Cerpen
Disukai
0
Dilihat
6,598
LOVE is LINTRIK
Misteri

Ona yang semakin cantik dan mempesona, rajin menebar perangkap demi nafsu duniawi. Sebuah rumah mewah telah menjadi miliknya setelah berhasil menjadi istri simpanan seorang pengusaha. Dengan ilmu lintrik, apa pun yang diimpikan selalu tercapai. Namun, bukan rasa puas yang ia rasakan, justru rasa kurang dan selalu mengharapkan yang lebih.

Pengusaha ini sudah terlalu tergila-gila, hingga tak ingat pulang. Ia tak bisa hidup jauh dari Ona. Anak dan istri tak dihiraukan lagi. Hingga suatu hari istrinya nekat mencari pengusaha tersebut ke rumah Ona. Namun, apa yang dilakukan oleh Ona? Wanita bertubuh sintal ini bahkan tertawa terbahak-bahak, lalu berkata ia dengan senang hati akan mengembalikan pengusaha  tersebut. Lelaki yang beberapa bulan menemaninya ini telah bangkrut, aset perusahaan telah habis dikuras demi menyenangkan hati Ona.

“Ambil suami lu! Gua tak butuh lagi. Bawa pulang sana!” teriaknya pongah di depan istri sah pengusaha tanpa membuka pintu gerbang.

“Dasar perempuan jalang! Mana suamiku?!” teriak istri sah pengusaha tak kalah lantang. Kedua tangan sekuat tenaga mendobrak-dobrak gerbang besi di depannya. Emosi wanita ini telah membumbung melihat tingkah Ona yang makin tak tahu diri.

Ona segera masuk rumah, beberapa saat kemudian keluar sambil menggandeng tangan pengusaha. Wajah lelaki ini terlihat linglung, bingung melihat ada seorang wanita berteriak sembari mendobrak-dobrak pintu gerbang. Ia tak mengenali istri sahnya lagi. Pandangan mata kosong, sudah tak terlihat ada sebuah semangat dalam tingkah lakunya. Japa mantra Ona telah berhasil mencuci otaknya.

“Saayaaang, sekarang pulang dulu dengan istri kamu. Lain kali kalo sudah kaya lagi, boleh kok ... main-main sini lagi,” ucap Ona sembari menyeret sebuah travel bag berisi baju-baju lelaki di sebelahnya. Mungkin saat mengemas terburu-buru hingga sebagian baju ada yang menjulur keluar.

“Aku tak mau pulang, Sayang,” ucap lelaki berparas oriental ini memelas layaknya anak kecil. Matanya yang dulu bagai tatapan mata elang, tajam bagai menusuk ulu hati, kini berubah sayu, tak berdaya. Ilmu pemikat Ona benar-benar telah melumpuhkan urat sendinya.

“Abang Sa—yaang, liat tuh di depan gerbang! Udah ada yang jemput. Ikut bentar sama dia, Ona mau pergi. Begitu udah balik, Ona jemput deh. Mau kan?” Ona merayunya agar pengusaha pailit mau ikut pulang dengan istri sahnya.

Tak ada lagi yang bisa dipeloroti dari seorang pengusaha pailit macam dia. Utang perusahaan sudah numpuk di mana-mana. Sebagian aset perusahaan sudah disita bank, bisa jadi akan berlanjut ke tahap berikutnya. 

Ona tak mau direpoti lagi dengan segala tagihan yang ditujukan ke alamat rumahnya. Ya, rumah mewah yang ditempatinya adalah atas namanya dan tak ada surat resmi pernikahan mereka. So, rumah adalah hak sepenuhnya untuk Ona.

Pengusaha berwajah oriental ini digandeng Ona sampai gerbang, lalu segera membuka pintunya. Begitu lelaki tersebut sudah berada di luar, ia segera menutup kembali pintunya. Istri sah pengusaha emosi melihat kelakuan Ona yang tak berperikemanusiaan.

“Eh, lu, perempuan biadab! Barang lakik gua man—naah??!!!

“Tanya noh, lakik, lu! Barang apaan dia punya? Kaga gablek, utang doang dibanyakin. Bawa, noh! Gua ogah ngurus dia lagi, Byeee ...!” teriak Ona sembari balik badan melangkah hendak masuk rumah.

Terang saja, kelakuan Ona ini membuat istri pengusaha tambah meradang. Lelaki bermata sipit ini hanya senyum-senyum melihat Ona. Ia nggak sadar telah dibuang, layaknya barang bekas. Istri sah pengusaha merasa sia-sia bersitegang dengan Ona, akhirnya mengajak suaminya pulang.

🍁🍁🍁

Drama belum berakhir, hidup penuh kemewahan harus tetap berlanjut bagi Ona. Keserakahan dan dendam kesumat telah menutup mata batinnya.

Satu korban telah habis dikuras harta bendanya. Namun, jiwa liarnya belum cukup terpuaskan. Wanita berpinggul besar ini telah mendapatkan mangsa baru. Seorang pejabat negara telah berhasil ia taklukan.

Hal tersebut terjadi beberapa waktu sebelum dirinya bertengkar hebat lewat telepon dengan istri sah pengusaha. Saat dirinya berniat mengembalikan suami wanita tersebut. Kemudian berlanjut hingga depan gerbang di pagi hari dengan saling menghujat.

Bukan Ona namanya, kalau tak bisa mencari pengganti yang lebih perlente. Hari ini, dirinya sedang di restoran duduk berhadapan dengan seorang pria berwibawa, sekitar umur 50-an tahun. Seorang pejabat di kota besar dari luar pulau, berhasil dijerat cinta oleh Ona. Saat ini adalah pertemuan kedua Ona dengan si pejabat. 

Mereka sebelumnya pernah bertemu saat peresmian sebuah sekolah anak jalanan yang dikelola bersama teman-teman sosialitanya. Ona semakin mahir berkamuflase demi kehidupan mapan tanpa kerja keras.

Kini, dirinya telah duduk manis berhadapan dengan seorang pejabat tampan, berwibawa, tentunya berkantong tebal. Pesona Ona telah berhasil meluluh lantakkan hatinya. Dengan tak berkedip, mata nakalnya menatap wajah sekaligus tubuh bohay Ona.

“Sayang, kapan bisa liburan sama Abang? Kita akan keliling Eropa berbulan madu di sana.”

Pejabat ini kemudian menggenggam erat jemari Ona, diciumnya lembut berkali-kali. Ona menyukai kata-kata manis ini. Pertanda dirinya harus segera menjerat si pria di depannya dengan lebih manis lagi.

“Mau dong, Bang. Kasih waktu Ona untuk mempersiapkan segalanya. Selesaiin kerjaan dulu, Sayang,” ucap Ona sembari  mengelus pipi si pria.

Berdua menyelesaikan makan siang sembari membahas segala keperluan liburan mereka. Pejabat berkumis tebal ini semakin terbuai dengan kata-kata indah wanita cantik berdada penuh ini. Ona berpura-pura tak melihat, kalau dirinya sedang diperhatikan. 

Ona menunduk berpura-pura mengambil tisu yang terjatuh, hingga belahan dadanya dalam balutan blouse berleher rendah, terlihat Pramono—pejabat itu. Sengaja memancing hasrat syahwat, lelaki di depannya makin berdebar tak karuan hatinya. Berkali-kali Pram menelan saliva. Ona tersenyum tipis. Kau akan jadi milikku, Bang, batinnya.

“Sayang, habis dari sini temani Abang bentar, yuk,” ucap Pram sembari membetulkan posisi duduk, ada sesuai yang mendesak dalam celananya.

Hingga lelaki ini salah tingkah, malu kalau ketahuan. Berapa kali sudah membetulkan jas yang dipakai, agar bisa menutupi bagian bawah tubuhnya. Akhirnya segera berdiri sembari meraih tangan Ona. Berdua melenggang mesra ke bagian kasir.

Si seksi Ona tahu betul bagaimana membuat Pram semakin kliyengan. Digerakkan tangannya seakan membetulkan rok bagian samping hingga menyentuh bagian bawah Pram. Si pria langsung menjerit lirih, langsung berbisik ke telinga Ona.

“Ayo, Sayang, sebentar aja,” ucapnya lirih sembari mengecup telinga Ona sepintas. Sensasinya terasa hingga urat nadi si seksi berpinggul besar ini. 

Setelah menyelesaikan pembayaran, mereka melangkah keluar berjalan ke arah parkiran. Kemudian Ona melepaskan pegangan tangan.

“Sabar, ya, Abang. Hari ini sedang ada janji dengan dokter kulit, udah telat dua hari, nih. Entar deh dikabarin lagi. Teristimewa untuk Abang seorang. Bye bye ....” Ona mengecup sepintas bibir Pram, lalu melenggang menghampiri mobil.

“Abang tunggu, Sayang!” Pram mendecakkan bibirnya ke arah Ona, kemudian masuk mobil pula.

🍁🦋🍁

Ona menghidupkan tape, seketika musik kendang kempul khas Banyuwangi, 'Gelang Alit' mengalun membuai angannya kembali akan Darman, lelaki cinta pertamanya.


Wis kelakon semene lawase

Isun yo riko kedyani

Semono sun imbyangi

Mulo riko kudyangane ati

Mergo kamu menggoda hati

Segoro yo ono pesisire

Sun welas nono watese


Wedang kopi ring pelonco

Raino bengi sun mung katon riko

Yo wis kelendi maning

Saiki sewang sewangan

Kepingin kumpul maning

Tapi nono dyalane, eman


Mobil Ona mengarah ke pinggiran kota. Perjalanan menempuh sekitar empat puluh lima menit. Sampailah pada perkampungan padat penduduk lalu memasuki sebuah gang panjang yang di kanan kiri jalan bertebaran losmen-losmen kecil penyedia layanan ke surga dunia. 

Hingga pada pertengahan gang, tepat di depan losmen berdinding kaca bertuliskan, LOSMEN MENTARI, mobil berhenti. Seorang wanita muda bercelana hot pants tie dye dipadu tank top crop warna merah maron menghampirinya.

“Mbak Ona, Mami lagi keluar,” ucap wanita itu.

“Ada nitip sesuatu, gak?” tanya Ona sembari melangkah masuk losmen.

“Gak tau, ya. Mungkin Mbak Serla tahu.”

“Nih buat tambahan beli lipstik,” ucap Ona sembari mengulurkan lembaran seratus ribuan pada wanita belia tersebut.

“Makasih, Mbak.” Senyum merekah dari bibir bergincu merah wanita belia ini.

Siang ini situasi dalam losmen agak lengang, hanya ada satu dua pengunjung. Terdapat beberapa anak-anak muda yang sedang cari pelampiasan hasrat sesaat. Hanya ada tiga pasangan sedang bercumbu rayu sembari bersandar di dinding, bisa jadi bernego soal harga.

Botol-botol bir dan minuman keras berserakan di lantai dan atas meja. Asap bercampur bau menyengat alkohol ditimpa suara musik dangdut koplo cukup membuat puyeng kepala Ona. Ia berjalan ke suatu sudut ruangan, terdapat meja kasir di sana. Seorang wanita seusia Ona sedang mencatat sesuatu dalam buku.

Melihat kedatangan Ona, wanita berpipi gembul ini pun tersenyum lebar. 

“Wah, Lu Cint. Ada pesanan dari mami, noh.” Pemilik pipi gembul mengambil sesuatu dari laci meja.

Sebuah botol  bekas obat berwarna cokelat gelap. Benda tersebut disodorkan pada Ona. Dengan membuka tutup, mengeluarkan sedikit cairan kental putih susu keabu-abuan, lalu menciumnya sebentar. Ona tahu kalau barang tersebut asli. Lalu buru-buru menutupnya kembali, takut tumpah.

“Keren nih! Seperti biasa, ‘kan? Sst, orang sekitar sini? Masih muda?” tanya Ona antusias. Ia harus memastikan pemilik barang masih muda, agar ritualnya berjalan lancar dan ampuh.

“Entahlah, orang mana? Masih usia belasan kayaknya. Diajak temannya kemari. Kalo si teman udah langganan sini. Barbie tuh, yang dapatin kemarin, tapi lu tak usah tanyain Barbie. Dia nurut aja disuruh mami ngumpulin buat lu,” timpal si pipi gembul.

“Ha ha ha! Berapa kali sih Barbie kepake? Masak masih polos juga,” timpal Ona tertawa ngakak sampe keluar air mata. Untungnya suara tawanya tertelan suara musik house musik yang mulai menggema.

Setelah menyerahkan beberapa lembar uang merah. Ona melangkah keluar lalu mengemudikan mobil untuk pulang. Hatinya lega bukan kepalang, ritual akan segera digelar agar hasratnya segera terlaksana.

        🌿🍁🍁🍁🌿


Selama perjalanan Ona senyum-senyum sendiri. Sudah terbayang di mata, sebentar lagi pejabat yang sekaligus pengusaha tambang akan tergenggam dalam rengkuhannya. Lelaki gagah berkumis tebal, tersebut akan ia pertahankan selama mungkin. Ona tahu pasti, Bang Pram akan dengan gampang memenuhi segala keinginannya. Lelaki tampan dengan kekayaan tak habis tujuh turunan apalagi mempunyai posisi penting di pemerintahan, target istimewa bagi Ona.

“Liat aja, gua akan menghabisi kalian satu persatu! Kalian harus tebus  rasa sakit gua, kalo perlu dengan nyawa sekali pun. Peduli amat, Bapak dan Mak! Enak aja, suruh maafin binatang kayak kalian.” Ona mencaci maki sebuah lembaran foto berbingkai di atas dashboard. Raut wajahnya memerah terbawa emosi.

Dalam foto terdapat lima wajah, semua tersenyum gembira berbalut baju sarimpit dalam suasana Lebaran Hari Raya Idul Fitri. Ada Bapak, Emak, Tarsih, Darman dan juga dirinya. Suasana kegembiraan yang selalu ia rindukan tiap tahun. Orang tua yang penyayang, suami yang selalu mencintai dirinya dan mbak yang penuh perhatian.

Rasa sayang pula yang membuat dirinya mengajak Tarsih untuk pergi merantau. Ia sangat prihatin melihat kehidupan Tarsih sejak hidup menjanda. Almarhum suaminya tak meninggalkan warisan apa pun, selain anak. Rumah warisan dari mertua Tarsih habis terjual untuk pengobatan almarhum. 

Akhirnya Ona membujuk Darman untuk mendukung keinginannya memboyong Tarsih ke kota. Beruntung, sesampai di kota, warung langganan Ona sedang membutuhkan pegawai. Tarsih tak butuh waktu lama untuk menganggur Ona mencukupi kebutuhan termasuk uang kos mbaknya, selama belum gajian.

Namun, nyatanya Tarsih hanya bertahan dua minggu bekerja di sana. Majikan wanita memecatnya, setelah mengetahui Tarsih sering berkirim pesan mesra pada suaminya. Alasan majikan tersebut dibantah Tarsih di hadapan adiknya dan Ona percaya itu. Bahkan oleh hal tersebut, hubungan Ona dan pemilik warung jadi renggang.

Kini, apa yang ia tuai, setelah percaya penuh dengan mbaknya dan juga Darman? Sebuah pengkhianatan yang tak ingin ia lupakan sebelum melihat mereka menderita atau bahkan mati. Ona melirik ke jam tangan Bvlgari silver yang membelit indah di pergelangan tangan kiri. Sudah beranjak sore, dirinya harus bersiap-siap untuk ritual nanti malam. Hari ini tepat malam Jumat Kliwon, bertepatan bulan purnama, menurut kalender. Saat yang paling bagus untuk melaksanakan ritual lintrik.

Wanita berparas jelita ini telah membeli sebungkus bunga tujuh rupa di penjual bunga saat melintas depan pasar tradisional barusan. Kini ia tinggal membeli dupa dan kemenyan saja. Mobil bergerak menyusuri deretan toko di daerah Pecinan. Ada salah satu toko yang menjadi langganan tetap Ona karena selalu menyediakan segala kebutuhan ritualnya. Setelah merasa cukup, ia bergegas pulang.

⚘⚘⚘⚘

Sepanjang perjalanan pulang, Ona sibuk merangkai angan. Tak jarang ia tersenyum sendiri mengingat seribu impian akan mampu digapainya bersama pejabat itu. Khusus ritual kali ini, ia akan merapalkan japa mantra dan menyajikan sejajen terlengkap. Ona telah bertekat menuruti kemauan lelaki target terbarunya ini untuk menikah siri.

Ya, karena ia tahu betul tangkapan kali ini kelas kakap, pantas dijadikan suami meski suami siri semata. Ona merasa tak perlu mencari mangsa lagi karena hidupnya akan terjamin. Bang Pram adalah seorang pengusaha pertambangan di samping menjadi pejabat daerah pulau seberang.

⚘⚘⚘⚘

Tak terasa mobil sudah hampir sampai rumah Ona. Tinggal dua blok rumah ke arah gerbangnya. 

Eits, tunggu dulu ... siapa itu di depan rumah Ona? Seperti pengusaha yang diusirnya kemarin. Kenapa sampai ke sini lagi? Kacau dan panik pikiran Ona. Padahal ia harus segera mempersiapkan ritual, lalu teringat sesuatu.

Terpaksa Ona menepikan mobil ke tempat agak tersembunyi di antara kendaraan lain yang terparkir. Ona segera membuka ritsleting salah satu kantong dalam tasnya, sebungkus kain putih dikeluarkan, lalu dibuka perlahan. Terlihat ada kartu kusam beraroma menyengat, bunga kantil kering kecokelatan, foto pengusaha tersebut dan beberapa helai rambut halus keriting di dalam bungkusan. Ona kemudian membuka kaca mobil.

Ona menaruh bungkusan tadi ke dalam kaleng bekas susu yang telah dialasi triplek. Ia membakar habis isi dalam kaleng dengan sebatang korek api. Seketika asap mengepul memenuhi mobil, meski jendela telah dibuka.

*)“Yo, Dayang segoro. Yo Sinuwun, niyat isun amatek aji lintrik sekendang. Cemeti isun sodo lanang upet-upet isun lewe benang. Pet mari edane ora sidho gendeng. Mari isun hang nambani. Pegat! Pegat cemeti isun. Japa mantra balik asale.”

Mulutnya menyembur ke arah isi kaleng sebanyak tiga kali. Kemudian segelas air mineral dituangkan ke abu sisa pembakaran. Ada yang aneh, meski abu telah basah oleh air, asap sisa pembakaran masih mengepul dan semakin pekat.

*)“Moliho, digoleti badan iro! Isun sing butuh maning!”

Seakan mengerti ucapan Ona, asap hitam itu pun seketika meluncur ke arah lelaki berparas oriental yang sedang celingukan di depan gerbang. Asap hitam tersebut bergerak menyelimuti tubuh lelaki itu, lalu memudar warnanya dan lenyap.

Ritual penghapus japa mantra telah selesai dilakukan begitu asap berhasil masuk tubuh pengusaha dengan sempurna. Lelaki tersebut terlihat kebingungan sesekali mengamati layar ponsel berganti melongok ke dalam pagar. Ona segera menghidupkan mobil, perlahan bergerak mendekati tempat berdiri lelaki itu, persis di samping pintu gerbang.

“Selamat sore. Maaf, Bapak cari rumah siapa, ya?” tanyanya pada pengusaha mantan teman hidupnya kemarin.

“Selamat sore. Saya mencari rumah seseorang, perasaan tadi udah benar. Gak taunya salah alamat. Saya harus cari taksi lagi ini. Maaf,” ucap lelaki tersebut, segera berlalu melangkah agak menjauh, menunggu taksi yang lewat. 

Ona tersenyum sinis mendengar jawabannya, lalu perlahan memajukan mobil persis ke arah gerbang dan membunyikan klakson. Tak lama menunggu, seorang satpam membuka pintu gerbang. Mobil pun masuk diiringi senyum Ona yang merekah, alunan lembut lagu 'Geni Sun Pamah' terdengar dari tape mobil. 

*)Isun mageh sengidan nong walike layar

Nyeliwah teko alur nyempal salah dalan

Melek moto ring batin tapi noleh peteng

Mobil berhenti tepat di depan teras. Ona turun dari mobil dengan bercucuran air mata. Hatinya tak bisa ingkar, meski sakit dan dendam membara dalam dada, tapi hati kecilnya masih mencintai Darman, cinta pertamanya. Ia tak habis pikir, kenapa lelaki tersebut tega mengkhianati cinta kasih mereka hanya karena seorang Tarsih. 

Padahal selama hidup berumah tangga, Darman adalah sosok yang cuek dan hanya tahu bekerja saja. Wanita berkulit kuning langsat bermini dress tersebut melangkah ke arah teras dengan masih menyisakan isak tangis. Tubuhnya tak sanggup untuk memasuki rumah, hanya mampu luruh di kursi teras. Beberapa saat, ia menikmati rasa melankolisnya dengan kenangan manis yang masih bergelayut di pelupuk mata. Kesepian melanda hatinya kini.

      🍁🍁🍁🍁


Note:

*)Matra pelepas pelet: intinya niat untuk melepaskan dan mengembalikan seperti semula

*) “Moliho, digoleti badan iro! Isun sing butuh maning!”

“Pulanglah, dicari badanmu! Aku tak butuh lagi!”

*)Geni Sun Pamah= Api aku telan

*) Isun mageh sengidan nong walike layar= Aku masih sembunyi di balik layar

Nyeliwah teko alur nyempal salah dalan= keluar jalur salah jalan

Melek moto ring batin tapi noleh peteng=Terbuka mata di batin tapi terlihat gelap

••••••°•••••

Malam telah tiba, saatnya Ona melakukan ritual. Segala pelengkap sudah tersedia, sebuah kartu dipilih dari tumpukan kartu lintrik. Sebuah foto sudah diusap dengan minyak wangi khusus, beraroma menyengat. Aroma penarik sukma yang tak mungkin bisa dihalangi siapa pun. Bunga tujuh rupa telah direndam dalam air, dupa dan menyan telah dihidupkan. Telor tembean ayam kampung telah ditulis rajah dengan cairan m*ni perjaka. Kartu yang terpilih pun ditulis rajah dengan cairan istimewa tersebut. Ona duduk menghadap meja persembahan.


Pulunggono pulungsari

Sang sengkento sari

Kewan Gewang Siro tak kongkon

Jupukno jabang bayine si Pram

Yen ketemu tekakno menyang ngarepku

Teko welas teko asih jabang bayine Pram

Sopo siro sopo isun sopo ndeleng


Setelah baca japa mantra, Ona pun mempersiapkan selembar kecil kain putih, foto Pram, kartu, bunga tujuh rupa, dan telur dibungkus, diikat. Kini ia tinggal menunggu tengah malam tiba. Mulut Ona komat-kamit membaca mantra tambahan. 


Saat yang ditunggu telah tiba, tepat jam dua belas malam, Ona membawa bungkusan keluar rumah, gegas menunju mobil. Mobil melaju dengan kecepatan tinggi menuju makam keramat yang berjarak sekitar 10 km dari rumah. Sesampai depan gerbang makam, Ona segera melepas semua baju hingga telanjang bulat.


Dia turun dari mobil, bergegas melangkah menuju nisan, bertuliskan Mbah Pujan. Bungkusan kain putih segera ditanam di tengah makam. Wanita muda ini mengamati sebentar, setelah dirasa bungkusan terkubur rapi, ia segera berlari menuju mobil, cekatan memakai baju lalu berangkat pulang.

🌷🌷🌷

"Drrrrrttttt ...."

Handphone di atas nakas berbunyi, Ona yang masih mengantuk meraihnya. Tertera di layar ada sembilan kali panggilan masuk dari Bang Pram. Ona buru-buru bangun menerima panggilan.

“Hai Abang Sayang, maaf baru bangun. Semalam tak bisa tidur.”

“Cantik, kamu sakit?”

“Gak, kok! Cuman capek doang. Minum vitamin juga kembali bugar. Ada apa, Bang?” Ona memasang headset portabel, menuju dapur mengambil air mineral dari kulkas. Ia meneguk sedikit, menutupnya kembali, lalu meletakkan botol tersebut di atas kulkas.

“Abang sebentar lagi akan berangkat ke bandara. Ada telepon dari kantor, Abang harus segera balik. Dari dua jam tadi Abang telepon, kirain udah bangun. Kita bisa ketemuan bentaran, enggak taunya baru terhubung. Abang pamit ya!” Ada nada kecewa di ujung telepon.

“Wah, Abang pulang sekarang? Maaf Abang, aku tidur pulas banget, enggak dengar telepon Abang. Kapan kemari lagi?” Suara Ona dibuat semanja mungkin, agar yang di seberang sana makin terpikat.

“Mungkin sebulan lagi. Ada kerjaan juga yang belum selesai di sini. Sebulan lagi, siap liburan, ya?”

“Ok, Abang. Aku siapin semua dokumen.” Dalam hati Ona berbunga, waktu sebulan adalah saat yang tepat. Ramuan di makam keramat sudah siap dituai. Segala daya pikat akan ditebar untuk menjerat Pramono Pakusadewo.

“Sip! Entar kita saling kontak ya, Sayang. Di saat jam kantor saja. Miss you! I love You, Cantik.”

“I love You too, Abang Sayang.” Telepon ditutup dari seberang sana. Bisa jadi sudah siap take off.

Ona segera mandi, hari ini dirinya akan mempersiapkan dokumen untuk liburan ke luar negeri bersama Bang Pram.

🌷🌷🌷


Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)