Masukan nama pengguna
Lain dengan setiap orang tua,
lain pula dengan Martakunci.
Juru kunci yang mengaku
sebagai trah Eyang Jaga itu selalu
memanfaatkan pohon beringin untuk
merogoh kocek peziarah.
BERINGIN yang tumbuh dengan dedaun merimbun di depan makam Eyang Jaga di tepi Desa Watugaleh itu dianggap keramat oleh banyak orang. Terdapat anggapan, kalau pohon yang konon ditanam oleh pelarian Majapahit sepekan seusai Tranggono melengserkan Ranawijaya dari takhta kekuasaannya itu telah menjadi tempat santai arwah Eyang Jaga. Leluhur desa yang dikenal dengan Ki Gede Watugaleh.
Siang hari, beringin di depan makam Eyang Jaga mendesis-desis serupa naga bila tergoncang angin kencang, hingga tak seorang anak kecil bernyali menghampirinya. Kalau malam, pohon itu serupa raksasa gimbal yang tengah hening dalam samadi. Pada setiap malam Sabtu Pon yang merupakan hari kelahiran dan kematian Eyang Jaga, pohon itu selalu menyebarkan aroma serimpi ke seluruh desa. Aroma dari alam gaib yang membuat bulu kuduk serupa bulu-bulu landak.
Bagi setiap orang tua, beringin itu berguna untuk menakut-nakuti anak-anak yang tengah menangis karena minta uang jajan. Anehnya, anak-anak akan berhenti menangis, bila orang tua mereka bilang, “Eyang Jaga marah, bila kalian nakal.”
Lain dengan setiap orang tua, lain pula dengan Martakunci. Juru kunci yang mengaku sebagai trah Eyang Jaga itu selalu memanfaatkan pohon beringin untuk merogoh kocek peziarah. Mereka tak hanya orang-orang miskin yang ingin kaya mendadak, namun juga orang-orang kaya yang menghendaki semakin berlimpah harta-bendanya. Serta, pejabat-pejabat yang ingin selamat dari praktik korupsinya.
Di ranjang sebelum tidur malam, Martakunci ditegur Mirah istrinya agar tidak meminta uang dari para peziarah. Mendengar teguran Mirah, Martakunci hanya tersenyum sengak. “Kalau aku tak meminta uang dari mereka, lantas kita makan apa? Uang dari mana kita dapat setor listrik, pajak tanah, dan beli pulsa? Biaya dari mana kita dapat menyekolahkan anak-anak kita? Pikir! Pikir!”
“Kenapa Kang Marta tak bekerja baik-baik? Bukankah pendapatan sedikit jadi kuli bangunan lebih mulia dari pendapatan besar jadi juru kunci?”
“Tak mungkin aku jadi kuli bangunan. Anak sulung trah Ki Gede Watugaleh tak diperbolehkan bekerja apapun, selain jadi juru kunci. Karena aku lahir sebagai anak sulung, tak ada pekerjaan yang aku lakukan selain menjadi juru kunci. Bila melanggar aturan itu, keluarga kita akan mendapatkan malapetaka yang besar.”
“Aku tak percaya. Justru kalau Kang Marta mematuhi larangan itu, keluarga kita akan mendapatkan malapetaka yang besar.”
“Sudahlah!” Martakunci beranjak dari ranjang. Sembari melangkah menuju meja kecil untuk mengambil kunci makam, Martakunci menerocoskan kata-kata pada istrinya. “Aku tak mau bertengkar denganmu! Lebih baik kamu tidur saja. Aku akan pergi ke makam. Siapa tahu ada peziarah berdompet tebal.”
Melihat Martakunci keluar dari kamar, Mirah hanya menghela napas. Sesudah mengunci pintu, Mirah kembali ke kamar. Rebah di ranjang. Mendekap guling yang sekian lama tak dicuci sarungnya. Sedingin udara di malam bedhidhing.
***
Makam Eyang Jaga sepi. Hanya tiga orang yang duduk di bangsal samping kiri pohon beringin itu sambil ngobrol politik. Hanya seorang lelaki dan seorang perempuan yang tengah duduk bersila di bawah pohon keramat itu. Lelaki dari kota yang sejak isya’ tadi datang dengan BMW bersama sopir pribadinya.
Tidak sebagaimana sepasang peziarah yang tengah hening samadi di bawah beringin, tiga orang yang duduk di bangsal itu semakin bersemangat ngobrol politik, sekalipun hanya bertemankan sigaret. Meskipun bukan sarjana sospol atau pengamat politik yang sering tampil di televisi, mereka berlagak seperti orang-orang ahli.
Dari persoalan politik, pembicaraan tiga orang di bangsal itu melebar ke persoalan korupsi. Tidak hanya persoalan korupsi yang dilakukan oleh Badarsuni – pimpinan Partai Kemakmuran Bangsa; namun juga oleh seorang menteri, gubernur, dan bupati. Pembicaraan pun sampai menyinggung praktik korupsi yang dilakukan camat, lurah, serta ketua RW dan RT.
Selagi tiga orang yang tak lain Jaya Koplak, Legiya Klungsu, dan Parmin Blendung itu baru membicarakan kasus seorang ketua RT di Watugaleh yang mengorupsi kas hasil jimpitan beras untuk membayar seragam sekolah anaknya; dua orang peziarah itu datang menghampiri. “Maaf, bapak-bapak! Numpang tanya. Apakah juru kunci makam Eyang Jaga tidak datang malam ini?”
Jaya Koplak memalingkan wajahnya ke arah peziarah laki-laki. “Biasanya ia sudah datang. Oh, ya, Pak. Itu orangnya sedang berjalan ke arah makam!”
Disertai peziarah perempuan, peziarah laki-laki itu mengejar Martakunci. Di depan makam, mereka menyampaikan maksudnya pada Martakunci untuk menziarahi Eyang Jaga. Melihat lelaki itu berduit, Martakunci segera membuka pintu cungkup. Di depan batu nisan Eyang Jaga, Martakunci membakar kemenyan dan mempersiapkan sebungkus kembang. Sesudah melafalkan doa campur Jawa-Arab, Martakunci bertanya pada peziarah itu. “Apa tujuan bapak berziarah?”
“Apakah sampeyan bisa menjaga rahasia kehidupan saya?”
“Seorang juru kunci pantang membuka rahasia kehidupan dari setiap peziarah. Rahasia kehidupan Bapak saya jamin tak akan terbongkar di areal makam ini. Sekarang cepat ucapkan tujuan Bapak! Sebelum kemenyan habis terbakar.”
“Baik.” Peziarah itu menghirup aroma kemenyan yang seamis perbuatannya. “Aku mohon perlindungan dari Eyang Jaga atas perbuatanku. Berkorupsi milyaran rupiah demi rumah dan mobil mewah.”
“Karena permohonan Bapak terbilang susah diwujudkan Eyang Jaga, maka uang wajibnya cukup besar.”
“Berapapun aku bayar. Asal aku selamat dari tangkapan KPK. Berapa?”
“Limapuluh juta.”
“Tak hanya limapuluh, seratus pun aku bayar. Bila Eyang Jaga berhasil melindungiku. Cepat! Sekarang sampaikan tujuan ziarahku itu pada Eyang Jaga!”
Martakunci melaksanakan perintah peziarah itu. Seusai kewajibannya dilaksanakan, Martakunci mendapatkan separuh haknya. Duapuluhlima juta sebagai dp uang wajib. Sepeninggal peziarah yang telah mendapatkan nomer ponselnya itu, Martakunci bergegas pulang. Saat menyaksikan uang di tangan, Martakunci merasakan tubuhnya melayang-layang serupa balon di udara. Keinginannya untuk mengambil motor baru tanpa kredit akan segera terlaksana esok hari.
***
Pagi masih buta. Martakunci sudah terbangun untuk membeli motor di kota. Namun sebelum meninggalkan rumah, Martakunci mendapatkan pesan WhatsApp dari nomer yang belum terdaftar di phonebook androidnya. “Pagi ini, akan aku lunasi uang wajibnya. Tolong bapak ke kota. Aku tunggu di Java Kafe. Jl. Rajawali 5. Aku tunggu.”
Membaca pesan WhatsApp yang diduga dari nomer ponsel peziarah semalam, wajah Martakunci berbinar. Dengan motor butut, Martakunci pergi ke alamat yang tertulis di WA itu. Baru duduk di salah satu kursi restoran, Martakunci didatangi seorang lelaki tak dikenal. “Apakah Bapak juru kunci Makam Eyang Jaga di Watugaleh?”
“Benar.”
“Apakah semalam, Bapak mendapatkan pemberian uang sebanyak duapuluhlima juta dari seorang peziarah?”
“Benar.”
Tanpa sepatah kata, lelaki tak dikenal itu menyeret Martakunci ke dalam mobil sedan. Sepanjang perjalanan, Martakunci berteriak-teriak sambil memohon kepada lelaki itu untuk mengeluarkannya dari dalam mobil. Namun mobil terus melaju kencang menuju sebuah gedung di Jalan Pengadilan 1.
Setiba di halaman gedung yang dituju, Martakunci dikeluarkan dari mobil selayak seorang pesakitan. Saat membaca tulisan KPK pada papan nama yang dipajang di depan gedung itu, pandangan Martakunci berkunang-kunang. Saat menyaksikan peziarah laki-laki yang semalam memberikan uang duapuluhlima juta itu keluar dari gedung dengan mengenakan rompi tahanan, Martakunci pingsan. Tak lagi mendengar suara wartawan yang memberondongkan pertanyaan.