Masukan nama pengguna
Terjadi keanehan dengan tanah makam Bu Ketut Wirakati. Mayat wanita tersebut pindah secara gaib ke halaman belakang rumah. Bu Ketut Wirakati adalah korban kebakaran yang dimakamkan seminggu lalu. Pihak keluarga keberatan jika dilakukan otopsi dan langsung dimakamkan saat itu juga. Jarak rumah ke pemakaman lumayan jauh, ada sekitar sepuluh kilometer. Otomatis, kejadian aneh itu membuat geger warga.
"Pasti kemarin tyang belum tuntas ritual, keburu makam ditimbun tanah."
*Tyang: saya
"Katamu belum tuntas, apa itu?”tanya Wayan Kober--biasa dipanggil Bli Yan--sembari menatap ke arah Kadek Suri.
“Tyang belum bakar rambut di atas jasad Meme, Bli.”
*Meme: Ibu
“Kok bisa gitu?” Ningsih makin dibuat penasaran dengan jawaban sang adik.
“Dulu Meme pernah lakukan itu saat We sakit agar segera meninggal dan tak bisa reinkarnasi. Meme menginginkan ilmu We.”
*We: Bibi
“Itu sama dengan membunuh We,” ucap Ningsih dengan berapi-api.
Wanita keturunan Jawa ini tak menyangka memenya bisa bertindak sekejam itu. Dalam bayangan Ningsih, memenya adalah wanita berhati lembut, sayang keluarga dan nyatanya seperti itu. Ia hanya mengingat memenya hingga usia empat tahun, sebelum balik ke Bali lalu menikah dengan bapak Putu Ikasari dan Kadek Suri.
“Yaudah, Bli pergi dulu. Petugas udah datang.”
“Tunggu, Bli! Ada yang ingin aku tanyakan,” sahut Ningsih sembari berdiri menghampiri Bli Yan yang bersiap akan pergi.
“Tanya apa?”
"Apakah benar yang di lubang itu mayat Meme?"
“Memang benar. Waktu kebakaran, Meme sendirian di rumah.”
“Memang Meme, Mbok! Luka di tangan. Itu terjadi saat aku kecil bermain api ditolong Meme," ucap Kadek Suri dengan sangat antusias.
“Suri! Jangan lakuin yang aneh-aneh lagi. Masalah yang kita hadapi telah rumit. Bli mau temui petugas dulu,” jelas Bli Yan sembari berlalu meninggalkan kedua adiknya.
“Ah, Bli Yan sing percaya tyang ngomong,” ucap Kadek Suri dengan bersungut-sungut, tampak jengkel sekali dengan tanggapan kakak sentananya itu.
*”Ah, Bli Yan tak percaya saya ngomong,” ucap ....
“Udah, sampe segitu moncongnya. Kita cari tau sendiri entar,” ujar Ningsih menenangkan.
Kadek Suri tak mendengarkan omongan mboknya, ia telah berlari ke arah dapur. Wanita ini tanpa sepatah kata pun, mengambil sebuah pisau lalu memotong sebagian rambut dan menyambar sebuah korek api yang tergeletak di meja.
Ia berlari ke arah lubang yang kini sedang diamati oleh petugas dengan didampingi Bli Yan. Semua terkejut dengan kedatangan Kadek Suri yang tiba-tiba. Wanita berkebaya ini telah berdiri di pinggir lubang lalu membakar rambut yang digenggamnya, persis di atas jasad sang meme.
“Mek! Kamu harus kembali kepada junjunganmu. Jangan usik kami lagi.”
“Om segara ring wetengku, brahma ring cangkemku, sing manjing pada geseng, campah tawar, campah tawar.”
Kadek Suri seketika menjatuhkan rambut yang terbakar tepat di atas jasad dalam lubang. Seketika api membesar, wanita itu langsung berlari ke depan dapur dan menangis tersedu-sedu dengan duduk bersandar di sebelah pintu. Tak lama kemudian, Bli Yan datang untuk mengambil selang di dekat Kadek Suri duduk.
“Biarin terbakar. Kami tak ingin diganggu sekutu Meme. Kami udah capek semua drama Meme,” ucap Kadek Suri segera bangkit dan mencabut selang lalu membuangnya jauh-jauh.
“Suri, adikku! Sabar, Sayang. Kita ngaben besok agar roh Meme tenang di sana,” ucap Ningsih yang memungut kembali selang sambil melangkah mendekat lalu mengulurkan selang kepada Bli Yan.
*Ngaben: pembakaran mayat
Wayan Suri dengan kedua kelopak masih bercucuran air mata seketika berlari menghadang kakak sentananya dan petugas yang bermaksud menyemprot ke dalam lubang. Langkah wanita dengan pakaian adat ini mendekat ke bibir lubang lalu berbalik menghadang dengan kedua tangan terbentang.
*Kakak sentana: kakak angkat
“Ayo maju! Tyang akan nekad masuk lubang, jika kalian berani semprot isi lubang. Biarin sampe padam. Kalian tak tau, apa yang ada di dalam lubang. Ilmu setan ini. Tyang tau kelemahannya.”
“Suri! Kita besok ngaben jasad Meme, biar reinkarnasi dengan baik,” ucap Bli Yan membujuk.
“Maaf, Bli! Kali ini tyang tolak cara Bli karena justru bisa bangkitkan roh setan pengendali jasad Meme. Bli apa tak ingin ilmu leak musnah dari keluarga? Liat aja keadaan Mbok Tu sekarang. Kasian, ia tersiksa. Cukup ikuti caraku. Demi kenyamanan kita.”
Ningsih mendekat ke arah kakak sentananya sambil tersenyum kepada pria itu dan para petugas.
“Maaf, Bli dan Bapak Petugas. Tolong kita turuti kemauan Suri karena hanya cara ini yang bisa memusnahkan ilmu jahanam itu.”
Saat Ningsih berbicara dengan Bli Yan dan para petugas, Kadek Suri telah membakar sebuah serabut kelapa lalu dilemparkan ke dalam lubang. Tak ayal lagi, kobaran api makin membara. Apalagi beberapa serabut kelapa dan bilah-bilah kayu ditambahkan oleh Kadek Suri. Si jago merah makin membesar bagai lautan api.
Semua kerabat yang berada di dapur segera keluar untuk melihat keributan yang terjadi. Sebagian besar dari mereka menjerit ketakutan ketika secara tiba-tiba kobaran api membentuk sosok besar dan akan meraih tubuh Kadek Suri.
“Awas, Suri!” teriak Ningsih segera menarik tangan sang adik untuk menjauh dari sana.
Berdua berlari masuk ke dalam dapur lalu duduk di dipan. Para kerabat yang sedang mempersiapkan masakan untuk hari ketiga pengajian seketika kaget.
“Ibu-ibu, tolong dibantu baca ayat Kursi, ya!”
Ningsih meminta bantuan doa sembari melangkah untuk mengambil air wudu di keran air tempat cuci perabotan lalu melangkah ke ruang depan. Sedang Kadek Suri duduk berkonsentrasi membaca Gayatri Mantram.
Para ibu yang baru saja selesai memasak, sebagian antri mengambil wudu dan sebagian yang beragama Hindu mempersiapkan canang buat persembahyangan karena sudah menjelang tengah hari.
Kadek Suri adalah anak wanita satu-satunya yang masih memegangi teguh keyakinan orang tua mereka. Ia adalah bungsu dari tiga bersaudara yang semuanya perempuan. Ningsih adalah anak tertua dari garis keturunan ibu (meme). Sedang Bli Wayan Koder adalah anak sentana setelah diangkat anak oleh mendiang Ketut Wirakati dan suaminya.
Ningsih datang dengan membawa tumpukan buku Yasin lalu membagikannya secara merata. Kebetulan Putu Ikasari atau biasa dipanggil Mbok Tu sebelum jadi mualaf, sudah menyekat sebagian dapur untuk dipergunakan sebagai musala keluarga. Putu Ikasari adalah adik dari Ningsih dan juga kakak Kadek Suri.
Musala hanya bersekat tripleks tebal dan sudah dilengkapi dengan lemari dan bufet untuk menyimpan perlengkapan salat dan juga buku-buku doa dan Al-Quran. Selama sang adik sedang menjalani pengobatan di rumah sakit, Ningsih sengaja mengadakan pengajian, tumpukan buku Yasin ditaruh ruang tamu untuk mempermudah pengambilan.
“Mbok, tyang mandi dulu, ya. Lengket, nih,” ucap Kadek Suri dengan memelas.
“Ya, mandi di toilet kamar depan aja. Entar Mbok ambilin baju ganti.”
Setelah diberi pengarahan oleh Ningsih, Kadek Suri pun segera berlalu ke kamar depan. Ningsih berjalan ke musala diikuti yang lain. Mereka akan mengaji di musala dan yang beragama Hindu akan sembahyang di sanggah.
“Bu, tolong diatur dulu. Saya mau ambil baju gantinya Suri,” ucap Ningsih sembari menghidupkan kipas lalu melangkah keluar dari musala.
Ibu-ibu segera memulai pembacaan doa. Beberapa menit kemudian, Ningsih sudah datang bersama Kadek Suri. Keduanya lalu ikut bergabung pada kelompok masing-masing.
Beberapa saat, Bli Yan telah masuk dapur. Ia menunggu para wanita selesai dengan ibadah masing-masing. Setengah jam berlalu, Kadek Suri datang dengan rombongan dan disusul selesainya bacaan Yasin dari musala.
“Bli Yan, para petugas udah pada pulang. Gimana asapnya?”
“Asapnya hanya mau denganmu, Suri,” jawab Bli Yan dengan tertawa.
“Apaan sih, Bli. Beneran gak papa tadi?”
“Tenang! Asapnya langsung ilang begitu kamu lari tadi,” sahut Bli Yan.
“Alhamdulillah!” sahut Ningsih dari arah musala.
“Para petugas pada pulang. Lubang udah ditimbun dan kasus sudah ditutup,” kata Bli Yan sembari menuangkan kopi dari teko ke dalam gelas.
“Kok ditimbun? Mayatnya?” tanya Ningsih keheranan.
“Mayatnya ilang,” jawab Bli Yan dengan santai tak terlihat panik sama sekali.
“Bli Yan! Jangan becanda!”
Ningsih dan Kadek Suri mendelik ke arah kakak sentananya itu. Sang kakak tertua itu hanya duduk tersipu sembari menikmati rokoknya yang hampir habis.
“Bliii ...!”teriak Kadek Suri kepada pria berambut gondrong itu.
Bli Yan justru berpura-pura tak mendengar nada protes dari kedua adiknya. Pria hitam manis itu setelah membuang putung rokok melangkah ke arah kulkas lalu mengambil air mineral, membuka tutup dan segera meneguk separuh isinya. Tingkah laku pria tersebut dalam tatapan tajam dua pasang mata adik wanitanya dan juga mata belo merah membara.
TAMAT
Note:
Sentana adalah mengangkat anak laki-laki. Dalam adat istiadat Bali, anak laki-laki adalah penerus tradisi. Semua upacara adat untuk keluarga dilakukan anak laki-laki. Sedangkan anak wanita, setelah menikah akan menjadi milik keluarga suami, ia lepas dari keluarga bujang. Segala upacara adat dan sembahyang anak wanita yang telah menikah hanya dalam lingkungan keluarga suami hingga matinya.