Masukan nama pengguna
“Sadar, Le! Kamu itu laki-laki dan tetap seperti itu sampe ajal menjemput,” ucap Mak di sela isak tangis setelah tubuhku gemetar hebat karena telah berdiri satu jam di depan pintu kamar.
Ya, namaku Satrio Wibowo, yang terlahir dari kedua orang tua bersahaja. Mereka adalah pasangan pekerja di sebuah perkebunan teh. Masa kecil yang seharusnya pantas dikenang untuk semua orang, bahkan jadi awal mimpi buruk bagiku.
Umurku kala itu masih dua belas tahun saat pertama kalinya diajak oleh Pak Mandor untuk pergi ke kota sebagai hadiah atas kelulusan dengan nilai akhir tertinggi se-kabupaten.
Pak Mandor telah menduda selama lima tahun dan mempunyai banyak teman bule. Mereka adalah kenalannya saat kuliah di luar negeri. Dia adalah pria paling fashionable dan juga supel di antara petinggi perkebunan.
Bapak dan Mak merasa tersanjung saat pria berkulit bersih ini meminta izin untuk mengajakku pergi membeli keperluan sekolah ke kota. Aku pun tak kalah bahagia karenanya. Pria ini begitu pandai mengambil hati Bapak dan Mak.
Setelah selesai berbelanja keperluan sekolah, Pak Fredy—nama pria tersebut—mengajakku beristirahat di sebuah hotel melati dengan alasan capek dan ingin istirahat sebentar sebelum pulang.
Maklum, jarak dari perkebunan ke kota lumayan jauh dan itu kami tempuh dengan mengendarai motor selama dua jam. Saat beristirahat di hotel tersebut, akhirnya Pak Fredy bercerita bahwa ingin menjadikanku anak asuh.
“Kamu anak pintar harus bisa sekolah tinggi,” jelas Pak Fredy yang sekaligus pendorong semangatku kala itu.
Sejam kemudian, setelah badan bugar sehabis mandi, kami pun melanjutkan perjalanan pulang. Sepanjang perjalanan, pria ini bercerita saat masa-masa kuliahnya yang banyak bergaul dengan orang-orang dari berbagai bangsa.
Sejak saat itulah, kami sering berkomunikasi apalagi saat aku menempuh sekolah lanjutan atas dan sudah mempunyai penghasilan sendiri dari bekerja sebagai guru les anak SD. Hubungan kami lebih akrab, tak seperti bapak dan anak asuh lagi. Pak Fredy yang lebih tua 12 tahun dariku, memposisikan diri sebagai abang.
Dari Bang Fredy, aku mengenal semua teman-teman bulenya. Mereka kebanyakan sudah fasih berbahasa Indonesia karena telah lama tinggal di sini, bahkan ada yang menjadi WNI karena menikah dengan wanita Indonesia. Hingga pada suatu hari, sebut saja Uncle Bob—salah satu teman Bang Fredy—memperkenalkan anak asuhnya yang bernama Tomi.
Kami cepat akrab karena seumuran. Tomi seperti halnya Bang Fredy, Uncle Bob, dan orang yang berada dalam lingkaran pertemanan mereka adalah orang yang supel, fashionable dan tentu saja dianugerahi IQ di atas rata-rata.
“Lu berapa taon ikut Om Fredy?” tanya Tomi pada suatu malam saat kami sepulang dari night club.
“Dari SMP. Eh, lu jangan pernah cerita kalo kita ke sana,” jawabku seusai memuntahkan isi perut di depan pintu pagar rumah Uncle Bob.
Terus terang, ini adalah pengalaman pertamaku pergi ke tempat hiburan malam dan merupakan larangan terkeras dari Bang Fredy.
“Kamu boleh main ke mana pun, asal jangan pernah ke tempat hiburan malam, apalagi mabuk,” ucap Bang Fredy saat usiaku menginjak remaja.
"Sesekali mengenal dunia malam biar gak kuper," kata Tomi.
Ternyata kebiasaan pergi ke tempat hiburan malam membuat candu bagiku. Di sana pula, akhirnya aku mengenal bisnis yang lebih menggiurkan karena menghasilkan banyak uang. Tentu saja, kegiatan tersebut aku lakukan secara sembunyi-sembunyi agar tak ketahuan Bang Fredy.
Pada suatu malam, aku yang telah mempunyai seorang kekasih dari setahun lalu hingga masa orientasi mahasiswa baru, menjadi hancur. Di sebuah hotel berbintang, sepulang mengantar wanita penghibur untuk salah satu pelanggan, aku melihat kekasihku sedang bergandengan mesra dengan seorang pria memasuki lobby.
Oleh karena rasa penasaran, aku mengikuti mereka hingga masuk salah satu kamar. Dari resepsionis aku tahu bahwa sang wanita telah dua tahun menjadi istri simpanan pengusaha tersebut.
Aku hanyalah sebuah persinggahan selama Daddy Sugar tak bersamanya. Kesetiaan yang kujaga selama ini adalah sia-sia.Seketika aku mengendarai motor ke arah rumah Uncle Bob dan berniat mengajak Tomi nongkrong menghilangkan suntuk.
“Selamat malam. Tom! Uncle Bob!” Beberapa kali panggilan tak ada balasan, padahal rumah dalam keadaan tak terkunci dan terdengar suara musik mengalun lembut dari lantai atas.
Aku yang biasa berkunjung ke sini segera menuju lantai atas mencari Tomi. Lantai atas sepi. Aku hanya menjumpai piring-piring bekas makanan dan botol-botol minuman beralkohol di meja dan lantai.
Alunan musik berasal dari sebuah speaker aktif di atas bufet. Namun, lamat-lamat terdengar suara orang di dalam kamar Tomi. Langkah kaki pun langsung mengarah ke sana dan kejadian di luar nalar terlihat saat aku membuka pintu.
“Rio, tunggu!” cegah Tomi saat aku berlari ke lantai bawah langsung menuju motor dan segera berlalu dari sana.Saat memutar balik motor, sempat kulihat Uncle Bob menatap dari jendela kamar Tomi. Bullshit!
Tak ada lagi pilihan, motor kupacu kencang ke arah rumah Bang Fredy. Orang yang selama ini mengasuh dengan tulus serta penuh kasih sayang.
“Udah gak perlu sedih. Karena hal inilah, Abang gak mau kamu masuk dunia malam. Akhirnya tau sendiri, kan?” tanya Bang Fredy lemah lembut seperti biasa dan malam ini lebih membuai.
Entah dari mana awalnya, akhirnya Bang Fredy berterus terang bahwa ia sejak lama telah tertarik padaku, akan tetapi terpaksa dialihkan dengan fokus memberi jalan demi masa depanku agar lebih baik.
“Kini kamu udah dewasa dan bisa menentukan jalan hidup. Lingkungan pergaulan Abang gak baik untukmu,” ucap Bang Fredy di antara isak tangis.
Akhirnya malam itu adalah untuk pertama kalinya aku merasakan kehangatan tubuh Bang Fredy dan sekaligus malam perpisahan kami. Pagi harinya dengan badan meriang, Bang Fredy mengantarku pulang ke indekos.
“Terima kasih, Sayang. Semalam terindah yang pernah Abang rasakan,” ucap pria tampan yang baru kutahu rahasia terbesarnya.
Hari itu, adalah terakhir kalinya aku menginjak tanah air. Aku segera berangkat untuk memenuhi panggilan bea siswa ke Jerman yang sudah dua bulan menunggu untuk ditandatangani. Otakku yang cemerlang sukses mendapat bea siswa sekaligus magang kerja di sana.
Berbekal pengalaman bergaul dengan Tomi di tempat hiburan malam dan juga malam pertama dengan Bang Fredy, aku pun sukses berkamuflase menjadi Andrea. Aku tak ingin tersakiti lagi dan lebih menikmati hidup tanpa batas dengan berbagai petualangan seru.
Satrio Wibowo yang lemah, kini tinggal kenangan. Andrea adalah sosok baru yang tampil cantik, energik dan tentu saja menggoda untuk para pengelana cinta. Dengan biaya sangat mahal, kini bentuk tubuhku bisa disandingkan dengan Miss Universe.
Para pria hidung belang kaliber dunia pun, tak mampu membedakan antar aku dengan wanita tulen.Hingga suatu saat aku didiagnosa dokter terkena penyakit kelamin dan berbagai pengobatan telah kujalani, tetapi tak mendapat kesembuhan. Penyakit menular ini menyebabkan wajah dan area sensitif bernanah dan mengeluarkan bau tak sedap.
Aku telah menghentikan segala aktivitas menyimpang dan selalu rutin memohon rida-Nya, tapi tak ada hasil. DOA YANG BELUM DIJABAH ini, akhirnya menuntun langkah kaki untuk kembali pulang demi bersimpuh di kedua kaki Mak.
Bapak telah meninggal dunia setahun lalu dan aku tak sempat pulang saat itu. Mak sangat syok ketika melihat keadaanku yang telah berubah wujud. Dengan berderai air mata Mak berlari masuk kamar dan hanya suara isak tangisnya yang terdengar.
“Mak, ampuni aku! Tolong kasih tau, gimana caranya bisa sembuh?” tanyaku sembari mengetuk pintu dengan perasaan luluh lantak karena diabaikan Mak.
“Mak, maafin aku! Aku hanya ingin kembali pada-Nya atas izinmu dan pulang dengan kodratku.”
Aku harus kuat sampai keluar kalimat dari mulut Mak karena hanya restunya yang diperlukan saat ini. Tak ada lagi kebahagiaan selain kata-kata lemah lembut dari pemilik pintu surga tersebut.
TAMAT
•••○☆••☆○•••