Masukan nama pengguna
Sela Harimurti tidak suka pergi ke pemakaman. Bukan karena takut, tapi karena ia percaya bahwa tanah yang baru saja menerima tubuh manusia belum sepenuhnya siap ditinggal. Sejak kecil, ia punya kebiasaan aneh: menghitung langkah setiap kali keluar dari area makam. Ia tak pernah tahu kenapa. Hanya saja, langkah ketujuh selalu membuat dadanya sesak.
Hari itu, ia tidak punya alasan untuk datang ke TPU Kalijero. Tidak kenal siapa pun yang meninggal. Tapi kakinya menuntun ke sana seperti ada tarikan diam-diam dari udara. Di antara pelayat yang berpakaian hitam dan wajah-wajah yang tampak asing, Sela berdiri di tepi liang. Dari balik keranda, terlihat wajah jenazah yang tertutup kafan sebatas hidung. Namun, ada sesuatu yang sangat familiar. Terlalu familiar untuk diabaikan.
“Ratna Sasmita,” kata seorang ibu di sebelahnya. “Meninggal di rumah kontrakan Gang Kelor. Sendirian.”
Sela menoleh cepat. Itu alamat tempat ia tinggal sekarang.
Pemakaman berlangsung cepat. Setelah nisan kayu dipasang dan doa terakhir dilantunkan, orang-orang mulai pergi satu per satu. Sela tidak bergerak. Ia berdiri tepat di tepi tanah, tubuhnya seperti membatu.
Langkah-langkah pelayat menghilang perlahan ke kejauhan. Saat langkah ketujuh terdengar dari orang terakhir yang berpaling… suara itu muncul.
Jeritan. Bukan isak tangis. Tapi jeritan yang seolah merobek ruang dan waktu. Terdengar dari dalam tanah. Memekik. Menggeram. Dan memanggil satu nama:
“Sela…”
Ia membeku. Dunia sekitarnya sunyi. Tak ada yang mendengar selain dirinya. Tapi suara itu terus menggema, seakan menabrak dinding liang dan menuntut dikeluarkan.
Sejak hari itu, malam-malam Sela berubah menjadi fragmen-fragmen ketakutan yang tidak tahu batas. Ia mulai mendengar suara cakar di bawah lantai. Kuku. Benda tajam menggaruk-garuk dari dalam tanah. Di kamar mandi, uap cermin membentuk nama yang tidak ia tulis: Rasti.
Saat makan malam, sendoknya berubah bentuk di tengah genggaman. Lantai tempatnya berdiri terasa basah seperti tanah segar yang belum padat. Ketika menyalakan televisi, layar menampilkan berita kematian… dengan fotonya sendiri. Nama Sela Harimurti muncul sebagai “saksi terakhir pemakaman Ratna Sasmita.”
Tubuhnya mulai memar. Ujung jarinya berdarah. Lidahnya luka seakan pernah menggigit sesuatu yang tajam. Ia merasakan bau darah dari gusi yang tidak berdarah.
Sela tak kuat. Ia menelusuri jejak Ratna. Berkas di kelurahan, laporan warga, catatan penyewa kontrakan. Semuanya mengarah pada satu nama yang pernah ia lupakan: Rasti A. Rahma. Teman SMP yang hilang setelah insiden di toilet sekolah.
Sela ingat sekarang. Hari itu, bel berbunyi. Di dalam toilet belakang, Rasti dikelilingi lima siswi lain. Bajunya basah karena disiram air. Dita, Yola, dan yang lain menertawakannya karena diduga “menodai kursi kelas dengan darah menstruasi.” Rasti ditampar, difoto, dan dipojokkan. Sela… berdiri di dekat pintu. Ia tidak menertawakan. Tidak menampar. Tapi juga… tidak menghentikan.
Saat itu, diam terasa cukup aman. Tapi sekarang ia tahu: diam adalah jerat yang melingkar pelan hingga tubuh mati perlahan.
Ratna Sasmita adalah nama baru Rasti A. Rahma. Dan ketika semua orang menjauh dari liang kuburnya, hanya satu yang berdiri di sana: Sela.
Malam Jumat Kliwon, Sela kembali ke makam. Ia membawa cermin bundar, sehelai kain kafan, dan sepotong surat yang ditulis dengan darah dari jari telunjuknya. Di bawah pohon kamboja yang meranggas, ia berdiri sambil membaca surat itu pelan.
“Rasti… aku ingat. Aku diam. Dan diamku adalah luka dalam tubuhmu.”
Tanah di depan nisan bergerak. Seperti napas ditahan terlalu lama, lalu meledak. Liang itu terbuka tanpa suara. Tapi udara yang keluar seperti uap dari dunia lain.
Sela tidak melompat.
Ia diseret.
Tangan-tangan tak terlihat mencengkeram kakinya, menariknya ke bawah dengan kekuatan yang lembut tapi tak terhindarkan. Ia melawan. Tapi tanah sudah menelannya.
Di dalam sana, ia tidak berada dalam lubang. Tapi ruang gelap tak berdasar. Seperti lambung bumi.
Dindingnya bukan tanah. Tapi daging. Berdetak. Berdarah.
Jeritan memenuhi ruangan. Tapi bukan dari luar. Itu jeritan dirinya sendiri—diseret oleh sesuatu yang tak terlihat, diikat dengan tali dari rambut panjang yang basah dan berbau busuk. Setiap kali ia mencoba bicara, potongan kuku dilempar ke dalam mulutnya.
Tubuhnya dicambuk oleh bayangan yang tidak punya wajah. Di satu sudut, ada meja sekolah. Di atasnya, seorang gadis remaja duduk dalam genangan darah. Bajunya basah. Matanya kosong.
“Kau yang berdiri di pintu,” bisik suara itu.
“Kau yang tidak ikut. Tapi tidak menghentikan. Maka kau akan ikut… tapi tidak bisa keluar.”
Tulang punggung Sela mulai melengkung, seperti dilipat paksa. Di langit-langit ruang kubur itu, tergantung cermin-cermin pecah. Di dalamnya, tampak dirinya sendiri: tubuhnya separuh membusuk, matanya dipaku terbuka.
Ia menangis. Tapi air matanya adalah tanah. Lumpur.
“Berapa banyak yang kau lihat menderita tapi kau diam?”
“Berapa kali kau dengar jeritan, tapi tidak ikut berteriak?”
“Di dunia atas, kau aman karena tak beraksi. Tapi di sini… semua diam dihitung.”
Tangan itu mulai menggali ke dalam tubuhnya. Dagingnya dipotong, digali, disimpan ke dalam botol kaca yang disusun rapi di rak-rak kayu tua.
Sela kehilangan waktu.
Ketika ia tersadar, ia sudah kembali berada di atas tanah. Tapi tubuhnya tidak utuh. Ia mencoba bicara, tapi hanya suara napas yang keluar. Dunia di sekitarnya tidak mengenalinya.
Ia berjalan ke rumah. Tidak ada yang membukakan pintu.
Keesokan harinya, penjaga makam menemukan nisan Ratna berubah. Kini tertulis dua nama:
RASTI A. RAHMA (1987–2003)
SELA HARIMURTI (1992–∞)
Dan sejak hari itu, konon, setiap ada pemakaman di Kalijero, selalu ada satu perempuan berdiri lebih lama dari yang lain. Ia tak membawa bunga. Tak bersujud. Hanya berdiri diam.
Menunggu pelayat terakhir menjauh tujuh langkah.
Dan saat itu terjadi…
Jeritan kembali dimulai.
*****
Epilog: Yang Tidak Dikatakan oleh Tanah
Beberapa bulan setelah nisan itu berubah, TPU Kalijero kembali sunyi. Tapi Mbah Samid, penjaga makam, selalu menghindari satu bagian tanah di sisi pohon kamboja. Ia tak pernah membersihkannya. Tak berani menatapnya. Ia percaya, ada yang belum selesai dikubur.
Kontrakan di Gang Kelor 3A kini kosong lagi. Tetangga bilang, sejak “yang tinggal terakhir”—Sela—menghilang tanpa kabar, tak ada lagi yang berani masuk. Tapi dari luar, jendela kamar paling ujung terkadang terbuka sendiri malam-malam. Dan lampu kamar mandi menyala tepat pukul 2:17.
Ada yang janggal, tentu saja. Rasti—atau Ratna—lahir tahun 1987 dan meninggal 2003, saat berusia 16. Sementara Sela lahir tahun 1992. Mereka beda lima tahun. Mereka tidak seharusnya berada di sekolah yang sama. Namun ingatan tidak pernah berbohong. Sela yakin ia melihat Rasti di toilet sekolah. Suaranya. Wajahnya. Ketakutannya.
Lalu bagaimana mungkin?
Beberapa arsip tua sekolah akhirnya dibuka oleh Mbah Samid yang diam-diam mencari tahu, sebab ia sendiri pernah menjadi petugas kebersihan di sekolah itu. Ia menemukan catatan kecil yang nyaris hilang oleh jamur: Rasti adalah siswa paket akselerasi dari panti asuhan. Ia melompati dua kelas, masuk SMP di usia 10 tahun.
Pihak sekolah menyembunyikan latar belakangnya agar tak jadi bahan ejekan. Tapi justru karena itu… ia dianggap aneh. Terlalu kecil untuk ikut pembicaraan teman sekelas, terlalu dewasa dalam cara memandang luka. Itulah yang membuatnya dibully.
Dan Sela, kala itu anak kelas 1, memang satu angkatan. Mereka tidak dekat, tapi pernah satu ruang, satu jam pelajaran, satu toilet.
Saat itulah dosa bermula. Saat mata melihat dan mulut memilih bungkam.
Malam saat Sela menandatangani kontrak sewa rumah itu, ia tidak ingat siapa yang memberinya kunci. Namanya tak ada dalam kontrak. Nomor telepon pemilik rumah tidak aktif. Agen yang menghubunginya lewat email—tak pernah membalas lagi sejak transaksi selesai.
Bahkan, warga sekitar hanya bilang: “Rumah itu sudah kosong lama. Kamu orang pertama yang berani masuk lagi.”
Tak ada yang mencatat kematian Ratna Sasmita di RT itu. Tidak ada surat kematian, tidak ada pemulasaraan resmi. Hanya satu makam… dan satu suara… yang terus menyebut nama Sela.
Seseorang pernah bilang pada Mbah Samid, bahwa waktu di dunia gaib tak berjalan seperti di dunia manusia. Rasti bisa mati duluan, tapi tetap tinggal di rumah itu… menunggu seseorang dari masa depan. Seseorang yang melihat tapi tak mencegah. Seseorang yang diam… tapi menyimpan beban.
Dan ketika akhirnya seseorang itu tinggal di kamarnya, tidur di ranjangnya, berdiri di depannya saat liang kubur ditutup—waktu menjadi utuh.
Bukan kebetulan Sela menyewa rumah itu. Bukan kebetulan ia datang ke pemakaman tanpa diundang.
Ia datang karena tanah memanggilnya kembali… untuk menyelesaikan jeritan yang sempat terputus.
Kini, nisan itu tetap berdiri. Dua nama, dua waktu, satu liang. Yang satu telah mati. Yang satu belum. Tapi tak bisa pergi.
Karena dalam hukum tanah yang tak tertulis, ada yang lebih mengerikan dari menjadi korban:
Menjadi saksi yang diam, dan tidak pernah minta maaf.