab yang tak bisa ditulis ulang.
Tinggal satu bab lagi…
Noktra
“Nama adalah doa.
Tapi ada nama yang lahir dari luka,
dan tumbuh sebagai mantra—untuk membebaskan.”
– Kalimat yang Ditemukan Terukir di Dalam Cermin Ketiga
Langit di balik Pegunungan Zephira menjelma ungu pekat.
Di ujung tanjakan, ada sebuah gerbang tak bernama—terbuat dari akar pohon dan logam tua,seolah dibuat oleh waktu dan ingatan.
Lior berdiri di depannya.
Rei menyentuh pundaknya, lalu berkata:
“Ini akhir jalan. Tapi bukan akhir kisah.”
“Masuklah sebagai siapa pun… tapi keluarlah sebagai dirimu sendiri.”
Gerbang terbuka tanpa suara.
Di dalam, tak ada yang luar biasa.
Hanya sebuah meja,
kursi tua,
dan secarik kertas putih dengan pena di atasnya.
Dinding kosong.
Tak ada pantulan.
Tak ada arahan.
Lior duduk.
Tangannya gemetar saat memegang pena.
“Nama?”
Ia terdiam.
Nama… adalah batas.
Tapi juga pengenal.
Ia menuliskan:
"NOKTRA"
Tanpa Lior. Tanpa embel-embel.
Tanpa penjelasan.
Saat tinta terakhir mengering,
ruangan mulai berubah:
dinding memudar,
lantai menjadi kabut,
meja menghilang…
…dan Lior berdiri di padang tak bertuan—hanya ada cahaya samar dan suara bisik dari segala arah.
Bukan suara penghakiman.
Bukan pula pujian.
Tapi suara-suara orang yang pernah menyebutnya…
dengan cinta, dengan benci, dengan bingung, dan dengan harap.
Ia berjalan.
Langkahnya tidak meninggalkan jejak,
tapi angin kini membawa aroma yang khas:
campuran hujan pertama dan kertas tua—
aroma milik orang-orang yang telah berani menjadi dirinya sendiri, meski tidak pernah diakui.
Di kejauhan, Rei menunggu di tepi cahaya.
Tersenyum.
“Siapa kau sekarang?” tanya Rei.
Lior menatapnya—wajahnya tak bisa ditebak,
tapi matanya memancarkan sesuatu yang tak bisa disembunyikan lagi.
“Aku adalah yang kau ingat… dan yang tak kau kenali.”
“Aku adalah Noktra.”
“Dan aku telah memilih untuk hidup, meski tak bisa dipahami.”
Tirai dunia menutup.
Cerita selesai.
Tapi Noktra tidak.
Ia akan terus berjalan—
dalam diri siapa pun yang pernah bertanya:
“Siapa aku, jika wajahku bukan satu-satunya penjelasan?”