Cerpen
Disukai
19
Dilihat
4,802
TRIJATHA
Slice of Life

Hati Trijatha samakin terasa tersayat-sayat silet. Manakala ia mengenang kisah Shinta yang berakhir ditolak Ramawijaya. Dihukum bakar di alun-alun Ayodia dengan disaksikan Laksmana, Sugriwa, Hanoman, Anila, Anggada, Kapimenda, dan ribuan prajurit kera lainnya. Mati bukan sebagai seorang putri atau dewi, melainkan sebagai pelacur yang tak lebih seonggok sampah kering.

 

Matahari telah jauh berpulang ke sarang malam. Lampu-lampu kristal di tanam Argasoka telah dinyalakan. Hingga taman yang dibangun Rahwana melalui seorang ahli tata taman pilihan dari Alengkadiraja itu tampak melampaui Kahyangan Jong Girisaloka. Tempat terhormat bagi dewa-dewi dari trah Sang Hyang Nurasa. Putra Adam yang pernah ditakhtakan sebagai raja di Negeri Lemah Dewani.

Taman Argasoka tampak lengang. Tak tampak para juru taman yang semenjak fajar hingga ambang senja sibuk dengan pekerjaannya. Tak ada prajurit jaga yang selalu lengkap dengan senjata tombak di tangan kanannya. Meski demikian, tak seorangpun yang berani memasuki taman itu. Karena memasukinya berarti hanya akan mati sia-sia. Menjadi mangsa pasukan Lelepah yang diperbantukan Sang Hyang Bathari Durga pada Rahwana untuk menjaga Shinta. Istri Ramawijaya yang diculik raja Alengka itu dari Hutan Dandaka beberapa tahun silam.

***

Waktu melaju tak terkendali. Purnama hampir bersinggasana di titik langit terpuncak. Ribuan bebintang berhamburan mengitarinya. Awan tipis berarak bersama angin yang berhembus dari ujung timur ke ujung barat. Bahasa alam yang sekadar mengungkapkan bahwa musim hujan telah berganti dengan musim kemarau. Musim yang selalu membekukan udara dari senja hingga fajar. Musim yang selalu menebarkan hawa dingin hingga banyak orang berhasrat menghangatkan tubuh mereka dengan api berahi.

Dari dalam bilik, Trijatha melangkahkan kaki menuju halaman samping bangunan rumah berbentuk joglo di taman Argasoka itu. Duduk di bangku tepian kolam berpagar batu bata merah sambil menyaksikan bunga wijayakusama yang tengah mekar berkilauan di bawah purnama. Bagi putri Wibisana, bunga itu bagaikan Shinta. Anggun dan harum jiwanya. Hingga Rahwana sang raja agung Alengka yang dibuat mabuk kepayang itu berhasrat memetiknya. Tak peduli apakah ia milik Ramawijaya. Tak peduli apakah ia milik dewa dari segala dewa.

Trijatha menghela napas panjang. Wajahnya menyiratkan kepedihan saat mengingat-ingat nasib Shinta. Di mana jiwanya hanya untuk Ramawijaya, namun raganya telah dikuasai Rahwana. Penguasa Alengka yang telah berhasil menjadikan Shinta sebagai kuda tunggangan di padang pengembaraan berahi. Tepatnya pada malam ulang tahunnya sesudah akhir menstruasi.

***

Purnama oleng ke barat. Bebintang mengerdip-ngerdipkan doa. Nyanyian serangga serasa pepujian dari sekelompok santri di padhepokan jiwa. Pepohonan merunduk seperti tengah mensujudkan kesombongan. Embun yang mulai menetes pada dedaunan hanya menciptakan rasa ngungun.

Dalam diam seribu satu kata, Trijatha gelisah. Kegelisahan yang serupa kecipak ikan di dalam sembahyang kolam. Kegelisahan yang mengharu-biru jiwanya. Kegelisahan seorang wanita bila merasakan nasib sesama kaumnya. Nasib Shinta yang malang di balik kemolekan paras dan kesintalan tubuhnya. “Apakah ini yang dinamakan keadilan?”

Waktu yang terus merayap tak sempat memberi jawaban atas pertanyaan Trijatha. Pertanyaan klise yang sesungguhnya telah mengandung jawaban. Pertanyaan yang sekadar menegaskan, di balik keindahan ada ketidakindahan. Inilah hukum keseimbangan yang tidak dapat ditolak oleh seluruh manusia di muka planit bumi. Sekelompok wayang yang selalu patuh pada hukum kodrat Ki Dhalang. Kodrat paling brengsek, karena mereka tak mampu mewiradatnya.

***

Waktu tiba di titik ambang fajar. Trijatha tersentak, manakala sepasang matanya menangkap cahaya kuning keemasan yang melesat dari puncak atap bangunan joglo itu menuju inti purnama. Dalam hati, ia bertanya. “Cahaya apa itu? Apakah cahaya itu wahyu yang kembali ke muasalnya sesudah sekian lama menjelma ke dalam jiwa manusia?”

Kecipak ikan di kolam seolah memberikan jawaban “ya” atas pertanyaan Trijatha. Meskipun begitu, ia masih sangsi atas kebenaran jawaban itu. Namun seusai mendapatkan jawaban dari Wibisana pada tiga hari kemudian, ia baru percaya. Cahaya itu tak lain sukma Sang Hyang Bathari Widawati yang sekian lama menyatu dengan jiwa Shinta. Bidadari itu meninggalkan persemayamannya, seusai Shinta menodai cinta Ramawijaya dengan air berahi Rahwanaraja.

***

Sepekan kemudian. Trijatha kembali menghabiskan malam di taman Argasoka yang telah ditinggalkan Shinta. Air matanya meleleh di pipi yang tak berbedak. Bukan menangisi nasibnya yang telah dinikahkan oleh Wibisana dengan Jembawan, kera tua berwajah buruk. Namun menangisi nasib Shinta yang telah dikembalikan Rahwanaraja pada Ramawijaya. Dikembalikan, lantaran perempuan yang telah ditinggalkan raganya oleh sukma Widawati itu, tubuhnya tak lagi menggairahkan sebagai hidangan berahi di ranjang perjamuan.

Hati Trijatha samakin terasa tersayat-sayat silet. Manakala ia mengenang kisah Shinta yang berakhir ditolak Ramawijaya. Dihukum bakar di alun-alun Ayodia dengan disaksikan Laksmana, Sugriwa, Hanoman, Anila, Anggada, Kapimenda, dan ribuan prajurit kera lainnya. Mati bukan sebagai seorang putri atau dewi, melainkan sebagai pelacur yang tak lebih seonggok sampah kering.

***

Tak terasa waktu menjelang fajar. Perlahan-lahan kabut yang menyelimuti bentangan bukit timur telah tersingkap. Matahari yang menyembul dari rahim malam melukis langit dengan warna jingga kemerahan. Ikan-ikan yang berenangan di kolam, dan beburung yang berlompatan di dedahan pohon seolah tak mau mengerti dengan kisah Shinta. Setragis kisah bunga wijayakusuma yang telah gugur dari tangkainya. Kisah yang tak pantas dicatat dalam buku sejarah.

 Dengan langkah gontai, Trijatha meninggalkan taman Argasoka yang telah berubah menjadi hunian Lelepah. Bersama Jembawan, ia meninggalkan Alengka. Menuju kaki bukit yang belum bertuan. Di sana, ia melahirkan anak perempuan yang paras dan tubuhnya serupa Shinta. Bayang-bayangnya sendiri yang selalu menjadi hantu saat berkaca di depan cermin, tidur, dan berjaga.[]

 

TENTANG PENULIS

SRI WINTALA ACHMAD, pernah belajar di Fak. Filsafat UGM Yogyakarta. Karya-karya sastranya dipublikasikan di: Kompas, Republika, Suara Karya, Suara Pembaruan, Suara Merdeka, Lampung Pos, Trans Sumatera, Bangka Pos, Solo Pos, Surabaya Pos, Banjarmasin Pos, Kedaulatan Rakyat, Minggu Pagi, Bernas, Masa Kini, Yogya Pos, Merapi, Fajar Sumatera, Amanah (Malaysia), Aksara International Journal of Indonesian Literature (Australia), Suara Muhammadiyah, Gong, Artista, Jayabaya, Penyebar Semangat, Pagagan, Swaratama, Mekarsari, Djaka Lodang, Sempulur, Karas, dll.

Antologi sastra dan esai yang diterbitkan di tingkat nasional, Asia Tenggara, dan dunia: Antologi Puisi Zamrud Katulistiwa (Balai Bahasa Yogyakarta/Taman Budaya Yogyakarta, 1997); Antologi Puisi Sastra Kepulauan (Dewan Kesenian Sulawesi Selatan, 1999); Antologi Puisi Pasar Kembang (Komunitas Sastra Indonesia, 2000); Jejak Sajak (Jambi, 2012); Antologi Puisi Dari Sragen Memandang Indonesia (Dewan Kesenian Sragen, 2012); Antologi Puisi Pertemuan Penyair Nusantara VI Sauk Seloko (Dewan Kesenian Jambi, 2012); Antologi Puisi Indonesia di Titik 13 (Dewan Kesenian Pekalongan, 2013); Antologi Puisi Bilingual 9 Negara Spring Fiesta [Pesta Musim Semi] (Indonesian & English Poetry Grup & Araska Publisher, 2013); Antologi Puisi Tifa Nusantara I (Temu Penyair Nusantara – Dewan Kesenian Tangerang, 2013); Antologi Puisi Negeri Langit (Komunitas Radja Ketjil Jakarta, 2014); Antologi Puisi Esai Rantau Cinta, Rantau Sejarah (Jurnal Sajak, 2014); Antologi Puisi Tifa Nusantara II (Temu Penyair Nusantara – Dewan Kesenian Tangerang, 2015); Antologi Puisi Jejak Tak Berpasar (Komunitas Sastra Indonesia/Yayasan Laksita, 2015); Antologi Puisi Memandang Bekasi (Dewan Kesenian Bekasi/Dinas Parbudpora Kabupaten Bekasi, 2015); Antologi Puisi Ije Lela Tifa Nusantara 3 (Marabahan, 2016); Antologi Puisi Klungkung Tanah Tua, Tanah Cinta (Klungkung Bali, 2016); Antologi Puisi Matahari Cinta Samudra Kata (Yayasan Hari Puisi Indonesia, 2016); Antologi Puisi Seratus Puisi Qurani (2016); Antologi Puisi Kopi Penyair Dunia (2016); Antologi Puisi Pesan Damai untuk Seluruh Manusia (PCIUN Maroko, 2017); Antologi Puisi Buitenzorg (Penerbit Imaji dan Yayasan Satya Citra Indonesia, 2017); Puisi Tentang Masjid (PP HSBI, 2017); Dari Partai Demokrat untuk Indonesia (2017); Langit Senja Jatigede (Sirung Sastra, 2017); dan Sesapa Mesra Selinting Cinta – Temu Penyair Nusantara XI di Kudus (Balai Bahasa Jawa Tengah, 2019).

Novel, fiksi sejarah, dan naskah lakonnya: Centhini: Malam Ketika Hujan (Diva Press Yogyakarta, 2011); Dharma Cinta (Laksana, 2011); Jaman Gemblung (Diva Press Yogyakarta, 2011); Sabdapalon (Araska, 2011); Dharma Gandul: Sabda Pamungkas dari Guru Sabdajati (Araska, 2012); Ratu Kalinyamat: Tapa Wuda Asinjang Rikma (Araska, 2012); Kiamat: Petaka di Negeri Madyantara (In AzNa Books, 2012); Centhini: Kupu-Kupu Putih di Langit Jurang Jangkung (Araska, 2012); Dahuru ing Negeri Semut (Balai Bahasa Jawa Tengah, 2021); dan Dahuru ing Praja Wilwatikta (Djaka Lodang, 2022).

Buku-buku yang berkaitan dengan bahasa Indonesia dan penulisan kreatif: Panduan Praktis Menjadi Penulis Andal: Karya Ilmiah, Artikel, Resensi, Apresiasi & Kritik Seni, Naskah Lakon, Puisi, Cerpen, dan Novel (Araska, 2015); Buku Induk Bahasa dan Sastra Indonesia (Araska, 2015); Mahir Peribahasa Indonesia (Araska, 2015); Buku Induk EYD (Araska, 2015); dan Menulis Kreatif itu Gampang (Araska, 2016).

Bersama Indra Tranggono dan R. Toto Sugiharto, mencipta buku Profil Seniman dan Budayawan Yogyakarta #15 (Taman Budaya Yogyakarta, 2016), Profil Seniman dan Budayawan Yogyakarta #16 (Taman Budaya Yogyakarta, 2017). Bersama Sumiatun S.Pd,T., M.Pd, menulis buku Profil Seniman dan Budayawan Cilacap Sekar Setaman (Dinas Pendidikan Cilacap & Dewan Kesenian Cilacap, 2019).

Nama kepenyairannya tercatat dalam Buku Pintar Sastra Indonesia (Pamusuk Eneste, Penerbit Kompas, 2001), dan Buku Apa dan Siapa Penyair Indonesia (Abdul Hadi WM, Ahmadun Yosi Herfanda, Hasan Aspahani, Rida K Liamsi, dan Sutardji Calzoum Bachri, Yayasan Hari Puisi, 2017).

Profil kasusastrawane tercatat dalam buku: Ngelmu Iku Kelakone Kanthi Laku (Balai Bahasa Yogyakarta, 2016); Jajah Desa Milang Kori (Balai Bahasa Yogyakarta, 2017), Menepis Sunyi Menyibak Batas (Balai Bahasa Jawa Tengah, 2018); dan Profil Seniman dan Budayawan Yogyakarta #18 (Taman Budaya Yogyakarta, 2021). Tinggal di Gejawan Kulon 02/034, Balecatur, Gamping, Sleman, Yogyakarta.

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)