Masukan nama pengguna
Kak Sam adalah sosok lelaki tampan, yang aku kenal dari laman sosial media. Ia adalah anak seorang diplomat karena tugas sang ayah ini, dirinya berdiam lama di Negeri Kincir Angin, Belanda. Ia kembali ke Indonesia setelah menamatkan kuliah di sana. Saat ini, ia bekerja pada perusahaan ternama sebagai seorang konsultan bisnis.
Perkenalan kami akhirnya berlanjut di dunia nyata. Kebetulan, tempat tinggal kami masih satu propinsi. Hanya saja, aku tinggal di desa, Kak Sam tinggal di kota.
Hubungan kami semakin dekat karena mempunyai hobi yang sama. Kami menyukai keindahan alam, seringkali menghabiskan akhir pekan dengan melakukan perjalanan ke pantai dan gunung.
Kami seakan-akan tak terpisahkan. Bahkan kami sudah merencanakan untuk menyatukan cinta dalam suatu ikatan perkawinan. Kedua belah keluarga telah sepakat akan mengadakan prosesi lamaran, hingga ....
Sesuatu tak terduga terjadi.
Seorang wanita mengaku mengandung benih Kak Sam. Bagai disambar petir di siang bolong, kedua belah pihak keluarga kami dibuat syok karenanya, terutama diriku dan Kak Sam.
Kak Sam sempat berterus terang padaku, pernah khilaf. Dalam keadaan mabuk, memperkosa asisten rumah tangganya. Kebetulan tetangga nenek Kak Sam.
Sesaat setelah peristiwa terjadi, Kak Sam sempat berkata akan bertanggung jawab bila wanita itu hamil. Selama itu pula, Kak Sam memberi uang ekstra tiga bulan berturut-turut sampai akhirnya wanita itu pamit undur diri, untuk bekerja ke luar kota.
Empat bulan berlalu setelah kepergian wanita itu, Kak Sam menganggap tidak ada lagi masalah di antara mereka. Pada akhirnya, kedatangan wanita itu, jadi hambatan dalam prosesi lamaran kami.
Hatiku terluka, lebih hancur lagi dengan keadaan Kak Sam. Selama empat bulan, kenapa tak ada omongan apa pun padanya? Mengapa kemarin waktu pamit undur diri, wanita itu tak berterus terang? Seribu tanya diungkapkan Kak Sam dalam kekesalannya, beribu kata maaf terucap untukku.
Demi rasa kemanusiaan, aku dan Kak Sam tak bisa melanjutkan rencana impian . Atas kesepakatan keluarga Kak Sam dengan keluarga Rum-wanita itu-segera diadakan pernikahan untuk keduanya.
Pernikahan sebatas formalitas semata demi sebuah pengakuan pada sang jabang bayi. Dua minggu setelah proses kelahiran, mereka sepakat akan berpisah, untuk melanjutkan hidup masing-masing. Kak Sam akan bertanggung jawab sepenuhnya terhadap anak, sesuai kewajiban seorang bapak.
Akhirnya diadakan pernikahan secara sederhana di kediaman Rum. Sepanjang acara berlangsung, kulihat ... Kak Sam merasa gelisah dan tak nyaman. Arah pandangannya hanya tertuju ke arahku. Sepintas ia terlihat menitikkan air mata, mungkin sebuah penyesalan, terpaksa menikah karena kecerobohan diri sendiri. Beda jauh dengan Rum, senyum merekah di sepanjang acara berlangsung. Hati ini ikut geram dibuatnya, ia tidak ada rasa malu dan gelisah sama sekali.
Aku terpaksa segera pamit, hanya pada bagian penerima tamu saja, titip ucapan selamat untuk kedua pengantin. Tak sampai hati, berucap secara langsung, hati makin pedih lihat keadaan Kak Sam yang gundah. Sengaja lewat pintu samping agar kepergiaanku tak terlihat Kak Sam dan keluarga.
Malam hari, aku habiskan dengan cucuran air mata. Tak rela rasanya melihat Kak Sam bersanding dengan wanita lain. Suara dering ponsel membangunkan tidurku. Mata terasa perih, saat melihat nama yang tertera di layar. Kak Sam? Nggak salah nih, jam dua pagi, kenapa Kak Sam telepon ya?
“Assalammu’alaikum, Kak Sam?”
“Wa’alaikumussalam, Sayang ... udah tidur?” Suara Kak Sam terdengar bergetar di ujung sana.
Terdengar seperti seseorang menahan amarah. Sesaat terdengar bunyi langkah mendekat ke arah Kak Sam.
“Kak Sam, mau ke mana?”
Seperti suara seorang wanita, ya ... bisa kupastikan suara Rum.
“Aku hanya menjalankan kesepakatan kita, aku akan pulang, kamu di sini dengan keluargamu." Terdengar suara Kak Sam.
Ponsel terdengar diletakkan, tapi masih aktif, aku dengan jelas mendengarnya.
“Aku sudah sah jadi istri Kak Sam. Aku akan pulang ikut Kak Sam.” Terdengar suara Rum merajuk.
Sesaat kemudian terdengar suara Kak Sam,
“Maaf, sesuai kesepakatan. Pernikahan ini hanya formalitas semata."
Kudengar suara tangisan diikuti suara langkah lalu ponsel terdengar diangkat. Suara Kak Sam terdengar jelas.
"Sayang, siap-siap ya. Malam ini kujemput.” Jelas ini ucapan Kak Sam untukku, ini kan malam hari, Kak Sam gila, mau mengajak ke mana?
“Kak Sam ....” Tak ada jawaban, yang kudengar hanya langkah kaki. Sesaat,
“Bapak, Ibu, saya mohon pamit sekalian, mungkin seminggu keluar kota, ada tugas.” Terdengar Kak Sam berpamitan, mungkin orang tua Rum.
“Menginap di sini aja dulu, kalian tuh sudah suami istri.” Seperti suara bapak Rum.
“Maaf ... Assalammu’alaikum.”
“Wa’alaikumussalam.” Terdengar dua orang menjawab salam dari Kak Sam.
“Sayang, malam ini aku jemput kamu.” Suara Kak Sam terdengar, lalu telepon dimatikan
🌹🌹🌹
Aku bingung harus bagaimana? Kak Sam mau menjemputku, mau diajak ke mana?
Akhirnya aku hanya menunggu kedatangan Kak Sam di teras rumah. Sementara jarum jam menunjukkan pukul tiga pagi. Sejam kemudian, terdengar suara mobil mendekat.
“Assalammu’alaikum,” sapa Kak Sam sembari mengumbar senyum manis.
Selama seminggu, Kak Sam mempersiapkan pernikahan, kami tak pernah bertemu lagi, hanya sempat berpandangan sesaat di acara tadi malam. Ada rasa rindu tersisa di hatiku.
“Wa’alaikumussalam ... Kak Sam? Kok ke sini pagi-pagi? Apa kata orang?” jawabku keheranan, bagaimanapun Kak Sam adalah suami orang.
“Dea, apa yang salah, Sayang?” tanya Kak Sam.
“Sangat salah! Kak Sam sekarang telah menjadi suami Rum. Sadar Kak Sam! Apa kata orang, kalau ada yang melihat kedatangan Kak Sam ini?”
“Aku nggak cinta dia, Sayang! Aku cinta kamu. Aku khilaf! Aku bertanggung jawab sebatas darah dagingku saja. Deaaa ... please! Help me, please! Aku sakit, kamu sakit, kita tersakiti bersama.”
Kak Sam berteriak-teriak seakan ingin meluapkan segala bebannya. Aku semakin salah tingkah, segera meraih kunci kontak dari tangan Kak Sam.
“Kak Sam, masuk!” Segera membuka pintu mobil untuk Kak Sam.
Berdua meluncur menyelusuri jalan, mengikuti kata hati. Perjalanan satu jam tanpa haluan, akhirnya terhenti pada sebuah jembatan di pinggir kota. Mobil menepi ke salah satu sisi.
Aku menangis, meluapkan sesak yang selama ini terpendam. Kepala terkulai pada dasboard, buliran bening membanjiri pipi hingga permukaan dashboard. Kak Sam membalik tubuhku, mendekapku mesra.
“Sayang, maafkan, karena ulah gilaku, kau terluka. Aku sayang kamu. Trust me, Honey!” bisikan lembut Kak Sam, seakan berusaha menenangkan hatiku.
Aku masih sibuk menata hati, masih terasa sesak di dada. Berdua menikmati kesedihan, saling menguatkan. Kami hanyut dalam rasa itu.
Setelah hati mulai tenang, gantian Kak Sam mengambil alih kemudi. Mobil melaju dengan kecepatan di atas rata-rata menuju luar kota. Kata Kak Sam, ada rapat di suatu kota. Perjalanan panjang dan melelahkan, dua kali kami berhenti beristirahat.
Sekitar jam sebelas siang, kami sampai di pusat kota tujuan. Mampir sebentar di sebuah butik untuk membeli beberapa baju, karena tak membawa baju ganti sehelai pun. Segala perlengkapan sudah dibeli. Mobil telah sampai di depan sebuah hotel tempat akan diadakan rapat. Kak Sam segera mempersiapkan diri, sementara aku menunggu di dalam kamar hotel hingga rapat selesai.
Aku tak menyadari kehadiran Kak Sam. Sedang asik menonton TV, ada seseorang mendekapku dari belakang. Terasa embusan napas hangat di leher.
“Cantik.” Refleks kutoleh, kepala yang bersandar di bahu kiri.
“ Ka-kak Sam ... dah datang,” jawabku.
Entah bagaimana awalnya, akhirnya hal yang tak seharusnya terjadi, kami lakukan. Kami sadar atas perbuatan khilaf adalah sebuah kesalahan.
Kak Sam mengajakku untuk meresmikan hubungan dengan nikah siri, sembari menunggu waktu kesepakatan antara Kak Sam dengan Rum selesai. Setelah itu, kami akan menikah secara resmi.
Esok harinya kami berdua menemui seorang penghulu, untuk menentukan hari pernikahan. Sepanjang hari itu, kami menghabiskan waktu mempersiapkan segalanya.
🌹🌹🌹
Hari pernikahan tiba, Ibu dan nenek Kak Sam, beserta keluarga dekat dijemput untuk menjadi saksi pernikahan. Semula Ibu dan nenek Kak Sam keberatan, mengingat Kak Sam masih berstatus suami Rum, setelah dijelaskan oleh Kak Sam, mereka mau mengerti. Pernikahan sederhana telah meresmikan ikatan cinta kami.
Masa dinas seminggu telah usai. Kami menambah dengan masa liburan bulan madu. Selama itu pula, semua tugas Kak Sam dilakukan secara daring. Tiada hari tanpa bunyi dering nada panggilan dan pesan dari Rum. Kak Sam tak menghiraukan semua itu.
Sebulan di luar kota, kami pulang, sepakat tinggal di rumah Kak Sam. Tiada hari tanpa kemesraan. Sesekali Kak Sam menjenguk Rum untuk melihat perkembangan kehamilannya, memberi sejumlah uang dan segala perlengkapan kelahiran.
🌹🌹🌹
Hari kelahiran tiba, Kak Sam menuju rumah sakit, tempat Rum dirawat. Seorang bayi cantik telah hadir, sebuah nama telah disematkan untuk sang buah hati.
Tepat dua minggu setelah proses kelahiran, Kak Sam mengajakku ditemani seorang pengacara berkunjung ke rumah Rum untuk mengurus segala hal mengenai perceraian keduanya. Aku hanya menunggu di dalam mobil, demi menjaga perasaan Rum dan keluarga.
Sesuatu di luar perkiraan terjadi. Rum teriak-teriak, tak terima diceraikan, sembari menggendong bayi ke luar rumah. Warga sekitar berbondong-bondong, melihat keributan ini.
“Kalian bedebah, pada gila semua. Aku tak mau cerai, setelah sekian lama aku menunggu pernikahan ini. Kamu ingin anak kan? Ini ambil!” teriak Rum sembari meninggalkan si bayi di tanah.
Tingkah Rum di luar nalar membuat Kak Sam berinisiatif mengambil si buah hati, lalu memberikan padaku. Aku hanya bisa mengawasi dari dalam mobil, sampai akhirnya ada sebuah mobil ambulands menjemput Rum.
Belakangan diketahui bahwa Rum sempat terserang depresi setelah mengetahui suaminya dulu selingkuh dengan teman sekantor.
TAMAT